Saturday, February 22, 2014

ME-MASYARAKAT-KAN IHWAL LITERASI


Name   : Suneti Alawiyah
NIM    : 14121330390
Class    : PBI-D/4th Semester
CLASS REVIEW 2
ME-MASYARAKAT-KAN IHWAL LITERASI
Aku menyeka kedua ujung mataku.  Mengusir setiap kabut kantukku.  Berjalan menuju tempat terpenting saat ini, kamar mandi.  Tiga puluh menit berlalu, merapikan buku yang berserakan, melipatnya kedalam ranselku.  Pagi yang sibuk.  Melangkah dengan pasti menuju ruang 46, diiringi mentari yang tersenyum kepadaku-indahnya.  Pertemuan kedua dalam Writing class, langsung disajikan beberapa pertanyaan oleh Mr. Lala, dosen kami.  Who are you in my class?’ Kemudian, inilah sederetan pertanyaan lanjutan yang membuatku makin kebingungan, yaitu:

1)      Only a student entrolling in a writing class without a purpose?
2)      Only a student trying to accomplish every single task without any wholeheartedness?
3)      Only a student wh writes just to get a propper grade?
4)      Only a student who writes without a soul?
5)      Only a student who tries to complete the whole learning contract?
Kita semua (baca: mahasiswa bahasa) adalah ‘a multilingual writer,’ yang menulis secara efektif dalam L1 (bahasa Indonesia) dan L2 (bahasa Inggris), yang juga berfungsi sebagai pembaca kritis, yang mengubah diri dari seorang mahasiswa bahasa menjadi mahasiswa yang cakap menulis, yang dapat menjadi sumber informasi (center of informmation), dan mengubah dunia-InsyaAllah.  Sebagai manusia yang berkewajiban mencari ilmu sampai akhir hayat (uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi), harus mampu juga memproduksi pengetahuan, bukan hanya semata-mata mencari ilmu saja, apa lagi sebagai mahasiswa-agent of change!  Selanjutnya, kita akan membahas mengenai ‘Teaching Orientation’ seperti yang telah dijelaskan oleh dosen saya, Mr. Lala.  Dalam teaching orientation ada 3 (tiga) pondasi yang harus diketahui, yaitu:


a)      Academic Writing
Penulisan ilmiah yang disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian, analisa, perhitungan, dan kegiatan ilmiah disebut dengan academic writing.  Dalam semester empat ini, kita akan terfokus pada argumentatif essay dan critical essay yang mengacu pada ekspresi tulis dari opini penulisnya.  Academic Writing juga menggabungkan fakta dan imajinasi, pengetahuan dengan perasaan tanpa mengedepankan salah satunya.  Sebuah essay tidak hanya sekedar menunjukkan fakta atau menceritakan sebuah pengalaman, akan tetapi menyelipkan opini penulis itu sendiri.  Academic wriring identik dengan penelitian (research), keabsahan (validity), membandingkan (comparing), tidak mengenai orang tertentu (impersonal), resmi (formal) dan kaku (rigid).  Keenam kriteria diatas dapat dijelaskan pada poin-poin dibawah ini:
1)      Research (penelitian) yaitu proses sistematis dengan pengumpulan data dan menganalisis informasi
2)      Validity (keabsahan) yaitu kebenaran data yang diteliti
3)      Comparing (membandingkan) yaitu membandingkan data atau teori
4)      Impersonal yaitu tidak berpihak pada data tertentu
5)      Formal yaitu menggunakan bahasa resmi
6)      Rigid yaitu bersifat kaku

b)     Critical Thinking
Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah (Chance: 1986).  Dalam berpikir kritis, ada beberapa keterampilan yang dapat dijadikan acuan, yaitu:


Selain itu, critical thinking dipakai juga ketika kita menjadi pembaca dan penulis.  Kritis dalam membaca dan menulis sangatlah penting, karena dengan begitu, sebuah informasi tidak akan  serta merta dilahap mentah-mentah.  Membaca kritis (critical reading) berarti kita harus mampu menganalisis apa yang kita baca.  Sedangkan menulis kritis (critical writing) berarti mampu mengemukakan gagasan secara yakin.  Akan tetapi, sebelum kita menjadi penulis kritis, seharusnya kita menjadi pembaca kritis terlebih dahulu.  Karena, akan lebih mudah jika kita mengetahui banyak informasi.
c)      Writing Development
Menulis adalah praktek yang didasarkan pada harapan: peluang pembaca menafsirkan maksud penulis akan meningkat, jika penulis mengambil antisipasi mengenai apa yang mungkin diharapkan pembaca, didasarkan pada teks-teks yang sebelumnya yang telah ia baca dari jenis teks yang sama  (Hyland: 2004).  Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara (www.wikipedia.org).  Menulis merupakan kegiatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja.  Sebuah teks atau tulisan akan sangat hidup, ketika mendapatkan pembaca yang tepat.  Akan tetapi, pada haikatnya menulis berfungsi:
Ø  Ekspresif
mampu mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan;
Ø  Komunikatif
sebagai alat berinteraksi atau hubungan antara dua orang atau lebih, dan pesan yang dimaksud dapat dimengerti;
Ø  Pengendali sosial
Sebagai pengatur atau pengendali masyarakat, contohnya peringatan ‘Dilarang Merokok!’
            Seperti yang sudah Pak Lala jelaskan, bahwa writing akan membentuk tiga fokus utama, yaitu:
1)      a new way of knowing something,
2)      a new way of representing something,
3)      a new way of reproducing something.
Something’ pada poin-poin diatas mengacu pada experience (pengalaman) belajar yang akan melahirkan information (informasi) dan knowledge (pengetahuan).  Hal ini, selaras dengan Canale dan Swains’s (1980) yang dikutip oleh Hyland dalam bukunya yang berjudul ‘Second Language Writing’ yang menyebutkan beberapa hal yang harus kita perhatikan mengenai hubungan experience dengan knowledge, ‘There are a wide range of knowledge and experience is needed to write succesfully in english and the framework,’ the writer need at least:
ü  Grammatical Competence (pengetahuan mengenai tata bahasa, kosakata dan sistem bahasa itu sendiri)
ü  Discourse Competence (pengetahuan mengenai genre/jenis dan pola retorisnya)
ü  Sociolinguistic Competence (kemampuan menggunakan bahasa secara tepat dalam konteks yang berbeda, memahami pembaca dan mengadopsi sikap pengarang yang sesuai)
ü  Strategic Competence (kemampuan untuk menggunakan berbagai bahasa yang komunikatif)
Ketika kita menulis, maka kita sedang menciptakan makna dari tulisan tersebut.  Hyland juga mengatakan bahwa,’Writing is a practice based on expectation.  Bukan hanya itu, Lehtonen juga menyebutkan bahwa seorang pembaca adalah inti dari pembenukan suatu makna dan kegiatan membaca menjadi tempat dimana makna itu terbentuk.  Lehtonen juga mengemukakan bahwa antara teks dan pembaca tidak bisa berdiri sendiri, melainkan keduanya saling berkaitan, ‘Reading is includes choosing what to read, organising and linking them together in order to form meaning, as well as bringing the readers own knowledge into text’ (Lehtonen: 2000), yang artinya kegiatan membaca adalah termasuk memilih apa yang harus dibaca, mengorganisir dan menghubungkan mereka bersama-sama untuk membentuk makna, serta membawa pengetahuan di dalam sebuah teks untuk pembaca itu sendiri. Kemudian, pertanyaan selanjutnya adalah ‘bagaimana hubungan antara teks, konteks, pembaca, penulis dan makna?  Di dalam bukunya ‘The Cultural Analysis Of Text,’ Mikko Lehtonen membagi teks menjadi dua kategori, yaitu teks sebagai bentuk fisik (pysical material) dan sebagai bentuk semiotik (semiotic material).  Sebuah teks dipandang sebagai bentuk fisik berarti berbentuk sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia.  Sedangkan, teks juga dipandang sebagai bentuk semiotik, karena dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek, kemudian orang lain menginterpretasikan tanda tersebut (Ferdinand De Sausure: 1857). Lehtonen menambahkan bahwa sebuah text dapat berbentuk tulisan, musik, ucapan atau simbol-simbol lainnya.  Akan tetapi, sebuah text akan selalu ditandai dengan tiga ciri utama, yaitu materiality (materialitas), formal relations (hubungan formal), dan meaningfulness (kebermaknaan). Ketiga ciri dari teks tersebut akan saling terhubung dan berkaitan satu sama lain, hal ini (lagi-lagi) menunjukkan fakta bahwa teks adalah sebagai bentuk semiotik.  Lebih jauh lagi, Lehtonen memaparkan bahwa “...texs are not ‘natural’ but produced by effort; that is, fabricated,” maksudnya adalah sebuah teks itu tidak ‘alami’ akan tetapi diproduksi oleh usaha, yaitu dibuat dengan sengaja.  Kemudian, pembahasan dilanjutkan mengenai konteks.  Menurut Lehtonen, konteks adalah yang melatarbelakangi terlahirnya sebuah teks, yang mana konteks menjadi background information untuk dapat memahami teks tersebut.  Akan tetapi, ketika sebuah teks diproduksi yang membawa informasi untuk pembaca, maka pembaca yang dapat menentukan makna dari teks tersebut.  Seharusnya, makna yang dibawa oleh sebuah teks dari penulis harus searah dengan pemahaman pembaca, tetapi kadang tidak sama, karena pemahaman makna pada pembaca dan penulis dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing. 
Dapat disimpulkan bahwa pertimbangan makna ada pada pembaca, karena ketika kita membaca sebuah teks, maka secara sadar kita sedang bernegosiasi dengan mencari makna yang terkandung di dalam tulisan tersebut.  Konteks berfungsi sebagai background knowledge terlahirnya sebuah teks.  Writer berfungsi sebagai orang yang memproduksi sebuah teks berdasarkan pengalaman yang ia alami.  Teks berfungsi sebagai hasil (produk) pemikiran dari penulis yang berisi informasi dan pengetahuan.  Reader berfungsi sebagai penikmat atau penerima informasi yang dituliskan dalam sebuah teks.  Meaning adalah hasil akhir pemikiran pembaca dari apa yang dia dapatkan dalam proses pembentukan makna itu sendiri melalui teks.





Name         : Suneti Alawiyah
NIM          : 14121330390
Class          : PBI-D/4th Semester
CHAPTER REVIEW 1
MENGAWAL REVITALISASI LITERASI DI INDONESIA
Kata ‘literasi’ nampaknya menjadi sangat populer dewasa ini.  Pendidikan literasi yang mengacu pada kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 895) menjadi buah bibir dalam perbincangan metodologi pengajaran dikalangan guru bahasa dan menjadi isu yang gencar diutarakan oleh para ahli pendidikan.  Prof. A. Chaedar Alwasilah misalnya, dalam sejumlah tulisannya mengingatkan pentingnya soal literasi ini.  Kemampuan ber-literasi dalam konteks ini mencakup arti yang sangat luas, bukan lagi sekedar kemampuan membaca dan menulis, akan tetapi juga berkaitan dengan kemampuan memaknai teks.  Perjalanan panjang literasi hanya dianggap sekedar praktik baca-tulis saja, yang dianggap ‘mampu’ sebagai bekal manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan.  Bangsa Indonesia khususnya yang memiliki 231.786 orang berpendidikan, baik itu dari kalangan akademik maupun dari kalangan non-akademik yang tercatat di Direkorat Jendral Pendidikan Tinggi pada tahun 2007 sebagai dosen di Perguruan Tinggi (PT), ternyata belum mampu mengungguli-sebut saja, Malaysia yang penduduknya hanya sepertujuh dari jumlah penduduk Indonesia.
            Laporan UNESCO tahun 2006 tentang literasi dunia menyatakan bahwa literasi adalah hak dasar manusia sebagai bagian penting dari hak pendidikan.  Hal ini berarti bahwa literasi sebagai poros uatam dalam peningkatan kualitas hidup manusia, karena manusia literat merupakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki potensi untuk membangun bangsanya.  Manusia literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya.  Terpenuhinya kadar literasi dalam kemampuan seseorang, memungkinkan kita mengakses informasi, pengetahuan, pendidikan mengenai hukum dan informasi lainnya.  Sehingga kita mampu memanfaatkan kekayaan budaya yang ada di Indonesia dan memobilisasikan kegunaan media sebagai salah satu sarana dalam wacana ber-literasi dengan se-efektif mungkin.  Sebuah negara dengan kesadaran literasi yang sangat tinggi seperti Amerika, Jepang, India dan Korea menempatkan buku sebagai sumber pembelajaran.  Di Amerika contohnya pengenalan literasi diajarkan dalam konteks pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT).  Secara sistematis, listerasi pada tingkat awal merupakan sebuah pondasi untuk pengembangan literasi pada tahap berikutnya, seperti yang diceritakan oleh Anne J. Arbali melalui tulisannya ‘Learning Literature from Elementery through Highschool’ yang terdapat dalam buku ‘Pokoknya Rekayasa Literasi’.  Dalam tulisannya, Anne J. Arbali mengungkapkan bahwa pengajaran disana (Amerika) lebih berorientasi pada-bagaimana siswa dapat berkomunikasi dengan teks dan mengembangkan daya berpikir kritis terhadap apa yang mereka baca, tulis maupun apa yang mereka dengar.  Dalam tulisannya, Anne J. Arbali mengatakan bahwa ’Once, I was joined in the regular English class, I started to write a journals about my daily activities.  Soon, we started to read a simple essays and we had to write about how we felt,’ dapat kita lihat bahwa sistem pendidikan yang diterapkan di Amerika dari mulai tingkatan sekolah dasar (SD) sudah berbasis reading-writing oriented. Hal ini selaras dengan Freebody dan Luke yang menawarkan empat peran literasi, seperti yang dikutip oleh Prof. A. Chaedar dalam bukunya, yaitu:
1)      Breaking the codes of text (memahami kode dalam teks)
2)      Participating in the meanings of texts (terlibat dalam memaknai teks)
3)      Using text functionally (menggunakan teks secara fungsional)
4)      Critically analyzing and transforming text (melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis)
Keempat peran literasi diatas dapat diringkas dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks.
            Untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia dalam bidang literasi dengan negara-negara lainnya adalah  melakukan revitalisasi paradigma yang telah berkembang di Indonesia dan menggantinya dengan paradigma baru yang dapat menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra.  Ada tiga paradigma dalam pembelajaran literasi untuk meluruskan pemahaman mengenai literasi, adalah:
a)      Paradigma Decoding
Dalam paradigma ini berlaku rumus: perkembangan literasi = belajar ihwal literasi-belajar literasi-belajar melalui literasi, yang artinya adalah dalam paradigma ini belajar grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi dan belajar bahasa dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahasa.  Dengan kata lain, siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu tentang apa itu literasi, yakni bagaimana memaknai kode bahasa, kemudian diterapkan pada bebagai data atau peristiwa literasi dalam berbagai konteks.
b)      Paradigma Keterampilan
Dalam paradigma ini penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca.  Siswa dilatih reading comprehension sebagai bagian dari penguasaan kosakata (baru).
c)      Paradigma Bahasa Secara Utuh
Dalam paradigma ini menolak pembelajaran yang meletakkan fokus pada bagian atau serpihan bahasa.  Pembelajarn bahasa mesti berfokus pada pengajaran makna, yaitu kegiatan mengajarkan makna secara utuh, tidak parsial.  Menurut pada paradigma ini pembelajar mengumpulkan data, membuat hipotesis, menguji hipotesis, dan mengubah hipotesis secara berkesinambungan.
Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang (baca: pengajaran literasi).  Perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi sampai ke metode dan tekhnik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur.  Dengan demikian, perlu perubahan paradigma pengajaran literasi dijajaran pengambilan kebijakan.  Perubahan paradigma adalah hijrah intelektual, hijrah bernalar karena tantangan jaman.  Dalam konteks pembelajaran literasi di sekolah, kita harus melihat pemahaman guru mengenai literasi dan penguasaan teknik pengajaran siswa, yang berarti penguasaan tentang literasi dan pedagogi pengajaran literasi mesti dikuasai oleh guru.  Karena, hal ini dapat dilihat pada langkah-langkah profesionalnya sebagai ujung tombak pendidikan literasi, yaitu:
v  Komitmen profesional
v  Komitmen etis
v  Strategi analitis dan reflektif
v  Efikasi diri
v  Pengetahuan bidang studi, dan
v  Keterampilan literasi dan numerasi
Membangun literasi bangsa harus diawali dengan membangun guru yang profesional, dan guru yang profesional hanya dihasilkan oleh lembaga yang profesional juga.  Akan tetapi, kita tidak boleh mengesampingkan konteks sosial pembelajaran siswa, seperti suasana rumah, suasana sekolah dan suasana masyarakat secara keseluruhan.  Kegiatan literasi dalam keluarga dan masyarakat berkontribusi pada peningkatan pemahaman akan pentingnya merekayasa literasi.  Kemudian, pertanyaannya adalah ‘apa yang harus direkayasa?  Untuk perbaikan rekayasa literasi Indonesia, senantiasa menyangkut empat dimensi: (1) linguistik atau fokus pada teks, (2) kognitif atau fokus pada minda, (3) sosiokultural atau fokus kelompok, dan (4) perkembangan atau fokus pertumbuhan.  Dari empat dimensi tadi, dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini:

1)      Dimensi Pengetahuan Kebahasaan (fokus pada teks)
Membaca dan menulis itu memerlukan pengetahuan yang mencakup:
a.       sistem bahasa untuk membangun makna seperti jenis dan struktur teks, morfologi, sintaksis, semantik, ortografi dan sebagainya;
b.      persamaan dan perbedaan bahasa lisan dan tulis;
c.       ragam bahasa yang mencerminkan kelompok, daerah, lembaga, etnis, agama, pekerjaan, status sosial dan sebagainya.
2)      Dimensi Pengetahuan Kognitif (fokus pada minda)
Membaca dan menulis itu memerlukan pengetahuan dan keterampilan:
a.       aktif, selektif dan konstruktif saat membaca dan menulis;
b.      memanfaatkan pengetahuan yang ada (schemata) untuk membangun makna;
c.       menggunakan proses mental dan strategi untuk menghasilkan makna (memprediksi, memonitor, mengevaluasi, merevisi, merespon, menarik simpulan, membangun koherensi dan sebagainya disesuaikan dengan jenis teks, tujuan dan hadirin). 

3)      Pengetahuan Perkembangan (fokus pada pertumbuhan)
Menjadi literat itu adalah proses ‘menjadi’ atau secara berangsur menguasai sejumlah pengetahuan ihwal:
a.       pembelajar yang aktif dan konstruktif dalam perkembangan literasinya;
b.      pemakai berbagai strategi dan proses mengonstruksi berbagai dimensi literasi seperti pengumpulan data, mengajukan hipotesis, menguji hipotesis dan memodifikasi hipotesis;
c.       pengamatan atas, dan melakukan transaksi dengan mereka yang lebih fasih di dalam dan di luar kelompok sosial dan lembaga seperti terkait etnik, budaya, agama, keluarga, pekerjaan, sekolah dan pemerintah;
d.      bagaimana menggunakan dukungan dan mediasi dari pelaku literasi yang lebih fasih di dalam dan di luar kelompok sosial dan lembaga seperti yang terkait etnik, budaya, agama, keluarga, pekerjaan, sekolah dan pemerintah;
e.       pemanfaatn pengetahuan yang diperoleh lewat membaca untuk mendukung kegiatan (perkembangan kterampilan) menulis dan sebaliknya;
f.       bagaimana menegosiasi makna tekstual melalui pemakaian dan dukungan sistem komunikasi alternatif seperti seni musik, matematika, dan sebagainya.
4)      Pengetahuan Sosiokultural (fokus pada kelompok)
Membaca dan menulis itu memerlukan pengetahuan ihwal:
a.       Tujuan dan pola literasi yang beragam sesuai dengan kelompok, daerah, etnis, agama, pekerjaan, status sosial, dan sebagainya;
b.      Aturan dan norma dalam melakukan transaksi dengan bahasa tulis sesuai dengan kelompok, daerah, etnis, agama, pekerjaan, status sosial, dan sebagainya;
c.       Fitur-fitur linguistis dari berbagai teks untuk berbagai tujuan di dalam dan untuk silang kelompok dan lembaga seperti terkait suku bangsa, budaya, agama, keluarga, sekolah, lembaga dan sebagainya;
d.      Bagaimana menggunakan literasi untuk memproduksi, menggunakan, mempertahankan, dan mengontrol pengetahuan di dalam dan untuk silang kelompok dan lembaga seperti terkait suku bangsa, budaya, agama, keluarga, sekolah, lembaga dan sebagainya;
e.       Bentuk-bentuk dan fungsi literasi tertentu yang bernilai tinggi dan dipertahankan oleh berbagai kelompok seperti terkait suku bangsa, budaya, agama, keluarga, sekolah, lembaga dan sebagainya;
f.       Kemampuan melakukan kritik teks dari berbagai kelompok sosial dan lembaga yang terkait suku bangsa, budaya, agama, keluarga, sekolah, lembaga dan sebagainya-misalnya untuk memahami nilai-nilai dan agenda yang melekat dalam teks itu.
5)      Kegiatan Literasi
Literasi tidak sederhana sekadar menguasai alfabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dan simbol tulisnya, tetapi simbol itu difungsikan secara bernalar dalam konteks sosial.
Kesimpulannya adalah peningkata literasi sangat berkaitan erat dengan penggunaan atau mengoptimalkan peran buku sebagai sumber pengetahuan dan informasi.  Peningkatan literasi siswa juga mengandalkan peran guru sebagai fasilitator untuk mengajarkan dan menanamkan pemahaman literasi dan pentingnya menerapkannya dalam berbagai kegiatan yang mendidik.  Agar, siswa mempunyai kesempatan dan kemampuan dalam meningkatkan daya literasi mereka dalam disiplin ilmu pendidikan.  Bukan hanya itu, siswa juga mampu mengembangkan daya berpikir kritis melalui pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan di sekolah, pada tingkatan SD (Sekolah Dasar) sampai PT (Perguruan Tinggi).  Dan secara sistematis, menempatkan buku sebagai pusat kegiatan pembelajaran, kemudian membiasakan mereka berdialog dengan teks dengan cara menggalai nalar mereka dengan teks tersebut, bukan hanya dengan pengenalan kosakata baru.  Sekali lagi, literasi bukan hanya melulu baca-tulis.  Akan tetapi, lebih dari itu-perubahan besar.  Pendidikan yang berkualitas tinggi, akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula’, rasanya statement tersebut sangat cukup untuk menggambarkan perlunya ‘revitalisasi’ dan me-masyarakat-kan ihwal literasi di Indonesia.

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment