Saturday, February 22, 2014
Created By:
Suneti Alawiyah
Name : Suneti Alawiyah
NIM : 14121330390
Class : PBI-D/4th Semester
CLASS REVIEW 2
ME-MASYARAKAT-KAN IHWAL LITERASI
Aku menyeka kedua ujung
mataku. Mengusir setiap kabut
kantukku. Berjalan menuju tempat
terpenting saat ini, kamar mandi. Tiga
puluh menit berlalu, merapikan buku yang berserakan, melipatnya kedalam
ranselku. Pagi yang sibuk. Melangkah dengan pasti menuju ruang 46,
diiringi mentari yang tersenyum kepadaku-indahnya. Pertemuan
kedua dalam Writing class, langsung disajikan beberapa pertanyaan oleh Mr.
Lala, dosen kami. ‘Who are you in my
class?’ Kemudian, inilah sederetan pertanyaan lanjutan yang membuatku makin
kebingungan, yaitu:
1)
Only a student entrolling in a writing class without a
purpose?
2)
Only a student trying to accomplish every single task
without any wholeheartedness?
3)
Only a student wh writes just to get a propper grade?
4)
Only a student who writes without a soul?
5)
Only a student who tries to complete the whole learning
contract?
Kita semua (baca: mahasiswa
bahasa) adalah ‘a multilingual writer,’ yang menulis secara efektif
dalam L1 (bahasa Indonesia) dan L2 (bahasa Inggris), yang juga
berfungsi sebagai pembaca kritis, yang mengubah diri dari seorang mahasiswa
bahasa menjadi mahasiswa yang cakap menulis, yang dapat menjadi sumber
informasi (center of informmation), dan mengubah dunia-InsyaAllah. Sebagai manusia yang berkewajiban mencari
ilmu sampai akhir hayat (uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi), harus
mampu juga memproduksi pengetahuan, bukan hanya semata-mata mencari ilmu saja,
apa lagi sebagai mahasiswa-agent of change! Selanjutnya, kita akan membahas mengenai ‘Teaching
Orientation’ seperti yang telah dijelaskan oleh dosen saya, Mr. Lala. Dalam teaching orientation ada 3 (tiga)
pondasi yang harus diketahui, yaitu:
a)
Academic Writing
Penulisan
ilmiah yang disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian, analisa, perhitungan,
dan kegiatan ilmiah disebut dengan academic writing. Dalam semester empat ini, kita akan terfokus
pada argumentatif essay dan critical essay yang mengacu pada
ekspresi tulis dari opini penulisnya.
Academic Writing juga menggabungkan fakta dan imajinasi, pengetahuan
dengan perasaan tanpa mengedepankan salah satunya. Sebuah essay tidak hanya sekedar menunjukkan
fakta atau menceritakan sebuah pengalaman, akan tetapi menyelipkan opini
penulis itu sendiri. Academic wriring
identik dengan penelitian (research), keabsahan (validity),
membandingkan (comparing), tidak mengenai orang tertentu (impersonal),
resmi (formal) dan kaku (rigid). Keenam kriteria diatas dapat dijelaskan pada
poin-poin dibawah ini:
1)
Research (penelitian) yaitu proses sistematis dengan pengumpulan data dan
menganalisis informasi
2)
Validity (keabsahan) yaitu kebenaran data yang diteliti
3)
Comparing (membandingkan) yaitu membandingkan data atau teori
4)
Impersonal yaitu tidak berpihak pada data tertentu
5)
Formal yaitu menggunakan bahasa resmi
6)
Rigid yaitu bersifat kaku
b) Critical Thinking
Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis
fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah
(Chance: 1986). Dalam berpikir kritis,
ada beberapa keterampilan yang dapat dijadikan acuan, yaitu:
Selain itu, critical thinking dipakai juga ketika kita
menjadi pembaca dan penulis. Kritis
dalam membaca dan menulis sangatlah penting, karena dengan begitu, sebuah
informasi tidak akan serta merta dilahap
mentah-mentah. Membaca kritis (critical
reading) berarti kita harus mampu menganalisis apa yang kita baca. Sedangkan menulis kritis (critical writing)
berarti mampu mengemukakan gagasan secara yakin. Akan tetapi, sebelum kita menjadi penulis
kritis, seharusnya kita menjadi pembaca kritis terlebih dahulu. Karena, akan lebih mudah jika kita mengetahui
banyak informasi.
c) Writing Development
‘Menulis adalah praktek yang didasarkan pada harapan:
peluang pembaca menafsirkan maksud penulis akan meningkat, jika penulis
mengambil antisipasi mengenai apa yang mungkin diharapkan pembaca, didasarkan
pada teks-teks yang sebelumnya yang telah ia baca dari jenis teks yang sama’ (Hyland: 2004). Menulis adalah suatu kegiatan untuk
menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan
aksara (www.wikipedia.org). Menulis
merupakan kegiatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Sebuah teks atau tulisan akan sangat hidup,
ketika mendapatkan pembaca yang tepat.
Akan tetapi, pada haikatnya menulis berfungsi:
Ø Ekspresif
mampu mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, dan
perasaan;
Ø Komunikatif
sebagai alat berinteraksi atau hubungan antara dua orang
atau lebih, dan pesan yang dimaksud dapat dimengerti;
Ø Pengendali sosial
Sebagai pengatur atau pengendali masyarakat, contohnya
peringatan ‘Dilarang Merokok!’
Seperti yang sudah Pak Lala jelaskan, bahwa writing akan
membentuk tiga fokus utama, yaitu:
1)
a new way of knowing something,
2)
a new way of representing something,
3)
a new way of reproducing something.
‘Something’ pada
poin-poin diatas mengacu pada experience (pengalaman) belajar yang akan
melahirkan information (informasi) dan knowledge
(pengetahuan). Hal ini, selaras dengan Canale
dan Swains’s (1980) yang dikutip oleh Hyland dalam bukunya yang
berjudul ‘Second Language Writing’ yang menyebutkan beberapa hal
yang harus kita perhatikan mengenai hubungan experience dengan knowledge, ‘There
are a wide range of knowledge and experience is needed to write succesfully in
english and the framework,’ the writer need at least:
ü Grammatical Competence (pengetahuan mengenai tata bahasa, kosakata dan sistem
bahasa itu sendiri)
ü Discourse Competence (pengetahuan
mengenai genre/jenis dan pola retorisnya)
ü Sociolinguistic Competence (kemampuan
menggunakan bahasa secara tepat dalam konteks yang berbeda, memahami pembaca
dan mengadopsi sikap pengarang yang sesuai)
ü Strategic Competence (kemampuan
untuk menggunakan berbagai bahasa yang komunikatif)
Ketika
kita menulis, maka kita sedang menciptakan makna dari tulisan tersebut. Hyland juga mengatakan bahwa,’Writing
is a practice based on expectation.’
Bukan hanya itu, Lehtonen juga menyebutkan bahwa seorang pembaca
adalah inti dari pembenukan suatu makna dan kegiatan membaca menjadi tempat dimana
makna itu terbentuk. Lehtonen juga
mengemukakan bahwa antara teks dan pembaca tidak bisa berdiri sendiri,
melainkan keduanya saling berkaitan, ‘Reading is includes choosing what
to read, organising and linking them together in order to form meaning, as well
as bringing the readers own knowledge into text’ (Lehtonen: 2000), yang
artinya kegiatan membaca adalah termasuk memilih apa yang harus dibaca,
mengorganisir dan menghubungkan mereka bersama-sama untuk membentuk makna,
serta membawa pengetahuan di dalam sebuah teks untuk pembaca itu sendiri.
Kemudian, pertanyaan selanjutnya adalah ‘bagaimana hubungan antara teks,
konteks, pembaca, penulis dan makna?’
Di dalam bukunya ‘The Cultural Analysis Of Text,’ Mikko Lehtonen membagi
teks menjadi dua kategori, yaitu teks sebagai bentuk fisik (pysical material)
dan sebagai bentuk semiotik (semiotic material). Sebuah teks dipandang sebagai bentuk fisik
berarti berbentuk sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Sedangkan, teks juga dipandang sebagai bentuk
semiotik, karena dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk
mengirim makna tentang objek, kemudian orang lain menginterpretasikan tanda
tersebut (Ferdinand De Sausure: 1857). Lehtonen
menambahkan bahwa sebuah text dapat berbentuk tulisan, musik, ucapan atau
simbol-simbol lainnya. Akan tetapi,
sebuah text akan selalu ditandai dengan tiga ciri utama, yaitu materiality
(materialitas), formal relations (hubungan formal), dan meaningfulness
(kebermaknaan). Ketiga ciri dari teks tersebut akan saling terhubung dan
berkaitan satu sama lain, hal ini (lagi-lagi) menunjukkan fakta bahwa teks
adalah sebagai bentuk semiotik. Lebih
jauh lagi, Lehtonen memaparkan bahwa “...texs are not ‘natural’
but produced by effort; that is, fabricated,” maksudnya adalah sebuah
teks itu tidak ‘alami’ akan tetapi diproduksi oleh usaha, yaitu dibuat dengan
sengaja. Kemudian, pembahasan
dilanjutkan mengenai konteks. Menurut Lehtonen,
konteks adalah yang melatarbelakangi terlahirnya sebuah teks, yang mana
konteks menjadi background information untuk dapat memahami teks
tersebut. Akan tetapi, ketika sebuah
teks diproduksi yang membawa informasi untuk pembaca, maka pembaca yang dapat
menentukan makna dari teks tersebut.
Seharusnya, makna yang dibawa oleh sebuah teks dari penulis harus searah
dengan pemahaman pembaca, tetapi kadang tidak sama, karena pemahaman
makna pada pembaca dan penulis dipengaruhi oleh pengalaman masing-masing.
Dapat
disimpulkan bahwa pertimbangan makna ada pada pembaca, karena ketika kita
membaca sebuah teks, maka secara sadar kita sedang bernegosiasi dengan mencari
makna yang terkandung di dalam tulisan tersebut. Konteks berfungsi sebagai background
knowledge terlahirnya sebuah teks.
Writer berfungsi sebagai orang yang memproduksi sebuah teks berdasarkan
pengalaman yang ia alami. Teks berfungsi
sebagai hasil (produk) pemikiran dari penulis yang berisi informasi dan
pengetahuan. Reader berfungsi sebagai
penikmat atau penerima informasi yang dituliskan dalam sebuah teks. Meaning adalah hasil akhir pemikiran pembaca
dari apa yang dia dapatkan dalam proses pembentukan makna itu sendiri melalui
teks.
Name : Suneti Alawiyah
NIM : 14121330390
Class : PBI-D/4th Semester
CHAPTER
REVIEW 1
MENGAWAL REVITALISASI LITERASI DI INDONESIA
Kata ‘literasi’
nampaknya menjadi sangat populer dewasa ini.
Pendidikan literasi yang mengacu pada kemampuan membaca dan menulis (7th
Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 895) menjadi buah bibir
dalam perbincangan metodologi pengajaran dikalangan guru bahasa dan menjadi isu
yang gencar diutarakan oleh para ahli pendidikan. Prof. A. Chaedar Alwasilah misalnya, dalam
sejumlah tulisannya mengingatkan pentingnya soal literasi ini. Kemampuan ber-literasi dalam konteks ini
mencakup arti yang sangat luas, bukan lagi sekedar kemampuan membaca dan
menulis, akan tetapi juga berkaitan dengan kemampuan memaknai teks. Perjalanan panjang literasi hanya dianggap
sekedar praktik baca-tulis saja, yang dianggap ‘mampu’ sebagai bekal manusia
dalam menghadapi tantangan kehidupan. Bangsa
Indonesia khususnya yang memiliki 231.786 orang berpendidikan, baik itu dari
kalangan akademik maupun dari kalangan non-akademik yang tercatat di Direkorat
Jendral Pendidikan Tinggi pada tahun 2007 sebagai dosen di Perguruan Tinggi
(PT), ternyata belum mampu mengungguli-sebut saja, Malaysia yang penduduknya hanya sepertujuh
dari jumlah penduduk Indonesia.
Laporan UNESCO tahun 2006 tentang literasi dunia
menyatakan bahwa literasi adalah hak dasar manusia sebagai bagian penting dari
hak pendidikan. Hal ini berarti bahwa
literasi sebagai poros uatam dalam peningkatan kualitas hidup manusia, karena
manusia literat merupakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki potensi untuk
membangun bangsanya. Manusia literat
adalah orang yang terdidik dan berbudaya.
Terpenuhinya kadar literasi dalam kemampuan seseorang, memungkinkan kita
mengakses informasi, pengetahuan, pendidikan mengenai hukum dan informasi
lainnya. Sehingga kita mampu
memanfaatkan kekayaan budaya yang ada di Indonesia dan memobilisasikan kegunaan
media sebagai salah satu sarana dalam wacana ber-literasi dengan se-efektif mungkin. Sebuah negara dengan kesadaran literasi yang
sangat tinggi seperti Amerika, Jepang, India dan Korea menempatkan buku sebagai
sumber pembelajaran. Di Amerika
contohnya pengenalan literasi diajarkan dalam konteks pendidikan dari tingkat
Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT). Secara sistematis, listerasi pada tingkat
awal merupakan sebuah pondasi untuk pengembangan literasi pada tahap
berikutnya, seperti yang diceritakan oleh Anne J. Arbali melalui
tulisannya ‘Learning Literature from Elementery through Highschool’ yang
terdapat dalam buku ‘Pokoknya Rekayasa Literasi’. Dalam tulisannya, Anne J. Arbali
mengungkapkan bahwa pengajaran disana (Amerika) lebih berorientasi pada-bagaimana siswa dapat berkomunikasi dengan teks dan
mengembangkan daya berpikir kritis terhadap apa yang mereka baca, tulis maupun
apa yang mereka dengar. Dalam tulisannya,
Anne J. Arbali mengatakan bahwa ’Once, I was joined in the regular English
class, I started to write a journals about my daily activities. Soon, we started to read a simple essays and
we had to write about how we felt,’ dapat kita lihat bahwa sistem
pendidikan yang diterapkan di Amerika dari mulai tingkatan sekolah dasar (SD)
sudah berbasis reading-writing oriented. Hal ini selaras dengan Freebody
dan Luke yang menawarkan empat peran literasi, seperti yang dikutip oleh
Prof. A. Chaedar dalam bukunya, yaitu:
1)
Breaking the codes of text
(memahami kode dalam teks)
2)
Participating in the meanings of texts (terlibat dalam memaknai teks)
3)
Using text functionally (menggunakan
teks secara fungsional)
4)
Critically analyzing and transforming text (melakukan analisis dan mentransformasi teks secara
kritis)
Keempat peran literasi diatas
dapat diringkas dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis
dan mentransformasikan teks.
Untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia dalam bidang
literasi dengan negara-negara lainnya adalah melakukan revitalisasi paradigma yang telah
berkembang di Indonesia dan menggantinya dengan paradigma baru yang dapat
menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas
dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra.
Ada tiga paradigma dalam pembelajaran literasi untuk meluruskan
pemahaman mengenai literasi, adalah:
a)
Paradigma Decoding
Dalam
paradigma ini berlaku rumus: perkembangan literasi = belajar ihwal
literasi-belajar literasi-belajar melalui literasi, yang artinya adalah dalam
paradigma ini belajar grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi dan
belajar bahasa dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahasa. Dengan kata lain, siswa membangun literasi
dengan diajari terlebih dahulu tentang apa itu literasi, yakni bagaimana
memaknai kode bahasa, kemudian diterapkan pada bebagai data atau peristiwa
literasi dalam berbagai konteks.
b)
Paradigma Keterampilan
Dalam
paradigma ini penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca. Siswa dilatih reading comprehension
sebagai bagian dari penguasaan kosakata (baru).
c)
Paradigma Bahasa Secara Utuh
Dalam
paradigma ini menolak pembelajaran yang meletakkan fokus pada bagian atau
serpihan bahasa. Pembelajarn bahasa
mesti berfokus pada pengajaran makna, yaitu kegiatan mengajarkan makna secara
utuh, tidak parsial. Menurut pada
paradigma ini pembelajar mengumpulkan data, membuat hipotesis, menguji
hipotesis, dan mengubah hipotesis secara berkesinambungan.
Paradigma adalah cara pandang dan
pemaknaan terhadap objek pandang (baca: pengajaran literasi). Perubahan sudut pandang membawa sejumlah
konsekuensi sampai ke metode dan tekhnik pengajaran yang kasat mata dan
hasilnya dapat diukur. Dengan demikian,
perlu perubahan paradigma pengajaran literasi dijajaran pengambilan
kebijakan. Perubahan paradigma adalah
hijrah intelektual, hijrah bernalar karena tantangan jaman. Dalam konteks pembelajaran literasi di
sekolah, kita harus melihat pemahaman guru mengenai literasi dan penguasaan
teknik pengajaran siswa, yang berarti penguasaan tentang literasi dan pedagogi
pengajaran literasi mesti dikuasai oleh guru.
Karena, hal ini dapat dilihat pada langkah-langkah profesionalnya
sebagai ujung tombak pendidikan literasi, yaitu:
v Komitmen profesional
v Komitmen etis
v Strategi analitis dan reflektif
v Efikasi diri
v Pengetahuan bidang studi, dan
v Keterampilan literasi dan numerasi
Membangun literasi bangsa harus
diawali dengan membangun guru yang profesional, dan guru yang profesional hanya
dihasilkan oleh lembaga yang profesional juga.
Akan tetapi, kita tidak boleh mengesampingkan konteks sosial
pembelajaran siswa, seperti suasana rumah, suasana sekolah dan suasana
masyarakat secara keseluruhan. Kegiatan
literasi dalam keluarga dan masyarakat berkontribusi pada peningkatan pemahaman
akan pentingnya merekayasa literasi.
Kemudian, pertanyaannya adalah ‘apa yang harus direkayasa?’ Untuk perbaikan rekayasa literasi Indonesia,
senantiasa menyangkut empat dimensi: (1) linguistik atau fokus pada teks, (2)
kognitif atau fokus pada minda, (3) sosiokultural atau fokus kelompok, dan (4)
perkembangan atau fokus pertumbuhan. Dari
empat dimensi tadi, dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini:
1)
Dimensi Pengetahuan Kebahasaan (fokus pada teks)
Membaca dan
menulis itu memerlukan pengetahuan yang mencakup:
a.
sistem bahasa untuk membangun makna seperti jenis dan struktur teks,
morfologi, sintaksis, semantik, ortografi dan sebagainya;
b.
persamaan dan perbedaan bahasa lisan dan tulis;
c.
ragam bahasa yang mencerminkan kelompok, daerah, lembaga, etnis, agama,
pekerjaan, status sosial dan sebagainya.
2)
Dimensi Pengetahuan Kognitif (fokus pada minda)
Membaca dan
menulis itu memerlukan pengetahuan dan keterampilan:
a.
aktif, selektif dan konstruktif saat membaca dan menulis;
b.
memanfaatkan pengetahuan yang ada (schemata) untuk membangun makna;
c.
menggunakan proses mental dan strategi untuk menghasilkan makna
(memprediksi, memonitor, mengevaluasi, merevisi, merespon, menarik simpulan,
membangun koherensi dan sebagainya disesuaikan dengan jenis teks, tujuan dan
hadirin).
3)
Pengetahuan Perkembangan (fokus pada pertumbuhan)
Menjadi
literat itu adalah proses ‘menjadi’ atau secara berangsur menguasai sejumlah
pengetahuan ihwal:
a.
pembelajar yang aktif dan konstruktif dalam perkembangan literasinya;
b.
pemakai berbagai strategi dan proses mengonstruksi berbagai dimensi
literasi seperti pengumpulan data, mengajukan hipotesis, menguji hipotesis dan
memodifikasi hipotesis;
c.
pengamatan atas, dan melakukan transaksi dengan mereka yang lebih fasih di
dalam dan di luar kelompok sosial dan lembaga seperti terkait etnik, budaya,
agama, keluarga, pekerjaan, sekolah dan pemerintah;
d.
bagaimana menggunakan dukungan dan mediasi dari pelaku literasi yang lebih
fasih di dalam dan di luar kelompok sosial dan lembaga seperti yang terkait
etnik, budaya, agama, keluarga, pekerjaan, sekolah dan pemerintah;
e.
pemanfaatn pengetahuan yang diperoleh lewat membaca untuk mendukung
kegiatan (perkembangan kterampilan) menulis dan sebaliknya;
f.
bagaimana menegosiasi makna tekstual melalui pemakaian dan dukungan sistem
komunikasi alternatif seperti seni musik, matematika, dan sebagainya.
4)
Pengetahuan Sosiokultural (fokus pada kelompok)
Membaca dan
menulis itu memerlukan pengetahuan ihwal:
a.
Tujuan dan pola literasi yang beragam sesuai dengan kelompok, daerah,
etnis, agama, pekerjaan, status sosial, dan sebagainya;
b.
Aturan dan norma dalam melakukan transaksi dengan bahasa tulis sesuai
dengan kelompok, daerah, etnis, agama, pekerjaan, status sosial, dan
sebagainya;
c.
Fitur-fitur linguistis dari berbagai teks untuk berbagai tujuan di dalam
dan untuk silang kelompok dan lembaga seperti terkait suku bangsa, budaya,
agama, keluarga, sekolah, lembaga dan sebagainya;
d.
Bagaimana menggunakan literasi untuk memproduksi, menggunakan, mempertahankan,
dan mengontrol pengetahuan di dalam dan untuk silang kelompok dan lembaga
seperti terkait suku bangsa, budaya, agama, keluarga, sekolah, lembaga dan
sebagainya;
e.
Bentuk-bentuk dan fungsi literasi tertentu yang bernilai tinggi dan
dipertahankan oleh berbagai kelompok seperti terkait suku bangsa, budaya,
agama, keluarga, sekolah, lembaga dan sebagainya;
f.
Kemampuan melakukan kritik teks dari berbagai kelompok sosial dan lembaga
yang terkait suku bangsa, budaya, agama, keluarga, sekolah, lembaga dan sebagainya-misalnya untuk memahami nilai-nilai dan agenda yang
melekat dalam teks itu.
5)
Kegiatan Literasi
Literasi tidak
sederhana sekadar menguasai alfabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi
dan simbol tulisnya, tetapi simbol itu difungsikan secara bernalar dalam
konteks sosial.
Kesimpulannya adalah peningkata
literasi sangat berkaitan erat dengan penggunaan atau mengoptimalkan peran buku
sebagai sumber pengetahuan dan informasi.
Peningkatan literasi siswa juga mengandalkan peran guru sebagai
fasilitator untuk mengajarkan dan menanamkan pemahaman literasi dan pentingnya
menerapkannya dalam berbagai kegiatan yang mendidik. Agar, siswa mempunyai kesempatan dan
kemampuan dalam meningkatkan daya literasi mereka dalam disiplin ilmu
pendidikan. Bukan hanya itu, siswa juga
mampu mengembangkan daya berpikir kritis melalui pembiasaan-pembiasaan yang
dilakukan di sekolah, pada tingkatan SD (Sekolah Dasar) sampai PT (Perguruan
Tinggi). Dan secara sistematis, menempatkan
buku sebagai pusat kegiatan pembelajaran, kemudian membiasakan mereka berdialog
dengan teks dengan cara menggalai nalar mereka dengan teks tersebut, bukan
hanya dengan pengenalan kosakata baru.
Sekali lagi, literasi bukan hanya melulu baca-tulis. Akan tetapi, lebih dari itu-perubahan besar. ‘Pendidikan
yang berkualitas tinggi, akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi
pula’, rasanya statement tersebut sangat cukup untuk menggambarkan perlunya
‘revitalisasi’ dan me-masyarakat-kan ihwal literasi di Indonesia.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)