Thursday, February 27, 2014

Pendidikan Multikultural Guna Perdamaian Bangsa


1st Critical Review
Pendidikan Multikultural Guna Perdamaian Bangsa

Tujuan Puncak Pendidikan adalah Membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan  keterampilan  yang memberikan kemungkinan  sebesar-besarnya bagi mereka untuk meraih kehidupan yang bahagia di dunia maupun di akhirat
Education is what survives when what has been learnt has been forgotten
~Skinner~
Education is what remains after one has forgotten what one has learned in school
~Einstein~
A man paints with his brains and not with his hands
~Michelangelo~
Scientists are not those who gave the right answers, but those who raised the right questions
~Levi-Strauss~


Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya. Dengan kekayaannya itu, Indonesia disebut dengan bangsa pluralis, yaitu bangsa yang tersusun dari keanekaragaman suku, ras, budaya, bahasa, agama, adat istiadat dan lain-lain. Dengan kata lain, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk.
Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertical. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, dan budayanya. Dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan tingkat sosial budaya. Hal ini merupakan anugerah terbesar dari ALLAH SWT yang diberikan kepada umat manusia. Melalui perbedaan itu manusia akan selalu menemukan hal-hal yang baru. Tapi dari kekayaannya itu pula, tak jarang masyarakat di Indonesia berhadapan dengan konflik-konflik. Untuk mengatasi konflik-konflik tersebut diperlukan pembenahan dalam dunia pendidikan, karena pendidikan merupakan ujung tombak keberhasilan pembentukan akhlak manusia.
Dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kretatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam bukunya Prof. DR. H. Wina Sanjaya, M.PD yang berjudul Strategi Pembelajaran mengemukakan bahwa proses pembelajaran di sekolah, baik disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya, siswa setiap kali menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari guru, yakni perilaku mengejek atau perilaku yang menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut, dan perlahan-lahan anak akan mengalihkan sikap negatif itu bukan hanya kepada guru tetapi terhadap lingkungan diluar sekolah. Maka hal ini menjadi sebuah ancaman dan peluang bagi sekolah khususnya guru sebagai “pengatur” proses berlangsungnya pembentukan karakter anak.
Seyogianya sekolah mengoptimalkan seluruh aspek dalam Sistem Pendidikan Nasional yang telah diatur oleh pemerintah, dengan merujuk kepada tujuan pendidikan yang telah diamanatkan Undang-undang. Karena akhir dari proses pendidikan adalah kemampuan anak memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini bahwa proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan atau intelektual, serta pengembangan keterampilan anak sesuai dengan kebutuhan. Ketiga aspek inilah (sikap, kecerdasan, dan keterampilan) arah dan tujuan pendidikan yang harus diupayakan.
Tapi pada kenyataannya, masih sangat susah untuk membentuk karakter anak yang baik. Masih saja terjadi berbagai konflik. Fenomena konflik telah terjadi di banyak tempat pada sepuluh tahun terakhir. Ada kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta tahun 1998. Konflik horizontal di Maluku tahun 1999 – 2003 yang sebagian orang menyebutnya sebagai perang Islam-Kristen. Konflik protes politik lokal di Aceh. Kerusuhan di Tasikmalaya tahun 1996. Konflik dalam penyelenggaraan Pilkada di beberapa daerah. Konflik kaki lima dengan aparat. Konflik antar suporter sepak bola. Konflik antar pelajar dan mahasiswa (tawuran). Konflik antar suku di Papua. Konflik sengketa tanah antara warga dengan pengusaha. Terakhir, April 2010, konflik tanah bernuansa agama antar warga dengan pengusaha di Tanjung Priok Jakarta.
Banyaknya konflik yang terjadi tersebut disebabkan karena banyaknya perbedaan yang ada di Indonesia. Selain contoh-contoh diatas, ada lagi contoh kecil konflik yang terjadi dikarenakan perbedaan tersebut adalah tawuran antar supporter sepak bola. Jika kita mengingat kejadian ini, ini sangat miris sekali. Hal yang seharusnya tidak terjadi, bahkan terjadi sampai memakan korban jiwa. Contoh lain yang sangat erat kaitannya dengan pendidikan yaitu tawuran antar pelajar. Bahkan ada juga masalah criminal anak dibawah umur. Hal itu sangat tidak pantas sekali terjadi.
Konflik antar kelompok masyarakat tidak semata-mata disebabkan oleh perbedaan kultur, tetapi disebabkan oleh faktor lemahnya moralitas yang mendasari prilaku budaya atau kultur. Karena itu, solusinya bukan pendidikan multikultural tetapi pendidikan moral berbangsa, karena multikultur menunjuk pada entitas budaya, sedangkan moral menunjuk pada subtansi prilaku berbudaya.
Sangat memprihatinkan ketika media elektronik mengabarkan berbagai macam peristiwa kriminal yang kerap dilakukan oleh anak dibawah umur. misalnya pencurian, perkelahian bahkan pembunuhan dilakukan sebagai cara pengambilan keputusan terhadap masalah yang sepele. Ketika anak dibawah umur melakukan tindakan yang merugikan orang lain, maka hukuman penjara bukan menjadi penjerat yang tepat bagi anak-anak yang belum memahami makna hukum yang sebenarnya. Maka sudah menjadi tugas bangsa ini untuk segera bergegas mencari solusi konkrit dengan tujuan penanggulangan secara permanen.
Perilaku anak tidak terlepas dari proses pendidikan yang diperolehnya, karena pendidikan merupakan ujung tombak keberhasilan pembentukan akhlak manusia. Menurut Ahmad Baedowi dalam bukunya yang berjudul Calak Edu 1 menegaskan bahwa peran orangtua dan guru dalam membentuk karakter anak hanya sebatas membantu menunjukan cara yang benar dengan memberi sebanyak mungkin contoh. Ketiadaan contoh yang baik dan benar menyebabkan anak tak memiliki pegangan kokoh dalam merancang dan merencanakan masa depannya.
Sebagai orang yang berpendidikan , seharusnya memberi contoh kepada orang lain. Karena banyak orang diluar sana yang kurang beruntung dan tidak duduk di bangku sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pembenahan dalam dunia pendidikan karena pendidikan merupakan ujung tombak keberhasilan pembentukan akhlak manusia. Salah satu upaya yang diterapkan dalam system pendidikan yaitu dengan menerapkan pendidikan multicultural.
Kenapa harus dengan pendidikan multicultural ? Hampir setiap studi pendidikan multikultural selalu diawali dengan latar belakang adanya konflik. Konflik dituding bersumber dari keragaman budaya. Karena itu, pendidikan multikultural ditawarkan sebagai solusi mengatasi konflik. Tepaktkah pendidikan mutlilultural sebagai solusi konflik ? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diidentifikasi faktor utama dan esensial penyebab konflik, apakah jenis keragaman budayanya atau faktor lain di luar keragaman budaya atau hal lain dibalik keragaman budaya.
Identifikasi ini penting karena pendidikan multikultural diposisikan sebagai therapi (solusi), sedangkan konflik sebagai gejala. Ketepatan memposisikan pendidikan multikultural sebagai therapi ditentukan oleh derajat ketepatan diagnosa terhadap gejala konflik. Karena itu, perlu dianalisis faktor-faktor konflik yang terjadi di banyak tempat yang menjadi alasan pentingnya pendidikan multikultural.
Dari contoh-contoh kasus konflik di atas ternyata ada faktor sentimen agama ( contoh Priok dan Maluku), ada faktor hukum ( contoh konflik sengketa tanah), ada faktor ekonomi ( contoh kerusuhan Tasikmalaya), ada faktor adat istiadat (konflik antar suku di Papua) , ada faktor politik kepentingan ( contoh konflik Pilkada), dan ada faktor primordial ( contoh konflik suporter sepak bola, tawuran pelajar dan mahasiswa), dan lain-lain. Jika fakor-faktor itu dianalisis lebih dalam, maka akan ditemukan faktor subtansialnya, yaitu:
(1) kurang mentoleransi ragam prilaku keberagamaan
(2) ketidakadilan penegakkan hukum,
(3) ketidakadilan sistem dan praktek ekonomi,
(4), lemahnya apresiasi prinsip-prinsip demokrasi,
(5) fanatisme kelompok, dan
(6) lemahnya sikap sportif dalam kompetisi.
Faktor yang paling esensial dari enam faktor ini adalah
(a) lemahnya toleransi beragama dan berbudaya,
(b) kurang tegaknya keadilan hukum dan ekonomi, dan
(c) belum dimilikinya etika kompetisi, baik kompetisi politik maupun kompetisi olah raga. Jika diperas lagi, maka faktor esensialnya adalah lemahnya moralitas berbangsa dalam segala bidang, bidang politik, hukum, ekonomi, budaya, olah raga, bahkan prilaku beragama.
Tak pelak lagi, konflik disebabkan oleh lemahnya moralitas bangsa. Hal ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendidikan multikultural. Tetapi, harus diselesaikan melalui proses pendidikan secara sitemik dan komprehensif yang salah satu dimensinya menanamkan moralitas berbangsa, termasuk moralitas multikultural. Bukan diselesaikan oleh program pendidikan bernama pendidikan multikultural, karena nama ini menunjuk pada entitas sosial, tidak menunjuk pada subtansi. Nama yang lebih substansial adalah Pendidikan Moral Bangsa. Istilah ini bukan nama pelajaran, tetapi jiwa dan semangat yang dihidupkan pada semua mata pelajaran dan keseluruhan kehidupan lingkungan pendidikan.
Pendidikan multikultural harusnya dilakukan sedini mungkin. Karena pada fase anak-anak, mereka akan mudah faham dan akan selalu menerapkan kebiasaannya hingga ia dewasa. Contohnya saja, ketika anak dibiasakan sikat gigi sebelum tidur maka kebiasaan itu akan selalu ia lakukan hingga dewasa. Begitupun dengan pendidikan yang ia dapatkan. Jika ia sudah terbiasa dengan perbedaan-perbedaan, maka ia tidak akan heran dan tidak akan masalah menyambut perbedaan tersebut. Anak terkadang tidak memahami dan tidak mau tahu perbedaan itu. yang anak tau hanyalah bermain dan dia senang. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, maka harus adanya pengenalan kepada anak tentang perbedaan itu sejak mereka usia dini di sekolah-sekolah. Sekolah harus memfasilitasi interaksi berkelompok yang bertujuan untuk mengembangkan warga Negara yang sopan.
Dengan diterapkannya pendidikan multicultural, manusia bisa saling menghormati, menghargai dan saling bertoleransi antar budaya. Jelas sekali, pendidikan multikultural diperkenalkan dengan tujuan untuk meredam konflik sekaligus mendatangkan kebaikan dari keragaman budaya. Pendidikan mutltikultural diarahkan untuk meredam konflik social dengan cara mengembangkan sikap menghargai perbedaan budaya. Pendidikan multikultural diharapkan dapat menciptakan struktur dan kultur yang setiap kelompok budaya bisa melakukan ekspresi budayanya secara nyaman dan harmonis, tanpa implikasi konflik.
Pendidikan multicultural ini merupakan pembiasaan yang dilakukan di sekolah agar siswa terbiasa dengan perbedaan-perbedaan. Ini juga bisa dijadikan bekal untuk mereka supaya di masa mendatang ketika mereka menemukan perbedaan-perbedaan, mereka sudah terbiasa dan tidak aneh lagi menghadapi perbedaan tersebut. Dengan demikian, mereka bisa meredam amarah dan tidak akan terjadi lagi konflik-konflik.
Keragaman budaya bangsa Indonesia adalah sebuah kenyataan yang harus diterima, tanpa ruang tawar-menawar. Karena kenyataan tak tertolak, maka harus diterima, dijaga, dipelihara, dan dikelola agar mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Lingkungan pendidikan harus dirancang untuk menciptakan suatu kehidupan yang menerima perbedaan, bisa hidup bersama secara harmonis, saling menghormati dan menghargai perbedaan. Ini adalah tujuan ideal pendidikan multicultural.
 Tidak mudah untuk menerapkan pendidikan multicultural secara spontan. Maka dari itu, pendidik harus bisa membuat suasana kelas senyaman mungkin. Untuk mulai menerapkan pendidikan multicultural, pendidik harus memahami dan memberikan pengertian kepada peserta didik bahwa manusia sebagai makhluk social yang mana didalam kehidupannya akan mengalami interaksi. Interaksi tersebut akan menimbulkan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi terjadinya gesekan sosial. Dengan demikian harus mampu melakukan peyesuaian diri dimanapun mereka berada, agar mendapatkan kebahagiaan.
Untuk mewujudkan pendidikan multicultural, pendidik jangan hanya menggunakan metode ceramah dalam pembelajarannya. Metode baru yang harus di praktekan adalah Classroom Discourse (CD). Dengan metode ini, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berbicara, memberikan pendapatnya dan berdiskusi dengan teman-temannya. Pendidik pun harus membagi kelompok peserta didik secara adil, jangan sampai peserta didik memilih anggota kelompoknya sendiri. Jika sampai itu terjadi, peserta didik akan memilih kelompok yang satu golongan dengan dia. Dia tidak akan bisa berkomunikasi dengan peserta didik yang lain yang berbeda budaya atau golongan. Oleh karena itu, pendidik harus membagi kelompok sendiri secara adil, yaitu mengkombinasi kelompok dari beberapa golongan dan beberapa budaya. Contohnya, peserta didik yang berasal dari sunda disatu kelompokkan dengan peserta didik yang berasal dari dari jawa. Dengan begitu, mereka akan saling berinteraksi antar budaya. Selain itu, sikap moral yang baik pun akan tumbuh seiring dengan interaksi yang peserta didik lakukan.
Dalam bukunya A. Chaedar Alwasilah menegaskan bahwa diadakannya metode Classroom Discourse yaitu untuk menanggapi permasalahan yang ada yang dikarenakan oleh banyaknya perbedaan suku, budaya, agama, bahasa dan lain sebagainya. Tujuan adanya classroom discourse yaitu untuk membangun rasa hormat, tolong menolong, berbagi dan agar bisa mengeluarkan pendapat yang lebih sopan. Penerapan itu bukan hanya diterapkan di sekolah tapi agar bisa diterapkan juga dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk meperbaiki system pendidikan di Indonesia, bukan hanya pendidik yang harus menggunakan metode mengajar yang berbeda, tapi kini pemerintah pun menerapkan kurikulum baru yaitu kurikulum 2013. Melalui kurikulum 2013 ini, pemerintah berharap sikap moral peserta didik yang sudah hancur bisa diperbaiki kembali. Pada kurikulum dahulu, yang diutamakan adalah kognitifnya yaitu sejauh mana peserta didik mengerti materi yang dijelaskan oleh pendidik. Tapi melihat realita sekarang bahwa peserta didik sudah hacur moralnya maka dalam kurikulum 2013 ini, hal yang diutamakan adalah affektif nya. Bagaimana tidak, dalam 4 Kompetensi inti saja,  nilai sikap terdapat dalam dua poin.
Berikut 4 Kompetensi Inti kurikulum 2013 :
1.      Kompetensi inti sikap spiritual (Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa)
2.      Kompetensi inti sikap social (Berakhlaq mulia, sehat, mandiri dan demokratis serta bertanggung jawab)
3.      Kompetensi inti pengetahuan (Berilmu)
4.      Kompetensi inti keterampilan (Cakap dan Kreatif)
Melihat kompetensi inti pada kurikulum 2013 di atas, tampak sangat jelas sekali bahwa sikap spiritual maupun sikap social peserta didik zaman sekarang sangat hancur sekali. Sehingga pada poin pertama dan poin kedua yang ditekankan adalah sikap spiritual dan sikap moral.Sering kita lihat di jalan-jalan banyak sekali anak SMP yang suka nongkrong sepulang sekolah. Fikiran mereka itu adalah keren dan anak gaul. Tapi pada kenyatannya itu justru merusak moral mereka. Dengan seringnya interaksi yang salah dilakukan, akan menjerumuskan mereka kedalam hal-hal \yang negative. Bukti konkretnya saja bisa kita rasakan sendiri. Kita bisa menghitung berapa siswa yang masih perawan yang duduk di bangku SMP. Banyak sekali kejadian mereka hamil di luar nikah dan pada akhirnya harus memutuskan sekolah mereka.
Itulah alasannya kenapa harus ada perhatian lebih dari pihak sekolah kepada peserta didik. Sekolah harus pintar dalam memenej kelas. Tidak sedikit peserta didik yang justru lebih senang berinteraksi dengan anak-anak diluaran sekolah. Mereka menganggap bahwa teman sebayanya yang berada di sekolah itu tidak sama dengan dia, alias berbeda golongan. Disinilah PR untuk pendidik yang harus mampu mengkondisikan kelas agar jangan sampai ada pemikiran semacam itu.
Pendidikan multicultural ini sangat tepat sekali untuk mengatasinya. Dengan menerapkan pendidikan multicultural, semua budaya, semua agama dan semua etnis disatukan dalam satu wadah. Dengan begitu, mau tidak mau mereka harus berinteraksi satu sama lain. Lama-kelamaan dan tanpa disadari mereka akan terbiasa olehnya. Bukan hanya dalam pembagian kelompok, tapi pendidik juga hasrus memberikan contoh yang baik kepada anak-anak didiknya. Jangan sampai pendidik memerintah anak-anak didiknya untuk hidup rukun antar golongan, tetapi gurunya masih menerapkan penggolongan itu sendiri.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan peserta didik banyak tugas kelompok yang harus dikerjakan di rumah. Dengan begitu, semakin sedikit waktu peserta didik untuk bermain, tapi semakin banyak waktu yang mereka punya untuk mengenal satu sama lain dan untuk berinteraksi satu sama lain.
Indonesia kaya dengan segala hal. Bukan hanya dalam budayanya saja, tetapi dalam agamanya juga. Ada 5 agama yang diakui di Indonesia, diantaranya Islam, Hindu, Budha, Katolik dan Protestan. Tidak menutup kemungkinan apabila di sekolah-sekolah di kota besar terdapat peserta didik yang datang dari agama yang berbeda. Untuk pertama kali, mungkin memang sulit menerima hal tersebut. Karena kita harus berada dalam lingkungan yang berbeda agama. Tapi justru disanalah letak ujian kita, apakah kita bisa menerima keanekaragaman agama di Indonesia atau tidak.
Apabila mengacu pada pendidikan multicultural, seharusnya semua siswa dapat menerima perbedaan itu. Mereka justru mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang baru. Satu hal yang harus dipertahankan, mereka harus tetap mempertahankan agama yang dianutnya masing-masing, meskipun mempunyai banyak pengetahuan baru tentang agama lain. Melalui pendidikan multicultural ini, peserta didik diharuskan untuk saling menghormati, saling menghargai dan saling toleransi antar budaya ataupun antar agama tanpa harus megikutinya.
Pemicu konflik tidak terkait dengan ajaran agama, tetapi terkait dengan terganggnya eksistensi ekspresi beragama, baik dalam kerangka ibadah maupun muamalah. Bentuk terganggunya eksistensi ekspresi beragama adalah sikap merasa tidak dihormati atau bahkan merasa terancam. Bagaimana wujud prilaku tidak menghormati dan merasa terancam menjadi sangat subjektif berdasarkan sensitifitas pemeluk kelompok beragama. Faktor ini penting diperhatikan, karena sikap tafahum dan tasamuh akan terhalangi ketika berhadapan dengan eksistensi keberagamaan yang merasa terganggu dan terancam. Strategi untuk menghidupkan nilai-nilai multikultural harus dilakukan melalui pembinaan kehidupan beragama., baik agama Islam maupun non-Islam. Pembinaan prilaku bergama dimaksudkan untuk mengembangkan etika bersama tentang hubungan antar agama dan antar budaya.
Jika sudah tumbuh sikap saling toleransi antar budaya maupun antar agama, proses pembelajaran akan semakin effective. Peserta didik tidak akan canggung jika harus satu kelompok dengan yang berbeda agama ataupun beda budaya. Dengan begitu, semangat peserta didik untuk belajar akan bertambah dan literasi di Indonesia pun akan semakin meningkat.
Dari semua pembahasan diatas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pendidikan multicultural itu sangat perlu diterapkan dalam pendidikan dasar guna membiasakan siswa dalam menerima perbedaan-perbedaan yang akan datang. Dengan demikian, generasi muda selanjutnya tidak akan mengalami konflik-konflik yang sangat serius tentang adanya perbedaan ras, suku, budaya, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya. Salah satu caranya yaitu dengan memperbaiki metode pembelajaran di dalam kelas. Metode yang digunakan harus selalu update seiring dengan berkembangnya zaman pula. Alangkah lebih baiknya jika guru tidak selalu menggunakan metode ceramah, guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk meberikan pendapatnya. Guru juga harus menggunakan metode Classroom Discourse dengan cara membagi kelas dalam beberapa kelompok dengan menggabungkan anak-anak yang berbeda golongan, supaya mereka bisa saling bertukar informasi dan berinteraksi satu sama lain. Dengan terciptanya interaksi yang baik, generasi muda penerus bangsa akan memberikan perubahan yang besar menuju lebih baik dalam dunia pendidikan Indonesia. Jika praktek system pendidikan di Indonesia sudah bagus, itu artinya kualitas Indonesia juga sudah bagus. Karena untuk melihat kualitas suatu bangsa, cukup melihat praktek system pendidikannya saja.

References
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
http://manshurzikri.wordpress.com/2010/03/21/hubungan-sosial-antar-kelompok-agama-dalam-kerangka-analisis-teori-konflik/
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment