Saturday, February 22, 2014

INDONESIA, BERLITERASIKAH?


On February, 14th 2014
DEVI RISNAWATI
CHAPTER REVIEW (Rekayasa Literasi)
INDONESIA, BERLITERASIKAH?
“In the 21st century world class standards will demand that everyone is highly literate, highly numerate, well informed, capable of learning constantly, and confident and able to play their part as a citizen of democratic society”
 (Michael Barber)
            Era globalisasi sering dikaitkan dengan tingginya sebuah peradaban suatu  negeri, yang dibarengi oleh tingginya literasi.  Semakin tinggi literasinya, maka semakin tinggilah peradabannya.  Semakin banyak literat, majulah negara tersebut.  Pada chapter review I ini akan membahas lebih dalam lagi tentang makna literasi, bersumber dari buku karya A.  Chaedar Alwashilah “Pokoknya Rekayasa Literasi”.
            Literasi yang berkembang saat ini tidak lepas dari peran para linguis yang telah melakukan penggunaan metode dan pendekatan bahasa asing ke dalam 5 periode/kelompok besar.  Kelompok-kelompok inilah yang merubah paradigma pengajaran bahasa dari masa ke masa. 


           
DEFINISI LITERASI
            Literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis (7th edition oxford advanced learned dictionary 2005:898).  Definisi lain dari literasi adalah kemampuan membaca dan menulis serta kemampuan untuk berkomunikasi baik lewat tulisan ataupun lisan.  Berikut beberapa pengertian literasi dilihat dari kacamata para ahli.
i.             ... an individual’s ability to read, write and speak in english and compute and solve problems at levels of proficiency necessary to function on the job and in society, to archieve one’s goals, and to develop one’s knowledge and potentials. (The National Literacy Act di Amerika Serikat, 1991)
ii.           ... the extent to which peopleand communities can take part, fluently, effectifelly and critically, in the various text and discourse based-events that characterize contemporary semiotic societies and economies...  to be literate is to be an everyday participant in “literate” societies,  themselves composed of a vast range of sites,  locations and events that entail print, visual, digital and analogue media. (Bull & Anstey 2003:53)

Sedang di sekolah-sekolah di Indonesia, kata literasi lebih dikenal dengan istilah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa (Setiadi: 2010).  Masyarakat dahulu menganggap bahwa kemampuan baca-tulis ‘saja’ sudah cukup untuk membekali diri dalam menghadapi arus hidup.  Padahal, jika hanya mngandalkan baca-tulis saja tidaklah cukup.  Ini dikarenakan pada zaman dahulu kemajuan ranah politik, teknologi, science dan sebagainya belum segencar zaman sekarang.  Jadi, baca-tulis ‘saja’pun bisa menjadi pondasi.  Hidup di zaman edan sekarang, literasi yang tinggi, ilmu yang luas sangatlah penting.
Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Literasi kritis sangatlah penting.  Menurut Johnson and Fredman (2005), Literasi kritis adalah perpaduan antara berfikir kritis dengan perhatian pada keadilan sosial, politik, bahasa dan kekuasaan dalam teks. Sedangkan menurut paradigma Fairclough (1995), literasi dipandang sebagai bentuk praktik sosial yang menyusun dunia sosial dan disusun oleh praktik-praktik sosial lain.  Karena adanya paradigma-paradigma baru tentang literasi tersebutlah maka muncul istilah literasi komputer, literasi matematika, literasi IPA dan sebagainya.
Freebody and Luke menawarkan model literasi kedalam 4 aspek, yaitu:
1.      Memahami kode dalam teks
2.      Terlibat dalam memaknai teks
3.      Menggunakan teks secara fungsional
4.      Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis.
Empat Aspek tersebut adalah hakikat berliterasi secara kritis.
            Seperti telah disebutkan diatas, bahwa literasi tumpang tindih dengan dunia sosial, maka literasi akan tetap berhubungan dengan dunia bahasa.  Untuk mendalami bahasa, maka kita waajib mengetahui 7 dimensi kajian lintas bahasa, yaitu: 
1.    Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional dan internasional)
Dapat diukur pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya. 
2.  Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, dsb.)
Literasi bangsa tampak padda dimensi ini.  Semakin tinggi kualitas bidang (baca: pendidikan), maka semakin tinggilah literaasinya.
3. Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, berhitung, berbicara)
Literasi seseorang nampak dari keterampilan yang ia kuasai. 
4. Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan)
Orang yang literat maka akan mampu mengaplikasikan dimensi fungsi ini.  Misalnya: orang yang berliterat akan mampu memecahkan persoalan. 
5. Dimensi Media (teks, visual, digital, cetak)
Dimensi media adalah penunjang penting untuk mencapai literasi. 
6. Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa, dsb.)
Literasi bersifat relatif.  Kita mungkin menguasai beberapa bahasa, misalnya bahasa kesatuan dan bahasa ibu. 
7. Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
Zaman akan terus berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuannya.  Literasipun tidak serta-merta diam ditempat atau dengan kata lain hanya baca-tulis saja.  Perlu adanya perubahan paradigma literasi.  Ada 11 gagasan kunci literasi, yaitu: 
1.      Ketertiban lembaga-lembaga sosial 
2.      Tingkat kefasihan relatif.       
3. Pengembangan potensi diri dan pengetahuan 
4.      Standar dunia.       
5. Warga masyarakat demokratis 
6.      Keragaman lokal 
7.      Hubungan global 
8.      Kewarganegaraan yang efektif 
9.      Bahasa inggris ragam dunia 
10.  Kemampuan berfikir kritis 
11.  Masyarakat semiotik
Kesemuanya inilah yang akan merubah paradigma literasi.  Akankah dijalankan dengan baik atau tidak, tergantung dari masyarakatnya sendiri.  Kunci pertama mencapai literasi yaitu berasal dari lembaga-lembaga sosialnya.  Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari sebuah lingkungan sekitar yang mana difasilitasi oleh lembaga-lembaga sosial.  Lembaga tersebut otomatis akan menjalankan perannya dengan menggunakan bahasa sebagai alatnya.  Nah, dalam berbahasapun perlu adanya tingkat kefasihan yang bagus,efektif dan kritis agar tujuan berliterasi tercapai.
Dalam sebuah lembaga pendidikan bahasa, yang berbasis pada literasi harusnya dilaksanakan dengan mengikuti 7 prinsip literasi.
7 prinsip literasi 
1.      Literasi adalah kecakapan hidup  (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
Maksud dari kecakapan hidup disini adalah kemampuan manusia untuk dapat memfungsikan bahasa dalam kehidupan nyata.

2.      Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
Pendidikan bahasa sejak dini dapat membiasakan siswa untuk bebas berekspresi, baik tulis atau lisan.  Sedang untuk (maha)siswa akan mampu memproduksi karya-karya ilmiah, fiksi dan sebagainya (mahasiswa malakukan kontruksi-rekontruksi).

3.      Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
Bahasa sebagai alat berfikir haruslah disertai dengan nalar.  Melalui bahasa siswa mampu berfikir kritis.

4.      Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
Berbaca-tulis akan selalu ada dalam sistem budaya (kepercayaan, sikap, cara dan tujuan).  Harusnya pendidikan bahasa digunakan dalam pendidikan budaya agar tidak abai terhadap budaya sendiri (dekontekstualisasi bahasa).

5.      Literasi adalah kegiatan refleksi.
Kenapa dikatakan sebagai refleksi diri? Ini disebabkan oleh bahasa yang sangat erat kaitannya dengan pengalaman subjektif dan dunianya.

6.      Literasi adalah hasil kolaborasi.
Dalam sebuah komunikasi selalu melibatkan kolaborasi.  Seperti dalam sebuah buku, adanya kolaborasi antara penulis dan pembaca.

7.      Literasi adalah melakukan kegiatan interpretasi.
Pendidikan bahasa akan melatih siswa dalam menginterpretasikan (mencari, menebak dan mencari makna) sebuah wacana baik itu visual, tekstual maupun digital.  Ingin memiliki literasi yang baik, maka harus baik pulalah dalam menginterpretasinya.

Rapor merah literasi Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan berbagai kultur-budaya yang beragam, indah dan mengesankan.  Namun, ini tidak berbanding lurus dengan kekayaan literasi yang dimiliki warganya.  Sebuah penelitian  dunia PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International Student Assesment) dan TIMSS (the Third International Mathematics and Science Study)  yang mengukur literasi membaca, matematika dan science, terdapat rapor merah literasi anak negeri.  Di ajang PIRLS 2006, Indonesia mendapatkan hasil yang jauh dari kata literasi.  Seperti pada skor prestasi membaca, Indonesia berdiam di bawah angka rata-rata negara lainnya.  Indonesia masih di bawah 450, sedangkan rata-rata negara lain di atas 490.  Pendapatan kapita dan indeks pembangunan manusia (HDI) masih rendah ditambah hanya 44 % orang tua yang terlibat dalam early home literacy activities yaitu; membaca, bercerita, menyanyi, bermain huruf, bermain kata dan membaca nyaring.  Angka ini jauh tertinggal dengan negara lain, misal Scotland 85 %.
Dari beberapa hasil rapor di atas, maka dapat ditarik kesimpulan dan ini bisa dijadikan pelajaran untuk kedepannya, untuk Indonesia lebih berliterasi, yaitu: 
Ø  Tingkat literasi pelajar Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara maju lainnya.  Rendahnya minat baca-tulis menjadi penyebab Indonesia semakin jauh tertinggal di kancah Internasional.  Contoh real dari ketertinggalan bangsa Indonesia bisa dilihat dari pendapatan perkapitanya yang masih rendah, cara didikan orang tua yang tidak maksimal, fasilitas penunjang belajar yang tidak terpenuhi, HDI (Human Development Index) dan sebagainya.  Wagner (1999) dan Barton (2001) menyatakan “Pendidikan literasi adalah investasi jangka panjang yang berfungsi transformatif,  untuk meningkatkan HDI dan menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik”.
Ø  Rendahnya literasi juga bisa dilihat dari skor membaca dan menulisnya.  Skor membaca Indonesia masih rendah, begitupun dengan menulisnya.  Bisa dilihat dari produksi buku yang terbit.  Indonesia hanya 6000 buku/tahun.  Padahal banyak dosen/lulusan PT yang seharusnya mampu menghasilkan sebuah buku, minimal satu buku ia ciptakan dalam rentang waktu 3 tahun.




*Guru sebagai ujung tombak pendidikan literasi haruslah menguasai langkah-langkah keprofesionalannya, ada 6 langkah profesional guru yaitu:
1.      Komitmen profesional
2.      Komitmen etis
3.      Strategi analitis dan reflektif
4.      Evikasi diri
5.      Pengetahuan bidang studi
6.      Keterampilan literasi dan numerasi
*(Cole & Chan, 1994 dikutip oleh Setiadi)
            Jika guru memiliki kesemuanya, maka literasi pun lambat laun akan terbentuk.  Guru profesional = siswa profesional. 

IMPLEMENTASI

Orang Literat = Orang yang Terdidik dan Berbudaya

Orang literat sering disebut juga sebagai orang yang terdidik dan berbudaya karena mereka telah mendapat ilmunya, mereka banyak menguasai berbagai ranah yang orang awam tidak mampu menjangkaunya.
Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.



            Dari tabel di atas dapat  disimpulkan bahwa rekayasa literasi memilki tujuan untuk menciptakan manusia terdidik dan berbudaya.  Penguasaan bahasa secara optimal adalah cara untuk mendapatkannya dengan bahasa sebagai kendaraan awal.
            Dalam usaha perbaikan rekayasa literasi tersebut, menurut Kucer (2006) haruslah menyangkut 4 dimensi, yaitu:

1.      Dimensi  Linguistik
2.      Dimensi Kognitif
3.      Dimensi Perkembangan
4.      Dimensi Sosiokultural

Keempat dimensi ini meliputi keterampilan membaca dan menulis.  Pengajaran membaca dan menulis ini haruslah dihadirkan kedalam 4 dimensi tersebut.  Apabila 4 dimensi teraplikasikan dengan benar, maka akan dihasilkan seorang literat yang menggunakan bahasa secara aktif dan efisien.



            Dengan demikian, rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam 4 dimensi di atas yaitu linguistik, kognitif, perkembangan dan sosiokultural.


            Literasi diajarkan bergantung pada paradigma ihwal literasi itu.  Ada 4 fokus dalam pembelajaran bahasa yaitu menyimak, membaca, berbicara dan menulis.  Untuk lebih jelasnya tentang rekayasa literasi, maka haruslah mengetahui dan memahami berbagai paradigma literasi tersebut.  Secara garis besar ada tiga paradigma pembelajaran literasi yaitu:
v  Paradigma 1 : Decoding, menyatakan bahwa grafofonem adalah pintu masuk literasi dan belajar bahasa dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahasa.

FORMULA : Belajar ihwal liiterasi → belajar literasi → belajar melalui literasi

v  Paradigma 2 : Keterampilan , siswa akan membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu tentang literasinya (mamaknai bentuk-bentuk bahasa).

FORMULA : Belajar ihwal liiterasi → belajar literasi → belajar melalui literasi

v  Paradigma 3 : Bahasa secara utuh, dari nama paradigmanya menyatakan menolak pembelajaran yang meletakkan fokus pada bagian atau serpihan bahasa.  Pengajaran harus berfokus kepada makna, dangan cara melakukan kegiatan mengajar makna secara utuh.

FORMULA : Perkembangan Literasi → belajar literasi → belajar ihwal literasi
#paradigma disini adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang (pengajaran literasi)
            Bila rapor anak bangsa ini merah, maka bisa disebkan oleh banya faktor.  Mungkin bisa dilihat dari dimensi sosial politik dan lainnya.  Untuk menangani faktor ini perlu adanya perubahan paradigma.
Perubahan paradigma adalah hijrah intelektual, hijrah bernalar karena tantangan zaman.
            Kesimpulannya adalah bahwa literasi memiliki peran yang sangat penting terhadap masyarakat dan lingkungan.  Jika literasinmesyarakat rendah maka dapat dipastikan pula negara tersebut tertinggal dengan negara lainnya.  Literasi di zaman modern ini tidaklah bermakna sempit, yaitu hanya  baca tulis saja, tapimakna disini memiliki artian yang lebih luas.  Untuk mencapainya maka dibutuhkan kuncinya.  Ada 11 kunci gagasan literasi (dipaparkan di muka) yang bisa dikaji, jika kunci  ini didapatkan maka  dapatlah kita disebut sebagai seorang literat, warga literat dan negara literat.  Indonesia harusnya mampu memiliki kunci ini agar tidak ada lagi nilai merah dalam rapor.




Class review 2

DUNIA LITERASI = DUNIA PELAJAR

Ini sebuah tantangan, bukan untuk dihindari tapi untuk dihadapi.  Literasi hal wajib untuk dipelajari dan didapati.
            Pada class review ke-2 ini, saya masih akan tetap membahas tentang literasi yaang berhubungan dengan academic writing.  Sebelum membahas ke materi, saya ingin menulis tentang perspektif Mr.  Lala Bumela terhadap para mahasiswanya, yaitu as A WRITER MULTILINGUAL, yang diharapkan mampu menulis secara efektif terhadap L1 dan L2.  Mahasiswa yang akan bermetamorfosis dari mahassiswa bahasa menuju ke mahasiswa penulis.  Mahasiswa yang akan mampu membuat keputusannya sendiri dan tentunya mampu mengubah dunia.  Apakah terlalu banyak? Iya, ini terlalu banyak.  Tapi sangat bermanfaat J
Lalu, apa itu writing?
            Disini saya akan menjelaskan pengertian writing dari Hyland,  yaitu:
v  Menulis adalah cara menyampaikan, menguacapkan dan berbagi pengalaman penulis kepada pembaca dengan menggunakan bahasa tulis (Hyland; 2003:9)
v  Writing is a practing based on expectation; the chance of interpreting the writer’s purpose are increased if the writer takes the trouble to anticipate what the reader bright be expecting based on previous texts he or she has read of the same kind.  (Hyland ; 2004:4)
Dari pernyataan Hyland menyatakan bahwa menulis adalah sebuah praktek yang didasarkan pada sebuah expectation/harapan: kesempatan pembaca untuk menginterpretasikan tujuan penulis adalah akan meningkat jika penulis mengambil resiko dan mampu mengatisipasi apa yang diharapkan dari pembaca  berdasarkan teks yang telah pembaca baca.

WRITER & READER = DANCER

            Hoey (2001), yang dikutip oleh Hyland (2004) mengibaratkan pembaca dan penulis adalah seorang penari  yang saling berkolaborasi mengikuti langkah-langkahnya, merasakan adanya keterkaitan dengan teks serta mengantisipasi hal lain yang mungkin akan terjadi dengan koneksi ke teks berikutnya.
            Jadi, antara peenulis dan pembaca akan mengikuti arus dari bacaan tersebut, dengan tetap akan mengantisipasi akan kembalinya bacaan yang sudah terbaca.  Penulis akan berusaha menyajikan tulisan yang baik dan pembaca berusaha masuk kedalam imajinasi pembaca.
            Dalam sebuah pernyataaa Breathes “the death of the author, simulataneously signifying the birth of the reader”.  Kematian penulis yang sekaligus menandakan kelahiran pembaca.
            Ini artinya, saat karya seorang telah dituangkan dan diterbitkan dalam sebuah tulisan (baca: buku), maka buku itu memiliki kehidupannya yang baru di tangan pembaca.  Buku itu tidak lagi terbelenggu oleh sang penciptanya.  Karena, pada saat membaca, pembaca dapat berselancar kemana saja, menjelajah imaginasi menembus isi dari tulisan yang dibaca.  Ketika seorang pengarang menulis karyanya, maka terpisahlah ia dengan teksnya.  Teks/tulisan tersebut sekarang bukan lagi berada dibawah naungan imajinasinya.  Sedangkan maksud dari lahirnya pembaca adalah munculnya orang baru yang akan menafsirkan teks tersebut, karena teks bersifaak tidak terikat.  Meka besar kemungkinan akan lahirnya para pembaca-pembaca baru yang memiliki dimensi berfikir dalam menerjemahkan bacaan secara berbeda atau multitafsir.  Itulah kenapa dikatakan kematiaan penulis, kelahiran pembaca.
            Penjelasan selanjutnya yaitu tentang teaching orientation.  Yang mana dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu:
1.      Academic writing
2.      Critical thinking
-          Critical reader
-          Critical writing
3.      Writing
Penjelasan
1.      Academic Writing
Based on academic:
a.       Impersonal
b.      Perference based
c.       Formal
d.      Rigid
            Kenapa dalam writing ada research? Research sangat dibutuhkanuntuk mendapatkan hassil yang lebih valid sesuai dengan kebenaran.  Lalu kenapa untuk mencapai kevalidan itu harus ada comparing? Dengan mengcompare dari beberapa sumber maka akan dihasilkan sebuah sumber yang lebih meyakinkan.  Posisi seorang penulis pada tulisannya terletak pada argument dan pieces-nya.
2.      Critical thinking
Writing dibutuhkan adanya sebuah critical pemikiran yang nantinya akan menunjang tulisan.
3.      Writing
Ada 3 cara yang harus dibangun, yaitu:
1.      A way of knowing something*
2.      A way of representating something*
3.      A way of reproducting something*
*something lebih merujuk ke informasi pengetahuan

Literacy  ditentukan oleh :     - LIFE QUALITY
                                                -SDM (Sumber Daya Manusia)
            Tingkat kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kualitas dan kuantitas bahan bacaan yang dihasilkan oleh para penulis dan juga tinggi rendahnya minat baca warga negaranya.
            Hubungan antara tulisan dan peraaban sangat erat kaitannya.  Seorang sejarawan dan orientalis asal Chicago pernah mengatakan bahwa penemuan tulisan dan sistem perekam yang tepat dan sesuai pada kertas benar-benar telah mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam menaikkan martabat rasa manusia daripada setiap prestasi intelektual lainnya dalam karir manusia”  (Breasled 1926 ;53)
            Ciri dari negara yang berliterasi rendah adalah dilihat dari banyaknya barang impor yang masuk.  Indonesia adalah negara subur, tapi karena tingkat literasinya rendah meski Indonesia subur, sangat mungkin untuk mandiri tanpa impor dari luar masih tetap banyak mengimpor barang-barang dari luar.  Contoh dari negara yang maju adalah Jepang dengan  manganya, Korea utara dengan nuklirnya.  Literasilah kuncinya.
            Jadi kesimpulannya adalah kegiatan menulis sangatlah penting.  Berliterat tepatnya.    Banyak sekali pengertian tentang writing, tapi memiliki tujuan yang sama yaitu menjadi lebih berliterasi.  Literasi dapat dilihat dari life quality dan SDMnya.  Indonesia jika ingin maju haruslah memiliki literasi yang tinggi.  Perbaiki life quality dan menyadarkan manusia betapa pentingnya baca tulis.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment