Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Latifah Nurhasanah
CRITICAL REVIEW
1
Mengatasi Perbedaan Konflik Sosial dengan Interaksi Teman Sebaya
Ibarat senar gitar yang telah tersusun rapi dan dikaitkan dalam sebuah
pengaturan kunci, yang biasa disebut dengan kunci A, B, C, D, E, F, dan G
memiliki perbedaan disetiap bunyi senarnya, sehingga ketika dipetik secara
bersamaan dengan tekhnik yang benar, bisa menghasilkan paduan suara yang merdu
dalam setiap petikannnya. Tetapi jika
salah satu senarnya putus atau rusak, maka kemerduan petikan gitar tersebut tidak
akan terdengar indah dalam telinga.
Seperti itulah saya
menganalogikan Indonesia saat ini.
Indonesia ibarat sebuah badan gitar, sedangkan keragaman budaya, bahasa,
dan agama itulah yang menjadi senar-senar dari gitar tersebut, yang memiliki
berbagai macam kuci, yang jika semuanya menyatu maka akan menjadi sesuatu yang indah dan nyaman untuk dinikmati. Tidak dapat dipungkiri bahwa keragaman
bahasa, budaya dan agama adalah aset terbesar bangsa. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana caranya
kita agar bisa menjadi seorang individu yang dapat menyelaraskan dan
menyeimbangkan diri dengan semua aspek yang kita miliki dalam negeri ini? Sesuai dengan analogi diatas yang bisa
menghasilkan sebuah suara yang merdu dari paduan senar hanya dalam satu
petikan.
Perbedaan memang selalu ada dan terjadi dalam sebuah hubungan. Adakalanya jika kita bisa menyikapi perbedaan
tersebut dengan benar, maka kita akan bisa menyatu dalam perbedaan, seperti
halnya dalam semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka tunggal ika” yang
berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Namun banyak kalanya dimana sebuah perbedaan menjadi masalah utama di
negeri tercinta ini. Hal inilah yang
harus diwaspadai oleh kita semua. Jangan
sampai kita berbeda visi misi dalam hal memajukan bangsa.
Seperti halnya pembahasan dalam wacana 7.2. yang berjudul “Classroom
discourse to foster religious harmony” dalam buku “Pokoknya rekayasa literasi”
yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah (2012) yang menjelaskan bahwa banyak
sekali permasalahan sosial yang terjadi disekitar lingkungan pendidikan
kita. Seperti tawuran pelajar, cekcok
antar peserta didik, bentrokan, kurangnya rasa hormat terhadap perbedaan
budaya, bahasa dan agama, dll. Hal-hal
inilah yang menjadi tugas pendidik agar bisa melakukan yang terbaik guna
mempersiapkan generasi selanjutnya sebagai bangsa yang demokratis yang sesuai
dengan aturan-aturan yang ada dan sudah diatur dalam UU Sisdiknas.
Karena perbedaan pulalah timbul adannya permasalahan interaksi
antar siswa. Anak-anak usia sekolah saat
ini lebih pilih-pilih dalam berinterksi, biasanya mereka hanya akan
berinteraksi dengan rekannya saja,
karena kebanyakan dari mereka selalu memandang dari strata sosialnya,
dan juga siswa berasal dari latar belakang agama, sosial dan budaya yang
berbeda, sehingga pola pikir siswa masih dominan terbentuk dari latar belakang
mereka. Oleh karena itu dibutuhkan
hubungan yang harmonis sebagaimana yang diungkapkan oleh ( Rubin: 2009) dimana
menghormati teman sebaya, saling berbagi, saling tolong menolong dan menghargai
satu sama lain adalah sebuah konsep interaksi dalam teroi pembangunan sosial
dan dalam rangka menyatukan perbedaan untuk menciptakan sebuah kerukunan yang
harmonis.
Seperti yang dikatakan oleh A. Chaedar Alwasilah dalam sebuah
artikel, yakni “Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering
dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya
sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan
kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka.
Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan
peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu
pendidikan.” Hal ini dikatakan karena
memang setiap sekolah itu memiliki kebijakan, aturan serta tekhnik atau metode
pembelajaran untuk mengembangkan potensi siswa dan menanamkan nilai-nilai
kesopan pada anak didiknya.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengajarkan pendidikan dasar sejak
dini, sehingga pola pikir siswa dapat terbentuk dengan baik, oleh pendidikan
dasar yang mereka dapatkan dari pendidiknya.
Tugas utama dari seorang pendidiknya pada saat ini adalah mampu melatih
siswanya untuk mendengarkan aktif, menjaga kontak mata langsung tampil dan
berbicara secara bergantian, menyumbangkan ide-ide yang relevan, mengajukan
pendapat dan bertanya, inilah yang disebut dengan kompetensi wacana sipil.
Yang nantinya semua ini akan diaplikasikan pada setiap mata
pelajaran sehingga menghasilkan cetakan-cetakan orang yang berkualitas dengan
rasa demokratis yang tinggi. Ihwal
inilah yang harus dikembangkan dan dibudayakan dalam pendidikan di
Indonesia. Karena sampai saat ini
pendidikan kita belum berhasil untuk mengembangkan siswa dengan kompetensi
wacana sipil. Sehingga masih banyaknya
permasalahan yang terjadi dalam pendidikan kita.
Oleh karena itu memiliki kemampuan untuk selalu menjaga hubungan
baik itu sangat penting, sehingga tidak terjadinya peningkatan konflik sosial
dalm suatu masyarakat yang disebabkan oleh ketidakmamopuan seseorang dalam
menjaga hubungan dan mengesampingkan perbedaan antar etnis. Hal ini dapat dibentuk lagi-lagi dari mulai
menanamkan pendidikan dasar kepada anak-anak dari usia dini. Sebuah ketegasan kebijakan dari sekolahpun
sangat dibutuhkan demi terwujudnya kerukunan ini agar menjadi bentuk efektif
pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.
Permaslahan-permasalahn yang terjadi di latar belakangi oleh
perbedaan antar manusianya, diantaranya:
Ø Masyarakat kebanyakan telah berubah dalam beberapa dekade terakhir
ini. Angka perceraian yang terus
meningkat seperti yang dijelaskan oleh Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI,
yaitu dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-Indonesia, maka ada 285.184
perkara yang berakhir dengan percerain per tahun se-Indonesia. Ini adalah salah satu faktor permasalahan
sosial karena banyak anak sekolah yang dibesarkan dalam keluarga berorang tua
tunggal sehingga dapat membuat kondisi emosional dan menurunkan kinerja selama
berada di sekolah, berbeda dengan siswa yang memiliki orang tua lengkap.
Ø Perbedaan kelompok etnis yang terjadi di kalangan siswa membuat
peserta didik yang lebih lambat dari yang lainnya. Contohnya dalam permasalahan beragama, bahasa
dan kebudayaan.
Ø Perbedaan jenis kelaminpun ternyata masih menjadi permasalahan
sosial dalam pendidikan, yaitu perempuan memiliki peluang yang lebih rendah
dibandingkan dengan anak laki-laki untuk belajar dibagian tertentu dalam
masyarakat.
Ø Faktor ekonomi dapat menjadi konflik sosial utama dalam pendidikan
sampai saat ini, karena perbedaan kelas sosial sanagat dipandang tinggi oleh
para keluarga mampu, sehingga siswa yang terlampau kurang mampu bersekolah
disekolah yang tidak memiliki fasilitas yang kurang baik, dan hal ini secara
otomatis akan menempatkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan, bila
dibandingkan dengan siswa yang dari kalangan mampu.
Ø Adanya kelompok-kelompok atau geng tertentu di sekolahpun patut
dijadikan sorotan karena itu adalah salah satu masalah serius juga dalam
interaksi antar sebaya nantinya, sehingga menimbulkan banyak perbedaan dan
memunculkan banyak kubu-kubu yang saling bertentangan.
Ø Metode sebagian guru yang kurang baik dan menarik bagi siswa juga
dapat menurunkan nilai kreatifitas mereka dalam belajar disekolah. Contohnya seperti pada sebuah pelajaran, jika
seharusnya metode yang digunakan oleh seorang guru dalam suatu pelajaran yang
seharusnya memakai metode mendengar sedangkan pada pelaksanakan kegiatan
belajarnya memakai metode berbicara atau menulis, maka ini adalah suatu
permasalahan yang seharusnya bisa diatasi sendiri oleh seorang pendidik. Seorang pendidik itu harus memiliki metode
yang sesuai dan semenarik mungkin, sehingga siswanya mampu memahami dan
mengikuti pembelajaran dengan baik.
Ø Kebijakan sekolah dan lingkungan pendidikan juga menjadi pusat
permasalahan sosial saat ini, sehingga banyak tawuran dan demo terjadi
dimana-mana. Hal ini juga bisa
menimbulkan masalah yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita yaitu tawuran
antar pelajar.
Contoh:
kasus tawuran di kota Bogor, tiada hari tanpa tawuran dari pelajar
berseragam putih abu-abu ini. Masyarakat
jenuh. Dinas Pendidikan dan polisi,
sepertinya tidak berdaya. Seperti yang
terjadi Jumat (14/9) siang di Warung Jambu Bogor Utara Kota Bogor. Ratusan
pelajar dari dua sekolah berbeda, terlibat aksi saling serang. Mempersenjatai
diri dengan gir motor, rantai serta clurit dan batu, mereka saling serang ala
koboi. Petugas bersikap dengan menangkap
belasan pelajar. Aksi saling kejar ini terjadi disaat warga Kota Bogor hendak
menunaikan ibadah salat Jumat. Tawuran
kali ini melibatkan pelajar SMK PGRI 2 dan SMK Mekanik. Keduanya merupakan
musuh bebuyutan yang siswanya selalu memenuhi jalan Pajajaran dari VIP hingga
Warung Jambu.
Ada apa dengan pendidikan kita saat ini? Sehingga hal seperti tawuranpun menjadi
sangat familiar dan mungkin bisa dibilang menjadi kebiasan pelajaa zaman
sekarang. Yang seharusnya memang ditiadakan
dan butuh adanya hubungan interaksi yang baik antar siswanya.
Sebenarnya semua permasalahan ini tidak akan pernah terjadi jika
kita sadar dan peduli antara satu dengan yang lainnya. Seperti halnya A. Chaedar Alwasilah
menerangkan bahwa permasalahan yang terjadi ini karena sistem pendidikan. Tidak
ditanamkannya pendidikan dari sejak usia dini dan membiasakan untuk selalu
menjaga hubungan baik dalam interaksi antar teman sebaya. Sehingga A. Chaedar Alwasilah menerapkan
classroom discourse untuk mengatasi permasalahn tersebut. Yaitu dengan cara mengindikasi siswa untuk
bisa:
a.
Menyimak
(attentive listening)
b.
Berpendapat
c.
Bertanya
d.
Menyatakan
setuju atau tidak setuju
e.
Mencapai
mufakat dengan penuh rasa hormat
Poin-poin diataas itu adalah salah satu cara untuk membangun sebuah
interaksi yang dilakukan oleh anak didik dengan gurunya.
Classroom discourse sendiri merujuk pada bahasa yang guru dan siswa
gunakan untuk berkomunikasi satu sama lain di dalam kelas. Berbicara, atau
percakapan, adalah media di mana sebagian besar mengajar berlangsung, sehingga
studi classroom discourse adalah studi tentang proses pengajaran di kelas secara
bertatap muka. Jadi selain berarti
pendidikan dasar classroom discourse juga dapat diartikan lebih ke interaksi
antar teman sabaya. Bahkan didalam dunia
pendidikanpun, perbedaan ini tidak pernah lepas dari pandangan, sehingga banyak
menimbulkan berbagai macam konflik atau permaslahan sosial antara pendidik atau
anak didik. Walaupun kita menyadari
bahwa bahwa pendidikanlah yang sangat berperan penting dalam semua aspek yang
berkaitan dengan kemajuan suatu bangsa selain tekhnologi dan sistem
pemerintahannya. Lalu jika seperti itu
akan dibawa kemanakah kita? Sebenarnya
sebagai negeri multikultural, indonesia harus bisa mengubah perspektif
keberagaman sebagai cikal bakal konflik karena perbedaan melainkan menjadi
pemersatu antar bangsa.
Pendidikan dasar tidak hanya bermula dan berkaitan dengan Sekolah
Dasar (SD) melainkan dari segi pendidikan dasar lainnyapun ikut berperan
penting. Seperti pendidikan karakter
untuk membentuk keharmonisan antar siswa, pendidikan madrasah. Pada pendidikan Sekolah Dasar (SD) inilah adanya
penanaman karakter siswa diterapkan, bagaimana siswa dapat bertenggang rasa
antar umat beragama, siswa dapat menghormati perbedaan-perbedaan yang ada dalam
suatu komunitas, bagaimana siswa berhubungan dengan sebayanya, menghormati,
membantu, membagi, dan sopan terhadap satu sama lain. bahkan pendidikan yang ditanamkan oleh
keluarga dan orang tuapun sangat berperan untuk menumbuhkan karakter dan
kreatifitas sebagai anak. Contohnya
dibiasakan untuk mengucap salam, meminta maaf jika melakukan kesalahan, dan
saling menghormati antar manusia adalah pendidikan dasar guna mencapai akhlak
yang baik dari diri seorang anak.
Interaksi yang terjadi antara siswa dengan seorang guru di dalam
kelas memiliki tiga pola yang berbeda menurut Bracha Alpert dalam classroom
discourse ini, yaitu:
a.
diam
(guru berbicara hampir sepanjang waktu dan meminta hanya pertanyaan sesekali)
b.
dikontrol
(seperti dalam kutipan di atas) , dan
c.
aktif
(guru memfasilitasi sedangkan siswa berbicara terutama satu sama lain).
Ada dua pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan bagaimana classroom
discourse berhubungan dengan belajar siswa. Sejak tahun 1960 sejumlah besar
penelitian telah dilakukan di mana frekuensi guru dan perilaku verbal siswa dan
pola interaksi (seperti mengajukan pertanyaan tingkat tinggi, memberikan
informasi penataan, memuji jawaban siswa) telah berkorelasi dengan prestasi
siswa. Ini berkembang menjadi studi
eksperimental di mana guru berperan untuk berbicara dengan cara yang telah
ditentukan spesifik.
para peneliti berpendapat bahwa proses pembelajaran terkandung
dalam proses berpartisipasi dalam classroom discourse . Sebagai siswa yang terlibat
dalam setiap wacana, mereka akan mendapatkan cara berbicara dan berpikir yang
menjadi ciri area kurikulum tertentu . Misalnya, untuk belajar ilmu pengetahuan
adalah untuk menjadi peserta didik yang semakin
ahli dalam classroom discourse tentang prosedur , konsep , dan penggunaan bukti
dan argumen yang merupakan ilmu pengetahuan . Pendekatan ini didukung oleh
teori-teori psikolog Rusia Lev Vygotsky yang berpendapat bahwa proses mental
yang lebih tinggi diperoleh melalui internalisasi struktur wacana sosial .
Masih ada kebutuhan , namun, untuk ini analisis linguistik merupakan rincian
wacana kelas untuk menyertakan bukti independen tentang bagaimana pengetahuan
dan keyakinan siswa diubah oleh keterlibstsn mereka dalam sebuah wacana
tersebut.
Dalam kehidupan sosial yang beragam ini, anak-anak harus diajarkan
menghargai lingkungannya sejak dini. Terutama disini adalah rekan sebayanya. Peer
Interaction atau interaksi dengan rekan sebaya sangat penting untuk pengemabangan
bahasa, kognitif, dan sosial. Ada aspek
pembelajaran yang berjalan baik selama Peer Interaction, daripada mereka melakukan
interaksi dengan orang dewasa. Menurut
para ahli yaitu Jeab Piaget (1932) dan Harry
Stack Sullivan (1953) menekankan bahwa melalui interaksi teman sebayalah
anak-anak dan remaja belajr mengenai pola hubungan yang timbal-balik dan
setara, sehingga anak-anak bisa menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan
dengan cara mengatasi ketidaksetujuan, perbedaan pendapat, dan perdebatan antar
teman sebaya.
Mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan
pandangan antar teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan
dirinya kedalam aktifitas antara satu dengan yang lainnya yang sedang
berlangsung. Sullivan juga menambahkan
bahwa remaja belajar menjadi teman yang memiliki kemampuan dan sensitifitas
terhadap suatu hubungan yang lebih akrab dan menciptakan persahabatan yang
lebih dekat dengan teman yang dipilih.
Anak-anak memperoleh bahasa dan kosa kata selama interaksi dengan
orang lain. Mereka belajar bagaimana untuk bertanya, berpendapat, berdebat,
bernegosiasi, dan membujuk. Mereka harus belajar untuk mengatakan hal-hal tanpa
menyakiti perasaan. Mereka juga harus bisa menyelesaikan konflik, meminta maaf,
dan dukungan dengan dirinya sendiri.. Interaksi dengan rekan sebaya berfungsi
sebagai landasan untuk banyak aspek penting dari perkembangan emosional seperti
pengembangan konsep diri, harga diri dan identitas. Anak-anak belajar tentang diri mereka sendiri
selama interaksi satu sama lain dan menggunakan informasi-imformasi ini untuk
membentuk rasa diri mereka sendiri dan siapa mereka serta menumbuhkan cita rasa
kreatifitas yang tinggi. Sehingga sudah menjadi harga mati untuk Negara
Bhinneka Tunggal Ika ini, menanamkan kepada generasi penerus bangsanya. Sebagai
modal kehidupan yang harmonis. Sudah bukan zamannya lagi menginginkan kehidupan
yang harmonis namun di tegakkan melalui kekerasan, perang, dan konflik. Ini
saatnya, dimana kita mempunyai generasi yang mempunyai mental baja, namun
hatinya selembut sutera. Mereka-mereka yang seimbang, netral, dan menjadi agen
perdamaian untuk negeri ini. Menjaga hubungan sosialnya, saling bergotong
royong, dan tidak egois.
Jika pendidikan dasar ini dan interaksi antar teman sebaya
disamapaikan dengan baik, maka pada dewasa nanti kecil kemungkinan untuk para
peserta didik melakukan hal-hal yang dapat merugikan antar teman dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak seharusnya orang yang berpendidikan
lakukan. Sehingga perbedaan yang terjadi
tidak akan dihiraukan lagi oleh anak.
Perbedaan tersebut akan menyatu seperti slogan indonesia yaitu “Bhinneka
tunggal ika” berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Perndidikan perdamaian dan karakter mungkin adalah salah satu hal
yang manjur untuk diterapkan dan dilakukan di Indonesia ini. Sudah saatnya dimana kita memandang Indonesia
dengan baju barunya. Baju yang
berkualitas dan memiliki harga tinggi.
Yang bisa mencetak orang-orang yang berpendidikan, berliterasi dan memiliki
kreatifitas yang tinggi. Biarkan konflik
dan permasalahan yang terjadi saat ini menjadi sebuah pembelajaran dimasa
depan, dan jangan sampai malah tambah merajalela. Saat ini, Indonesia memiliki
wajah baru namun belum maksimal, yaitu orang-orang yang suka bergotong-royong,
saling membantu, saling memaafkan antar manusianya, terutama sesama teman
sebaya.
Pendidikannya pun sudah mulai terbenahi satu persatu, dengan
berlandaskan asas pancasila, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi tidak
liberal yaitu tidak terlalu bebas seperti halnya yang dikatakan oleh prof. A.
Chaedar Alwasilah. Sedangkan
permasalahan perbedaan yang terjadi tidak lagi ada dan semakin menjadi
penghalang keharmonisan hubungan antar teman lagi (semoga). Justru dari perbedaan
itulah yang nantinya akan dihasilkan banyak pengetahuan yang akan
didapatkan. Interaksi antar sesamapun
akan terjalin baik karena adanya pembekalan pendidikan dasar sejak usia dini
yang dilakukan oleh seorang peserta didik, sehingga proses belajar mengajar
disetiap tingkatannya bisa berjalan dengan harmonis.
Oleh karena itu, kita secara tidak langsung sudah disiapkan untuk menjadi
generasi penerus, dan seharusnya kita belajar dari sebuah analogi gitar yang
sudah di analogikan pada pembahasan sebelumnya, tinggal bagaimana kita dapat
berperan sebagai pemain gitar yang profesional yang bisa menghasilkan sebuah
suara merdu dari setiap petikan-petikannya.
Sehingga akan menjadi sebuah bangsa yang harmonis, berpendidikan luas,
aman, nyaman dan indah kehidupan bermasyarakat. Sehingga semua konflik sosial
atau permasalahan-permasalahan perbedaan yang terjadi bisa diselesaikan dengan adanya interaksi antar
teman sebaya.
John w.
Santrock. 2003. Adolescence (perkembangan remaja) 6th edition.
Jakarta: penerbit Erlangga.
A.Chaedar
Alwasilah. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung : PT Kiblat Buku Utama.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)