Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Liana Nurbakti
1st Critical Review
Pendidikan
Multikultural Guna Perdamaian Bangsa
Tujuan Puncak Pendidikan adalah Membekali peserta
didik dengan sikap,
pengetahuan,
dan keterampilan yang memberikan
kemungkinan sebesar-besarnya
bagi
mereka untuk meraih kehidupan yang bahagia di dunia
maupun
di akhirat
Education is what survives when what has been learnt
has been forgotten
~Skinner~
Education is what remains after one has forgotten what one
has learned in school
~Einstein~
A man paints with his brains and not with his hands
~Michelangelo~
Scientists are not
those who gave the right answers, but those who raised the right questions
~Levi-Strauss~
Indonesia
merupakan bangsa yang sangat kaya. Dengan kekayaannya itu, Indonesia disebut
dengan bangsa pluralis, yaitu bangsa yang tersusun dari keanekaragaman suku,
ras, budaya, bahasa, agama, adat istiadat dan lain-lain. Dengan kata lain, bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk.
Kemajemukan bangsa
Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertical.
Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari
perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, dan budayanya. Dalam perspektif
vertikal, kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan,
ekonomi, pekerjaan dan tingkat sosial budaya. Hal ini
merupakan anugerah terbesar dari ALLAH SWT yang diberikan kepada umat manusia.
Melalui perbedaan itu manusia akan selalu menemukan hal-hal yang baru. Tapi
dari kekayaannya itu pula, tak jarang masyarakat di Indonesia berhadapan dengan
konflik-konflik. Untuk mengatasi konflik-konflik tersebut diperlukan pembenahan
dalam dunia pendidikan, karena pendidikan
merupakan ujung tombak keberhasilan pembentukan akhlak manusia.
Dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003
pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kretatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam bukunya Prof. DR.
H. Wina Sanjaya, M.PD yang berjudul Strategi Pembelajaran mengemukakan bahwa
proses pembelajaran di sekolah, baik disadari maupun tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya,
siswa setiap kali menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari guru, yakni
perilaku mengejek atau perilaku yang menyinggung perasaan anak, maka
lama-kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut, dan perlahan-lahan
anak akan mengalihkan sikap negatif itu bukan hanya kepada guru tetapi terhadap
lingkungan diluar sekolah. Maka hal ini menjadi sebuah ancaman dan peluang bagi
sekolah khususnya guru sebagai “pengatur” proses berlangsungnya pembentukan
karakter anak.
Seyogianya sekolah mengoptimalkan
seluruh aspek dalam Sistem Pendidikan Nasional yang telah diatur oleh
pemerintah, dengan merujuk kepada tujuan pendidikan yang telah diamanatkan
Undang-undang. Karena akhir dari proses pendidikan adalah kemampuan anak
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini bahwa proses pendidikan berujung kepada
pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan atau intelektual, serta pengembangan
keterampilan anak sesuai dengan kebutuhan. Ketiga aspek inilah (sikap,
kecerdasan, dan keterampilan) arah dan tujuan pendidikan yang harus diupayakan.
Tapi
pada kenyataannya, masih sangat susah untuk membentuk karakter anak yang baik.
Masih saja terjadi berbagai konflik. Fenomena konflik telah terjadi di banyak tempat
pada sepuluh tahun terakhir. Ada kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta tahun
1998. Konflik horizontal di Maluku tahun 1999 – 2003 yang sebagian orang
menyebutnya sebagai perang Islam-Kristen. Konflik protes politik lokal di Aceh.
Kerusuhan di Tasikmalaya tahun 1996. Konflik dalam penyelenggaraan Pilkada di
beberapa daerah. Konflik kaki lima dengan aparat. Konflik antar suporter sepak
bola. Konflik antar pelajar dan mahasiswa (tawuran). Konflik antar suku di
Papua. Konflik sengketa tanah antara warga dengan pengusaha. Terakhir, April
2010, konflik tanah bernuansa agama antar warga dengan pengusaha di Tanjung
Priok Jakarta.
Banyaknya
konflik yang terjadi tersebut disebabkan karena banyaknya perbedaan yang ada di
Indonesia. Selain contoh-contoh diatas, ada lagi contoh kecil konflik yang
terjadi dikarenakan perbedaan tersebut adalah tawuran antar supporter sepak
bola. Jika kita mengingat kejadian ini, ini sangat miris sekali. Hal yang
seharusnya tidak terjadi, bahkan terjadi sampai memakan korban jiwa. Contoh
lain yang sangat erat kaitannya dengan pendidikan yaitu tawuran antar pelajar. Bahkan
ada juga masalah criminal anak dibawah umur. Hal itu sangat tidak pantas sekali
terjadi.
Konflik antar kelompok
masyarakat tidak semata-mata disebabkan oleh perbedaan kultur, tetapi
disebabkan oleh faktor lemahnya moralitas yang mendasari prilaku budaya atau
kultur. Karena itu, solusinya bukan pendidikan multikultural tetapi pendidikan
moral berbangsa, karena multikultur menunjuk pada entitas budaya, sedangkan
moral menunjuk pada subtansi prilaku berbudaya.
Sangat memprihatinkan ketika media
elektronik mengabarkan berbagai macam peristiwa kriminal yang kerap dilakukan
oleh anak dibawah umur. misalnya pencurian, perkelahian bahkan pembunuhan
dilakukan sebagai cara pengambilan keputusan terhadap masalah yang sepele.
Ketika anak dibawah umur melakukan tindakan yang merugikan orang lain, maka
hukuman penjara bukan menjadi penjerat yang tepat bagi anak-anak yang belum
memahami makna hukum yang sebenarnya. Maka sudah menjadi tugas bangsa ini untuk
segera bergegas mencari solusi konkrit dengan tujuan penanggulangan secara
permanen.
Perilaku
anak tidak terlepas dari proses pendidikan yang diperolehnya, karena pendidikan
merupakan ujung tombak keberhasilan pembentukan akhlak manusia. Menurut Ahmad
Baedowi dalam bukunya yang berjudul Calak Edu 1 menegaskan bahwa peran orangtua
dan guru dalam membentuk karakter anak hanya sebatas membantu menunjukan cara
yang benar dengan memberi sebanyak mungkin contoh. Ketiadaan contoh yang baik
dan benar menyebabkan anak tak memiliki pegangan kokoh dalam merancang dan
merencanakan masa depannya.
Sebagai
orang yang berpendidikan , seharusnya memberi contoh kepada orang lain. Karena
banyak orang diluar sana yang kurang beruntung dan tidak duduk di bangku sekolah.
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pembenahan dalam dunia pendidikan
karena pendidikan merupakan ujung tombak
keberhasilan pembentukan akhlak manusia. Salah satu upaya yang
diterapkan dalam system pendidikan yaitu dengan menerapkan pendidikan multicultural.
Kenapa
harus dengan pendidikan multicultural ? Hampir setiap studi pendidikan multikultural
selalu diawali dengan latar belakang adanya konflik. Konflik dituding bersumber
dari keragaman budaya. Karena itu, pendidikan multikultural ditawarkan sebagai
solusi mengatasi konflik. Tepaktkah pendidikan mutlilultural sebagai solusi
konflik ? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diidentifikasi faktor utama dan
esensial penyebab konflik, apakah jenis keragaman budayanya atau faktor lain di
luar keragaman budaya atau hal lain dibalik keragaman budaya.
Identifikasi ini penting
karena pendidikan multikultural diposisikan sebagai therapi (solusi), sedangkan
konflik sebagai gejala. Ketepatan memposisikan pendidikan multikultural sebagai
therapi ditentukan oleh derajat ketepatan diagnosa terhadap gejala konflik.
Karena itu, perlu dianalisis faktor-faktor konflik yang terjadi di banyak
tempat yang menjadi alasan pentingnya pendidikan multikultural.
Dari contoh-contoh kasus
konflik di atas ternyata ada faktor sentimen agama ( contoh Priok dan Maluku),
ada faktor hukum ( contoh konflik sengketa tanah), ada faktor ekonomi ( contoh
kerusuhan Tasikmalaya), ada faktor adat istiadat (konflik antar suku di Papua)
, ada faktor politik kepentingan ( contoh konflik Pilkada), dan ada faktor
primordial ( contoh konflik suporter sepak bola, tawuran pelajar dan
mahasiswa), dan lain-lain. Jika fakor-faktor itu dianalisis lebih dalam, maka
akan ditemukan faktor subtansialnya, yaitu:
(1) kurang mentoleransi
ragam prilaku keberagamaan
(2) ketidakadilan
penegakkan hukum,
(3) ketidakadilan sistem
dan praktek ekonomi,
(4), lemahnya apresiasi
prinsip-prinsip demokrasi,
(5) fanatisme kelompok,
dan
(6) lemahnya sikap
sportif dalam kompetisi.
Faktor yang paling
esensial dari enam faktor ini adalah
(a) lemahnya toleransi
beragama dan berbudaya,
(b) kurang tegaknya
keadilan hukum dan ekonomi, dan
(c) belum dimilikinya
etika kompetisi, baik kompetisi politik maupun kompetisi olah raga. Jika
diperas lagi, maka faktor esensialnya adalah lemahnya moralitas berbangsa dalam
segala bidang, bidang politik, hukum, ekonomi, budaya, olah raga, bahkan
prilaku beragama.
Tak pelak lagi, konflik disebabkan oleh lemahnya moralitas bangsa. Hal ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendidikan multikultural. Tetapi, harus diselesaikan melalui proses pendidikan secara sitemik dan komprehensif yang salah satu dimensinya menanamkan moralitas berbangsa, termasuk moralitas multikultural. Bukan diselesaikan oleh program pendidikan bernama pendidikan multikultural, karena nama ini menunjuk pada entitas sosial, tidak menunjuk pada subtansi. Nama yang lebih substansial adalah Pendidikan Moral Bangsa. Istilah ini bukan nama pelajaran, tetapi jiwa dan semangat yang dihidupkan pada semua mata pelajaran dan keseluruhan kehidupan lingkungan pendidikan.
Tak pelak lagi, konflik disebabkan oleh lemahnya moralitas bangsa. Hal ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendidikan multikultural. Tetapi, harus diselesaikan melalui proses pendidikan secara sitemik dan komprehensif yang salah satu dimensinya menanamkan moralitas berbangsa, termasuk moralitas multikultural. Bukan diselesaikan oleh program pendidikan bernama pendidikan multikultural, karena nama ini menunjuk pada entitas sosial, tidak menunjuk pada subtansi. Nama yang lebih substansial adalah Pendidikan Moral Bangsa. Istilah ini bukan nama pelajaran, tetapi jiwa dan semangat yang dihidupkan pada semua mata pelajaran dan keseluruhan kehidupan lingkungan pendidikan.
Pendidikan
multikultural harusnya dilakukan sedini mungkin. Karena pada fase anak-anak,
mereka akan mudah faham dan akan selalu menerapkan kebiasaannya hingga ia
dewasa. Contohnya saja, ketika anak dibiasakan sikat gigi sebelum tidur maka
kebiasaan itu akan selalu ia lakukan hingga dewasa. Begitupun dengan pendidikan
yang ia dapatkan. Jika ia sudah terbiasa dengan perbedaan-perbedaan, maka ia
tidak akan heran dan tidak akan masalah menyambut perbedaan tersebut. Anak
terkadang tidak memahami dan tidak mau tahu perbedaan itu. yang anak tau
hanyalah bermain dan dia senang. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
terjadi, maka harus adanya pengenalan kepada anak tentang perbedaan itu sejak
mereka usia dini di sekolah-sekolah. Sekolah harus memfasilitasi interaksi
berkelompok yang bertujuan untuk mengembangkan warga Negara yang sopan.
Dengan
diterapkannya pendidikan multicultural, manusia bisa saling menghormati,
menghargai dan saling bertoleransi antar budaya. Jelas sekali, pendidikan multikultural
diperkenalkan dengan tujuan untuk meredam konflik sekaligus mendatangkan
kebaikan dari keragaman budaya. Pendidikan mutltikultural diarahkan untuk
meredam konflik social dengan cara mengembangkan sikap menghargai perbedaan
budaya. Pendidikan multikultural diharapkan dapat menciptakan struktur dan
kultur yang setiap kelompok budaya bisa melakukan ekspresi budayanya secara
nyaman dan harmonis, tanpa implikasi konflik.
Pendidikan multicultural
ini merupakan pembiasaan yang dilakukan di sekolah agar siswa terbiasa dengan
perbedaan-perbedaan. Ini juga bisa dijadikan bekal untuk mereka supaya di masa
mendatang ketika mereka menemukan perbedaan-perbedaan, mereka sudah terbiasa
dan tidak aneh lagi menghadapi perbedaan tersebut. Dengan demikian, mereka bisa
meredam amarah dan tidak akan terjadi lagi konflik-konflik.
Keragaman budaya bangsa
Indonesia adalah sebuah kenyataan yang harus diterima, tanpa ruang
tawar-menawar. Karena kenyataan tak tertolak, maka harus diterima, dijaga,
dipelihara, dan dikelola agar mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Lingkungan
pendidikan harus dirancang untuk menciptakan suatu kehidupan yang menerima
perbedaan, bisa hidup bersama secara harmonis, saling menghormati dan
menghargai perbedaan. Ini adalah tujuan ideal pendidikan multicultural.
Tidak mudah untuk menerapkan pendidikan
multicultural secara spontan. Maka dari itu, pendidik harus bisa membuat
suasana kelas senyaman mungkin. Untuk mulai menerapkan pendidikan
multicultural, pendidik harus memahami dan memberikan pengertian kepada peserta
didik bahwa manusia
sebagai makhluk social yang mana didalam kehidupannya akan mengalami interaksi.
Interaksi tersebut akan menimbulkan hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi terjadinya gesekan sosial. Dengan demikian harus mampu melakukan
peyesuaian diri dimanapun mereka berada, agar mendapatkan kebahagiaan.
Untuk
mewujudkan pendidikan multicultural, pendidik jangan hanya menggunakan metode
ceramah dalam pembelajarannya. Metode baru yang harus di praktekan adalah
Classroom Discourse (CD). Dengan metode ini, pendidik harus memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk berbicara, memberikan pendapatnya dan
berdiskusi dengan teman-temannya. Pendidik pun harus membagi kelompok peserta
didik secara adil, jangan sampai peserta didik memilih anggota kelompoknya
sendiri. Jika sampai itu terjadi, peserta didik akan memilih kelompok yang satu
golongan dengan dia. Dia tidak akan bisa berkomunikasi dengan peserta didik
yang lain yang berbeda budaya atau golongan. Oleh karena itu, pendidik harus
membagi kelompok sendiri secara adil, yaitu mengkombinasi kelompok dari
beberapa golongan dan beberapa budaya. Contohnya, peserta didik yang berasal
dari sunda disatu kelompokkan dengan peserta didik yang berasal dari dari jawa.
Dengan begitu, mereka akan saling berinteraksi antar budaya. Selain itu, sikap
moral yang baik pun akan tumbuh seiring dengan interaksi yang peserta didik
lakukan.
Dalam
bukunya A. Chaedar Alwasilah menegaskan bahwa diadakannya metode Classroom
Discourse yaitu untuk menanggapi permasalahan yang ada yang dikarenakan oleh
banyaknya perbedaan suku, budaya, agama, bahasa dan lain sebagainya. Tujuan
adanya classroom discourse yaitu untuk membangun rasa hormat, tolong menolong,
berbagi dan agar bisa mengeluarkan pendapat yang lebih sopan. Penerapan itu
bukan hanya diterapkan di sekolah tapi agar bisa diterapkan juga dalam kehidupan
bermasyarakat.
Untuk
meperbaiki system pendidikan di Indonesia, bukan hanya pendidik yang harus
menggunakan metode mengajar yang berbeda, tapi kini pemerintah pun menerapkan
kurikulum baru yaitu kurikulum 2013. Melalui kurikulum 2013 ini, pemerintah
berharap sikap moral peserta didik yang sudah hancur bisa diperbaiki kembali. Pada
kurikulum dahulu, yang diutamakan adalah kognitifnya yaitu sejauh mana peserta
didik mengerti materi yang dijelaskan oleh pendidik. Tapi melihat realita
sekarang bahwa peserta didik sudah hacur moralnya maka dalam kurikulum 2013
ini, hal yang diutamakan adalah affektif nya. Bagaimana tidak, dalam 4
Kompetensi inti saja, nilai sikap
terdapat dalam dua poin.
Berikut
4 Kompetensi Inti kurikulum 2013 :
1. Kompetensi
inti sikap spiritual (Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa)
2. Kompetensi
inti sikap social (Berakhlaq mulia, sehat, mandiri dan demokratis serta
bertanggung jawab)
3. Kompetensi
inti pengetahuan (Berilmu)
4. Kompetensi
inti keterampilan (Cakap dan Kreatif)
Melihat
kompetensi inti pada kurikulum 2013 di atas, tampak sangat jelas sekali bahwa
sikap spiritual maupun sikap social peserta didik zaman sekarang sangat hancur
sekali. Sehingga pada poin pertama dan poin kedua yang ditekankan adalah sikap
spiritual dan sikap moral.Sering kita lihat di jalan-jalan banyak sekali anak
SMP yang suka nongkrong sepulang sekolah. Fikiran mereka itu adalah keren dan
anak gaul. Tapi pada kenyatannya itu justru merusak moral mereka. Dengan
seringnya interaksi yang salah dilakukan, akan menjerumuskan mereka kedalam
hal-hal \yang negative. Bukti konkretnya saja bisa kita rasakan sendiri. Kita
bisa menghitung berapa siswa yang masih perawan yang duduk di bangku SMP.
Banyak sekali kejadian mereka hamil di luar nikah dan pada akhirnya harus memutuskan
sekolah mereka.
Itulah
alasannya kenapa harus ada perhatian lebih dari pihak sekolah kepada peserta
didik. Sekolah harus pintar dalam memenej kelas. Tidak sedikit peserta didik
yang justru lebih senang berinteraksi dengan anak-anak diluaran sekolah. Mereka
menganggap bahwa teman sebayanya yang berada di sekolah itu tidak sama dengan
dia, alias berbeda golongan. Disinilah PR untuk pendidik yang harus mampu
mengkondisikan kelas agar jangan sampai ada pemikiran semacam itu.
Pendidikan
multicultural ini sangat tepat sekali untuk mengatasinya. Dengan menerapkan
pendidikan multicultural, semua budaya, semua agama dan semua etnis disatukan
dalam satu wadah. Dengan begitu, mau tidak mau mereka harus berinteraksi satu
sama lain. Lama-kelamaan dan tanpa disadari mereka akan terbiasa olehnya. Bukan
hanya dalam pembagian kelompok, tapi pendidik juga hasrus memberikan contoh
yang baik kepada anak-anak didiknya. Jangan sampai pendidik memerintah
anak-anak didiknya untuk hidup rukun antar golongan, tetapi gurunya masih
menerapkan penggolongan itu sendiri.
Upaya
lain yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan peserta didik banyak tugas
kelompok yang harus dikerjakan di rumah. Dengan begitu, semakin sedikit waktu
peserta didik untuk bermain, tapi semakin banyak waktu yang mereka punya untuk
mengenal satu sama lain dan untuk berinteraksi satu sama lain.
Indonesia
kaya dengan segala hal. Bukan hanya dalam budayanya saja, tetapi dalam agamanya
juga. Ada 5 agama yang diakui di Indonesia, diantaranya Islam, Hindu, Budha,
Katolik dan Protestan. Tidak menutup kemungkinan apabila di sekolah-sekolah di
kota besar terdapat peserta didik yang datang dari agama yang berbeda. Untuk
pertama kali, mungkin memang sulit menerima hal tersebut. Karena kita harus
berada dalam lingkungan yang berbeda agama. Tapi justru disanalah letak ujian
kita, apakah kita bisa menerima keanekaragaman agama di Indonesia atau tidak.
Apabila
mengacu pada pendidikan multicultural, seharusnya semua siswa dapat menerima
perbedaan itu. Mereka justru mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang baru.
Satu hal yang harus dipertahankan, mereka harus tetap mempertahankan agama yang
dianutnya masing-masing, meskipun mempunyai banyak pengetahuan baru tentang
agama lain. Melalui pendidikan multicultural ini, peserta didik diharuskan
untuk saling menghormati, saling menghargai dan saling toleransi antar budaya
ataupun antar agama tanpa harus megikutinya.
Pemicu konflik tidak
terkait dengan ajaran agama, tetapi terkait dengan terganggnya eksistensi
ekspresi beragama, baik dalam kerangka ibadah maupun muamalah. Bentuk
terganggunya eksistensi ekspresi beragama adalah sikap merasa tidak dihormati
atau bahkan merasa terancam. Bagaimana wujud prilaku tidak menghormati dan
merasa terancam menjadi sangat subjektif berdasarkan sensitifitas pemeluk
kelompok beragama. Faktor ini penting diperhatikan, karena sikap tafahum dan
tasamuh akan terhalangi ketika berhadapan dengan eksistensi keberagamaan yang
merasa terganggu dan terancam. Strategi untuk menghidupkan nilai-nilai
multikultural harus dilakukan melalui pembinaan kehidupan beragama., baik agama
Islam maupun non-Islam. Pembinaan prilaku bergama dimaksudkan untuk
mengembangkan etika bersama tentang hubungan antar agama dan antar budaya.
Jika
sudah tumbuh sikap saling toleransi antar budaya maupun antar agama, proses
pembelajaran akan semakin effective. Peserta didik tidak akan canggung jika
harus satu kelompok dengan yang berbeda agama ataupun beda budaya. Dengan
begitu, semangat peserta didik untuk belajar akan bertambah dan literasi di
Indonesia pun akan semakin meningkat.
Dari
semua pembahasan diatas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pendidikan
multicultural itu sangat perlu diterapkan dalam pendidikan dasar guna
membiasakan siswa dalam menerima perbedaan-perbedaan yang akan datang. Dengan
demikian, generasi muda selanjutnya tidak akan mengalami konflik-konflik yang
sangat serius tentang adanya perbedaan ras, suku, budaya, bahasa, adat istiadat
dan lain sebagainya. Salah satu caranya yaitu dengan memperbaiki metode
pembelajaran di dalam kelas. Metode yang digunakan harus selalu update seiring
dengan berkembangnya zaman pula. Alangkah lebih baiknya jika guru tidak selalu
menggunakan metode ceramah, guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk
meberikan pendapatnya. Guru juga harus menggunakan metode Classroom Discourse
dengan cara membagi kelas dalam beberapa kelompok dengan menggabungkan
anak-anak yang berbeda golongan, supaya mereka bisa saling bertukar informasi dan
berinteraksi satu sama lain. Dengan terciptanya interaksi yang baik, generasi
muda penerus bangsa akan memberikan perubahan yang besar menuju lebih baik
dalam dunia pendidikan Indonesia. Jika praktek system pendidikan di Indonesia
sudah bagus, itu artinya kualitas Indonesia juga sudah bagus. Karena untuk melihat
kualitas suatu bangsa, cukup melihat praktek system pendidikannya saja.
References
Alwasilah, A. Chaedar.
2012. Pokoknya Rekayasa Literasi.
Bandung: PT. Kiblat Buku Utama
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
http://manshurzikri.wordpress.com/2010/03/21/hubungan-sosial-antar-kelompok-agama-dalam-kerangka-analisis-teori-konflik/


Subscribe to:
Post Comments (Atom)