Thursday, February 27, 2014

RADIKALISME AGAMA DAPAT MENGHAMBAT PERTUMBUHAN NEGERI !


critical review

RADIKALISME AGAMA DAPAT MENGHAMBAT PERTUMBUHAN NEGERI !
                                        

Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Namun faktor paling umum yang dijumpai adalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan dasar.  Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah.

Guru merupakan ujung tombak dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dimana guru akan melakukan interaksi landsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Melalui proses belajar dan mengajar inilah berawalnya kualitas pendidikan. Artinya, secara keseluruhan kualitas pendidikan berawal dari kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di ruang kelas. Secara kuantitas, jumlah guru di Indonesia cukup memadai. Namun secara distribusi dan mutu, pada umumnya masih rendah.  Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan ini cukup memprihatinkan, dengan prosentase lebih dari 50% di seluruh Indonesia.
Menurut data Kemendiknas 2010 akses pendidikan di Indonesia masih perlu mendapat perhatian,  lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54% guru memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19% bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki. Hal ini seharusnya menjadi salah satu titik berat perbaikan sistem pendidikan di Indonesia, mengingat semakin maju-nya suatu negara bermula dari pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang berkualitas bermuara dari pembelajaran yang berkualitas, pembelajaran yang berkualitas dimulai dari pengajar yang berkualitas pula. UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijabarkan diantaranya dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 mengenai Delapan Standar Nasional Pendidikan diharapkan mampu mengangkat kualitas pendidikan di Indonesia.
Mengenai bermacam – macam budaya yang pernah kita jumpai di  sekolah , Sekolah adalah tempat anak-anak bertumbuh secara intelektual dan matang secara sosial. Di sekolah-sekolah publik, sekolah tak hanya dihuni satu kelompok, kelompok agama, kelompok etnik, dan kelompok sosial-ekonomi. Para siswa datang dari berbagai strata dan lapisan sosial-keagamaan. Di antara mereka, ada yang beragama Protestan, Katolik, Hindu, Budha, di samping Islam bahkan Konghucu dan berbagai jenis aliran kepercayaan lainnya. Dengan demikian, sekolah memiliki peranan penting dalam proses pengolahan pluralitas menjadi pluralisme. Sekiranya pluralitas adalah fakta, maka prluralisme adalah kesadaran untuk menghargai perbedaan-perbedaaan itu. Bahwa seseorang tak boleh di-ekskomunikasi dan diisolasi karena yang bersangkutan menganut agama tertentu. Setiap orang punya hak dan bebas memilih suatu agama. Hak itu dijamin dan dilindungi konstitusi: UUD 1945.

Pada artikel pak chaedar jika ingin mengetahui kualitas suatu bangsa , hanya melihat kualitas dan praktek sistem pendidikan , contoh sebagai berikut   apakah  dalam penyelenggaran pendidikan bisa mampu menjamin pemeratan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan, relevansi dan efisiensi  serta  sudahkah ada  pendidikan yang bermutu karena ini  sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat. Karena keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa di dunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas .
Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan intervensi langsung menujupeningkatan mutu dan memberikan jaminan dan kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melalui berbagai cara. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru. Pada saat ini mutu pendidikan di Indonesia masih belum memenuhi harapan Kondisi ini didasarkan pada peringkat perguruan tinggi di Asia, perguruan tinggi di Indonesia tidak ada yang masuk sepuluh besar, apalagi tingkat dunia. Selain itu, kualitas guru di Indonesia masih kalah jika dibandingankan dengan negara tetangga seperti malaysia dan singapura. Hal ini, didukung oleh data dari Depdiknas  bahwa hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Guru yang tidak layak mengajar bahkan tidak layak jadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA dan 63.961 guru SMK. Selain itu, tercatat 15% guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dimilki atau bidangnya .

Oleh karena itu, pemerintah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah dikeluarkannya kebijakan sertifikasi guru dan dosen dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diharapkan dapat memberikan dorongan pada peningkatan   martabat guru sebagai sebuah profesi, martabat dari sisi pengakuan atas profesi baik secara formal maupun pengakuan dari masyarakat sebagai pengguna jasa profesi. Martabat dari sisi keterdukungan perubahan sisi ekonomis karena ketercukupan materi yang meningkatkan kedudukan tidak hanya pada social level tapi juga economic level yang memberikan jaminan rasa aman sehingga dapat bekerja dan berkarya. Ide kebijakan ini adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.  
Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai Suatu metode untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi lebih baik. Menurut Undang-Undang Sisdiknas No 2 tahun 1989  bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Tujuan tingkat pendidikan satuan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Untuk mencapai tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dituntut peran guru dalam proses pembelajaran agar siswa memiliki keseimbangan antara kognitif, afektif dan psikomotorik.  Peran guru dalam menyediakan dan memberikan pengalaman belajar yang bermakna sangat di butuhkan peserta didik, guru yang dapat memberikan pembelajaran dengan berbagai cara agar peserta didik dapat memahami pembelajaran lebih lama akan meningkatkan hasil belajar siswa.
Masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar ,  bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial , Negeri ini menghadapi persoalan serius belakangan ini. Beberapa bentrokan antara para pelajar terjadi atas nama kebanggaan identitas dan harga diri kelompok. Korban fisik tak dapat dielakkan. Kesadaran nasional dan sikap menghargai semua golongan kini hancur berkeping-keping akibat arogansi dan kebanggaan yang menguat dalam kelompok-kelompok itu. Mirisnya, hal ini terjadi pada pelajar. Generasi bangsa yang dipersiapkan untuk melanjutkan dan melestarikan negeri ini. Mereka memiliki laku tak ubahnya preman , mudah terbakar emosi kelompok,  bangga dengan kelompok sendiri secara buta dan cenderung mendefinisikan out-group sebagai “others”. Mereka seperti tidak punya pilihan lain. Seperti telah kehilangan akal sehatnya, setiap masalah yang berkaitan dengan kelompok selalu berujung pada pertikaian. Fenomena tawuran antar pelajar sebenarnya bukanlah hal yang baru. Peristiwa ini telah terjadi secara berulang kali.
 Tak hanya itu saja radikalisme agama di sekolah , Sungguhpun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang plural seringkali terjadinya konflik yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya stabilitas dan ketidak harmonisan. Di Indonesia seringkali muncul fenomena kekerasan seperti konflik etnis, konflik antar umat beragama, dan konflik lainnya. Salah satu contoh masalah yang dapat kita temui dalam kehidupan beragama yang plural ini adalah kecurigaan dan kesalahfahaman dari satu penganut agama terhadap sikap dan perilaku agama lain, malah juga terhadap sesama penganut agama tertentu. Hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme itu.
Salah satu problem besar peradaban bangsa yang belum kunjung selesai adalah masalah ketidakharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan berkebudayaan. Kita masih sering menyaksikan banyak anak bangsa yang gemar berkelahi, saling mencaci, mencela, hingga kekerasan fisik dan pertumpahan darah. Manusia lawan manusia terjadi hampir dalam seluruh aspek kehidupan kebudayaan. Baik dalam aspek keagamaan, mata pencaharian (ekonomi), politik, pendidikan, hukum maupun dalam aspek teknologi dan kesenian. Disharmoni budaya ini akan menjadi “duri peradaban” yang berbahaya—apalagi dalam konteks masyarakat yang multikultur—jika tidak mendapat respons yang serius. Suatu kelompok tertentu bisa saja akan “memangsa” warga atau komunitas masyarakat lainnya, baik atas nama Tuhan, status sosial, maupun atas nama kepentingan politik dan ekonomi. Hal ini, sekali lagi, akan berbahaya, sebab bukan saja akan meruntuhkan dasar-dasar karakter kebangsaan, melainkan juga akan mengakibatkan terganggunya proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi prasyarat penting dalam perwujudan peradaban masyarakat utama.
Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya, Indonesia sangat membutuhkan perdamaian, keadilan, persamaan, kebebasan dan seterusnya yang merupakan unsur yang dapat dilahirkan oleh pendidikan multikultural. Tetapi, patut dicatat bahwa akhir-akhir ini yang terjadi justru jauh dari harapan kemanusiaan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial, keharmonisan, keamanan, perdamaian, dan persaudaraan. Dengan kata lain, diskriminasi, konflik sosial agama, krisis politik, ekonomi, budaya dan pendidikan, semakin menggurita di negeri ini.
Jika persoalan tersebut ditelaah maka tindakan anarkhis yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat/orang tertentu atas yang lainnya tentu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang merupakan salah satu dari lima landasan dasar negara Indonesia (Pancasila). Selain bertentangan dengan Pancasila juga bertentangan dengan pluralitas agama dan budaya. Apabila dikaji secara mendalam ajaran Islam, Islam sangat ramah dan menghargai keanekaragaman sebagai realitas (hukum alam). Dalam hal ini, konsep rahmatan lil’alamin merupakan landasan kultural ajaran Islam. Untuk menjalankan misi kemanusiaannya tersebut, Islam memiliki instrumen yaitu meletakkan pendidikan pada barisan terdepan, karena pendidikanlah yang secara langsung berhadapan dengan umat manusia (Abuddin Nata, 2001). Dalam proses pendidikan ini terjadi transfer nilai dan pengetahuan dengan menghasilkan para peserta didik yang memiliki keimanan dan ketaqwaan serta ilmu pengetahuan. Konsep tersebut perlu dipahami secara terbuka terutama dalam era pluralitas agama seperti sekarang ini, agar tidak terkesan Islam sebagai agama ekslusif-diskriminatif terhadap manusia

              Pakar pendidikan Prof Arief Rachman menilai, meningkatnya kriminalitas dan radikalisme di lingkungan sekolah oleh para pelajar akhir-akhir ini akibat hilang keteladanan di sekolah, rumah,  dan masyarakat di sekitar mereka.  
Arief Rachman menuturkan bahwa adanya radikalisme anak-anak sekolah itu bermakna mereka telah tercerabut dari akar-akar nilai agama, etika, moral dan kemanusiaan.    Sementara salah satu ukuran suksesnya pendidikan di sekolah itu bukan saja menekankan pada kemampuan otak, tapi juga watak, dan sikap.    Terjadinya radikalisme anak itu bisa disebabkan karena pola asuh anak yang salah, tidak demokratis, tidak menghargai, selalu menyalahkan, dan menghina anak-anak di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Tidak ada keteladanan yang bisa dicontoh. Pada saat yang sama, berbagai tayangan televisi semisal tontonan sinetron yang dikonsumsi para pelajar itu semakin sarat dengan muatan materialistis, hedonistis dan kriminalitas yang banyak menyalahi nilai-nilai etika, moralitas dan agama.
Tugas pendidikan, pada dasarnya, adalah memberdayakan dan memaksimalkan potensi kebaikan yang ada pada diri manusia. Karena itu jelas, pendidikan yang hanya berorientasi pada pemberdayaan potensi “intelectual quotient” manusia, tidak sesuai lagi untuk diterapkan. Pendidikan tidak cukup hanya berorientasi meningkatkan IQ manusia, tetapi juga berorientasi pada penyadaran moral. Dalam hal ini jelas, pembentukan karakter manusia yang bermoral sangat penting. Sekolah adalah harapan masyarakat, tidak saja pada aspek IQ tapi pada pembimbingan emosional atau yang dikenal Emotional Quotient (EQ).
Karena itu, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh sekolah. Pertama, pendidikan tidak dibatasi hanya kepada pemenuhan aspek-aspek kognitif pelajar, namun juga perlu diimbangi dengan materi-materi yang berisi penyadaran moral. Kedua, perhatian para pendidik tidak cukup hanya pada saat-saat berlangsung di sekolah, melainkan di luar sekolah. Dalam hal ini koordinasi antara pihak sekolah dengan orang tua murid sangatlah penting. Ketiga, peran pendidikan agama seharusnya berorientasi pada teologi-teologi praksis-kemanusiaan. Dengan kata lain, agama tidak hanya mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhan (hablum min Allah), melainkan hubungan dengan manusia (hablum min an-nas).  Usaha yang memprioritaskan pendidikan moral ini diharapkan mampu membentuk pribadi pelajar yang bermoral, lebih mencintai kemanusiaan ketimbang kekerasan, lebih memakai akal sehat dan bimbingan moral ketimbangan bimbingan ego identitas dan harga diri kelompok.
Pendidikan multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami,  menghargai keberagaman.  Bukan hanya itu tetapi pendidikan multikultural juga bermanfaat untuk membangun, di antara keragaman etnik, ras, agama, dan budaya. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Paling penting didalam pendidikan seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Peran penting pendidikan multikultural di sekolah untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama
Aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural disekolah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak ada penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari besar umat beragama serta memperkuat sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis (sudrajat.wordpress.com).
Berbagai kerusuhan yang banyak muncul akan segera meredam apabila di sekolah sudah sungguh-sungguh membawa anak didik dalam pemahaman multikultural. Melalui pendidikan multikultural ini oleh karenanya dikatakan penting di dalam sekolah. Pemberian arti penting pendidikan multikultural harus dilakukan sejak usia dini agar anak lebih memahami lingkungan sekitarnya yang penuh keragaman budaya.
Penerapan Pendidikan Multikultural Di Sekolah
Membangun masyarakat yang dapat menghasilkan orang (warga negara) menyadari, mengakui, menghargai perbedaan bukan merupakan hal yang mudah. Perlu dirancang secara sistematik. Pada dasarnya, menurut Gorsky (2010) untuk dapat menerapakan pendidikan multikultural di sekolah diperlukan upaya transformasi pada tiga tahap yaitu:
1.      Transformasi Level Diri (transformation of self)
Transformasi pada level diri dapat digambarkan dengan sikap positif terhadap perbedaan dan keberagaman yang belum terjadi, transformasi tersebut merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pendidikan multikultural.
Contoh dari tranformasi level diri seperti dapat menghargai perbedaan beragama pada        setiap indvidu.
1.      Transformasi Level Sekolah (transformation of school and schooling)
Transformasi pada level sekolah digambarkan melalui lima dimensi pendidikan multikultural yaitu:
a)      Integrasi materi (content integration)
Integrasi materi merupakan upaya guru memberikan atau menggunakan contoh dan materi dari bebagai budaya dan kelompok untuk mengajarkan konsep kunci, prinsip, teori, dan lain-lain ketika mengajarkan satu topik atau mata pelajaran tertentu dengan menyisipkan akan adanya kesadaran perbedaan budaya. Contoh: ketika mengajarkan topik tumbuhan berbiji belah, guru menyinggung bahwa kopi adalah salah satu contoh dikotil, kemudian dikaitkan dengan bagaimana masyarakat Lampung, Aceh, dan Jawa memanfaatkan kopi sebagai minuman tradisi masing-masing.
b)      Proses pembentukan pengetahuan (knowledge construction procwss)
Proses pembentukan pengetahuan upaya membantu siswa untuk memahami, mencari tahu, dan menentukan bagaimana suatu pengetahuan atau teori pada dasarnya secara nyata tercipta karena adanya pengaruh budaya, kalangan, dan kelompok tertentu dengan status sosial yang terjadi pada saat itu. Contoh: Galileo menghasilkan teori helioentris yang mengemukakan asumsi geosentris yang terjadi pada masa dimana pengaruh agama saat itu sangat dominan. Galileo dihukum mati karena teorinya tetapi belakangan ini teori tersebut dipakai oleh masyarakat dunia.
c)      Reduksi prasangka (prejudice reduction)
Reduksi prasangka merupakan upaya guru membantu siswa mengembangkan sifat positif terhadap perbedaan baik dari sisi suku, budaya, ras, gender, status sosial, dan lain-lain. Contoh: Tidak benar kalau guru mendorong sikap atau prasangka yang menganggap bahwa orang papua yang berkulit hitam adalah terbelakang, bodoh dan lain-lain dalam proses interaksi di sekolah inilah yang harus dihindari. Guru seharusnya berkewajiban meluruskan asumsi dan prasangka tersebut. Salah satu cara mengurangi prasangka ini adalah melibatkan siswa melakukan aktivitas bersama dengan orang-orang dari berbagai status sosial, gender, ras, dan lain-lain.
d)   Pendidikan atau perlakuan pedagogik tanpa pandang bulu (equity pendagogy)
Pendidikan atau perlakuan pedagogik tanpa pandang bulu adalah upaya guru memperlakukan secara sama dalam prises pembelajaran dikelas. Kenyataan ini akan terlihat dari metode yang digunakan, cara bertanya, penunjukan siswa, dan pengelompokan. Contoh: Guru senantiasa menunjukkan seorang siswa sebagai ketua kelompok, karena siswa tersebut anak dari kalangan status sosial tertentu lebih tinggi dari yang lain.
e)       Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure)
Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial merupakan proses menstrukturisasi dan reorganisasi sekolah sehingga siswa dari beragam ras, suku, dan kelas sosial akan mengalami atau merasakan pemberdayaan maupun persamaan budaya. Semangat multikulturalisme akan tercermin dalam segala aktivitas sekolah, sehingga menuntut adanya perubahan baik dari sisi pendidik dan tenaga kependidikan, kebijakan sekolah, struktur organisasi, iklim sekolah, dan lain-lain.
1.      Transformasi Level Masyarakat (transformation of society)
Transformasi level masyarakat merupakan upaya paling berat karena sangat komplek dan melibatkan berbagai unsur terkait, hal ini akan terjadi dengan sendirinya jika transformasi level diri dan sekolah berjalan dengan baik

 Jadi kesimpulannya pendidikan multikultural sangat penting dalam dunia masyarakat, pemerintah serta peserta didik yang berperan di dalamnya. Peran penting pendidikan multikultural di sekolah untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya, sehingga pendekatan dan cara penerapan perlu dilakukan secara mendasar disekolah.
Pendekatan-pendekatan atau penerapannya sebagai berikut:
1.      Merubah pandangan tentang pendidikan multikultural,melalui program formal dan informal sekolah.
2.      Menghindari perbedaan pandangan kebudayaan dengan kelompok etnik.
3.      Mengembangkan kompetensi dalam kebudayaan baru yang membutuhkan interaksi inisiatif (ide).
4.      Meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam kebudayaan jika pendidikan multikultural berpotensi untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Referensi


Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment