Thursday, February 27, 2014

Implementasi Pendidikan dalam Ranah Multikultural


Critical Review:

"Imagine all the people living life in peace.  You may say I'm a dreamer, but I'm not the only one.  I hope someday you'll join us, and the world will live as one."
John Lennon


Implementasi Pendidikan dalam Ranah Multikultural
Negeri Indonesia, negeri yang penuh dengan keberagaman budaya,  bahasa, dan agama, yang kesemuanya merupakan aset bangsa.  Kekayaan yang harus terus dipelihara, dan dijaga kerukunannya.  Ibarat sebuah masakan, yang didalamnya tercampur bermacam-macam bumbu namun dapat menghasilkan cita rasa yang lezat.  Bersatu padu dalam perbedaan tapi tak menghilangkan cita rasa masing-masing.  Sehingga sekalipun kita  berbeda agama, suku, dan budaya negeri ini seharusnya tetap menjadi negeri yang damai karena semua itu merupakan berkah dan anugerah dari Tuhan untuk bangsa ini.  Hal tersebutlah yang membuat wajah bangsa ini “tidak monoton” dan nampak lebih “indah”.  Akan tetapi, yang menjadi pokok permasalahannya adalah apakah bisa? Dapatkah kita warga negara Indonesia ini bersatu padu menjadi pribadi yang seimbang? Seperti bumbu-bumbu dalam sebuah masakan yang memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, yang akan tersaji menjadi satu rasa yang lezat saat sang koki mampu mengatur porsinya masing-masing.  Mereka menyatu, berbaur dalam satu wadah hingga jadilah satu masakan yang menggugah selera. Seperti itu pula bangsa ini, keragaman suku, budaya, dan agama, layaknya bumbu-bumbu dalam masakan, dan warga negara sebagai kokinya.

Keberagaman dalam negeri ini yang meliputi perbedaan budaya, etnis, merupakana wajah negeri ini.  Harusnya perbedaan yang ada bisa menjadi satu kekuatan agar negeri ini dapat berubah menjadi negeri yang maju.  Namun, pada faktanya wajah negeri ini sering terhiasi malapetaka dan munculnya sebuah konflik karena perbedaan itu.  Seperti dalam keberagaman umat beragama; kepentingan individu, kelompok agama, dan kepentingan nasional yang sering kali mengobarkan api-api yang harus terus diwaspadai demi keutuhan bangsa.   Contohnya kasus Poso Sulawesi Tengah pada 17 April 2000. Dalam kerusuhan tersebut terjadilah saling serang antara desa Nasrani dan desa Islam. Menurut data Polri, kerusuhan tersebut memakan korban 137 orang meninggal, sedangkan menurut militer 237 orang meninggal, 27 luka-luka, puluhan rumah rusak dan dibakar, 1 bus dibom, beberapa gereja dirusak, dibakar, dan dibom.  Tidak hanya dalam masalah agama, di Indonesia pun sering terjadi konflik antar etnis.  Contohnya kasus konflik pada masa Kapolri Suroyo Bimantoro yaitu kerusuhan etnis di daerah Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Rincian jumlah korban yang jatuh dalam kerusuhan ini menurut Polda Kalteng adalah 388 orang (164 diantaranya tanpa kepala) dari suku Madura dan dari suku Dayak hanya 16 orang meninggal serta 2 orang suku Banjar. Sedangkan kerugian material sebanyak 1.234 rumah dibakar dan 748 rumah dirusak. Sedangkan untuk kendaraan, 16 unit mobil, 48 unit motor, dan 114 becak dibakar.  Ditambah lagi sebuah pasar, 75 kios, 29 ruko, 14 gudang dirusak atau dibakar.  Pada kerusuhan Sampit, tercatat sebanyak 65.134 orang Madura mengungsi dan di-evakuasi ke Surabaya menggunakan 5 kapal laut. 
Konflik–konflik tersebut membuktikan bahwa pendidikan nasional gagal mendidik warga negara untuk hidup baik dan harmonis dalam negara Indonesia yang multikultural.  Konflik-konflik demikian menunjukkan kentalnya etnosentrisme, perubahan budaya, dan ketidakpahaman terhadap budaya lain.  Semua itu perlu ditanamkan melalui pendidikan nasional.  Lalu, apa yang  harus dilakukan oleh bangsa ini? 
Sistem  pendidikan nasional harus ditata ulang agar menumbuhkan kembali komitmen pemerintah dan bangsa terhadap pentingya keragaman dan persatuan.  Hal yang mustahil jika menginginkan negara Indonesia bersatu tanpa mengenal dan menghargai berbagai macam budaya yang ada di Indonesia (Chaedar : 2012).  Setiap agama, setiap suku, budaya pasti memiliki ciri khas masing-masing, kebiasaan dan pola pikir yang telah tertanam secara turun temurun.  Semuanya itu adalah kearifan lokal bangsa ini.  Kearifan lokal ini tidak mungkin dihilangkan, dan tidak mungkin unuk disatupadukan.  Karena hal ini akan menghilangkan identitasnya sebagai suatu budaya, dan akan menghilangkan keberagaman yang ada di negeri ini.  Setiap suku bangsa di seluruh Indonesia memiliki perbedaan dalam keyakinan, nilai, dan cara pandang, juga kepercayaan yang layak dikagumi serta dihormati.  Hal yang paling bijak adalah dengan membuat semua etnis, suku, dan budaya hidup dalam satu lingkup dengan saling bertenggang rasa tanpa harus menghilangkan kearifan lokal yang mereka miliki. Kesemuanya itu berangkat dari pendidikan utamanya dari pendidikan dasar.
Karena itu Prof. Dr.  Chaedar Alwasilah mengungkapkan akan pentingya sikap saling menghormati dan mengembangkan sikap mulai dari pendidikan dasar, dalam wacana-nya berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”.  Dalam wacana tersebut Dr.  Chaedar mengungkapkan beberapa hal penting diantaranya;  
Pertama, keterampilan dasar yang diperoleh siswa di pendidikan dasar merupakan satu pegangan untuk siswa di pendidikan yang lebih tinggi.  Hal ini menunjukan bahwa pendidikan sekolah dasar (SD) adalah awal dari pembangunan karakter siswa, mestinya diberikan perhatian khusus dan lebih dipentingkan. Karena jika dasarnya saja rusak, bagaimana dengan perkembangannya? 
Kedua, dalam berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka.  Konsep interaksi rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).  Dengan demikian interaksi siswa dengan teman sebayanya harus dikawal, agar tetap terkontrol dan tidak terjerumus kedalam hal-hal yang melanggar norma.  Peran guru dan orang tua sangat diperlukan dalam hal ini, dan yang paling utama adalah guru.  Karena kebanyakan dari siswa enggan untuk berbagi kisah dengan orang tua, dan lebih memilih teman, guru sebagai pendidik siswa di sekolah pastinya akan lebih tahu tentang rekan-rekan mereka yang ada di sekolah.  Dalam hal ini Classroom discourse sangat diperlukan, agar mampu mengontrol perkembangan pola pikir, serta sikap yang dimiliki setiap siswa. 
Ketiga, dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama, dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka.  Program sekolah harus sengaja mefasilitasi interaksi rekan untuk membentuk warga sipil yang  positif.
Keempat, indikator classroom discorse akan berlaku di setiap mata pelajaran di sekolah, yakni;
1.      Mendengarkan penuh perhatian (Attentive Listening)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , menyimak (Mendengar, dan memperhatikan) mempunyai makna dapat menangkap bunyi dengan telinga. Sadar atau tidak, kalau ada bunyi maka alat pendengaran kita akan menangkap atau mendengar bunyi-bunyi tersebut. Kita mendengar suara itu, tanpa unsur kesengajaan. Proses mendengar terjadi tanpa perencanaan tetapi datang secara kebetulan. Bunyi-bunyi yang hadir di telinga itu mungkin menarik perhatian, mungkin juga tidak.  Mendengarkan atau menyimak merupakan proses menangkap pesan atau gagasan yang disajikan melalui ujaran.
2.      Berpendapat.
Anak-anak harus diberi kesempatan untuk mengungkapakan apa yang ada dalam pikirannya.  Sebagai  upaya mempersiapkan anak-anak untuk bisa berkomunikasi, sehingga mereka terlatih untuk bisa menerima dan mendengarkan orang lain.  Dengan demikian anak akan memiliki pikiran yang terbuka, dan terdidik untuk mampu menghargai orang lain.  Dalam hal ini sekolah memiliki peluang untuk mendorong anak berani mengemukakan pendapat. Namun, hal ini sangat tergantung pada kurikulum dan cara mengajarnya.
3.      Bertanya.
Kesempatan untuk bertanya akan menumbuhkan keterampilan berpikir, dan memperbesar partisipasi, juga mendorong agar dapat berinisiatif sendiri.  Dengan memberikan kesempatan pada anak untuk bertanya maka pada saat itu juga akan menumbuhkan kepercayaan diri pada anak untuk berinteraksi dengan orang lain, sehingga akan terhindar dari sikap “masa bodoh” atau tidak peduli terhadap lingkungannya.
4.      Menyatakan setuju atau tidak setuju
Dalam diskusi siswa harus biasa menyatakan pendapatnya apakah setuju atau tidak dengan pendapat temannya, siswa akan mendapat pengarahan bagaimana menyampaikan pendapat dengan baik, begitu pula menyanggah dengan baik. Disini siswa diajarkan sikap bagaimana menghargai orang lain.
5.      Mencapai mufakat dengan penuh rasa hormat
Contohnya dalam sebuah diskusi, dalam sebuah diskusi siswa akan dihadapkan dalam sebuah forum tanya jawab kecil yang pada akhirnya mereka harus meraih sebuah titik yang dinamakan kesimpulan berdasarkan pendapat-pendapat siswa yang dianggap paling baik, dan benar. Ketika diskusi berakhir diharapkan siswa dapat memperoleh pengetahuan dari apa yang di diskusikan, juga mampu menerima hasil diskusi.  Dari ilustrasi ini, sebuah diskusi atau musyawarah akan mengajarkan siswa sikap toleransi dan lapang dada. 
Betapa pentingnya indikator di atas bagi siswa sekolah dasar, ini bertujuan untuk membangun rasa solidaritas yang tinggi, menanamkan sikap menghargai pendapat orang lain, lapang dada, dan juga membangun budaya yang baik dengan sesama.  Hal ini bisa dikembangkan dalam pembelajaran di kelas, utamanya jika diterapkan mulai dari SD.
Kelima, mengenai simpulan hasil penelitian Apriliaswati (2011).  Mengungkapkan bahwa interaksi teman sebaya memberikan dukungan positif terhadap classroom discourse.  Studi tersebut mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan classroom discourse, tidak hanya kemampuan penalaran ilmiah.
Keenam, pendidikan kita saat ini gagal untuk mendidik siswa untuk memperoleh pendidikan melaui kompetensi classroom discourse.  Contohnya, para politisi yang saling bertukar kata-kata kasar dan tidak sopan pada sidang yang disiarkan secara langsung diseantero negeri, pada tahun 2010.  Ini merupakan contoh minimnya perilaku positif.
Ketujuh, ketika politisi gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal.   Guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu; interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis, dan kelompok sosial. 
Kedelapan, idealnya kebijakan harus diterapkan pada sekolah yang dikelola oleh guru, dan tenaga kerja yang berbeda agama, etnis, dan kelompok sosial.  Kampus umum juga harus menyediakan tempat ibadah bagi mahasiswa dari semua agama.  Dengan demikian mahasiswa akan belajar menghormati bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaannya, selain itu hal ini menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural. 
Kesembilan, pendidikan liberal dalam konteks Indonesia harus mencakup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya.  Pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun terhadap orang lain.  Yang pada dasranya merupakan penempatan insan kamil, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
Dari semua yang diungkapakan Dr. Chaedar dalam wacananya diatas, mengindikasikan betapa pentingnya peranan classroom discourse dalam membentuk karakter anak.  Sehingga  classroom discorse, atau merujuk pada bahasa yang guru dan siswa gunakan untuk berkomunikasi satu sama lain di dalam kelas memerlukan perhatian yang luas. . Indonesia sebagai  negeri multikultural mempunyai keberagaman agama (salah satunya) seperti yang telah dipaparkan diatas, memiliki tantangan tersendiri yang harus dihadapi. Tentu keberagaman ini akan menjadi alat pemersatu atau sebaliknya menjadi konflik, namun kembali lagi bagaimana kita mengemasnya.  Keanekaragaman ini akan sangat berpengaruh terhadap Classroom Discourse dalam pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia harus juga diatur sesuai dengan pengaturan multicultural  agar tidak ada kecemburuan sosial di dalamnya. Program-program dalam pendidikan harus mawas diri dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan pendidikan. Agar tidak memicu luapan emosi yang akhirnya berujung pada konflik. Seperti dalam UUD 1945 bahwasannya pendidikan di Indonesia disiapkan untuk mencerdaskan bangsa. Hampir semua negara maju menyadari pentingnya sistem pendidikan yang baik, karena pendidikan merupakan penentu kemajuan suatu bangsa, dan pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dilakukan sejak dini.
Pendidikan Sekolah Dasar (SD) seyogyanya memfasilitasi siswa dengan kemampuan dasar untuk mengembangkan alur hidupnya sebagai individu, anggota sebuah komunitas, dan sebagai warga negara.  Di Sekolah Dasar inilah penanaman karakter siswa diterapkan, bagaimana siswa dapat bertenggang rasa antar umat beragama, siswa dapat menghormati perbedaan-perbedaan yang ada dalam suatu komunitas, bagaimana siswa berhubungan dengan sebayanya, menghormati, membantu, membagi, lapang dada, dan sopan terhadap satu sama lain. Pendidikan semestinya bukan untuk mengisi pemikiran siswa dengan hafalan-hafalan, namun untuk membentuk pemikiran siswa. Momen sekolah dasar ini tidak boleh terlewatkan oleh seorang pendidik dalam mengajarkan interaksi yang baik bagi sesama, menjembatani siswa bagaimana mereka membentuk dan mengimplementasikan interaksi antar teman sebayanya, menggambar satu pola pikir yang bijak. Sehingga mereka akan hidup dengan pemahaman yang benar akan keberagaman dan bisa menghormati keberagaman dalam interaksi mereka dengan teman-temannya di negeri yang multikultural ini.  
Pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal, mungkin inilah program pendidikan yang tepat untuk menggambarkan sistem pendidikan yang harusnya ada di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini.  Pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal ini maksudnya menerapkan pendidikan multikultural yang memberdayakan siswa menjadi individu yang banyak tahu, aktif, dan memperhatikan berbagai isu yang menimpa masyarakat yang terpolarisasi secara etnis (Chaedar : 2012) dengan memandang kearifan lokal yang tertanam dalam diri masyarakat.  Bukan bermaksud menyalahkan Pendidikan Pancasila yang telah lebih dulu berkembang, Pendidikan Pancasila yang telah berkembang memang tak salah.  Namun, dalam praktiknyalah pendidikan di negeri ini belum sempurna meraih titik terang dalam  membentuk sebuah perdamaian. Apa yang kurang adalah, pendidikan di Indonesia belum menyediakan pendidikan yang mendorong pengalaman dalam interaksi antar siswa dengan latar belakang agama, etnis, suku, dan golongan yang berbeda, Pendidikan Pancasila hanya terbatas pada proses hafalan saja, Pendidikan Pancasila tidak memiliki metodologi yang tepat, Pendidikan Pancasila belum mampu menghadapi eksistensi ideologi asing.   
Di samping itu untuk mensosialisasikan,  membudayakan Pancasila memang tidaklah mudah di tengah masyarakat Indonesia yang tradisional dan berubah.  Dalam penerapan pendidikan pancasila ini satu Hal yang masih menimbulkan masalah yaitu dalam penerapan nilai-nilai pancasila.  Terutama dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa ini berarti Segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus dijwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, padahal di negeri ini ada juga ada segelintir orang yang tergolong ateis, bahkan mereka telah membuka laman di facebook.  Hal ini telah keluar dari koridor Pancasila itu sendiri, yang bisa jadi suatu saat nanti akan menimbulkan suatu polemik. 
Dibandingkan dengan pendidikan multikultural yang tujuannya mencakup tiga aspek belajar (kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik nilai-nilai intrinsik (ends) maupun nilai instrumental (means) Pendidikan Multikultural. Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup:
1.      Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam program sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum.  Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok etnis mayoritas dan minoritas. 
2.      Perkembangan Pribadi
Dasar psikologis Pendidikan Multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang diri mereka sendiri dan pengalaman budaya dan kelompok etnis yang lain dapat memperbaiki penyimpangan yang menganggap nilai yang ada pada kelompok yang dominan itu lebih unggul.


3.      Klarifikasi Nilai dan Sikap
Mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme etnis, menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah diri, dan untuk mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi manusia.
4.      Kompetensi Multikultural
Upaya interaksi lintas kultural seringkali terhalang oleh nilai, harapan dan sikap negatif; kesalahan budaya (cultural blunders); dan dengan mencoba menentukan aturan etiket sosial (rules of social etiquette) dari satu sistem budaya terhadap system budaya yang lain.
5.      Kemampuan Keterampilan Dasar
Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi pembelajaran untuk melatih kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang berbeda secara etnis.
6.      Persamaan dan Keunggulan Pendidikan
Pendidik harus memahami secara keseluruhan bagaimana budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan pendidikan. Dengan memberikan pilihan yang lebih tentang bagaimana mereka akan belajar akan membantu memaksimalkan prestasi belajar mereka. Tujuan multikultural untuk mencapai persamaan dan keunggulan pendidikan mencakup kognitif, afektif dan ketrampilan perilaku, di samping prinsip demokrasi (Banks, 1993).
7.      Memperkuat Pribadi Untuk  Reformasi Sosial
Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk memulai perubahan dari lingkungan sekolah dan meluas pada lingkungan masyarakat.
8.      Memiliki Wawasan Kebangsaan dan Kenegaraan yang Kokoh
Multikultural perlu menambahkan materi, program dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.


9.      Memiliki Wawasan Hidup yang Lintas Budaya dan Lintas Bangsa sebagai Warga Dunia
Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen). Namun siswa harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya.
10.  Hidup Berdampingan Secara Damai
Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan menghargai persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain dan pada gilirannya dapat hidup berdampingan secara damai.

Ambil contoh penelitian Zuriah (2011) yang mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal.  Model pembelajaran ini terbukti lebih efektif dalam peningkatan kompetensi siswa, seperti toleransi dan kemampuan menghargai orang lain jika dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.  Dalam eksperimennya tersebut, siswa diminta mengeksplorasi kearifan lokal dan menerapkannya dalam masyarakat multikultural.
Dengan penerapan model pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal ini akan membantu siswa mengetahui ras, budaya, agama, dan kelompok untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru agar berperan lebih maksimal dalam masyarakat.  Dalam kehidupan yang majemuk ini, anak harus dikenalkan sejak dini mengenai perbedaan yang berkembang disekitarnya, terutama rekan sebayanya.  Interaksi dengan sesama sangat penting untuk bahasa, kognitif, dan sosial. dengan interaksi ini anaka akan memperoleh beberapa keuntungan yakni, melaui berinteraksi dengan orang dewasa anak-anak akan memperoleh bahasa dan kosa kata selama interaksi dengan orang lain. Mereka belajar bagaimana bernegosiasi, dan membujuk. Mereka harus belajar untuk mengatakan hal-hal, yang ada dalam pikiran dan perasaannya tanpa menyakiti perasaan orang lain. Mereka harus menyelesaikan konflik, meminta maaf, dan menunjukkan empati juga simpati terhadap orang lain.
Interaksi dengan rekan sebaya berfungsi sebagai landasan untuk banyak aspek penting dari perkembangan anak, seperti pengembangan konsep diri, harga diri dan identitas.  Jadi, hal ini seharusnya menjadi harga paten untuk bangsa ini terus menanamkan nilai-nilai tersebut kepada generasi penerus bangsanya. Sebagai modal kehidupan yang damai, nan harmonis.  Ini saatnya, dimana kita mempunyai generasi yang mempunyai mental kuat, namun hati lyang lembut.  Penerus bangsa yang seimbang, netral, dan menjadi agen perdamaian untuk negeri ini. Menjaga hubungan sosialnya, saling bergotong royong, lapang dada, dan tidak egois melaui pendidikan multikultural yang dimulai sejak dini.

Referensi :
Alwasilah, A. Chaedar.  2012.  Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung : PT Kiblat Buku Utama.
Fathoni, Toto. Keterampilan_bertanya Pdf. Bandung : UPI
http://www.drawingchildrenintopeace.com/peace-quotes.html  diakses pada tanggal 26 Februari 2014 pukul 07.15  WIB
http://garnet.blogdetik.com/2009/12/12/kerukunan-antar-umat-beragama-di-indonesia/ diakses pada tanggal 26 Februari 2014 pukul 09.12 WIB
http://education.stateuniversity.com/pages/1916/Discourse.html diakses pada tanggal 25 Februari pukul 07.41 WIB
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment