Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Suneti Alawiyah
CRITICAL ESSAY
MENILIK KEMBALI
MAKNA AYAT ‘BINEKA TUNGGAL IKA’ dalam IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INDONESIA
Critical Essay ini dibuat untuk menanggapi wacana ‘Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony,’ yang ditulis oleh Prof.
A. Chaedar Alwasilah. Ada beberapa poin
penting dalam wacana tersebut, yaitu: pertama, mengenai pola
pikir dominan siswa yang dilatarbelakangi oleh kontribusi etnis, budaya, agama
dan ranah sosial yang berbeda, yang mengacu pada dimensi multikultural. Kedua, mengenai bobroknya kualitas
karakter yang ditunjukkan oleh figur-figur anggota parlemen dalam ranah
politik. Ketiga, mengenai
bentuk-bentuk radikalisme yang mempengaruhi kohesi sosial antara kelompok satu
dan lainnya. Keempat,
mengenai peran guru dalam bidang pendidikan dalam menghormati perbedaan
beragama. Kelima, mengenai
pentingnya konsep pendidikan peer interaction dalam pembangunan kualitas
pendidikan. Keenam,
mengenai keterkaitan pendidikan liberal terhadap pola pikir perkembangan
siswa. Terakhir, mengenai
solusi yang ditawarkan untuk memperbaiki keharmonisan antar umat beragama.
Multikulturalisme merupakan salah satu realita yang dialami masyarakat dan
kebudayaan pada masa lalu, kini dan pada masa yang akan datang. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau
dan memiliki jumlah penduduk melebihi 237 juta jiwa yang berasal dari 200 lebih
suku bangsa. Hal tersebut merupakan
bukti nyata bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki masyarakat
multikultural. Multikultural berasal
dari kata multi yang berarti banyak, dan culture yang artinya
kebudayaan. Secara sederhana,
multikultural berarti masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda, baik
dalam bahasa, agama maupun kebudayaan (4th Edition Oxford
Advanced Learner’s Dictionary).
Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, agama, dan
sosial budaya yang berbeda-beda.
Perbedaan etnis, budaya, bahasa dan agama yang merupakan kekayaan yang
tak ternilai dalam ruang lingkup khazanah nasional. Keragaman budaya yang ada di Indonesia,
memiliki dua sisi yang saling bertubrukan.
Di satu sisi, keragaman suku bangsa masyarakat Indonesia seringkali
mendapat pujian-sebut saja Gus Dur mendapat tiga penghargaan
internasional karena Gus Dur menjadi salah satu tokoh yang peduli terhadap
pluralisme dan multikulturalisme (http//:www.itoday.co.id). Saat ini, Indonesia menjadi laboratorium
kerukunan beragama, hal ini terungkap dari pernyataan menteri luar negeri
Italia, Franco Frattini dalam pidatonya pada pembukaan seminar internasional
dengan tema ‘Unity in Diversity: The Indonesian Model for a Society in which
to Live Together,’ yang digelar pada tanggal 4 Maret 2009 di Roma. Akan tetapi di sisi yang lain, banyak yang
belum menyadari bahwa keragaman tersebut juga menyimpan potensi konflik yang
dapat mempengaruhi tatanan sosial bermasyarakat, contohnya pada tahun 1950-an
orang yang aktif dalam kebudayaan dan kesenian dituding sebagai orang yang
tidak pro pada pemerintah. Menanggapi hal tersebut, para seniman menggelar
konferensi bersama untuk membuktkikan bahwa para seniman berkontribusi dalam
pembangunan usaha-usaha kreatif yang senantiasa mengembangkan budaya dalam dan
kearah persatuan bangsa. Hal ini
terlihat dari sepenggal isi wacananya yang berbunyi“Kebudayaan adalah
perjuangan manusia sebagai totalitas dalam menyempurnakan kondisi-kondisi
hidupnya. Kebudayaan nasional bukanlah
semata-mata ditandai oleh ‘watak nasional’ melainkan merupakan perjuangan
nasional dari suatu bangsa sebagai totalitas dalam menyempurnakan
kondisi-kondisi hidup nasionalnya.
Predikat kebudayaan adalah perjuangan dengan membawa
konsekuensi-konsekuensi yang mutlak dari sektor-sektornya,” (D.S. Moeljanto
dan taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya, hal. 161). Selain itu, krisis sosial yang melanda
Indonesia sejak tahun 1997 hingga saat ini bukan terjadi begitu saja, akan
tetapi melalui proses panjang yang melibatkan seluruh dimensi-dimensi yang ada
didalamnya, konotasinya adalah krisis multidimensi yang terjadi hingga saat ini
merupakan wujud nyata dari ‘kegagalan pembangunan pendidikan’
nasional. Akibatnya, masyarakat kurang peduli
akan pentingnya menghargai keberagaman kelompoknya-apalagi terhadap etnis yang lainnya. Banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia
membuktikan bahwa pendidikan nasional gagal mendidik warga negara untuk hidup
baik dan harmonis dalam negara Indonesia yang multikultural (A. Chaedar, 2012). Dari pembahasan diatas dapat kita tilik
permasalahan yang menjadi dasar munculnya konflik atau krisis sosial, yaitu:
1)
Perbedaan
latar belakang kebudayaaan
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
2)
Perbedaan
individu yang menyangkut perbedaan perasaan dan pendirian
Setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan
lainnya. Perbedaan pendirian dan
perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya.
3)
Perbedaan
kepentingan antara individu dan kelompok
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang
dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Contohnya, perbedaan kepentingan terlihat
dalam kasus perburuan liar Komodo di NTT, yang semakin hari semakin berkurang
populasinya (http//:indriari.wordpress.com).
Para tokoh pemerintah menganggap Komodo adalah warisan kekayaan budaya
dari jaman pra-sejarah yang masih ‘eksis’ hingga saat ini, untuk itu
pelestarian Komodo harus dijaga sebagai identitas bangsa. Masyarakat yang hidup disekitar pulau Komodo, menganggap
Komodo sebagai satwa langka yang harus dilindungi dan menganggap binatang buas
itu sebagai bagian dari kebudayaannya.
Akan tetapi, bagi pemburu liar menganggap Komodo sebagai mesin pencetak
uang, karena mereka bisa menghasilkan uang dengan menjual kulit hewan buas
tersebut. Sedangkan bagi para pecinta
satwa liar, Komodo adalah hewan yang unik dan harus dilindungi dan dilestarikan
keberadaanya. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut
bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
4)
Perubahan-perubahan
nilai-nilai sosial yang begitu cepat
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti
menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis
pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang
disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai
tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian
waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi secara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehidupan.
Dalam empat
aspek permasalahan yang melatarbelakangi munculnya konflik sosial di atas,
muncul beberapa solusi yang diamini dari wacana yang ditulis oleh Prof. A. Chaedar
Alwasilah yang dapat diuraikan dalam beberapa poin dibawah ini:
Peran pendidikan sebagai poros utama ‘perubahan’
Pendidikan adalah hal yang utama dalam membenahi dan meminimalisir
terjadinya konflik sosial yang makin marak di Indonesia dewasa ini. Hampir setiap hari berita kriminal menghiasi
layar-layar televisi rumah kita-parahnya, pelaku-pelaku kriminalitas justru
dari kalangan yang mengenyam pendidikan.
Hal ini memperkuat adanya ‘masalah’ dalam sistem pendidikan dan penerapan
sistem tersebut. Sejatinya, pendidikan
bertujuan untuk mengupayakan subjek didik menjadi pribadi yang utuh dan
terintegrasi. Akan tetapi, praktek
pembelajaran yang terjadi di sebagian besar sekolah selama ini lebih cenderung
pada pembelajaran berpusat pada guru (teacher oriented). Guru menyampaikan materi pelajaran dengan
menggunakan metode ceramah, sementara siswa mencatatnya pada buku catatan
masing-masing. Guru dalam
pembelajarannya di kelas, terlihat mendominasi kegiatan belajar-mengajar. Hal ini seolah-olah siswa kurang diberikan
kesempatan untuk mengemukakan kembali dan merekonstruksi sendiri ide-ide yang
ada di benak mereka. Ausubel (suparno,
2001) menyatakan bahwa pembelajaran secara bermakna adalah pembelajaran yang
lebih mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghapalkan
konsep yang sudah jadi. Senada dengan
hal tersebut, melalui wacana ‘Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony,’ dengan gamblangnya Prof. A. Chaedar Alwasilah menawarkan konsep
pengajaran pendidikan melalui konsep peer interaction (interaksi
antar rekan).
Interaksi dalam sebuah pembelajaran adalah hal yang sangat penting dan
diperlukan, interaksi juga membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan keterampilan sosial mereka.
Melalui konsep interaksi antar teman (peer interaction) di kelas,
diharapkan siswa mampu mengajukan pertanyaan, menyimak, berpartisipasi dalam
diskusi dengan cara menyampaikan ide
atau gagasan yang relevan mengenai topik yang dibahas, menyatakan kesepakan
atau ketidaksepakatan mereka terhadap topik tertentu dan mencapai kompromi atau
mufakat dengan cara yang sopan. Oleh
karena itu, kegiatan interaksi antar teman sebaya harus dilaksanakan secara
rutin di kelas-kelas. Melalui konsep
ini, siswa diberi kesempatan untuk berlatih menyimak, berdiskusi secara sopan
dan hormat, belajar menghargai pendapat orang lain, sehingga akan tumbuh
karakter-karakter yang toleran terhadap keberagaman-khususnya agama. Penelitian
Aprilliaswati yang dikutip oleh Prof. A. Chaedar dalam bukunya, menyatakan
bahwa pendidikan tidak harus melulu mengenai wacana ilmiah, akan tetapi juga
menyangkut wacana sipil. Penalaran
ilmiah diperlukan untuk mengembangkan aspek intelektual seseorang, sedangkan
wacana sipil mengacu pada pembentukan warga negara yang beradab-berkarakter. Untuk itu, ada beberapa hal yang menyangkut pengembangan
interaksi teman sebaya terhadap Classroom Discourse, yaitu:
1)
Partisipasi
siswa
2)
Memaksimalkan
waktu
3)
Kolaborasi
4)
Sosialisasi
5)
Motivasi
Masalah-masalah sosial yang bermunculan, seperti tawuran antar pelajar,
bentrokan antar masyarakat, saling serang pendapat dan lainnya, semua itu
menunjukkan penyakit sosial, diantaranya karena kurangnya rasa hormat terhadap
orang lain maupun dalam kelompok yang berbeda dan kurangnya rasa kepekaan
terhadap keberagaman. Semua masalah
tersebut dapat kita minimalisir dengan pendidikan. Sekali lagi, pen-di-di-kan!
Peran guru ihwal wacana ‘revitalisasi’ karakter siswa
Setelah konsep kegiatan interaksi
teman sebaya berjalan dengan lancar dengan menerapkannya dalam semua mata
pelajaran, hal penting lainnya yaitu ihwal pembentukan karakter siswa. Guru adalah elemen terpenting dalam wacana
‘revitalisasi’ karakter siswanya.
Pendidikan karakter diperlukan dalam menumbuhkan sikap toleran dalam
ke-bineka-an yang menempati dimensi-dimensi sosial masyarakat, seperti
perbedaan etnik, budaya, bahasa dan agama.
Pendidikan sebagai upaya preventif dalam mengatasi masalah-masalah sosial
dan konflik sosial, akan tetapi juga dalam membentuk karakter kepribadian
siswa, agar tidak hanya pandai dalam akademis (Intelectual Quotient),
akan tetapi juga akhlak yang baik (Spiritual Quotient dan Emotional
Quotient). Di sini, seorang guru
berperan menjembatani anatara tujuan pendidikan dengan realisasinya dalam
praktek pengajaran di kelas. Seorang
guru, selain memiliki kompetensi pedagogis sebagai basic pengajar, guru
harus memiliki beberapa kompetensi utama dalam melakukan proses pembelajaran, yaitu:
a)
Kompetensi
kepribadian
Menjadi guru yang memiliki kepribadian yang santun, baik, serta
mengembangkan sifat terpuji sebagai seorang guru.
b)
Kompetensi
berinteraksi dan berkomunikasi
Guru berupaya membangun hubungan baik dengan siswa tanpa menghilangkan
sopan santun diantara guru dan murid, dengan cara membangun hubungan persuasif untuk meningkatkan motivasi dalam
belajar. Mampu memberikan konsep
belajar-mengajar yang tidak menekan dan memaksa terhadap siswanya, dan yang
paling penting adalah hindari tidak kekerasan-apapun bentuknya, baik fisik maupun psikis.
c)
Kompetensi
bimbingan dan penyuluhan
Guru harus selalu memberikan bimbingan kepada siswanya, karena siswa akan
selalu membutuhkan bimbingan dari orang lain dalam menjalani hidupnya. Untuk itu, peran guru di sekolah sangatlah
penting, guru adalah pengganti orang tua ketika siswa berada di lingkungan
sekolah. Pada tingkatan sekolah dasar,
SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas), guru kelas berfungsi mengawasi siswa-siswinya dengan
cara memberikan bimbingan moral agar selalu menjaga hubungan baik antar etnis,
budaya, dan agama sebagai bentuk implementasi ke-bineka-an dalam hal
pendidikan, dengan memberikan mereka pemahaman mengenai pentingnya bersikap
toleran terhadap dimensi multikultural.
Sedangkan pada tingkat Perguruan Tinggi (PT), dosen pembimbing akademik
yang dinilai efektif dalam memberikan bimbingan.
Seorang psikolog, Richard W. Paul (1990) yang dikutip oleh DR.
Zaleha Izhab dalam bukunya ‘Developing and Creative Critical Thinking
Skills’ menyebutkan bahwa ‘hanya ketika kita mengembangkan
anak-anak untuk berpikir kritis terhadap materi pelajaran, penggunaan bahasa,
informasi yang mereka terima, keadaan lingkungan dan prasangka yang dianggap
sebagai suatu kebenaran; hanya ketika kita mendidik anak-anak untuk menguji
struktur logika berpikir secara kritis, menguji kebenaran ilmu pengetahuan
dengan pengalaman dari berbagai aspek; hanya ketika kita memberikan ganjaran
kepada mereka yang memikirkan diri mereka, yang menunjukkan kemandirian
intelektual, keberanian, kesopanan, dan keimanan; hanya ketika kita memiliki
kesempatan yang sebenarnya bahwa anak-anak tersebut pada akhirnya akan menjadi
orang dewasa yang bermoral dan bertanggug jawab, dan melalui komitmen mereka
dapat tercipta masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral.’ Dalam kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan oleh guru, murid tidak boleh diperlakukan seperti spons (busa)
di dalam kelas-menyerap ilmu
tanpa diberi kesempatan bertanya, melakukan penilaian atau investigasi dan
dilakukan secara tidak hormat.
Menghormati adalah sebuah konsep moral yang ada pada diri
seseorang. Untuk bisa menghormat, para
murid harus belajar berpikir kritis dan mempraktekannya. Penerapan berpikir kritis dapat menjauhkan
seseorang dari keputusan yang keliru, tidak bermoral dan tergesa-gesa dalam
mengambil kesimpulan. Untuk itu,
perlunya siswa dididik oleh guru yang berkarakter. Guru yang berkarakter adalah guru yang
mempunyai prinsip hidup dan memberikan siswanya kebebasan berkreasi. Ketika karekter guru baik, secara tidak
langsung siswa-siswi akan mencontoh nya, karena pada hakikatnya seorang anak
akan mencontoh apa yang dia lihat dalam kesehariannya. Hal ini dapat menumbuhkan sikap dan karakter
yang baik pula terhadap anak didik. Dengan
kebebasan berkreasi, guru diharapkan mampu mengembangkan pembelajaran yang
melibatkan siswa secara aktif, kreatif, dan inovatif, sehingga potensi siswa
berkembang secara maksimal. Dengan
karakter positif yang ditunjukkan oleh guru, diharapkan pelanggaran disiplin
berkurang: siswa berperilaku wajar, percaya diri, tidak sombong, menghargai
perbedaan, dan tumbuh persaingan sehat antar siswa dalam memperebutkan
prestasi. Hal itulah pentingnya guru
berkarakter bagi pembentukan karakter generasi yang akan datang, karena salah
satu tujuan pendidikan dasar adalah memberikan keterampilan dan pemahaman dasar
untuk dikembangkan dalam kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat
dan sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik. Keterampilan dasar ini juga sebagai modal
awal penanaman pemahaman mengenai keharmonisan antar etnik, budaya dan agama
pada masa yang akan datang.
Peran warga negara dalam indikator berkualitasnya suatu bangsa
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, pasal
tiga berbunyi ‘pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab’ (http//:h4dyme.wordpress.com). Menjadi warga negara yang demokratis berarti
hendaknya memiliki rasa hormat terhadap sesama warga negara terutama dalam
konteks pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis,
budaya, suku, ras, keyakinan dan agama.
Selain itu, sebagai warga negara
yang demokrat, dituntut untuk bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan
antar keberagaman. Semua ini dapat
ditanggulangi melalui sistem pendidikan yang baik. Sistem pendidikan yang baik dimulai sedini
mungkin dari tingkatan-tingkatan sekolah yang berlaku di Indonesia dan guru
sebagai fasilitator penyalur sistem pendidikan tersebut. Warga negara sebagai masyarakat yang mendiami
suatu bangsa mempunyai tanggung jawab dalam mengangkat negara nya-salah satunya dalam bidang pendidikan.
Dalam bukunya, Prof. A. Chaedar Alwasilah mengungkapkan bahwa ‘kualitas
pendidikan merupakan salah satu indikator berkualitasnya suatu bangsa,’ dalam hal ini terdapat kesinambungan antara
warga negara dengan kualitas negara.
Dimana kualitas pendidikan tersebut berakar pada masyarakatnya yang
memiliki kemampuan dalam beberapa bidang keilmuan-literasi salah satunya. Warga negara
yang baik dan selalu bertumpu pada suatu wawasan kesejahteraan yakni
pengalaman, selain itu melalui
pendidikan masyarakat akan melestarika nilai-nilai luhur, sosial kebudayaan yang
diukir.
Kebudayaan merupakan hasil ‘perjalanan panjang’
Kebudayaan lahir dari proses perjalanan panjang umat manusia di dunia ini,
yang membentuk suatu sistem budaya dalam bentuk ajaran hidup yang bernuansa
kearifan lokal. Kebudayaan merupakan
suatu proses yang berjalan secara dinamis mengikuti perkembangan zaman. Kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang
hadir sebagai identitas suatu bangsa.
Kebudayaan berasal dari bahasa
sansekerta, yakni buddhayah yang diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia, budaya terbentuk dari banyak unsur,
yaitu sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa-juga pendidikan termasuk didalamnya.
Berdasarkan wujudnya, budaya memiliki beberapa elemen atau komponen
menurut ahli antropologi Cateora (http//:wikipedia.org/budaya.co.id), yaitu:
1)
Kebudayaan
material
2)
Kebudayaan
nonmaterial
3)
Lembaga sosial
4)
Bahasa
5)
Estetika
6)
Sistem
kepercayaan
Untuk
menghasilkan budaya yang baik, maka perlu adanya penanaman nilai-nilai
kebudayaan yang diajarkan pada tingkatan sekolah formal, nonformal, maupun
informal. Karena sejatinya, budaya
adalah ‘hasil’ dari ‘proses’ jangka panjang.
Sebagai contoh, untuk membangun budaya baca-tulis yang baik, maka perlu
adanya sistem pendidikan yang mengacu pada wacana tersebut, dan (lagi-lagi)
guru sebagai media terciptanya tujuan tersebut.
Kebudayaan nasional diartikan sebagai bentuk perjuangan untuk
memperjuangkan dan mempertahankan martabat bangsa Indonesia di mata masyarakat
bangsa-bangsa, (Prahara Budaya, 1995).
Sekali lagi, mari bangun budaya yang baik melalui pengajaran dan sistem
yang baik, dengan begitu akan tercipta masyarakat dengan high literacy,
karena orang yang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya (Prof. A.
Chaedar, Rekayasa Literasi 2012).
Dari keempat poin diatas, dapat kita
simpulkan bahwa hubungan antara pendidikan, warga negara yang demokratis, peran
guru sebagai media dalam mengimplementasikan pengajaran, dan kebudayaan sebagai
hasil dari proses tersebut, dapat dilihat pada skema di bawah ini:
Semboyan bineka tunggal ika,
sangat menggambarkan keberagaman suku, bangsa, ras, bahasa, dan agama yang ada
di Indonesia. Semboyan tersebut-pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha mengatasi
keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan.
Selain itu, melalui semboyan ini mencerminkan adanya sikap toleran
terhadap etnis yang berbeda. Sejatinya,
terkandung makna yang mendalam pada ‘ayat’ Bineka Tunggal Ika-bukan hanya sekedar semboyan bangsa.
Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah dimakan usia
(baca: memudar), khususnya bagi generasi muda dewasa ini. Sehingga, masyarakat cenderung bersikap egois
(mementingkan dirinya sendiri) tanpa peduli apa yang sedang terjadi kepada
teman sebelahnya, masyarakat acuh tak acuh terhadap masalah sosial yang secara
gamblang muncul di permukaan, masyarakat cenderung ‘masa bodoh’ terhadap
nilai-nilai luhur bermasyarakat. Ironis
memang. Dulu, Bhineka Tunggal Ika
menjadi semboyan pemersatu rakyat Indonesia.
Namun sekarang, nilai-nilai ke-bhineka-an semakin lama-semakin menghilang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, para pemangku kebijakan pun ikut
andil dalam pengikisan nilai-nilai ke-bhineka-an itu sendiri. Selaras dengan hal tersebut, pendidikan
nasional seharusnya memfasilitasi terbentuknya kembali nilai-nilai yang
seolah-olah hilang tersebut, dengan cara membuat sistem yang sesuai dalam
aplikasinya di lingkungan bermasyarakat.
Perlu di ingatkan kembali, Indonesia adalah negara dengan kekayaan
multikultural yang sudah diakui oleh masyarakat dunia. Untuk itu, perlunya membangun pemahaman yang
baik mengenai bagaimana bersikap toleran terhadap beragam etnis dan budaya yang
berbeda. Perlunya peran guru sebagai
fasilitator dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam UU
Sikdisnas.
Referensi:
Alwasilah, A. Chaedar, Pokoknya
Rekayasa Literasi, Bandung: PT. Kiblat Buku Utama,
2012.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail,
Prahara Budaya, Bandung: Mizan, 2000.
Hassoubah, Zaleha Izhab,
Developing Creative and Critical Thinking, Bandung: Penerbit
Nuansa, 2004.
4th
Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary
http//:www.kompasiana.com
http//:www.wikipedia.org
http//:indriari.wordpress.com


Subscribe to:
Post Comments (Atom)