Thursday, February 27, 2014

Mari Bertoleransi dalam Dunia Pendidikan


Mari Bertoleransi dalam Dunia Pendidikan
by Eka Berniati

Pendidikan seyogianya menghasilkan manusia literat, yakni manusia yang memiliki literasi memadai sebagai warga negara yang demokratis. Media massa arus utama adalah mesin pemertahanan hegemoni. Masyarakat yang tidak literat tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media massa. Media adalah salah satu pilar demokrasi. Dengan kata lain, pendidikan literasi harus mendukung terciptanya demokratisasi bangsa. Proses pendidikan itu sendiri harus demokratis agar para (maha)siswa menjadi warga negara yang demokratis sehingga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Macedo menyodorkan rekomendasi, “As real intellectuals, teachers need to appropriate a language of critique so as to denounce the hypocricy, the social injustices, and the human misery” (2000: 12).

            Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk menciptakan lingkungan pembelajaran dan proses pendidikan, sehingga siswa dapat mengembangkan potensinya, termasuk pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, perilaku baik, dan keterampilan yang penting bagi dirinya, masyarakat, dan negara. Undang-undang juga menetapkan bahwa fungsi pendidikan diantaranya adalah mengembangkan kompetensi, karakter, dan peradaban. Perangkat hukum dan perundang-undangan telah dirumuskan dengan sempurna, tapi dalam pelaksanaannya sering menghadapi kendala.
            Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama dan pendidikan nasional. Pendidikan yang ada sekarang ini cenderung menggunakan metode kajian yang bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish, dan jauh dari realitas kehidupan. Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau inteligensi. Oleh karena itu, sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan yang benar-benar komprehensif dan integral.
Salah satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan lebih tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
  1. Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.
  2. Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris. Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
  3. Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
  4. Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian, pendidikan multikultural sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis di lingkungan mereka.
            Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural. 
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan  multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia. 
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural,  secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". 
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.  Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Bank,  salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan mengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement).
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain; pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia; Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya. Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural. Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok. 
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
            Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
            Seorang tokoh yang memiliki pandangan yang luas tentang kebangsaan adalah Gus Dur. Saat menjadi presiden, Gus Dur mencabut Inpres (Instruksi Presiden) nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang juga melarang perayaan Imlek. Sebagai gantinya dia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2001 pada tanggal 9 April 2001 yang menyatakan Imlek sebagai hari raya masyarakat Konghucu.
Pandangan Gus Dur tentang agama dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang punya reputasi internasional. Dalam sebuah tulisannya di Tempo, 21 Mei 1983, Gus Dur mengisahkan perjuangan Uskup Agung Helder Camara yang menerima Hadiah Niwano Yayasan Perdamaian Niwano di Jepang.
Gus Dur menyatakan bahwa perjuangan Uskup Helder yang adalah seorang Katolik juga dipengaruhi oleh Mahatma Gandhi, seorang Hindu dan Martin Luther King, Jr., seorang Protestan. Ia menyatakan, “… keteguhan mereka untuk berjuang secara militan tanpa kekerasan adalah sesuatu yang secara universal dapat dilakukan kalangan manapun… Bukankah dengan saling pengertian mendasar antaragama seperti itu, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan, dan kasih sayang?”
Tugas mencerdaskan bangsa berada di tangan para guru, ujung tombak pendidikan. Kurikulum bisa dikembangkan oleh guru, tidak melulu mengandalkan buku paket atau modul yang sudah jadi. Kurikulum dapat dikembangkan dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi kelas dan perubahan zaman. Di dalam kurikulum, pemerintah hanya menetapkan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang menjadi acuan. Pengembangan SK dan KD untuk pembelajaran di kelas sepenuhnya berada di tangan guru.
Zaman sekarang adalah zaman informasi, guru pun dituntut menguasai informasi dan mengikuti apa yang dewasa ini terjadi, mengajak murid-muridnya untuk peka dengan kondisi bangsa. Guru jangan sampai kalah dengan murid-muridnya yang sangat mahir mengikuti informasi lewat berbagai media dan teknologi. Persoalan-persoalan tentang toleransi di bangsa ini perlu diketengahkan sebagai wacana atau bahan diskusi agar suasana pembelajaran di dalam kelas lebih menggugah kesadaran siswa. ia bukan saja nalar, tapi gabungan dari nalar, kesadaran moral, serta jiwa yang suci. Ia diperkaya oleh pengetahuan dan pengalaman.”
            Dari penjelasan diatas mendukung sekali dengan artikel “Classroom discourse to foster religious harmony” bahwa yang menjadi titik fokus adalah peer interaction, education, dan religious harmony. Hal-hal tersebut tentu erat kaitannya dengan toleransi. Begitu crucialnya toleransi karena walaupun datang dari perbedaan, dia dapat mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak.  Masalah yang sering berulang-ulang terjadi adalah kecekcokan siswa, tentang heterogenitas. Ini membuktikan penyakit sosial dimana sensitivitas dan rasa hormat yang kurang terhadap strata sosial budaya yang berbeda. Harusnya bukan hanya pendidik yang berperan penting dalam mewujudkan toleransi, dari orang tua juga sangat berperan penting untuk mengajarkan sedini mungkin tentang perbedaan agama dan bertoleransi, disini pendidik dituntut untuk melakukan yang terbaik dan bertanggung jawab dalam membentuk generasi baru penerus bangsa sebagai warga yang demokratis dengan karakter baik sebagaimana ditetapkan dalam hukum pendidikan nasional.
            Indikasi classroom discourse mencakup : (a) menyimak, (b) berpendapat, (c) bertanya, (d) menyatakan setuju atau tidak setuju, (e) mencapai mufakat dengan penuh rasa hormat. Praktik ini akan di aplikasikan pada beberapa mata pelajaran. Ketika di SMP guru berfungsi untuk meyakinkan bahwa kegiatan “peer interaction” berjalan dengan benar, tetapi ada satu cerita dimana seseorang merasa berbeda saat belajar di tingkat yang lebih tinggi atau biasa kita sebut kuliah, ia merasa berbeda dengan siswa yang lainnya dan bercerita, bahwa sebelumnya di sekolahnya tidak pernah diajarkan bagaimana berinteraksi dengan yang lainnya yang mengakibatkan tidak bisa apa-apa dikelas, disini menunjukkan betapa pentingnya berinteraksi dengan orang lain, bertukar pendapat agar kita lebih mudah mendapatkan informasi dibandingkan hanya duduk diam. Sebuah laporan penelitian oleh Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam dukungan wacana kelas sipil yang positif di kalangan siswa. Interaksi rekan dalam studi sosial, kelas Indonesia dan Pancasila tidak mengganggu jika guru mengelola secara efektif.  Berisik tidak selalu negatif. Ini bisa menjadi bukti ri
            Data dari Apriliaswati diproleh dalam penelitian tindakan tiga siklus yang dilakukan dengan empat kelas dari 34 siswa disebuah sekolah dasar di Pontianak, kota yang sering terjadi kerusuhan antar agama dan kepercyaan. Studi ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latiham masyarakat sipil.
            Siswa sekolah dasar belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti argument mereka tapi dapat mengekspresikan kesepakatan dan ketidak sepakatan dengan cara yang sopan. Selain itu, para siswa saling percaya satu sama lain sehingga kompromi dan konsesus dapat di capai dengan cara sipil.
            Studi Apriliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan tidak harus mengembangkan penalaran ilmiah saja, tetapi juga wacana positif sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.
            Pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat menduduki kursi karena mereka telah mengkuti pendidikan yang tinggi. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut.
            Bahkan tidak sedikit para politisi dan birokrat yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya. Contohnya insiden pada tahun 2010 anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh nageri. Politisi in telah memerikan contoh yang sangat miskin moral, bagaimana berperilaku yang benar. Kejadian ini menunjukkan bahwa pendidikan pendidikan politik belum cukup untuk mempromosikan kompetensi dan acana sipil.
            Ketika politisi dan birokrat gagal dalam mendiik masyarakat, sekolah dala hal ini harus berperan aktif membeikan contoh yang arif kepada masyarakat. Guru SD harus memberikan kesematan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis, dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.


Referensi
       Chaedar Alwasilah, Pokoknya Rekayasa Literasi 2012
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment