Thursday, February 27, 2014

AKAR SEBUAH KUALITAS BANGSA


Nama : Nur Komariyah
Kelas  : PBI-D
Writing and conversation 4

Critical Review.

AKAR SEBUAH KUALITAS BANGSA
Dari wacana pak A. chaedar Alwasilah yang bertema tentang “Classroom Discourse to Foster Religion Harmony” menjelaskan bahwa jika kita ingin melihat kualitas suatu bangsa, maka lihatlah kualitas dan praktek system pendidikannya. Bagaimana mungkin kualitas bangsa itu baik jika akarnya yakni pendidikan dasarnya saja masih kurang dan hubungan terhadap yang lainnya tidak harmonis Bukan tidak mungkin lagi suatu bangsa yang pendidikannya baik maka suatu negara itu disebut negara maju, karena mereka telah berhasil merekayasa system pendidikannya. Jika pendidikan dasar saja tidak dapat di penuhi, maka akan sulit kedepannya untuk menjadi manusia yang berkualitas. Tentunya dalam suatu pendidikan akan di lihat pula pendidikan dasar agama dan aspek lainnya. Karena kita mengetahui bahwa pendidikan akan terus berlanjut seperti sabda nabi Muhammad SAW “tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat” sama halnya kita harus menuntut ilmu sepanjang hayat.

                Kemudian salah satu tujuan dari pendidikan dasar itu sendiri adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan negara. Contohnya pendidikan dasar agama ini harus di ajarkan sejak dini dan menjadi tiyang penyanggah sebelum pendidikan yang lainnya atau bisa dikatakan sebagai pondasi utama pendidikan. Bagaimanakah cara menanamkan pendidikan dasar tersebut? Mungkin hal yang pertama di lakukan adalah menerapkan model pendidikan spiritual seperti halnya pendidikan cinta dan kasih sayang terhadap keluarga dan manusia lainnya, pendidikan percaya diri, pendidikan jujur, pendidikan saling menghargai, pendidikan sabar, dan pendidikan adil. Tentunya pendidikan dasar tersebut perlu untuk bimbingan orang tua dan guru..

Kemudian jika pendidikan dasar agamanya sudah diterapkan maka langkah selanjutnya adalah pendidikan sosial yakni untuk mensosialisasikan apa yang telah dipelajari dan mempraktikan hasil belajar agama tersebut dengan teman sebaya. Setelah berhasil mempraktikannya, hal ini akan menjadi sebuah budaya (kebiasaan) yang terus berlangsung dari masa ke masa. Sehingga disitulah peran pendidikan dasar kebudayaan. Mengapa pendidikan agama, sosial, dan budaya itu sangat dibutuhkan, ternyata untuk membimbing anak ke arah yang baik tidak hanya cerdas intelektual dan emosi, tetapi juga cerdas rohani.
Namun bagaimana dengan Indonesia yang mempunyai keanekaragaman agama, ras, suku, dan budaya. Tentu ini adalah sebuah karunia dari Allah SWT sehingga memiliki keanekaragaman tersebut. Alangkah baiknya perbedaan itu adalah sebuah awal untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Disisi lain perbedaan lain itu memicu adanya konflik karena adanya perbedaan keyakinan dari setiap golongan. Hal ini akan menuntut peran dari dunia pendidikan diantaranya orang tua, siswa, guru dan masyarakat maupun pemerintah untuk lebih mengupayakan menemukan titik temu dari suatu perbedaan.
Perbedaan tersebut menyebabkan munculnya masalah sosial seperti tawuran antar pelajar, bentrokan pemuda, dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Prof. Abdurrahman Mas’ud, PhD juga mengungkapkan, “Gerakan radikalisme keagamaan  memperjuangkan keyakinan keagamaan yang dianutnya dilakukan dengan tanpa kompromi dan bila perlu dilakukan dengan cara kekerasan dan anarkisme. Hal ini terjadi karena kedangkalan dalam memahami agama. Agama dipahami secara parsial, teks-teks agama dipisahkan dari konteksnya, dan keringnya nilai-nilai spiritualitas dalam beragama”.
            Radikalisme sebagai sebuah gerakan memang tidak muncul dari ruang hampa.   Ada beberapa sebab yang mempengaruhi diantaranya adalah faktor sosial politik, emosi keagamaan, kultural, ideologi dan kebijakan  yang timpang.  faktor sosial politik lebih terkait dengan konteks hubungan yang cukup lama dan kompleks antara barat (kristen) dengan timur (islam) pasca perang salib sampai dengan era kolonialisme.  pertarungan dua entitas tersebut yang memakan waktu berabad-abad mewariskan 'gangguan' sosial politik antara keduanya.  Faktor yang pertama ini kemudian berkaitan dengan yang kedua yaitu emosi keagamaan.
Konflik sosial dan ketidakharmonisan agama tersebut khususnya merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas untuk mewujudkan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan disekolah pada  awal  usia mungkin. Untuk konteks nasionalnya adanya program-program kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif dikalangan siswa.
Indikator wacana sipil diantaranya adalah mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara hormat. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran disekolah. Dari indikator diatas menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan dimana mereka menghormati rekan, bantuan, berbagi, dan umumnya sopan terhadapa satu sama lain. Ternyata konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen terpenting dalam teori pembangunan sosial (Rubin,2009).
Ini sesuai dengan konsep atau metode classroom discourse. Dimana metode ini di rancang untuk peer interaction atau interaksi teman sebaya agar dapat menanamkan kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain. Kemudian siswa juga dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam, dan bergiliran dalam berbicara. Pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa hampir untuk sepanjang hari. Untuk mengetahui bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Pada penyelesaian pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik antar etnis (suku), ras, agama, dan budaya karena  sangat penting untuk keberhasilan individu kedepannya.  Sebaliknya ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan tentunya dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu.
Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah sambas (2008), Ambon (2009), dan papua (2010). Tanpa langkah tepat yang diambil, konflik seperti itu akan terulang kembali. Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi social dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok social dalam masyarakat. Hal ini bisa meningkat menjadi ketidak harmonisan agama besar.
Konflik sosial sendiri pada umumnya terjadi karena adanya perbedaan individu yaitu perbedaan kebiasaan dan perasaan yang dapat menimbulkan kebencian dan amarah sebagai awal timbulnya konflik. Kemudian perbedaan latar belakang kebudayaan yaitu kepribadian seseorang dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma-norma sosial yang sama. Apa yang dianggap baik oleh suatu masyarakat belum tentu sama dengan apa yang dianggap baik oleh masyarakat.
Selanjutnya adalah perbedaan kepentingan yaitu setiap individu atau kelompok seringkali memiliki kepentingan yang berbeda dengan individu atau kelompok lainnya. semua itu bergantung dari kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Terakhir adalah  Perbedaan kepentingan ini menyangkut kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya, dan perubahan sosial pengertiannya adalah perubahan sosial dalam sebuah masyarakat yang terjadi terlalu cepat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu atau masyarakat dengan kenyataan sosial yang timbul akibat perubahan itu.  
Kembali lagi pada intinya, konflik sosial tersebut terjadi disebabkan oleh sebuah perbedaan. Perbedaan ini muncul karena Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam masalah dan sulitnya dalam usaha mempersatukan atau mengintegrasikan seluruh masyarakat dalam satu kerangka persatuan yang utuh dan kuat. Untuk itu dengan adanya semboyan dan konsep Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar kehidupan masyarakat Indonesia diharapkan persatuan dan kesatuan akan tetap terjaga dan menghambat terjadinya konflik yang didasari kepentingan antar kelompok.
Ada beberapa interpretasi untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih melekat dalam pribadi seseorang yang hidup di dalam masyarakat yang heterogen. Yaitu dengan menerapkan identitas sosial mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang harus ditanamkan pada diri setiap individu. Mutual differentiation model adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu mempertahankan identitas asal (kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan semua kelompok tersebut memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua. Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, artinya seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama yang lebih tinggi nilainya.
Dengan demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah bila dibandingkan dengan identitas nasional yang sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika dimana persatuan adalah sesuatu yang mutlak. Dengan mengakui dan menghormati perbedaan serta kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa menunjukkan identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini, sehingga dapat terjalin kerjasama antar golongan tanpa menyinggung adanya perbedaan karena memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.
            Seperti halnya dengan semboyan negara kita yaitu bhineka tunggal ika yang mempunyai arti berbeda-beda tapi satu tujuan. Bangsa Indonesia memandang keanekaragaman bangsanya sendiri berdasarkan Pancasila dari berbagai sudut pandang yaitu:
1.      Paham monodualistik adalah suatu paham yang menganggap bahwa hakikat sesuatu merupakan dua  unsur yang terikat menjadi suatu kebulatan. Manusia dalam pandangan paham monodualis adalah:
1.      manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang selalu berhubungan dengan Tuhan.
2.      manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani sebagai satu kesatuan.
3.      manusia merupakan bagian dari masyarakatnya.
2.      Paham monopluralis yang mengakui bangsa Indonesia beranekaragam seperti  keanekaragaman suku bangsa, agama dan kebudayaan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah suatu pencerminan dari paham monopluralis.

Keselarasan adalah keadaan yang menggambarkan suasana yang tertib, teratur, aman dan damai sehingga timbul ketentraman lahir dan batin. Keserasian adalah keadaan yang menggambarkan terpadunya unsur-unsur yang terlibat dalam kehidupan bersama. Keseimbangan adalah keadaan yang menggambarkan bahwa setiap individu mendapatkan perlakuan yang sama berdasarkan pada kodrat, harkat, martabat, tugas, hak dan kewajiban sebagai manusia. Kekeluargaan adalah segala sesuatu yang dilakukan tanpa mengharapkan imbalan. Semangat kekeluargaan ini didorong oleh suatu pandangan, yaitu:
1.      setiap manusia menyadari bahwa mereka tidak dapat hidup sendiri, karena manusia adalah makhluk sosial.
2.      manusia perlu menjaga hubungan dengan sesamanya.
3.      manusia perlu menyesuaikan dirinya dengan individu yang lain.

Maka dalam hal ini toleransi sangat diperlukan dalam menjaga hubungan baik, karena toleransi  merupakan sebuah kunci utama untuk saling memahami. Namun bagaimana jika ada tindakan yang dapat merusak toleransi antar sesama seperti halnya:
1.      Sukuisme adalah tindakan yang menggambarkan rasa kecintaan yang berlebihan terhadap suku bangsanya sendiri dan berusaha untuk memisahkan diri dari suku-suku yang lain.
2.      Kedaerahan adalah tindakan yang lebih mengutamakan kepentingan daerahnya sendiri di atas kepentingan bersama.
3.      Stereotipe adalah pendapat atau prasangka suatu kelompok terhadap kelompok lain dan pada akhirnya akan berujung pada sikap diskriminatif.

Dari tindakan tersebut, kita memerlukan sebuah ideologi yang jelas untuk mengubah pola pikir mereka yaitu Pancasila. Untuk menuju Indonesia modern, pancasila sebagai ideology terbuka sejak semula memang tidak terlepas dari pengaruh internal (budaya bangsa) dan budaya eksternal (barat dan agama-agama dunia). Namun seberapa jauh agama-agama dalam masyarakat dan umat Indonesia dapat mewujudkan agama sebagai landasan spiritual dan moral.

Modernisasi sejak awal kelahirannya memang kurang bersahabat dengan agama alias bersifat sekuler. Mungkin itulah sebabnya adanya tekanan paling berat dari arus modernisasi yang dialami agama dan lembaga pendidikan. Di samping banyak kebaikan globalisasi, kita perlu waspada dan mawas diri, karena kedahsyatan pengaruh negatif globalisasi dapat menjungkirbalikkan dan menghapus manusia dan kemanusian. Luasnya dampak negatif globalisasi, di tentukan kecepatan dan luasnya dinamika globalisasi.
Sebagai bangsa dan umat beragama, kita perlu memperhatikan salah satu budaya globalisasi yang besar, yaitu bahaya terhadap nilai dan norma agama. Dalam mengahadapi tantangan dahsyat modernisasi dan sekaligus kecepatan globalisasi ini, manusia dan masyarakat Indonesia tidak hanya mengandalkan kesemarakan kegiatan-kegiatan keagamaan. Nilai dan norma agama haruslah mampu menjadi landasan sipritual., moral, dan etik pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat modern Indonesia.
Menghadapi peluang dan ancaman terhadap kehidupan agama, momentum pembangunan kualitas keagamaan dan kerukanan harus kita tingkatkan, perluas dan perdalam. Kesinambungan permbangunann sektor agama, kita rencanakan mencapai sasaran dan arah tri tunggal suasana beragama, yaitu:
1.      Penuh keimanan dan ketakwaan.
2.      Penuh kerukunan yang dinamis
3.      Meningkatakan peran serta umat beagama dalam pembangunan.
Tiga suasana kehidupan beragama itu harus tercermin dalam suasana kehidupan beragama yang harmonis itu, maka prioritas program pembangunan sektor agama adalah pendidikan agama dalam tiga lingkungan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
            Usia sedini mungkin perlu dimulai pendidikan agama bagi anak didik kita supaya lahir menjadi pribadi yang utuh dan kokoh menghadapi gelombang dahsyat modernisasi dan globalisasi. Pemerintah juga mengaharapkan efektivitas dan kualitas pendidikan agama prasekolah yang telah berkembang dalam masyarakat dan umat.
            Pemimpin agama juga harus mendorong agar masyarakat melakukan pendekatan kearah intregasi horisontal dengan melihat kepentingan-kepentingan agama dan sosial budaya. Sebagaimana agama adalah rahmat bagi seluruh alam dan seluruh kemanusia, demikian juga pancasila juga haruslah menjadi rahmat bagi seluruh bangsa Indonesia.
            Nilai-nilai pancasila perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mewujudkan mekanisme yang mengintegritaskan dan memasukan kepentingan semua golongan. Dalam memberantai itu semua, agama dapat mendorong solidaritas sosial menembus kelompok agama dan suku serta ras.
            Pemimpin agama juga mendorong pengkajian ilmiah agamanya. Dalam forum ilmiah itu perlu diupayakan dialog ilmiah antar agama dan ideologinya tanpa prasangka dan tanpa pertentangan. Jika pancasila maupun agama terkurung dan terkukung hanya oleh emosi, dialog terbuka sebagai wujud nyata ideologi terbuka tidaklah mungkin. Sudah tiba saatnya kita lebih meningkatkan pengkajian ilmiah dan falsafati. Adapun rencana strategis kerukunan umat beragama sebagai berikut :
Rencana strategis kerukunan beragama yang di canangkan oleh Tarmizi Taher menekankan pentingnya kelahiran kesadaran baru untuk meningkatkan kerukunan hidup diantara umat satu kelompok agama, maupun antar kelompok umat beragama. evaluasi ini menunjukkan tingkat kerukunan di Indonesis dapat menjadi model bagi dunia.
Oleh karena itu, apa yang sudah baik tentang kerukunan di tanah air wajib di pelihara. Kerukunan hendaknya tidak dianggap sebagai taken for grated, atau akan terjadi dengan sendirinya. Dunia disekitar kita penuh dengan konflik politik bernuansa agama atau menggunakan agama sebagai bensin pembakar untuk meningkatkan eskalasi konflik. Sehingga segenap bangsa indonesia harus waspada, sebab kaum radikal dan ekstrem agama ada pada semua agama dan tarmizi Taher mengajak semua untuk mencari, menggali, dan menyebarkan bingkai-bingkai teologis dan sosio kultural tentang kerukunan.
Bingkai teologis dapat digali dari kitab suci atau doktrin keagamaan. Dalam persoalan ini, para pemimpin agama diminta menyebarkannya ditengah umat,  sehingga kerukunan dihayati tidak sekedar temporer dan politis, tapi sebagai bagian dari keberagaman dan ketakwaan kita.
Bangsa indonesia di takdirkan Tuhan sebgai bangsa yang majemuk, baik atas suku bangsa, bahasa, maupun agama. Mungkin tidak ada satupun bangsa di dunia ini yang mempunyai sifat kemajemukan seperti bangsa indonesia, yang terdiri dari lebih tiga ratus suku bangsa tersebut memiliki latar belakang sejarah dan budaya tertentu.
            Interaksi antara faktor sosio-historis dan faktor geografis di atas, melahirkan suatu corak komitmen kultural yang kuat di antara suku-suku bangsa Indonesia. Dalam hal ini, komitmen kultural di kalangan berbagai suku-suku bangsa di Indonesia tidak hanya merupakan penjelmaan dari rasa kesukuan namun juga merupakan penjelmaan dari solidaritas sosial.
            Komitmen kultural yang merupakan manifestasi dari dua sumber fanatisme dapat menampilkan suatu sentimen kultural, yaitu rasa keberkelompokkan yang cenderung ekslusif. Hal ini menimbulkan perasaan tentang “orang kita” dan “orang lain”. Perasaan demikian bahkan dapat menimbulkan suatu sentrisme dan egoisme kelompok, yaitu menganggap sendiri lebih baik dan menganggap kelompok lain lebih rendah. Sentimen kultural inilah yang sering menimbulkan konflik kultural dan konflik sosial. Pada suku-suku primitif, konflik demikian sering kali mengambil perang suku.
            Dengan masuk dan berkembangnya agama-agama dunia di Indonesia, maka suku-suku bangsa di Indonesia sekarang mempunyai basis solidaritas baru, yang jua merupakan sumber fanatisme, yaitu faith (agama). Adanya sumber fanatisme dalam kehidupan bangsa indonesia, secara teoritis dapat merupakan faktor disintegrasi bangsa.penghimpitan agama dan suku akan mengakibatkan fanatisme ganda yaitu fanatisme agama dan kesukua sekaligus. Jika hal ini terjadi, maka proses intregasi bangsa akan terganggu. Seperti dikatakan oleh Professor Donald K. Emmerson, pengamat indonesia dari Amerika Serikat.
“Seandainya terjadi koinsidensi antara perbedaan suku dan agama di indonesia maka mustahil indonesia akan dapat bertahan sebagai satu bangsa dan negara. Perjuangan untuk merebut kekuasaan akan melanda indonesia dan menjadikannya bagian-bagian terpisah,”  katanya dalam bukunya Indonesia’s Elite, 1976, hal.23.
            Adanya persilangan budaya (Cultural crossing) antar agama dan suku di indonesia merupakan faktor peredam konflik yang sangat berarti. Sehingga karena faktor agama maka akan terjadi peredaman sentimen kultural antara suku-suku. Dengan demikian, agama pada kenyataan sosio-historis di indonesia merupakan faktor perekat keragaman kesukuan da intregasi bangsa yang signifikan.
            Dalam rangka perwujudan kultur persatuan dan kesatuan tesebut terdapat beberapa agenda yang mendesak di selesaikan. Diantaranya agenda itu adalah bagaimana di temukan etika keagamaan yang dapat mendorong umat berbagai agama di tanah air dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
            Oleh karena itu, secara teoritis intregasi bangsa meniscayakan adanya persamaan visi dan persepsi tentang masa depan bangsa yang diharapkan dapat mendorong terwujudnya iklim dialog terbuka, jujur, dan bertanggung jawab.
Kita wajib bersyukur karena kita telah mempunyai pola pikir bersama dalam interaksi kelompok bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yaitu pancasila. Satu-satunya asas pancasila adalah dasar negara, tetapi juga dasar intraksi dalam bermasyarakat. Danjika ada interaksi kelompok keagamaan yang berbeda iman dan kitab suci, tentunya mustahil masing-masing kelompok adama dalam berinteraksi itu memegang hanya mannya dan kitab sucinya. Maka setipa orang indonesia dalam kehidupan bersama haruslah sadar, bahwa mereka mempunyai dwitugas, yakni tugas sebagai umat dan tugas sebagai warga negara.
            Jika pola pikir atau intelektualitas dan kedalaman spritual setiap bangsa indonesia mempunyai kesadaran akan dwitugasnya. Insya Allah kita akan terus maju dalam pembangunan mental-spiritual dan fisik-material. Proses penguatan integrasi dengan demikian menuntut terjadinya transformasi kesadaran setiap warga negara dan setiap kelompok masyarakat dari satu kesadaran subjektif kepada atu kesadaran objektif tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa.
            Kembali pada sekolah, sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil sebagai siswa dan pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi (kemampuan) wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab. Guru juga harus memberi kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain yang berbeda etnis, agama, dan kebudayaannya.
            Idealnya kebijakan sekolah harus ditegakkan dengan metode classroom discourse yang menekankan pada peer interaction atau teman sebaya untuk memunculkan rasa kepekaan dan menghormati (civil society) terhadap sesama lainnya. Didalam pengelolaan sekolah juga harusnya menyediakan tempat ibadah bagi semua siswa dan semua agama. Karena disitulah siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.
            Cara pengajaran agama yang bersifat tradisional juga tidak baik karena pengajarannya hanya menekankan pada aspek teologis (teori) dan ritual saja. Sedangkan untuk aspek sosialnya kurang, bagaimana tentang pendidikan liberal? Pendidikan liberal mungkin memberikan siswa keterampilan tata bahasa, retorika, serta logika mendorong untuk selalu belajar disetiap kondisi. Akan tetapi hal ini akan membuat siswa menjadi individualis, dan berpikir untuk dirinyanya sendiri. Jadi pengajaran agama yang sesuai dan diperlukan kita saat ini adalah yang bersifat modernisme (akademik) bukan lagi bersifat tradisional, liberal apalagi  radikalisme.






Professor Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite, 1976, hal.23.
Tarmizi Taher, Jembatan Umat, Ulama, dan Umaro, bandung : Granesia.
Wahyudi Siswanto, Membentuk kecerdasan spiritual anak,  Bumi Aksara 2010
Alwasilah, A. Chaedar, Pokoknya Rekayasa Literasi, Bandung: Mizan, 2012. 


Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment