Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Aam Amaliah
Critical Review:
Critical Review:
"Imagine
all the people living life in peace. You
may say I'm a dreamer, but I'm not the only one. I hope someday you'll join us, and the world
will live as one."
John Lennon
Implementasi Pendidikan dalam Ranah Multikultural
Negeri Indonesia, negeri yang penuh dengan keberagaman budaya, bahasa, dan agama, yang kesemuanya merupakan
aset bangsa. Kekayaan yang harus terus
dipelihara, dan dijaga kerukunannya.
Ibarat sebuah masakan, yang didalamnya tercampur bermacam-macam bumbu
namun dapat menghasilkan cita rasa yang lezat.
Bersatu padu dalam perbedaan tapi tak menghilangkan cita rasa
masing-masing. Sehingga sekalipun
kita berbeda agama, suku, dan budaya negeri ini seharusnya tetap
menjadi negeri yang damai karena semua itu merupakan berkah dan anugerah dari
Tuhan untuk bangsa ini. Hal tersebutlah
yang membuat wajah bangsa ini “tidak monoton” dan nampak lebih “indah”. Akan tetapi, yang menjadi pokok
permasalahannya adalah apakah bisa? Dapatkah kita warga negara Indonesia ini
bersatu padu menjadi pribadi yang seimbang? Seperti bumbu-bumbu dalam sebuah
masakan yang memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, yang akan tersaji
menjadi satu rasa yang lezat saat sang koki mampu mengatur porsinya
masing-masing. Mereka menyatu, berbaur
dalam satu wadah hingga jadilah satu masakan yang menggugah selera. Seperti
itu pula bangsa ini, keragaman suku, budaya, dan agama, layaknya bumbu-bumbu
dalam masakan, dan warga negara sebagai kokinya.
Keberagaman dalam negeri ini yang meliputi perbedaan budaya, etnis, merupakana
wajah negeri ini. Harusnya perbedaan
yang ada bisa menjadi satu kekuatan agar negeri ini dapat berubah menjadi negeri
yang maju. Namun, pada faktanya wajah
negeri ini sering terhiasi malapetaka dan munculnya sebuah konflik karena
perbedaan itu. Seperti dalam keberagaman
umat beragama; kepentingan individu, kelompok agama, dan kepentingan nasional
yang sering kali mengobarkan api-api yang harus terus diwaspadai demi keutuhan bangsa.
Contohnya kasus Poso Sulawesi Tengah pada 17 April 2000.
Dalam kerusuhan tersebut terjadilah saling serang antara desa Nasrani dan desa
Islam. Menurut data Polri, kerusuhan tersebut memakan korban 137 orang
meninggal, sedangkan menurut militer 237 orang meninggal, 27 luka-luka, puluhan
rumah rusak dan dibakar, 1 bus dibom, beberapa gereja dirusak, dibakar, dan
dibom. Tidak hanya dalam masalah
agama, di Indonesia pun sering terjadi konflik antar etnis. Contohnya kasus konflik pada
masa Kapolri Suroyo Bimantoro yaitu kerusuhan etnis di daerah Sampit dan
Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Rincian jumlah korban yang jatuh dalam
kerusuhan ini menurut Polda Kalteng adalah 388 orang (164 diantaranya tanpa
kepala) dari suku Madura dan dari suku Dayak hanya 16 orang meninggal serta 2
orang suku Banjar. Sedangkan kerugian material sebanyak 1.234 rumah dibakar dan
748 rumah dirusak. Sedangkan untuk kendaraan, 16 unit mobil, 48 unit motor, dan
114 becak dibakar. Ditambah lagi sebuah
pasar, 75 kios, 29 ruko, 14 gudang dirusak atau dibakar. Pada kerusuhan Sampit, tercatat sebanyak
65.134 orang Madura mengungsi dan di-evakuasi ke Surabaya menggunakan 5 kapal
laut.
Konflik–konflik tersebut membuktikan
bahwa pendidikan nasional gagal mendidik warga negara untuk hidup baik dan
harmonis dalam negara Indonesia yang multikultural. Konflik-konflik demikian menunjukkan
kentalnya etnosentrisme, perubahan
budaya, dan ketidakpahaman terhadap budaya lain. Semua itu perlu ditanamkan melalui pendidikan
nasional. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini?
Sistem pendidikan nasional harus
ditata ulang agar menumbuhkan kembali komitmen pemerintah dan bangsa terhadap
pentingya keragaman dan persatuan. Hal
yang mustahil jika menginginkan negara Indonesia bersatu tanpa mengenal dan
menghargai berbagai macam budaya yang ada di Indonesia (Chaedar : 2012). Setiap agama, setiap suku, budaya pasti
memiliki ciri khas masing-masing, kebiasaan dan pola pikir yang telah tertanam
secara turun temurun. Semuanya itu
adalah kearifan lokal bangsa ini.
Kearifan lokal ini tidak mungkin dihilangkan, dan tidak mungkin unuk
disatupadukan. Karena hal ini akan
menghilangkan identitasnya sebagai suatu budaya, dan akan menghilangkan
keberagaman yang ada di negeri ini. Setiap
suku bangsa di seluruh Indonesia memiliki perbedaan dalam keyakinan, nilai, dan
cara pandang, juga kepercayaan yang layak dikagumi serta dihormati. Hal yang paling bijak adalah dengan membuat
semua etnis, suku, dan budaya hidup dalam satu lingkup dengan saling
bertenggang rasa tanpa harus menghilangkan kearifan lokal yang mereka miliki.
Kesemuanya itu berangkat dari pendidikan
utamanya dari pendidikan dasar.
Karena itu Prof. Dr. Chaedar
Alwasilah mengungkapkan akan pentingya sikap saling menghormati dan
mengembangkan sikap mulai dari pendidikan dasar, dalam wacana-nya berjudul
“Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Dalam wacana tersebut Dr. Chaedar mengungkapkan beberapa hal penting
diantaranya;
Pertama, keterampilan dasar yang diperoleh siswa di pendidikan dasar
merupakan satu pegangan untuk siswa di pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan sekolah
dasar (SD) adalah awal dari pembangunan karakter siswa, mestinya diberikan
perhatian khusus dan lebih dipentingkan. Karena jika dasarnya saja rusak,
bagaimana dengan perkembangannya?
Kedua, dalam berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia
sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Konsep interaksi rekan sebaya adalah komponen
penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009). Dengan demikian interaksi siswa dengan teman
sebayanya harus dikawal, agar tetap terkontrol dan tidak terjerumus kedalam
hal-hal yang melanggar norma. Peran guru
dan orang tua sangat diperlukan dalam hal ini, dan yang paling utama adalah
guru. Karena kebanyakan dari siswa
enggan untuk berbagi kisah dengan orang tua, dan lebih memilih teman, guru
sebagai pendidik siswa di sekolah pastinya akan lebih tahu tentang rekan-rekan
mereka yang ada di sekolah. Dalam hal
ini Classroom discourse sangat diperlukan, agar mampu mengontrol perkembangan
pola pikir, serta sikap yang dimiliki setiap siswa.
Ketiga, dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar
belakang etnis, agama, dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan
dibentuk oleh latar belakang mereka.
Program sekolah harus sengaja mefasilitasi interaksi rekan untuk
membentuk warga sipil yang positif.
Keempat, indikator classroom
discorse akan berlaku di setiap mata pelajaran di sekolah, yakni;
1. Mendengarkan penuh
perhatian (Attentive Listening)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , menyimak
(Mendengar, dan memperhatikan) mempunyai makna dapat menangkap bunyi dengan
telinga. Sadar atau tidak, kalau ada bunyi maka alat pendengaran kita akan
menangkap atau mendengar bunyi-bunyi tersebut. Kita mendengar suara itu, tanpa
unsur kesengajaan. Proses mendengar terjadi tanpa perencanaan tetapi datang
secara kebetulan. Bunyi-bunyi yang hadir di telinga itu mungkin menarik perhatian,
mungkin juga tidak. Mendengarkan atau
menyimak merupakan proses menangkap pesan atau gagasan yang disajikan melalui
ujaran.
2. Berpendapat.
Anak-anak harus diberi kesempatan untuk mengungkapakan
apa yang ada dalam pikirannya. Sebagai upaya mempersiapkan anak-anak untuk bisa
berkomunikasi, sehingga mereka terlatih untuk bisa menerima dan mendengarkan
orang lain. Dengan demikian anak akan
memiliki pikiran yang terbuka, dan terdidik untuk mampu menghargai orang
lain. Dalam hal ini sekolah memiliki
peluang untuk mendorong anak berani mengemukakan pendapat. Namun, hal ini
sangat tergantung pada kurikulum dan cara mengajarnya.
3. Bertanya.
Kesempatan untuk bertanya akan menumbuhkan
keterampilan berpikir, dan memperbesar partisipasi, juga mendorong agar dapat
berinisiatif sendiri. Dengan memberikan
kesempatan pada anak untuk bertanya maka pada saat itu juga akan menumbuhkan
kepercayaan diri pada anak untuk berinteraksi dengan orang lain, sehingga akan
terhindar dari sikap “masa bodoh” atau tidak peduli terhadap lingkungannya.
4. Menyatakan setuju
atau tidak setuju
Dalam diskusi siswa harus biasa menyatakan pendapatnya
apakah setuju atau tidak dengan pendapat temannya, siswa akan mendapat pengarahan
bagaimana menyampaikan pendapat dengan baik, begitu pula menyanggah dengan
baik. Disini siswa diajarkan sikap bagaimana menghargai orang lain.
5. Mencapai mufakat
dengan penuh rasa hormat
Contohnya dalam sebuah diskusi,
dalam sebuah diskusi siswa akan dihadapkan dalam sebuah forum tanya jawab kecil
yang pada akhirnya mereka harus meraih sebuah titik yang dinamakan kesimpulan
berdasarkan pendapat-pendapat siswa yang dianggap paling baik, dan benar. Ketika
diskusi berakhir diharapkan siswa dapat memperoleh pengetahuan dari apa yang di
diskusikan, juga mampu menerima hasil diskusi.
Dari ilustrasi ini, sebuah diskusi atau musyawarah akan mengajarkan
siswa sikap toleransi dan lapang dada.
Betapa
pentingnya indikator di atas bagi siswa sekolah dasar, ini bertujuan untuk
membangun rasa solidaritas yang tinggi, menanamkan sikap menghargai pendapat
orang lain, lapang dada, dan juga membangun budaya yang baik dengan sesama. Hal ini bisa dikembangkan dalam pembelajaran
di kelas, utamanya jika diterapkan mulai dari SD.
Kelima,
mengenai simpulan hasil penelitian Apriliaswati (2011). Mengungkapkan bahwa interaksi teman sebaya
memberikan dukungan positif terhadap classroom discourse. Studi tersebut mengajarkan kepada kita bahwa
pendidikan harus mengembangkan classroom discourse, tidak hanya kemampuan
penalaran ilmiah.
Keenam,
pendidikan kita saat ini gagal untuk mendidik siswa untuk memperoleh pendidikan
melaui kompetensi classroom discourse.
Contohnya, para politisi yang saling bertukar kata-kata kasar dan tidak
sopan pada sidang yang disiarkan secara langsung diseantero negeri, pada tahun
2010. Ini merupakan contoh minimnya
perilaku positif.
Ketujuh,
ketika politisi gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan
diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal.
Guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong
pengalaman bermakna, yaitu; interaksi dengan siswa lain dari agama yang
berbeda, etnis, dan kelompok sosial.
Kedelapan,
idealnya kebijakan harus diterapkan pada sekolah yang dikelola oleh guru, dan
tenaga kerja yang berbeda agama, etnis, dan kelompok sosial. Kampus umum juga harus menyediakan tempat
ibadah bagi mahasiswa dari semua agama.
Dengan demikian mahasiswa akan belajar menghormati bagaimana orang lain
melakukan ritual keagamaannya, selain itu hal ini menjadi bentuk efektif
pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.
Kesembilan,
pendidikan liberal dalam konteks Indonesia harus mencakup pengetahuan etnis,
agama, dan minoritas bahasa dan budaya.
Pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun terhadap
orang lain. Yang pada dasranya merupakan
penempatan insan kamil, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk
mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang
demokratis.
Dari semua
yang diungkapakan Dr. Chaedar dalam wacananya diatas, mengindikasikan betapa
pentingnya peranan classroom discourse dalam membentuk karakter anak. Sehingga
classroom discorse, atau merujuk pada
bahasa yang guru dan siswa gunakan untuk berkomunikasi satu sama lain di dalam
kelas memerlukan perhatian yang luas. . Indonesia
sebagai negeri multikultural mempunyai keberagaman agama (salah satunya)
seperti yang telah dipaparkan diatas, memiliki tantangan tersendiri yang harus
dihadapi. Tentu keberagaman ini akan menjadi alat pemersatu atau sebaliknya
menjadi konflik, namun kembali lagi bagaimana kita mengemasnya. Keanekaragaman ini akan sangat berpengaruh
terhadap Classroom Discourse dalam pendidikan di Indonesia. Sistem
pendidikan di Indonesia harus juga diatur sesuai dengan pengaturan multicultural agar tidak ada kecemburuan sosial
di dalamnya. Program-program dalam pendidikan harus mawas diri dalam
memfasilitasi kegiatan-kegiatan pendidikan. Agar tidak memicu luapan emosi yang
akhirnya berujung pada konflik. Seperti dalam UUD 1945 bahwasannya pendidikan
di Indonesia disiapkan untuk mencerdaskan bangsa. Hampir semua negara maju
menyadari pentingnya sistem pendidikan yang baik, karena pendidikan merupakan
penentu kemajuan suatu bangsa, dan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
dilakukan sejak dini.
Pendidikan Sekolah Dasar (SD) seyogyanya memfasilitasi
siswa dengan kemampuan dasar untuk mengembangkan alur hidupnya sebagai
individu, anggota sebuah komunitas, dan sebagai warga negara. Di Sekolah Dasar inilah penanaman karakter
siswa diterapkan, bagaimana siswa dapat bertenggang rasa antar umat beragama,
siswa dapat menghormati perbedaan-perbedaan yang ada dalam suatu komunitas,
bagaimana siswa berhubungan dengan sebayanya, menghormati, membantu, membagi,
lapang dada, dan sopan terhadap satu sama lain. Pendidikan semestinya bukan
untuk mengisi pemikiran siswa dengan hafalan-hafalan, namun untuk membentuk
pemikiran siswa. Momen sekolah dasar ini tidak boleh terlewatkan oleh seorang
pendidik dalam mengajarkan interaksi yang baik bagi sesama, menjembatani siswa
bagaimana mereka membentuk dan mengimplementasikan interaksi antar teman sebayanya,
menggambar satu pola pikir yang bijak.
Sehingga mereka akan hidup dengan pemahaman yang benar akan keberagaman dan
bisa menghormati keberagaman dalam interaksi mereka dengan teman-temannya di
negeri yang multikultural ini.
Pendidikan
multikultural berbasis kearifan lokal, mungkin inilah program pendidikan yang
tepat untuk menggambarkan sistem pendidikan yang harusnya ada di negeri
Bhinneka Tunggal Ika ini. Pendidikan
multikultural berbasis kearifan lokal ini maksudnya menerapkan pendidikan multikultural
yang memberdayakan siswa menjadi individu yang banyak tahu, aktif, dan
memperhatikan berbagai isu yang menimpa masyarakat yang terpolarisasi secara
etnis (Chaedar : 2012) dengan memandang kearifan lokal yang tertanam dalam diri
masyarakat. Bukan bermaksud menyalahkan Pendidikan
Pancasila yang telah lebih dulu berkembang, Pendidikan Pancasila yang telah
berkembang memang tak salah. Namun, dalam
praktiknyalah pendidikan di negeri ini belum sempurna meraih titik terang
dalam membentuk sebuah perdamaian. Apa yang kurang adalah, pendidikan di
Indonesia belum menyediakan pendidikan yang mendorong pengalaman dalam
interaksi antar siswa dengan latar belakang agama, etnis, suku, dan golongan
yang berbeda, Pendidikan Pancasila hanya terbatas pada proses
hafalan saja, Pendidikan Pancasila tidak memiliki metodologi yang tepat,
Pendidikan Pancasila belum mampu menghadapi eksistensi ideologi asing.
Di
samping itu untuk mensosialisasikan, membudayakan Pancasila memang
tidaklah mudah di tengah masyarakat Indonesia yang tradisional dan
berubah. Dalam penerapan pendidikan
pancasila ini satu Hal yang masih menimbulkan masalah yaitu dalam penerapan
nilai-nilai pancasila. Terutama dalam
sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa ini berarti Segala hal
yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus dijwai
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, padahal di negeri ini ada juga ada
segelintir orang yang tergolong ateis, bahkan mereka telah membuka laman di
facebook. Hal ini telah keluar dari
koridor Pancasila itu sendiri, yang bisa jadi suatu saat nanti akan menimbulkan
suatu polemik.
Dibandingkan dengan pendidikan
multikultural yang tujuannya mencakup tiga aspek belajar
(kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik nilai-nilai intrinsik
(ends) maupun nilai instrumental (means) Pendidikan Multikultural. Tujuan
Pendidikan Multikultural mencakup:
1.
Pengembangan
Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu
alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam program
sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum. Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah
mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan,
peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan
ekonomi dari berbagai kelompok etnis mayoritas dan minoritas.
2.
Perkembangan
Pribadi
Dasar psikologis Pendidikan Multikultural menekankan
pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif,
dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Mengembangkan pemahaman yang lebih
baik tentang diri mereka sendiri dan pengalaman budaya dan kelompok etnis yang
lain dapat memperbaiki penyimpangan yang menganggap nilai yang ada pada
kelompok yang dominan itu lebih unggul.
3.
Klarifikasi
Nilai dan Sikap
Mengajari generasi muda untuk
menghargai dan menerima pluralisme etnis, menyadarkan bahwa perbedaan budaya
tidak sama dengan kekurangan atau rendah diri, dan untuk mengakui bahwa
keragaman merupakan bagian integral dari kondisi manusia.
4. Kompetensi Multikultural
Upaya interaksi lintas kultural
seringkali terhalang oleh nilai, harapan dan sikap negatif; kesalahan budaya
(cultural blunders); dan dengan mencoba menentukan aturan etiket sosial (rules
of social etiquette) dari satu sistem budaya terhadap system budaya yang lain.
5. Kemampuan Keterampilan Dasar
Tujuan utama
Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi pembelajaran untuk melatih
kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang berbeda secara etnis.
6.
Persamaan
dan Keunggulan Pendidikan
Pendidik
harus memahami secara keseluruhan bagaimana budaya membentuk gaya belajar,
perilaku mengajar, dan keputusan pendidikan. Dengan memberikan pilihan yang
lebih tentang bagaimana mereka akan belajar akan membantu memaksimalkan
prestasi belajar mereka. Tujuan multikultural untuk mencapai persamaan dan
keunggulan pendidikan mencakup kognitif, afektif dan ketrampilan perilaku, di
samping prinsip demokrasi (Banks, 1993).
7.
Memperkuat
Pribadi Untuk Reformasi Sosial
Tujuan
pendidikan multikultural adalah untuk memulai perubahan dari lingkungan sekolah
dan meluas pada lingkungan masyarakat.
8.
Memiliki
Wawasan Kebangsaan dan Kenegaraan yang Kokoh
Multikultural perlu menambahkan materi, program dan
pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan
menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.
9.
Memiliki
Wawasan Hidup yang Lintas Budaya dan Lintas Bangsa sebagai Warga Dunia
Hal ini berarti individu dituntut
memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen). Namun siswa harus tetap
dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang apa yang ada di
sekitar lokalnya.
10. Hidup Berdampingan Secara Damai
Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan,
dengan menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan menghargai persamaan akan
tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain dan pada gilirannya dapat hidup
berdampingan secara damai.
Ambil contoh
penelitian Zuriah (2011) yang mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural
berbasis kearifan lokal. Model
pembelajaran ini terbukti lebih efektif dalam peningkatan kompetensi siswa,
seperti toleransi dan kemampuan menghargai orang lain jika dibandingkan dengan
model pembelajaran konvensional. Dalam
eksperimennya tersebut, siswa diminta mengeksplorasi kearifan lokal dan
menerapkannya dalam masyarakat multikultural.
Dengan
penerapan model pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal ini akan
membantu siswa mengetahui ras, budaya, agama, dan kelompok untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru agar berperan lebih maksimal dalam
masyarakat. Dalam kehidupan yang majemuk
ini, anak harus dikenalkan sejak dini mengenai perbedaan yang berkembang
disekitarnya, terutama rekan sebayanya. Interaksi
dengan sesama sangat penting untuk
bahasa, kognitif, dan sosial.
dengan interaksi ini anaka akan memperoleh beberapa keuntungan
yakni, melaui berinteraksi dengan orang dewasa anak-anak
akan memperoleh bahasa dan kosa kata
selama interaksi dengan orang lain.
Mereka belajar bagaimana bernegosiasi, dan membujuk. Mereka harus belajar untuk mengatakan hal-hal, yang ada dalam pikiran dan perasaannya tanpa menyakiti perasaan orang lain. Mereka harus menyelesaikan konflik, meminta maaf, dan menunjukkan empati juga
simpati terhadap orang lain.
Interaksi dengan rekan sebaya
berfungsi sebagai landasan untuk banyak aspek penting dari perkembangan anak, seperti pengembangan konsep diri, harga diri dan identitas. Jadi, hal ini seharusnya
menjadi harga paten untuk bangsa ini terus menanamkan nilai-nilai
tersebut kepada generasi penerus bangsanya. Sebagai modal kehidupan yang damai,
nan harmonis. Ini saatnya, dimana kita
mempunyai generasi yang mempunyai mental kuat, namun hati lyang lembut. Penerus bangsa yang seimbang, netral, dan
menjadi agen perdamaian untuk negeri ini. Menjaga hubungan sosialnya, saling
bergotong royong, lapang dada, dan tidak egois melaui pendidikan multikultural
yang dimulai sejak dini.
Referensi :
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung : PT
Kiblat Buku Utama.
Fathoni,
Toto. Keterampilan_bertanya Pdf.
Bandung : UPI
http://www.drawingchildrenintopeace.com/peace-quotes.html
diakses pada tanggal 26 Februari 2014 pukul 07.15 WIB
http://garnet.blogdetik.com/2009/12/12/kerukunan-antar-umat-beragama-di-indonesia/ diakses pada tanggal 26 Februari 2014 pukul
09.12 WIB
http://education.stateuniversity.com/pages/1916/Discourse.html diakses pada tanggal 25 Februari pukul 07.41
WIB
http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/menumbuhkembangkan-good-character-3/
diakses pada tanggal 24 Februari pukul 22.32 WIB


Subscribe to:
Post Comments (Atom)