Friday, February 28, 2014
Created By:
Eka Ramdhani Niengsih
Class
Review 3
Eka
Ramdhani Niengsih
PBI-D
Semester4
Literasi:
Modal Hidup Manusia
Hujan
membasahi bumi sejak dini hari bagaikan sedang menangisi dosa-dosa umat manusia.
Rintik hujan pun menemani saya menyelesaikan tugas-tugas kuliah dikala dini
hari yang dingin ini. Ya, dini hari bagi saya adalah waktu yang cocok untuk
menyelesaikan semua tugas-tugas tersebut, karena dini hari memberikan
ketenangan hingga saya bisa lebih berkonsentrasi. Hujan masih setia hadir
dibumi hingga saya harus datang ke kampus, hari ini ada mata kuliah Writing 4.
Perkuliahan akan dimulai pukul 07.30 WIB. Cuaca diluar benar-benar dingin,
seakan enggan untuk menyibakkan selimut hangat yang membelit tubuh ini. Sebuah
kewajibanlah yang merelakan selimut hangat tersebut disibakkan, kewajiban untuk
menuntut ilmu. Bismillah, pukul 07.15 WIB akhirnya saya tiba di kampus hijau
ini. Apa yang terjadi? Kampus benar-benar sepi padahal biasanya suasana pagi
tersebut sudah begitu ramai oleh para mahasiswa. Apakah mereka terlambat datang
ke kampus ataukah memang sengaja terlambat datang? Wallahualam, kita tidak
boleh berpikiran jelek pada orang lain. Mungkin saja mereka sedikit ada
halangan untuk datang tepat waktu.
Saya
sangat bangga pada teman-teman PBI-D juga pada mahasiswa lain yang tetap bisa
datang ke kampus dengan segera walaupun hujan masih setia menemani pagi hari
ini. Alhamdulillah, hujan tidak mengurangi sedikitpun semangat untuk menuntut
ilmu. Semoga niatan baik kita ini membuat kita termasuk golongan orang-orang
baik disisi Allah SWT. Amiin ya
Robbal’alamin. Hari ini jatuh pada tanggal 21 Februari 2014, mata kuliah
writing 4 dimulai sepuluh menit terlambat dari jadwal yang sudah ditentukan.
Pak Lala menyuruh membentuk dua lingkaran, seperti biasanya satu persatu akan
ditanya oleh beliau ihwal tulisan atau materi yang sudah ditentukan sebelumnya.
Saya merasa gugup dan takut karena jika boleh jujur, persiapan saya untuk
menerima pertanyaan dari pak Lala itu belum cukup maksimal. Ya, ketika giliran
ditanya pada akhirnya saya hanya bisa memberikan sedikit penjelasan pada pak
Lala. Penyesalan menghampiri, mengapa saya tidak mempersiapkan materi untuk
hari ini dengan baik? Saya tekadkan! Untuk kedepannya agar lebih bisa me-manage
waktu hingga ada persiapan lebih untuk writing 4 ini.
Selanjutnya
pak Lala memberikan materi seperti berikut. William Butler Yeats membuat
kata-kata bijak bahwa pendidikan bukanlah proses pengisian ember dalam hal ini
adalah otak kita, akan tetapi pendidikan adalah penerangan sebuah api.
Pendidikan membawa kita pada hal yang lebih terang dan jelas. Pendidikan membuat
hal yang sebelumnya belum diketahui jadi kita ketahui. Pendidikan layaknya
oksigen untuk otak kita, nutrisi otak kita. Jika melihat kondisi pendidikan di
Indonesia yang masih jauh dari kata baik, mampu membuat kita ingin menangis.
Masih sering kita melihat anak-anak usia sekolah dengan beraninya menengadahkan
tangan mungil mereka didepan kaca jendela mobil-mobil saat lampu merah menyala,
menunggu para pemilik mobil memberi sedikit belas kasihan dan memberi mereka
uang. Ada pemikiran yang bertebaran di otak saya, bagaimana jika suatu saat
anak-anak pengemis itu mengalami kejadian yang tidak diinginkan ketika berada
di jalanan macet tersebut.
Quote dari Michael Barber “In the 21st
century, world class standards will demand that everyone is highly literate,
highly numerate, well informed, capable of learning constantly, and confident
and able to play their part as citizen of a democratic society.”
Standar
kelas dunia akan meminta setiap orang mempunyai literasi tinggi, seorang
penghitung yang baik dan cepat, seorang informan yang baik, mampu belajar
dengan terus menerus, percaya diri dan mampu memainkan perannya sebagai seorang
makhluk demokrasi di masyarakat. Kehidupan membutuhkan keterampilan sehingga
kita bisa bersaing dengan yang lainnya. Tujuan hidup itu bukan hanya untuk langsung
mendapatkan akhir yang bahagia, akan tetapi hidup adalah mengenai proses
perjuangan kita setiap hari guna mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan yang
hakiki dengan perjuangan kita.
Menulis
Akademik masih dan mungkin akan selalu menjadi bahan pembicaraan kita. Fakta
akan hasil Tulisan Akademik di Indonesia yang masih kalah dengan negara
lainnya, membuat saya melontarkan pertanyaan ‘apa yang salah dengan sistem
pendidikan Indonesia? mengapa akhirnya budaya literasi Indonesia rendah?’
Literasi berawal dari dalam diri kita, apakah kita sadar betapa pentingnya
membaca dan menulis dalam kehidupan sehari-hari kita. Yang terpenting adalah
bagaimana menumbuhkan kesadaran tersebut. Para akademisi seperti dosen,
mahasiswa, pelajar, guru bisa menjadi contoh pelaku literasi. Akan tetapi,
muncul lagi fakta mengejutkan bahwa dosen Indonesia tidak bisa menulis
sekalipun ia adalah bergelar PhD dari luar negeri. Bagaimana mungkin mereka keukeuh menyuruh para mahasiswanya untuk
menulis sedangkan mereka sendirinya pun tidak bisa menulis.
Pak
Lala berangan jika suatu saat IAIN akan jadi Centre of Excellence, kampus yang
akan jadi pusat ilmu bahasa dan ilmu
pengetahuan. A great dream! Semua mengamini harapan itu agar terjadi. Beliau
pun selalu membanggakan mahasiswa angkatan kami, tetapi apakah diri saya yang
masih belum bisa apa-apa ini patut dibanggakan? Sebuah pekerjaan rumah yang
besar bagi kami semua untuk membuktikan perkataan pak Lala bahwa angkatan kami
adalah angkatan terbaik yang pernah ada di IAIN ini. Salam semangat untuk
seluruh mahasiswa PBI angkatan 2012. Semoga kita akan terus menjadi lebih baik
lagi. Amiiiiin.
Setelah
itu, pak Lala memberi kabar yang sangat menggembirakan bagi semua, sebab ada
salah satu alumni kampus hijau ini yang bisa berkesempatan meneruskan
pendidikan di India. Beliau bercerita bahwa gedung kampus hijau disini jauh
lebih baik jika dibandingkan dengan bangunan universitas di India. Akan tetapi,
kuliah para dosennya sekelas dosen universitas-universitas yang ada di Inggris
maupun Amerika. Tugas kuliahnya pun begitu banyak. Hingga India bisa melahirkan
penulis hebat. Terbukti dengan produksi-produksi film nya yang bisa sebanding
dengan film Amerika atau Inggris. Sungguh jauh berbanding terbalik dengan
keadaan di Indonesia.
Ada
beberapa faktor yang menjadi hal penting dan terbesar dalam Menulis Akademik.
1.
Kohesi, perpindahan
lembut atau aliran antara kalimat-kalimat dan paragraf.
2.
Kejernihan, makna yang
diharapkan bisa disampaikan dengan jelas dan sempurna.
3.
Aturan yang masuk akal,
informasi yang logik. Dalam Menulis Akademik, penulis cenderung berpindah dari
hal umum lebih pada hal spesifik (khusus).
4.
Konsistensi, gaya
penulisan yang cenderung tetap sama tidak pernah berubah.
5.
Kesatuan, secara paling
mudah kesatuan merupakan pengeluaran
informasi yang tidak langsung dihubungkan pada topik yang didiskusikan dalam
sebuah paragraf yang diberikan.
6.
Peringkasan, penulis
yang baik dengan cepat menuju poin dan menghapus kata-kata yang tidak
diperlukan dan tidak membutuhkan pengulangan (berlebihan).
7.
Kelengkapan, sementara pengulangan atau
informasi yang tidak diperlukan harus dihilangkan, penulis harus memberikan
informasi mendasar pada topik yang diberikannya. Contohnya dalam sebuah
definisi ayam, pembaca diharapkan mempelajari itu sekilas dari dasar seperti
karakteristik atau bahkan penyakitnya.
8.
Variasi, membntu pembaca dengan menambahkan
beberapa bumbu penarik dalam teks.
9.
Formal, Menulis
Akademik adalah satuan yang formal. Ini artinya penggunaan kosa kata dan sistem
grammar yang tepat. Ditambah juga menghindari penggunaan kata ganti “saya” dan
penyingkatan.
Disamping
itu, dalam Menulis Akademik harus adanya evaluasi kritikal dengan mengajukan
beberapa berikut:
1.
Apakah penulis memenuhi
targetnya?
2.
Apa bahasan utama dalam
argumennya?
3.
Apa bukti yang
digunakan oleh penulis untuk melatarbelakangi artkelnya tersebut?
4.
Apa penulis membuat
pernyataan tidak berdasarkan bukti yang ada?
5.
Apakah bukti yang ada
cukup untuk sebuah artikel dalam Tulisan Akademik sepert itu?
6.
Apakah penulis
menggunakan kata yang kurang baik digunakan atau pernyataan?
Ken
Hyland (2006) menganggap bahwa literasi adalah sesuatu yang kita lakukan. Ya,
tanpa sadar dalam kehidupan sehari-hari kita telah mempraktikan budaya
literasi. Misalnya dalam membeli obat atau makanan dalam kemasan kita pasti
melihat dan membaca kapan tanggal kadalursanya, memastikan apakah itu masih
layak untuk kita konsumsi. Literasi pun membuat manusia satu dan lainnya saling
berinteraksi.
Ujung
tombak pendidikan literasi adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional,
komitmen etis, strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan
bidang studi, dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994
dikutip dari Alwasilah 2012). Pembelajaran literasi tumpang tindih
(overlapping) dengan objek studi budaya (cultural studies) dengan dimensinya
yang luas. Pendidikan yang berkualitas tinggi PASTI menghasilkan literasi berkualitas
tinggi pula, dan juga sebaliknya. Pengajaran bahasa harus mengajarkan
keterampilan berpikir kritis. Sehingga melahirkan orang multiliterat yang pada
akhirnya mereka mampu berinteraksi dalam
berbagai situasi. Masyarakat yang tidak literat tidak mampu memahami bagaimana
hegemoni itu diwacanakan lewat media masa. Oleh karena itu, kita dapat
mengambil pelajaran bahwa Reading, writing,
arithmetic, and reasoning = modal hidup.
Disisi
lain, sebenarnya literasi itu bisa direkayasa. Rekayasa literasi ialah
merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi. Berupa upaya
yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya
lewat penguasaan bahasa secara optimal. Karena,
Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.
Empat dimensi untuk merekayasa literasi:
-
Dimensi pengetahuan linguistik, berfokus pada kebahasaan dan
teks. Membaca dan menulis itu memerlukan pengetahuan yang mencakup: sistem
bahasa untuk membangun makna seperti struktur dan jenis makna, persamaan
perbedaan bahasa lisan dan tulisan, ragam bahasa yang mencerminkan kelompok.
-
Dimensi pengetahuan kognitif / minda, berfokus pada kognitif.
Membaca dan menulis memerlukan keterampilan: aktif selektif saat membaca, memanfaatkan
pengetahuan yang ada disekitar untuk membangun makna, menggunakan mental dan
strategi untuk membangun makna.
-
Dimensi perkembangan, fokus pada pertumbuhan. Pada hakikatnya
literat itu proses “menjadi” atau secara berangsur menguasai beberapa pengatahuan.
-
Dimensi sosiokultural, fokus pada kelompok. Membaca dan
menulis perlu mengetahui hal berikut: tujuan dan pola literasi, aturan dan
norma dalam melakukan transaksi dengan bahasa tulis, fitur-fitur linguistik,
menggunakan literasi untuk membangun dan mengontrol pengetahuan didalam suatu
kelompok, mempertahankan bentuk dan fungsi literasi oleh kelompok.
Orang
yang merekayasa adalah orang yang memiliki literasi tinggi hingga pemahamannya
pun kuat. Orang yang pemahamannya kurang mana mungkin bisa merekayasa. Misalnya
IAIN berlatarbelakang hijau. Hijau itu bukan berarti Islam akan tetapi
mengibaratkan surga. Namun, pemahaman yang perlu dikuatkan adalah perjalanan
menuju surga yang melelahkan dan butuh perjuangan. Kembali pada pemahaman
literasi, pemahaman literasi sebaiknya
dilakukan sejak dini sejak kita mengenal pendidikan dasar di sekolah.
Dalam
buku “The Cultural Analysis of Text”
karya emas Mikko Lehtonen disebutkan bahwa teks mempunyai dua bentuk yaitu
fisik dan semiotik. Bentuk semiotik menjelaskan dalam bentuk lambang yang bisa
digunakan melalui tulisan, verbal, visual. Terkadang kita belum bisa
mengertikan dengan baik suatu lambang. Misalnya lambang mata satu yang
disinyalir adalah lambang iluminasi, sebuah golongan kafir. Penjelasan lebih
mengenai teks dan bentuk sebelumnya sudah pernah saya bahas dalam Class Review
kedua.
Terakhir,
pak Lala menyuguhkan sebuah cerita menarik. Saya dapat menyimpulkan bahwa
ketika masih berkuliah di tingkat sarjana, Pak Lala selalu menyimpan struk
pengambilan uang direkening dari orangtuanya. Juga mengumpulkan semua nota
pembelian buku, tiket kendaraan umum, sampai tahun 2006 semua uang pengeluaran
tersebut dihitung dan ternyata selama berkuliah sekitar empat tahun lebih beliau
telah menghabiskan biaya sebanyak ±Rp.
78.000.000. itu pun belum termasuk uang tambahan lainnya. Lalu, pak Lala
menyadari bahwa investasi dan pengorbanan orangtuanya itu tidak sedikit.
Lantas, sangat tidak sebanding jika kita malah malas kuliah dan hanya membuang
waktu serta uang dari orangtua. Oleh karena itu, pak Lala berusaha menjadi
sosok yang begitu membanggakan untuk orangtuanya. Cerita yang menyadarkan kita
mahasiswa yang masih bermalas-malasan untuk segera berubah. Mahasiswa yang
malas kuliah harusnya malu dengan pengorbanan orangtuanya selama ini, karena
mereka sangat menaruh harapan besar pada kita agar kelak kita memiliki
kehidupan yang jauh lebih baik dari mereka.
Lalu
perkuliahan diakhiri dengan perkataan pak Lala yang menginginkan perkuliahan
akan dimulai pukul 07.00 WIB. Jika harus jujur, saya benar-benar terkejut
karena itu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana itu bisa terjadi. Itu bukan
ide yang buruk, pada dasarnya saya menyetujuinya. Akan tetapi masalahnya adalah
harus jam berapa saya berangkat dari rumah? Pukul 05.00? Masya Allah.
Perjalanan sekitar satu jam setengah belum lagi ada halangan macet karena jalan
raya yang rusak parah. Jika hal ini
terjadi, semoga Allah memberikan kemudahan bagi saya agar bisa datang di kelas
sebelum pukul 07.00. amiiin. Perkuliahan selesai, tapi tidak membuat saya lega.
Justru saya harus lebih mempersiapkan diri untuk mengerjakan tugas-tugas lainnya
mata kuliah Writing ini. Selamat! Salam Semangat! Sampai bertemu lagi di Class
Reciew 4.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)