Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Wahyu Zulfa Lailah
critical review
Pakar pendidikan Prof Arief Rachman menilai, meningkatnya kriminalitas dan radikalisme di lingkungan sekolah oleh para pelajar akhir-akhir ini akibat hilang keteladanan di sekolah, rumah, dan masyarakat di sekitar mereka.
critical review
RADIKALISME
AGAMA DAPAT MENGHAMBAT PERTUMBUHAN NEGERI !
Berdasarkan laporan
Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya
angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah. Indonesia
berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index.
Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat
anak yang putus sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka putus
sekolah di Indonesia. Namun faktor paling umum yang dijumpai adalah tingginya
biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan
dasar. Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15
tahun terancam putus sekolah.
Guru merupakan ujung tombak
dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dimana guru akan melakukan interaksi
landsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Melalui proses
belajar dan mengajar inilah berawalnya kualitas pendidikan. Artinya, secara
keseluruhan kualitas pendidikan berawal dari kualitas pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru di ruang kelas. Secara kuantitas, jumlah guru di
Indonesia cukup memadai. Namun secara distribusi dan mutu, pada umumnya masih
rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum
sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyaknya guru yang mengajar tidak
sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan ini cukup
memprihatinkan, dengan prosentase lebih dari 50% di seluruh Indonesia.
Menurut data Kemendiknas
2010 akses pendidikan di Indonesia masih perlu mendapat perhatian, lebih
dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara dari
sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54% guru memiliki
standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19% bangunan sekolah dalam
kondisi perlu diperbaiki. Hal ini seharusnya menjadi salah satu titik berat
perbaikan sistem pendidikan di Indonesia, mengingat semakin maju-nya suatu
negara bermula dari pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang berkualitas
bermuara dari pembelajaran yang berkualitas, pembelajaran yang berkualitas
dimulai dari pengajar yang berkualitas pula. UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang dijabarkan diantaranya dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005
mengenai Delapan Standar Nasional Pendidikan diharapkan mampu mengangkat
kualitas pendidikan di Indonesia.
Mengenai bermacam – macam budaya yang pernah kita jumpai di sekolah , Sekolah adalah
tempat anak-anak bertumbuh secara intelektual dan matang secara sosial. Di
sekolah-sekolah publik, sekolah tak hanya dihuni satu kelompok, kelompok agama,
kelompok etnik, dan kelompok sosial-ekonomi. Para siswa datang dari berbagai
strata dan lapisan sosial-keagamaan. Di antara mereka, ada yang beragama
Protestan, Katolik, Hindu, Budha, di samping Islam bahkan Konghucu dan berbagai
jenis aliran kepercayaan lainnya. Dengan demikian, sekolah memiliki peranan
penting dalam proses pengolahan pluralitas menjadi pluralisme. Sekiranya
pluralitas adalah fakta, maka prluralisme adalah kesadaran untuk menghargai
perbedaan-perbedaaan itu. Bahwa seseorang tak boleh di-ekskomunikasi dan
diisolasi karena yang bersangkutan menganut agama tertentu. Setiap orang punya
hak dan bebas memilih suatu agama. Hak itu dijamin dan dilindungi konstitusi:
UUD 1945.
Pada artikel pak
chaedar jika ingin mengetahui kualitas suatu bangsa , hanya
melihat kualitas dan praktek sistem pendidikan , contoh sebagai berikut apakah dalam penyelenggaran pendidikan bisa mampu
menjamin pemeratan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan, relevansi
dan efisiensi serta sudahkah ada pendidikan yang bermutu karena ini sangat tergantung pada keberadaan guru yang
bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera dan bermartabat. Karena
keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan
praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa di dunia ini selalu
mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas .
Salah satu
kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyak negara adalah kebijakan
intervensi langsung menujupeningkatan mutu dan memberikan jaminan dan
kesejahteraan hidup guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan
kebijakan ini bisa disebut antara lain Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan
Amerika Serikat. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan
mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melalui berbagai
cara. Guru yang sudah ada harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan
sertifikat profesi guru. Pada saat ini mutu pendidikan di Indonesia masih belum
memenuhi harapan Kondisi ini didasarkan pada peringkat perguruan tinggi di
Asia, perguruan tinggi di Indonesia tidak ada yang masuk sepuluh besar, apalagi
tingkat dunia. Selain itu, kualitas guru di Indonesia masih kalah jika
dibandingankan dengan negara tetangga seperti malaysia dan singapura. Hal ini,
didukung oleh data dari Depdiknas bahwa
hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar.
Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Guru
yang tidak layak mengajar bahkan tidak layak jadi guru berjumlah 912.505,
terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA dan 63.961 guru
SMK. Selain itu, tercatat 15% guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang
dimilki atau bidangnya .
Oleh karena itu,
pemerintah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan
adalah dikeluarkannya kebijakan sertifikasi guru dan dosen dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diharapkan dapat
memberikan dorongan pada peningkatan
martabat guru sebagai sebuah profesi, martabat dari sisi pengakuan atas
profesi baik secara formal maupun pengakuan dari masyarakat sebagai pengguna jasa
profesi. Martabat dari sisi keterdukungan perubahan sisi ekonomis karena
ketercukupan materi yang meningkatkan kedudukan tidak hanya pada social
level tapi juga economic level yang memberikan jaminan rasa aman
sehingga dapat bekerja dan berkarya. Ide kebijakan ini adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai Suatu
metode untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang
diharapkan dapat membuat seseorang menjadi lebih baik. Menurut Undang-Undang
Sisdiknas No 2 tahun 1989 bahwa Pendidikan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan
bagi peranannya di masa yang akan datang. Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun
2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat.
Tujuan tingkat
pendidikan satuan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut. Untuk mencapai tujuan pendidikan tingkat satuan
pendidikan dasar dituntut peran guru dalam proses pembelajaran agar siswa
memiliki keseimbangan antara kognitif, afektif dan psikomotorik. Peran guru dalam menyediakan dan memberikan
pengalaman belajar yang bermakna sangat di butuhkan peserta didik, guru yang
dapat memberikan pembelajaran dengan berbagai cara agar peserta didik dapat
memahami pembelajaran lebih lama akan meningkatkan hasil belajar siswa.
Masalah sosial berulang
seperti tawuran pelajar , bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme
di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial , Negeri ini menghadapi persoalan
serius belakangan ini. Beberapa bentrokan antara para pelajar terjadi atas nama
kebanggaan identitas dan harga diri kelompok. Korban fisik tak dapat dielakkan.
Kesadaran nasional dan sikap menghargai semua golongan kini hancur
berkeping-keping akibat arogansi dan kebanggaan yang menguat dalam
kelompok-kelompok itu. Mirisnya, hal ini terjadi pada pelajar. Generasi bangsa yang
dipersiapkan untuk melanjutkan dan melestarikan negeri ini. Mereka memiliki
laku tak ubahnya preman , mudah
terbakar emosi kelompok, bangga dengan kelompok sendiri secara buta dan
cenderung mendefinisikan out-group sebagai “others”. Mereka seperti tidak punya
pilihan lain. Seperti telah kehilangan akal sehatnya, setiap masalah yang
berkaitan dengan kelompok selalu berujung pada pertikaian. Fenomena tawuran antar
pelajar sebenarnya bukanlah hal yang baru. Peristiwa ini telah terjadi secara
berulang kali.
Tak
hanya itu saja radikalisme agama di sekolah , Sungguhpun demikian, kita juga
tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat
yang plural seringkali terjadinya konflik yang pada akhirnya akan menyebabkan
terganggunya stabilitas dan ketidak harmonisan. Di Indonesia seringkali muncul
fenomena kekerasan seperti konflik etnis, konflik antar umat beragama, dan
konflik lainnya. Salah satu contoh masalah yang dapat kita temui dalam
kehidupan beragama yang plural ini adalah kecurigaan dan kesalahfahaman dari
satu penganut agama terhadap sikap dan perilaku agama lain, malah juga terhadap
sesama penganut agama tertentu. Hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu
menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari
multikulturalisme itu.
Salah satu problem besar peradaban bangsa yang belum
kunjung selesai adalah masalah ketidakharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan
berkebudayaan. Kita masih sering menyaksikan banyak anak bangsa yang gemar
berkelahi, saling mencaci, mencela, hingga kekerasan fisik dan pertumpahan
darah. Manusia lawan manusia terjadi hampir dalam seluruh aspek kehidupan
kebudayaan. Baik dalam aspek keagamaan, mata pencaharian (ekonomi), politik,
pendidikan, hukum maupun dalam aspek teknologi dan kesenian. Disharmoni budaya
ini akan menjadi “duri peradaban” yang berbahaya—apalagi dalam konteks
masyarakat yang multikultur—jika tidak mendapat respons yang serius. Suatu
kelompok tertentu bisa saja akan “memangsa” warga atau komunitas masyarakat
lainnya, baik atas nama Tuhan, status sosial, maupun atas nama kepentingan
politik dan ekonomi. Hal ini, sekali lagi, akan berbahaya, sebab bukan saja
akan meruntuhkan dasar-dasar karakter kebangsaan, melainkan juga akan
mengakibatkan terganggunya proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang menjadi prasyarat penting dalam perwujudan peradaban masyarakat
utama.
Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya, Indonesia
sangat membutuhkan perdamaian, keadilan, persamaan, kebebasan dan seterusnya
yang merupakan unsur yang dapat dilahirkan oleh pendidikan multikultural.
Tetapi, patut dicatat bahwa akhir-akhir ini yang terjadi justru jauh dari
harapan kemanusiaan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial,
keharmonisan, keamanan, perdamaian, dan persaudaraan. Dengan kata lain,
diskriminasi, konflik sosial agama, krisis politik, ekonomi, budaya dan
pendidikan, semakin menggurita di negeri ini.
Jika persoalan tersebut ditelaah maka tindakan anarkhis
yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat/orang tertentu atas yang lainnya
tentu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang
merupakan salah satu dari lima landasan dasar negara Indonesia (Pancasila).
Selain bertentangan dengan Pancasila juga bertentangan dengan pluralitas agama
dan budaya. Apabila dikaji secara mendalam ajaran Islam, Islam sangat ramah dan
menghargai keanekaragaman sebagai realitas (hukum alam). Dalam hal ini, konsep rahmatan
lil’alamin merupakan landasan kultural ajaran Islam. Untuk menjalankan misi
kemanusiaannya tersebut, Islam memiliki instrumen yaitu meletakkan pendidikan
pada barisan terdepan, karena pendidikanlah yang secara langsung berhadapan
dengan umat manusia (Abuddin Nata, 2001). Dalam proses pendidikan ini terjadi
transfer nilai dan pengetahuan dengan menghasilkan para peserta didik yang
memiliki keimanan dan ketaqwaan serta ilmu pengetahuan. Konsep tersebut perlu
dipahami secara terbuka terutama dalam era pluralitas agama seperti sekarang
ini, agar tidak terkesan Islam sebagai agama ekslusif-diskriminatif terhadap
manusia
Pakar pendidikan Prof Arief Rachman menilai, meningkatnya kriminalitas dan radikalisme di lingkungan sekolah oleh para pelajar akhir-akhir ini akibat hilang keteladanan di sekolah, rumah, dan masyarakat di sekitar mereka.
Arief Rachman menuturkan bahwa adanya
radikalisme anak-anak sekolah itu bermakna mereka telah tercerabut dari
akar-akar nilai agama, etika, moral dan kemanusiaan. Sementara salah satu ukuran suksesnya
pendidikan di sekolah itu bukan saja menekankan pada kemampuan otak, tapi juga
watak, dan sikap. Terjadinya
radikalisme anak itu bisa disebabkan karena pola asuh anak yang salah, tidak
demokratis, tidak menghargai, selalu menyalahkan, dan menghina anak-anak di
sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Tidak ada keteladanan yang
bisa dicontoh. Pada saat yang sama, berbagai tayangan televisi semisal tontonan
sinetron yang dikonsumsi para pelajar itu semakin sarat dengan muatan
materialistis, hedonistis dan kriminalitas yang banyak menyalahi nilai-nilai
etika, moralitas dan agama.
Tugas pendidikan, pada dasarnya, adalah memberdayakan dan
memaksimalkan potensi kebaikan yang ada pada diri manusia. Karena itu jelas,
pendidikan yang hanya berorientasi pada pemberdayaan potensi “intelectual
quotient” manusia, tidak sesuai lagi untuk diterapkan. Pendidikan tidak cukup
hanya berorientasi meningkatkan IQ manusia, tetapi juga berorientasi pada
penyadaran moral. Dalam
hal ini jelas, pembentukan karakter manusia yang bermoral sangat penting.
Sekolah adalah harapan masyarakat, tidak saja pada aspek IQ tapi pada
pembimbingan emosional atau yang dikenal Emotional Quotient (EQ).
Karena itu, ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan oleh sekolah. Pertama, pendidikan
tidak dibatasi hanya kepada pemenuhan aspek-aspek kognitif pelajar, namun juga
perlu diimbangi dengan materi-materi yang berisi penyadaran moral. Kedua, perhatian para pendidik tidak cukup hanya pada saat-saat
berlangsung di sekolah, melainkan di luar sekolah. Dalam hal ini koordinasi
antara pihak sekolah dengan orang tua murid sangatlah penting. Ketiga, peran pendidikan agama seharusnya berorientasi pada
teologi-teologi praksis-kemanusiaan. Dengan kata lain, agama tidak hanya
mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhan (hablum min Allah), melainkan
hubungan dengan manusia (hablum min
an-nas). Usaha yang memprioritaskan pendidikan moral ini
diharapkan mampu membentuk pribadi pelajar yang bermoral, lebih mencintai
kemanusiaan ketimbang kekerasan, lebih memakai akal sehat dan bimbingan moral
ketimbangan bimbingan ego identitas dan harga diri kelompok.
Pendidikan multikultural sangat penting untuk
meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui
pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa
akan lebih terbuka untuk memahami, menghargai keberagaman. Bukan hanya itu tetapi pendidikan multikultural juga bermanfaat untuk
membangun, di antara keragaman etnik, ras, agama, dan budaya. Paparan di atas
juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk
menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama,
dan keyakinan lain. Paling penting didalam pendidikan seorang guru tidak hanya
dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata
pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai
inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme
atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada
gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah tidak hanya cakap
sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan
nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk
agama dan kepercayaan lain.
Peran penting pendidikan multikultural di sekolah untuk
menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda
ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari
konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar
memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan
peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta
diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari
kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan
untuk kebaikan bersama
Aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan
multikultural disekolah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi,
termasuk tidak ada penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin.
Menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian,
musik dan makanan kesukaan. Memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari
besar umat beragama serta memperkuat sikap anak agar merasa butuh terlibat
dalam pengambilan keputusan secara demokratis (sudrajat.wordpress.com).
Berbagai
kerusuhan yang banyak muncul akan segera meredam apabila di sekolah sudah
sungguh-sungguh membawa anak didik dalam pemahaman multikultural. Melalui
pendidikan multikultural ini oleh karenanya dikatakan penting di dalam sekolah.
Pemberian arti penting pendidikan multikultural harus dilakukan sejak usia dini
agar anak lebih memahami lingkungan sekitarnya yang penuh keragaman budaya.
Penerapan Pendidikan Multikultural Di Sekolah
Membangun
masyarakat yang dapat menghasilkan orang (warga negara) menyadari, mengakui,
menghargai perbedaan bukan merupakan hal yang mudah. Perlu dirancang secara
sistematik. Pada dasarnya, menurut Gorsky (2010) untuk dapat menerapakan
pendidikan multikultural di sekolah diperlukan upaya transformasi pada tiga
tahap yaitu:
1.
Transformasi
Level Diri (transformation of self)
Transformasi
pada level diri dapat digambarkan dengan sikap positif terhadap perbedaan dan
keberagaman yang belum terjadi, transformasi tersebut merupakan salah satu
kunci penentu keberhasilan pendidikan multikultural.
Contoh
dari tranformasi level diri seperti dapat menghargai perbedaan beragama pada
setiap indvidu.
1.
Transformasi
Level Sekolah (transformation of school and schooling)
Transformasi
pada level sekolah digambarkan melalui lima dimensi pendidikan multikultural yaitu:
a)
Integrasi materi (content integration)
Integrasi
materi merupakan upaya guru memberikan atau menggunakan contoh dan materi dari
bebagai budaya dan kelompok untuk mengajarkan konsep kunci, prinsip, teori, dan
lain-lain ketika mengajarkan satu topik atau mata pelajaran tertentu dengan
menyisipkan akan adanya kesadaran perbedaan budaya. Contoh: ketika mengajarkan
topik tumbuhan berbiji belah, guru menyinggung bahwa kopi adalah salah satu
contoh dikotil, kemudian dikaitkan dengan bagaimana masyarakat Lampung, Aceh,
dan Jawa memanfaatkan kopi sebagai minuman tradisi masing-masing.
b)
Proses pembentukan pengetahuan (knowledge construction procwss)
Proses
pembentukan pengetahuan upaya membantu siswa untuk memahami, mencari tahu, dan
menentukan bagaimana suatu pengetahuan atau teori pada dasarnya secara nyata
tercipta karena adanya pengaruh budaya, kalangan, dan kelompok tertentu dengan
status sosial yang terjadi pada saat itu. Contoh: Galileo menghasilkan teori helioentris
yang mengemukakan asumsi geosentris yang terjadi pada masa dimana
pengaruh agama saat itu sangat dominan. Galileo dihukum mati karena teorinya
tetapi belakangan ini teori tersebut dipakai oleh masyarakat dunia.
c)
Reduksi prasangka (prejudice reduction)
Reduksi
prasangka merupakan upaya guru membantu siswa mengembangkan sifat positif
terhadap perbedaan baik dari sisi suku, budaya, ras, gender, status sosial, dan
lain-lain. Contoh: Tidak benar kalau guru mendorong sikap atau prasangka yang
menganggap bahwa orang papua yang berkulit hitam adalah terbelakang, bodoh dan
lain-lain dalam proses interaksi di sekolah inilah yang harus dihindari. Guru
seharusnya berkewajiban meluruskan asumsi dan prasangka tersebut. Salah satu
cara mengurangi prasangka ini adalah melibatkan siswa melakukan aktivitas
bersama dengan orang-orang dari berbagai status sosial, gender, ras, dan
lain-lain.
d)
Pendidikan atau perlakuan pedagogik tanpa pandang bulu (equity
pendagogy)
Pendidikan
atau perlakuan pedagogik tanpa pandang bulu adalah upaya guru memperlakukan
secara sama dalam prises pembelajaran dikelas. Kenyataan ini akan terlihat dari
metode yang digunakan, cara bertanya, penunjukan siswa, dan pengelompokan.
Contoh: Guru senantiasa menunjukkan seorang siswa sebagai ketua kelompok,
karena siswa tersebut anak dari kalangan status sosial tertentu lebih tinggi
dari yang lain.
e)
Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school
culture and social structure)
Pemberdayaan
budaya sekolah dan struktur sosial merupakan proses menstrukturisasi dan
reorganisasi sekolah sehingga siswa dari beragam ras, suku, dan kelas sosial
akan mengalami atau merasakan pemberdayaan maupun persamaan budaya. Semangat multikulturalisme
akan tercermin dalam segala aktivitas sekolah, sehingga menuntut adanya
perubahan baik dari sisi pendidik dan tenaga kependidikan, kebijakan sekolah,
struktur organisasi, iklim sekolah, dan lain-lain.
1.
Transformasi
Level Masyarakat (transformation of society)
Transformasi
level masyarakat merupakan upaya paling berat karena sangat komplek dan
melibatkan berbagai unsur terkait, hal ini akan terjadi dengan sendirinya jika
transformasi level diri dan sekolah berjalan dengan baik
Jadi kesimpulannya
pendidikan multikultural sangat penting dalam dunia masyarakat, pemerintah
serta peserta didik yang berperan di dalamnya. Peran penting pendidikan multikultural
di sekolah untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang
berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya, sehingga pendekatan
dan cara penerapan perlu dilakukan secara mendasar disekolah.
Pendekatan-pendekatan atau penerapannya
sebagai berikut:
1. Merubah pandangan tentang
pendidikan multikultural,melalui program formal dan informal sekolah.
2. Menghindari perbedaan
pandangan kebudayaan dengan kelompok etnik.
3. Mengembangkan kompetensi
dalam kebudayaan baru yang membutuhkan interaksi inisiatif (ide).
4. Meningkatkan kesadaran
tentang kompetensi dalam kebudayaan jika pendidikan multikultural berpotensi
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Referensi


Subscribe to:
Post Comments (Atom)