Thursday, February 27, 2014

Pendidikan Toleransi sebagai Penunjang Kehidupan Masa Depan



Critical Review:


Pendidikan Toleransi sebagai Penunjang Kehidupan Masa Depan
(Fitri Nurhelawati)
Pendidikan adalah proses membentuk karakter anak bangsa yang juga akan menunjang kehidupan mereka dalam menghadapi perkembangan zaman. Maka dari itu dalam proses pendidikan tidak boleh sembarangan, harus memasukan unsr-unsur pembangun jati diri siswa. Pendidikan sangatlah penting dalam membantu membentuk karakter dan jati diri seseorang. Baik pendidikan formal, informal, di sekolah, di rumah maupun di masyarakat, itu semua memberikan manusia ilmu untuk menghadapi perkembangan zaman. Di Indonesia pendidikan intelek jelas dibutuhkan, akan tetapi pendidikan moral pun sama pentingnya dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia terutama untuk generasi muda yaitu pelajar dan mahasiswa. Karena sebagai penerus bangsa haruslah memiliki pendidikan yang memadai, yang intelek dan toleran untuk membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi.

Dalam “wacana kelas untuk mendorong kerukunan beragama” dengan jelas menegaskan bahwa kurangnya sikap toleransi antar siswa menyebabkan konflik dan radikalisme yang akan menganggu kohesi sosial, baik dalam sosial maupun dikalangan umat beragama( A. Chaedar Alwasilah). Dimana ini karena kurangnya pendidikan sipil yang mendongkrak pendidikan ilmiah untuk mencetak generasi yang intelek. Benar apa yang dikatakan oleh (Pak Chaedar) bahwa untuk mengetahui kualitas suatu bangsa adalah dari kualitas dan praktek sistem pendidikannya. Siswa harus di didik sejak dini dengan pengetahuan dasar sebagai penunjang ilmu pendidikan yang lebih lanjut. Pendidikan dasar ini sangat menentukan bagaimana siswa dapat menangkap dan mengembangkan pengetahuan kita di masa depan. Ini akan berpengaruh pula pada pola pikir dan sikap siswa dimasa depan. Keterampilan dasar dari pendidikan dasar memanglah perlu agar siswa dapat mengembangkan kehidupan mereka di masyarakat.

Banyaknya konflik sosial yang terjadi di masyarakat saat ini di rasa karena kurangnya pendidikan dasar yang diberikan. Terlebih pendidikan dasar tentang sikap sosial/ toleransi sosial. Hal yang seperti ini harusnya diterapkan di setiap mata pelajaran. Guru yang mempunyai peran sebagai orang tua kedua di sekolah harus mampu untuk memprogram dan mensetting mindset anak sejak dini untuk dapat menghargai perbedaan yang ada.  Masalah-masalah sosial yang terjadi di Indonesia menjadi PR tersendiri untuk para pengajar dalam mengelola sistem pembelajaran dini yang tidak hanya menuntut siswa menjadi intelek, tetapi juga memiliki sifat sosial yang tinggi. Ketika keintelektualan dan sosialitas seseorang tidak seimbang maka yang terjadi hanyalah keegoisan saja. Para kaum muda merupakan generasi penerus yang akan menentukan jalannya bangsa ini untuk kedepannya namun disinilah yang menjadi kekhawatiran bangsa ini karena pendidikan intelek tidak sebanding dengan pendidikan moral padahal kedua objek ini seharusnya saling berbanding lurus. Menurut cara pandang semakin tinggi intelektual seharusnya semakin baik pula moralnya. Namun banyak pula kita temukan seseorang yang berprestasi akan tetapi tidak bermoral. Sistem pembelajaran di indonesia ini harus diberlakukan dengan seimbang agar para pendidik tidak hanya berprestasi tetapi juga mempunyai moral yang baik. Contohnya para koruptor yang memiliki intelek tinggi namun mereka tidak memikiran nasib orang yang telah menghabiskan uangnya hanya untuk membayar mereka. Ini menunjukan kurangnya pendidikan moral dan toleransi sosial.
            Di Indonesia memang terkenal dengan banyaknya tawuran dan bentrokan terlebih dilakukan antar umat agama, antar etnik, dan antar suku. Kenapa dapat terjadi demikian? Menurut Pak Chaedar, ini terjadi karena kurangnya penanaman sikap hormat dan kurangnya pengetahuan tentang pentingnya sikap toleransi antar umat beragama. Penanaman yang demikian harusnya dikembangkan sedari awal siswa mengecap bangku pendidikan. Guru harus mampu mengembangkan program-program yang inovatif yang tidak hanya menjadikan siswanya pintar saja, tetapi di dalamnya mengandung pendidikan agar siswa dapat saling menghormati, seperti siswa dibiarkan memberikan pendapat dan ide-idenya, mengajukan kesepakatan dan ketidaksepakatan. Namun yang perlu di ingat, didalamnya harus ada pendidikan saling menghargai perbedaan yang ada. Karena perbedaan pendapat pun dapat menyebabkan konflik antar siswa karena ketidaksiapannya dalam menerima perbedaan itu.
Dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa siswa itu cenderung cepat terpengaruh dan lebih memilih untuk berinteraksi dengan teman sebayanya, kesempatan ini harus dimanfaatkan untuk pengembangan bakat dan minat siswa agar tertarik untuk meraskan indahnya toleransi dari teman yang berbeda. Guru harus dapat memfasilitasi interaksi antar siswa untuk menciptakan wacana sipil seperti yang dijelaskan dalam wacana Pak Chaedar, sehingga siswa tidak keluar batas dan memberikan pengaruh yang baik terhadap temannya. Pengaruh teman sebaya dirasa perlu karena pada saat menginjak dewasa hubungan sosial antar personal akan terjadi dalam konteks yang lebih luas.            
Sikap saling menghargai dapat di pupuk dengan berbagai kegiataan yang di lakukan temannya di sekolah, contohnya seperti mendengarkan seseorang yang sedang berbicara di depan kelas dengan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidak sepakatan, bergiliran berbicara,  dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Hal tersebut berlaku disetiap mata pelajaran di sekolah. (Apriliaswati, 2011)
 Dan ini yang harus di pahami benar oleh siswa bahwa dimasa yang akan datang mereka akan berinteraksi dengan orang-orang dari banyak kalangan dan mereka harus dapat menjaga baik hubungan itu. Guru berperan aktif dalam pembentukan karakter siswa yang demikian. Wacana sipil penerapan sistem kerja kelompok terlihat jelas untuk menjadikan siswa dapat saling menghormati, dan mengubah sifat radikal mereka menjadi sikap kompromi dan percaya satu sama lain. Studi Apriliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah diperlukan untuk mengembangkan intelektual siswa, sedangkan kompetisi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara/siswa yang beradab. Untuk menciptakannya tidak hanya guru yang yang dituntut kreatif dalam menciptakan sitem pembelajaran. Tapi orang tua pun ikut andil dalam pembentukan sifat toleransi dalam antar individu dan pembentukan minat siswa untuk masuk ke dalam kelas wacana sipil tersebut.
            Untuk merealisasikan wacana sipil ini saya rasa perlu adanya rekayasa juga yang dilakukan oleh pemerintah, staf pendidikan dan pengajar agar pembelajaran dapat di serap dengan baik oleh siswa. Sifat rekayasa yang integritas inilah yang di rasa dapat membantu merealisasikan pembentukan watak seorang siswa. Menurut saya dalam rekayasa ini ada beberapa hal yang harus ditanamkan dalam proses rekayasa ini.
Untuk pertama kalinya psikologi pendidikan adalah hal yang pertama yang harus di ketahui guru dalam merekayasa sistem pengajaran kelas. Psikologi pendidikan membantu dalam penataan perspektif anak yang mengarah pada pengembangan kepribadian. Dengan psikologi ini otak manusia dapat ditelusuri pemikirannya dan dapat di klasifikasikan, antara lain dengan kemampuan kreativitas, kecerdasan moral dan lain-lain. Psikologi ini mendalami pemikiran seseorang. Dengan psikologi ini kita dapat memberikan metode yang efektif yang sesuai untuk kondisi si anak. Dengan psikologi ini guru akan lebih mudah untuk mengkoordinir, mengawasi, membimbing, dan memberi perhatian kepada siswa tersebut. Secara garis besar guru akan lebih mudah mendekati siswa. Setelah mengetahui apa yang harus dilakukan, maka guru dapat menanamkan sikap integritas sedari dini. Sikap integritas sendiri adalah menyesuaikan unsur-unsur yang berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Sikap integritas juga merupakan keadaan dimana kelompok-kelompok etnik yang beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas, namun masih dapat mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Dengan integritas kita juga dapat mengendalikan segala konflik dan penyimpangan sosial dan dapat menyatukan unsur-unsur tertentu. Integritas sendiri dapat kita bentuk tidak hanya oleh satu orang, tetapi oleh beberapa orang dan integrasi yang seperti ini disebut integrasi sosial yang di bentuk oleh unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan, bagi anak usia dini integritas sosial disini biasanya dengan teman sebaya dan lingkungan kehidupannya.
            Sikap integritas saya rasa perlu di tanamkan dalam proses wacana sipil di kelas karena sikap ini diperlukan agar siswa ketika bergaul dalam masyarakat kelak ataupun dengan teman sebayanya tidak bubar meskipun menghadapai berbagai tantangan, baik konflik berupa fisik, maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Siswa kelak akan menjadi pribadi yang kuat dan memiliki sifat positif dalam menghadapi persaingan di masa depan. Siswa sejak dini harus tahu tentang pentingnya batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma dan pranata-pranata sosial.
Peran guru akan lebih ekstra kerja keras untuk menanamkan sikap sadar diri pada siswanya, bahwa dia adalah makhluk sosial yang butuh orang lain dalam meneruskan kehidupannya pada siswa yang memang masih memiliki sikap egois. Terkadang kita dapat menjumpai siswa-siswa yang sejak SD sudah berteman secara berkelompok dengan teman sebayanya. Ini sedikit banyak akan mempengaruhi perkembangan sikapnya. Ketika teman sebayanya memiliki sikap yang buruk, maka siswa lain pun akan terpengaruh. Maka dari itu semua siswa harus diajarkan untuk tidak selalu berkelompok dalam bergaul apalagi tidak menghargai siswa lainnya diluar kelompoknya. Terkadang siswa menjadi sombong ketika bersama kelompoknya, namun akan menjadi drop ketika sendiri saja. Ini salah satu pengaruh buruk kurangnya penerapan sikap integritas sosial. Penanaman sikap integritas perlu di tanamkan sejak dini agar kelak siswa dapat toleran dan menghargai perbedaan yang ada.
Lalu untuk menanggapi berbagai kultur yang ada di Indonesia guru haruslah mengajarkan tentang pendidikan multikultural. Seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, sebab agama merupakan realitas sosial dalam konteks konstruksi pada pemeluknya. Agama juga merupakan salah satu elemen penting, signifikan, dan paling sensitif dalam masyarakat pluralis. Karena penting dan sakralnya pendidikan agama ini, maka kegagalan dalam merumuskan sistem pendidikan agama yang tepat akan berpengaruh dalam pembentukan sikap peserta didik terhadap orang yang berbeda agama dan budayanya. Hal ini akan sangat dirasakan ketika pendidikan agama Islam diberikan di daerah-daerah minoritas muslimyang menuntut pembelajaran pembelajaran agama ini menjadi benteng iman dan akidah peserta didik tanpa menafikan kehidupan sosialnya dalam kepluralitasan agama. Terlebih ketika KTSP seharusnya telah mampu mengkontekskan materi PAI dengan realitas kehidupan pesertan didik yang berbeda pada situasi dan kondisi yang berbeda pula. Agama juga dijadikan sebagai identitas sosial dan kultural. Pasal 29: Negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Disini dapat kita lihat bahwa pendidikan agama juga penting di terapkan dalam proses pendidikan sipil karena ini akan menepis perbedaan agama yang ada diantara umat beragama. Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam. Peristiwa tersebut, bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa, tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik masjid maupun gereja).
Bila kita amati, agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi ummat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh ummat di bumi ini. Namun, realitanya terkadang beberapa kelompok agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasanan dan kehancuran ummat manusia.  Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Misalnya, dengan mengintensifkan forum-forum dialog antar ummat beragama dan aliran kepercayaan (dialog antar iman), membangun pemahaman keagamaan yang lebih pluralis dan inklusif, dan memberikan pendidikan tentang pluralisme dan toleransi beragama melalui sekolah (lembaga pendidikan). Sebagai guru yang intelek tidak seharusnya juga untuk melegitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah daerah lawan konflik. Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural. 
            (Paulo Freire), pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.  Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
(James Bank), salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement).
Mengenai fokus pendidikan multikultural, (Tilaar) mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
            Pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh karena itu,  proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan di maksudkan agar anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Jadi pendidikan multikultural penting diajarkan sejak dini agar siswa memahami dari dini.
            Selain pendidikan toleransi dari gurunya, biasanya teman sebaya memberikan pembelajaran juga dalam proses pembelajaran ini, dimana pada saat siswa satu sekolah dengan berbagai etnik, seperti jawa, sunda, manado, dan lain-lain. Ini mengajarkan siswa untuk berinteraksi dengan teman sebayanya dan sedikit banyak sikap toleransi itu akan muncul dengan sendirinya. Dengan pendidikan multikultural ini siswa belajar untuk hidup saling berdampingan dengan budaya lain. Berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka . Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan dimana mereka saling menghormati rekan, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu  sama lain . Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial
( Rubin , 2009).
Menurut (Nurcholish Madjid), toleransi merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan suatu ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer adalah ajaran yang benar itu sendiri. Sebagai sesuatu yang primer, toleransi harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu, untuk diri sendiri, pelaksanaan toleransi secara konsekuen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang “enak”.
Materi-materi yang bersumber pada pesan agama dan fakta yang terjadi di lingkungan sebagai diuraikan di atas merupakan kisi-kisi minimal dalam rangka memberikan pemahaman terhadap keragaman umat manusia dan untuk memunculkan sikap positif dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam proses pendidikan, materi itu disesuaikan dengan tingkatan dan jenjang pendidikan. Maksudnya, sumber bacaan dan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkat intelektual peserta didik di masing-masning tingkat pendidikan. Untuk tingkat pendidikan lanjutan, materi dipilih dengan menyajikan fakta-fakta historis dan pesan-pesan al-Qur’an yang lebih konkrit serta memberikan perbandingan dan perenungan atas realitas yang sedang terjadi di masyarakat saat ini.
            Yang terakhir adalah penanaman sejak dini sikap liberal, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun terhadap orang lain. Ini menjadikan siswa sebagai insan kamil yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsi setiap pekerjaan atau penunjukkan sebagai warga negara yang demokratis. Filsuf Amerika pendidikan, Emerson(1837) pernah berkata,” seorang pria harus menjadi seorang pria sebelum ia bisa jadi petani yang baik, pedagang, atau insyinyur. “Dia menunjukan pentingnya pendidikan liberal untuk membuat pria sejati atau lengkap. Pria sejati memiliki pengetahuan untuk menghindari pemahaman provinsi.
            Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas dari karir mereka sebagai politisi, insyinyur, petani atau pengusaha siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah. 
            Pada dasarnya dalam wacana kelas ini banyak aspek-aspek yang memang perlu untuk di aplikasikan dalam proses pembelajaran, namun kurang lengkap rasanya ketika dalam wacana ini kurang dimasukan hal-hal yang harus dilakukan, dan penanaman apa saja yang harus di ajarkan di dalam kelas tentu seperti yang kita ketahui, masih banyak proses-proses materi belajar untuk menanamkan sikap toleransi untuk menyatukan anak bangsa ini agar dapat bersatu membangun bangsa yang sudah hampir rapuh dengan segala bentuk penyelewengan dan bencana.
Menanggapi beberapa kejadikan di atas sepertinya sangatlah perlu untuk kita dan saya pribadi sebagai calon pengajar, ketika kita terjun dalam pembelajaran di sekolah, kita harus mamapu untuk mengolah dan menyeimbangkan antara pendidikan sosial dan pendidikan intelek. Perlu adanya penanaman sikap toleran sebagai wujud dari pendidikan sosial pun penting agar siswa tidak membeda-bedakan suatu kelompok. Memprogram dan membimbinng siswa dilakukan sedari dini karena saat inilah mereka akan mudah menyerap berbagai hal. Sehingga untuk pembentuka watak siswa akan lebih mudah. Sekolah haruslah memberdayakan untuk berfungsi secara maksimal untuk memberi kesempatan kepada siswa pengalaman yang bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari agama, etnis da kelompok-kelompok sosial lainnya tanpa adanya pembedaan kelompok-kelompok tertentu.
Sekolah dengan integritas yang baik harus menyediakan tempat ibadah bagi semua siswa dari berbagai agama agar siswa mengetahui bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural. Pembinanaan jati diri siswa di kelas harus di pupuk sedini mungkin agar pemahaman mereka tentang toleransi menjadi pekat. Di kelas inilah guru harus memaksimalkan kemampuannya agar siwa tidah sekedar pintar saja secara intelektual tetapi juga mampu mengaplikasikan keinteletualannya kedalam ranah toleransi dan interaksi sosial agar kelak mereka dapat membangun bangsa ini dengan rasa sosialnya bukan dengan keegoisan dan keangkuhannya.
Sementara itu, lewat pembelajaran Pancasila, siswa dapat mempelajari lagi nilai-nilai penting yang dulu pernah digariskan oleh Soekarno, bapak bangsa ini. Dalam pidatonya yang terkenal tentang Pancasila, pada 1 Juni 1945, Soekarno berkata, “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia… tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”
Penerapan wacana kelas ini dapat di masukan kedalam kurikulum yang bersifat universal yang dapat diterapakan oleh sekolah-sekolah. Karenanya, kurikulum yang inklusif dalam pelajaran Agama diharapkan mampu mengajak peserta didik melihat perbedaan agama sebagai sebuah cara mewujudkan kehidupan yang harmonis. Nilai-nilai toleransi dapat ditemukan dalam tiap agama. Tentu, dalam masing-masing kitab suci ada kisah atau ayat tentang hidup bersama dengan rukun dan damai. Hal inilah yang perlu digali dan dipelajari lebih mendalam. Demikian pula dengan Pancasila, yang di dalamnya terkandung warisan yang luhur dan mulia tentang kebangsaan dan demokrasi, sudah tiba waktunya bagi generasi muda untuk mempelajarinya (lagi).










Referensi
Ø  UUD: 29
Ø  Ngainun naim dan achmad, sauqi, pendidikan multikultural: konsep dan aplikasi, (jogjakarta Ar-Ruzz media, 2008), hal.154

Ø  Busnan Edyar, RUU sisdiknas dan pendidikan pluralis-multikultural, kompas, senin 31 maret 2003

Ø  Krishna, Anand. 2001. Atma Bodha Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan         Kebahagiaan Kekal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Ø  2002. Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Moderen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ø  http://penulisgembira.wordpress.com/2013/06/10/toleransi-pr-besar-dalam-kurikulum-2013/
Ø  http://masalahsosial-terjadipadarakyat.blogspot.com/2011/12/pendidikan-intelek-tidak-dibarengi.html
Ø  Freire, Paulo, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terj. Alois A. Nugroho, Jakarta: Gramedia, 1984.

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment