Thursday, February 27, 2014

Berbekal Sikap Toleransi



Critical Review

Berbekal Sikap Toleransi

Dewasa ini, sangatlah besar tantangan untuk menjadi seorang pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk peserta didiknya. Khususnya pada masalah konflik sosial dan ketidakharmonisan agama. Bukti adanya masalah konflik sosial yaitu sering terjadinya tawuran antar pelajar, dan bentrokan. Ini merupakan pentingnya pendidikan moral yang harus ditumbuhkan, bukan hanya dalam pendidikan intelek saja akan tetapi pendidikan moral juga sangat penting. Dimana, pentingnya pendidikan yaitu untuk menentukan kualitas hidup seseorang atau bangsa yang memang sudah menjadi kebutuhan mutlak.

Di Indonesia pendidikan intelek jelas dibutuhkan akan tetapi pendidikan moral pun sama penting dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, terutama untuk generasi muda yaitu pelajar dan mahasiswa. Para kaum muda merupakan generasi penerus yang akan menentukan jalannya bangsa ini untuk kedepannya. Namun disinilah yang menjadi kekhawatiran bangsa ini karena pendidikan intelek tidak sebanding dengan pendidikan moral padahal kedua objek ini seharusnya saling berbanding lurus. Menurut cara pandang semakin tinggi intelektual seharusnya semakin baik pula moralnya. Namun banyak pula kita temukan seseorang yang berprestasi akan tetapi tidak bermoral. Sistem pembelajaran di indonesia ini harus diberlakukan dengan seimbang agar para pendidik tidak hanya berprestasi tetapi juga mempunyai moral yang baik. Maka dari itu pengajar sangat penting bagi pendidiknya.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan ini dimana menghormati rekan, bantuan, berbagai, dan umumnya sopan terhadap satu sama yang lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).  

Oleh karena itu, seorang pengajar harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian untuk membangun rasa hormat, saling tolong-menolong, berbagi dengan bersikap sopan terhadap yang lainnya. Dalam artikel yang berudul “ Classroom discourse to foster religious harmony”. Di sini bahwasannya faktor yang mendominasi adalah adanya sikap toleransi. Dengan sikap toleransi, maka suatu hal itu akan bisa dilakukan dengan baik. Disini kita bertoleransi dalam segala aspek, baik itu toleransi dalam beragama, budaya, sosial dan dalam segala aspek lainnya. Kehidupan berbangsa dan bernegara pada hakikatnya merupakan kehidupan masyarakat bangsa. Di dalamnya terdapat kehidupan berbagai macam pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda. Demikian pula di dalamnya terdapat berbagai kehidupan antar suku bangsa yang berbeda. Namun demikian perbedaan-perbedaan kehidupan tersebut tidak menjadikan bangsa ini tercerai-berai, akan tetapi justru menjadi kemajemukan kehidupan sebagai suatu bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karena itu kehidupan tersebut perlu tetap dipelihara agar tidak terjadi disintegrasi bangsa.
Banyak contoh toleransi, yaitu suatu contoh toleransi seorang guru terhadap muridnya yang berbeda agama (kristen), yaitu dengan cara seorang guru memberikan hak terhadap dia ketika belajar “Sejarah Kebudayaan Islam” misalnya. Apakah dia mau ikut, atau tidak itu tergantung siswa tersebut.
Seberapa pentingkah toleransi itu? Toleransi itu penting bahkan sangat penting dalam kehidupan ini. Contohnya dalam kehidupan sekolah, dalam kehidupan di sekolah maka perlu adanya toleransi. Baik antar kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, kepala sekolah dengan murid, guru dengan guru maupun murid dengan murid. Dengan adanya toleransi disekolah maka akan terbentuknya pembelajaran yang kondusif. Selan itu juga, denan toleransi maka akan memupuk rasa tali prsaudaran yan sangat erat hubungannya.



Adapun, cara menjaga kerukunan antar umat beragama, yaitu :
  • Menjunjung tinggi toleransi antar umat Beragama di Indonesia. Baik yang merupakan pemeluk Agama yang sama, maupun dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari–harinya, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik–konflik yang mengatasnamakan Agama di Indonesia dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali.
  • Selalu siap membantu sesama dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status orang tersebut. Jangan melakukan perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama. Justru dengan membantu mereka yang kesusahan, kita akan mempererat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air kita, sehingga secara tidak langsung akan memperkokoh persatuan Indonesia.
  • Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula untuk menomor satukan sopan santun dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi menghormati orang lain tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.
  • Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak-pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam.
Indonesia adalah negara multikultural yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan berpenduduk lebih dari 237 juta orang yang berasal dari 200 lebih suku bangsa. Kenyataan tersebut menempatkan Indonesia di urutan ke empat negara yang populasinya tertinggi. Motto “bhineka tunggal ika” atau Persatuan dalam Keragaman merupakan dua sisi koin untuk menggambarkan negeri ini. Dalam wacana politik, motto itu dimaknai secara tidak proposional dengan mengutamakan kesatuan dan mengabaikan keberagaman.
Secara harfiah, kombinasi multi (banyak, berbagai, plural) plus kultur (budaya) mudah di pahami, yakni hal-ihwal adanya berbagai budaya. Makna kultur sulit di sederhanakan sebab istilah ini merujuk ke berbagai hal menyangkut manusia sebagai makhluk berbudaya. Isme berarti paham, maka multikulturalisme bisa berarti paham, aliran pemikiran, teori, atau sekedar sudut pandang.
Dalam pendidikan multikultural siswa berasal dari latar belakang etnis, agama, dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Jadi, pengajar harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalama bemakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis, dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Pada sisi yang lain, pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah pada umumnya juga tidak menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Hal ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya. 
Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak eksklusive, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan pluralis. Berkaitan dengan hal ini, maka penting bagi institusi pendidikan dalam masyarakat yang multikultur untuk mengajarkan perdamaian dan resolusi konflik seperti yang ada dalam pendidikan multikultural.
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural. 
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan  multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Kebijakan harus ditegakkan, dimana sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda agama, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Kampus ini juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah struktural. Banyaknya konflik antarsuku maupun antarumat beragama di Indonesia selama ini membuktikan bahwa pendidikan nasional gagal mendidik warga negara untuk hidup baik dan harmonis dalam negara Indonesia yang multikultural.
Dalam konteks sebagai contoh, Surakarta dan sekitarnya merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah konflik. Tahun 1978, pecah demonstrasi besar-besaran yang dilakukan etnis Jawa terhadap etnis keturunan Arab di kota Surakarta. Tahun 1980 terjadi kerusuhan sosial etnis Jawa dan Cina juga terjadi di kota yang sama. Konflik ini bahkan menimbulkan banyak korban jiwa dan harta.
Menjelang Soeharto turun, kerusuhan nasional 13 dan 14 Mei juga melanda kota Surakarta. Korbannya lagi-lagi etnis Cina. Kerusuhan terjadi lagi pada saat Megawati Soekarno Putri dikalahkan oleh Abdurrahman Wahid dalam pemilihan presiden oleh MPR tahun 2000. Bangunan pemerintah dan sejumlah pasar dibakar. Massa pendukung Megawati juga melakukan serangkaian teror pada sejumlah rumah atau keluarga lawan-lawan politiknya, seperti rumah keluarga Amien Rais di Surakarta.
Selain konflik-konflik di atas, potensi konflik juga sering terjadi bahkan masih terus mengintai. Dilihat dari konfigurasi kehidupan beragama, Surakarta adalah kota dimana komposisi kekuatan antara agam Islam dan Kristen sama-sama kuat. Benturan antara keduanya nyaris muncul ketika isu-isu penghianatan atau isu-isu kristenisasi muncul. Potensi konflik antara kedua agama ini sangat besar, apalagi di Surakarta dikenal basis Islam garis keras‘. Pesantren Al-Mukmin Ngruki pimpinan KH Abu Bakar Ba’asyir, Majlis Tafsir Alquran pimpinan H. Ahmad Sukino, dan pengajian Gumuk Mangkubumen pimpinan KH. Mudzakir didukung oleh laskarlaskar bentukannya dianggap mencerminkan potensi konflik bila mereka dilukai perasaan atau rasa keagamaan dan kesektariannya. Peristiwa-peristiwa sweeping terhadap warga asing dan pembongkaran paksa tempat-tempat yang dianggap maksiat tahun 2000-an oleh kelompok gerakan ini adalah salah satu contohnya.
Kenyataan ini juga mencerminkan bahwa di Surakarta masih terdapat sel-sel keagamaan yang menampilkan sisi radikalisme sehingga sangat menarik untuk diteliti. Dari arah yang sama, basis-basis keagamaan seperti ini juga diikuti oleh agama Kristen. Kaum Nasrani juga mempunyai kelompok-kelompok yang militan walaupun tak terlihat jelas. Militansi kaum Nasrani dapat dilihat dari ekspansi pembangunan tempat-tempat ibadah gereja dan acara-acara keagamaan yang makin semarak. Gejala-gejala seperti ini, bagi kelompok Islam dapat dibaca sebagai fenomena yang mengancam eksistensi umat Islam.
Geertz, mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mengurangi konflik dan mendorong integrasi. Yaitu antara lain : pertama, cita rasa kebudayaan yang sama, yang meliputi tumbuhnya rasa nasionalisme yang tinggi, yang menekankan apa yang oleh semua orang telah dimiliki ketimbang menekankan perbedaan-perbedaan. Kedua, adanya fakta bahwa pola-pola keagamaan tidak muncul dalam bentuk-bentuk sosial yang bersifat langsung, murni dan sederhana, tetapi dalam bentuk-bentuk kesalehan tertentu, sehingga komitmen keagamaan dan komitmen-komitmen lainnnya dapat saling mengimbangi dan melengkapi. Ketiga, adanya toleransi umum yang didasari relatifisme kontekstual yang melihat nilai-nilai tertentu itu sesuai dengan suatu konteks sehingga ia meminimalisir misionarisasi (usaha mendakwahkan pada orang lain). Keempat, tumbuhnya mekanisme sosial yang siap menghadapi bentuk-bentuk integrasi sosial yang sinkretik dan plurslistik dimana orang yang memiliki pandangan dan nilai yang radikal berbeda dapat menerima dengan baik pandangan dan nilai orang lain guna menjaga ketertiban masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2003, pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk menciptakan lingkungan pembelajaran dan proses pendidikan, sehingga siswa dapat mengembangkan potensinya, termasuk pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, prilaku yang baik, dan keterampilan yang penting bagi dirinya, masyarakat, dan negara. Undang-undang juga menetapkan bahwa fungsi pendidikan diantaranya adalah mengembangkan kompetensi, karakter, dan peradaban. Sebagai warga negara yang multikultural, Indonesia seyogianya menerapkan pendidikan multikultural, yang berfungsi antara lain untuk mengubah cara berpikir dan menilai kultur orang lain, dan untuk mengenal identitas diri sendiri dan identitas orang lain.
Sebuah laporan penelitian oleh Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam dukungan kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa. Interaksi rekan dalam studi sosial, kelas Indonesia dan pancasila tidak perlu menunggu jika guru mengelola secara efektif. Oleh karena itu, disarankan agar mempromosikan interaksi sebaya harus di laksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas. 
Data dari studi Ariliaswati di peroleh dalam penelitian tindakan tiga siklus yang di lakukan dengan kelas empat dari 43 siswa di sebuah sekolah dasar di Pontianak, kota dimana bentrokkan antar etnis telah terjadi cukup sering.
 Studi ini membuktikan bahwa sekoah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil sebagai siswa SD, anak-anak yang belummampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tapi bisa mengeksprsikan kesepakaan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Selain itu, para siswa tampak percaya satu sama lain, sehingga kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil. 
Studi Apriliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipi positif. Penalaran ilmiah sangat di perlukan dalam mengembangan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.
            Pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat menduduki kursi karena mereka telah mengkuti pendidikan yang tinggi. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut.
            Bahkan tidak sedikit para politisi dan birokrat yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya. Contohnya insiden pada tahun 2010 anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh nageri. Politisi in telah memerikan contoh yang sangat miskin moral, bagaimana berperilaku yang benar. Kejadian ini menunjukkan bahwa pendidikan pendidikan politik belum cukup untuk mempromosikan kompetensi dan acana sipil.
            Ketka politisi dan birokrat gagal dalam mendiik masyarakat, sekolah dala hal ini harus berperan aktif membeikan contoh yang arif kepada masyarakat. Guru SD harus memberikan kesematan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis, dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
            Sekolah yang di kelola oleh tenaga pendidik dan siswa yang mempunyai latar belakang agama, etnis dan kelompok sosial yang berbeda harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multilateral.
            Cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi horizontal toleransi antar pengikut agama yang berbeda.
            Filsuf pendidikan Amerika Emerson (1837) mengatakan bahwa “seorang pria harus menjadi seorang pria sebelum ia bisa menjadi petani yang baik, pedagang atau insinyur.” Hal tersebut menunjjukkan bahwa Emerson menggaris bawahi pentingnya pendidikan liberal untuk mebuat pria sejati. Pria sejati memiliki pengetahuan untuk menghindari pemahaman yang parsial.
            dalam negara indonesia pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas dari karir mereka (politisi), insinyur, petani, atau pengusaha – siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai
            Dengan demikian pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun terhadap orang lain. Pada dasarnya, itu menimpa insan kamil yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsi setiap pekerjaan atau penunjukkan sebagai warga negara yang demokratis.           
Dalam pembahasan yang berjidul “Classroom discourse to foster religious harmony” intinya adalah bahwa siswa dimulai dari sejak dini di tanamkanlah sikap toleransi dari mulai hal yang terkecil, karena pentingnya toleransi dalam kehidupan ini.
Dapat disimpulkan bahwa kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Khususnya pada masalah konflik sosial dan ketidakharmonisan agama. Bukti adanya masalah konflik sosial yaitu sering terjadinya tawuran antar pelajar, dan bentrokan. Ini merupakan pentingnya pendidikan moral yang harus ditumbuhkan, bukan hanya dalam pendidikan intelek saja akan tetapi pendidikan moral juga sangat penting.
Jadi, yang paling penting adalah bahwa di negara kita mulai dari sekarang harus menjungngjung tinggi sikap toleransi antar sesama lain. Terutama di mulai dari hal yang kecil, seperti tidak membedakan warna kulit, etnis, ras dan budaya. Sehingga akan menghasilkan suatu pencapaian yang sangat bagus. Sehingga dalam pembahsan ”Classroom discourse to foster religious” bahwasannya pendidikannya dulu yang harus di benahi (metode pembelajarannya) sehingga tertanamnya rasa hormat, rasa saling tolong-menolong, saling berbagi, dan mengeluarkan pendapat dengan cara yang sopan.


Reference
















Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment