Thursday, February 27, 2014

IKRAR BERAGAMA, SENJATA PERDAMAIAN DUNIA

IKRAR BERAGAMA, SENJATA PERDAMAIAN DUNIA

            “Indonesia Raya….merdeka merdeka… Hiduplah Indonesia Raya.” Sepenggal lirik dari lagu kebangsaan Indonesia ini merupakan harapan akhir suatu bangsa. Indonesia terlepas dari genggaman sekutu sejak 69 tahun silam. Selama itu lah bangsa ini telah memberikan kebebasan bernafas panjang. Namun apakah itu berarti kita sebagai penghuni Negara hanya berdiam diri menghirup kebebasan semata? Is there something you do for the nation? Let’s think over !

             Keadaan semrawutnya suatu bangsa dapat diibaratkan seperti Daun Kering, meskipun banyak tetapi ringan. Jika dilihat dengan kondisi masyarakat maka masyarakat seperti ini berada pada kondisi yang lemah. Meski banyak namun tidak berkualitas, tidak dapat mempunyai kekuatan untuk merubah segala kekurangan atau melawan segala bentuk penjajahan. Daun Kering, selain ringan juga bersuara nyaring. Masyarakat seperti ini hanya bisa berkomentar,                       seharusnya begini semestinya begitu, dulu kita kuat, kita adidaya…namun tidak bisa mewujudkan atau membuktikan dalam bentuk tindakan.
            Daun Kering, sulit untuk dikumpulkan, Daun Kering, sangat mudah terbakar., Inilah kondisi masyarakat yang chaos, penuh kecurigaan, penghasutan, saling menjatuhkan dan menghancurkan diantara satu sama lain. Jangan berharap lagi keharmonisan dan kenyamanan hidup akan tercipta pada suatu wilayah atau negara yang memiliki kondisi masyarakat seperti ini. Karena nilai-nilai luhur kemanusiaan tidak dikenal lagi pada kondisi ini. sebab masyarakat pada kondisi ini sangat mengedepankan materialis, oportunis yang kemudian mengacu kepada masyarakat yang egois dan individualis.
            Pertanyaan yang muncul adalah, apakah analogi Daun Kering ini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia ? Dimana dan berapakah kualitas bangsa Indonesia? “If you want to know the qualities of a nation, just look at the quality and practices of its education system. Almost all advanced nations realize this link and have thus established good education systems.”
(A.Chaedar Alwasilah-Pendidikan Umum dan Liberal)
            Sistem pendidikan Indonesia harus mengedapankan apa yang memang Indonesia butuhkan. Bagi pendidikan Indonesia saat ini, pendidikan karakterlah yang harus diutamakan . Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan. pendidikan karakter penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif.
            Tidakkah bangsa Indonesia menginginkan nilai-nilai social seperti kebersamaan dan gotongroyong? Memang sangat sulit menyeimbangkan keadaan tersebut, yang mana kita tahu bahwa Indonesia saat ini seakan lari dari nilai social yang justru harus di junjung tinggi. Nilai toleransi pun sebagai dasar pembentukkan karakter, masih sulit ditemukan. Seakan mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Padahal, jika semua aspek pembentuk karakter tersebut mampu di sentuh oleh semua warga Indonesia, maka Negara ini akan mampu bersaing dalam hal peningkatan mutu pendidikan.
            Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan oleh orang lain. Pendidikan karakter Indonesia harus lebih tersudut pada generasi muda (anak didik) dalam focus pembentukkan karakter mereka semenjak dini. Untuk itu, penting artinya untuk tidak mengabaikan pendidikan karakter anak didik.      Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter.
            Rekaman perjalanan menarik yang dilakukan beberapa pemuda dari berbagai latar belakang agama dibawah ini merupakan contoh realisasi anak muda yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan menghargai.
            Bagi sebagian orang, empat pemuda Perancis—Samuel Grzybowski, Ismael Medjdoub, Josselin Rieth, dan Victor Grezes—ini melakukan suatu hal impian: berkelana keliling dunia. Namun, ada tambahan yang membuat perjalanan anak-anak muda berusia 19-21 tahun ini lebih mengasyikkan daripada sekadar keliling dunia: ini perjalanan antar-iman atau interfaith tour, sebuah perjalanan dengan makna.
            Berangkat dari Paris delapan bulan lalu, mereka (seorang Muslim, seorang Katolik, seorang ateis, dan seorang agnostik) mengunjungi Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia sebelum ke Australia, Amerika Selatan dan Amerika Utara dan kembali ke Paris akhir April. Mereka tinggal seminggu sampai sebulan di sebuah negara, bertemu, berbincang, dan mewawancara orang-orang yang terlibat dalam ikhtiar antar-iman. Setiap Rabu, mereka melaporkan ringkasan perjalanan pekan itu dalam artikel dan video berdurasi sekitar tiga menit yang dipasang di laman perjalanan tersebut, www.interfaithtour.com. Kegiatan tersebut memperlihatkan hubungan antar-iman yang harmonis. Kelompok sosiokultural berbeda itu hidup bersama dengan damai antara lain dengan kebiasaan ”kerabat bercanda” (parente a plaisanterie) mereka. Lewat hubungan bercanda, konflik diredakan, kegembiraan ditingkatkan, dan kohesi sosial dirasakan. (Diah Marsidi).
            Sepenggal kisah anak muda yang berbeda agama tersebut memberikan makna bahwa perbedaan yang mereka miliki bukanlah masalah yang sulit dihadapi. Justru hal itulah yang membuat perjalanan mereka lebih berwarna. Mari beranggapan bahwa mereka merupakan ilustrasi kehidupan Indonesia. Beberapa pemuda yang berbeda latarbelakang tersebut anggaplah sebagai suku, agama dan budaya yang Indonesia miliki. Kebersamaan berbagai latarbelakang tersebut pada akirnya mampu berkohesi kegembiraan dan social budaya yang dirasakan. Indonesia mampu, Indonesia bisa dan pasti akan sukses menjalankan misi kelima sila dasar Negara “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Khidmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” 
            Untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Hal ini mendesak program-program kreatif dan inovatif untuk mendukung sasaran Classroom Discourse yang positif di kalangan siswa. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan social (Rubin, 2009). Potensi-potensi pengajaran dalam classroom discourse erat kaitannya dengan realistic, motivating, activities yang berdasarkan meaning and purpose.
“Justice? — You get justice in the next world, in this world you have the law.”
-William Gaddis, A Frolic of His Own-
            Para tokoh lintas agama secara kolektif meyakini bahwa bangsa ini berada dalam persimpangan jalan menuju kebangkrutan moral (“PR,20/5). Moral kebangsaan hancur karena para pemimpin bangsa, khususnya pemerintah dan DPR, sudah kehilangan komitmen untuk membangun Negara kesatuan. Mata dan telinga mereka tidak lagi sanggup melihat dan mendengar realitas. Nurani kebangsaan pun mati.
            Pemegang kendali pemerintahan sekarang ini pada umumnya adalah produk pendidikan tinggi angkatan 1970-an atau 1980-an, yakni masa jaya-jayanya rezim orde baru yang menjadikan pembangunan ekonomi sebagai panglima. Namun, ekonomi bangsa ini hancur dan memicu gerakan reformasi pada tahun 1998. Ternyata euphoria demokrasi pada rezim ferormasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas bangsa ini. Malah moral bangsa ini hamper bangkrut.
            Sejak dilantik sebagai Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter, karena memang selama ini pendidikan telah berhasil menyelenggarakan pendidikan akademik, tetapi gagal membangun karakter. Pendidikan dari tingkat usia dini sampai PT menyelenggarakan pendidikan akademik dan karakter. Namun, pada PT porsi pendidikan karakter lebih sedikit karena PT diniati membangun profesi. (Beberapa penggalan tersebut diambil dari buku “Pendidikan Umum dan Liberal” karangan A.Chaedar Alwasilah ).
            Kerukunan beragama memegang kunci perdamaian dan sisi progresif dunia. Agama yang tidak bertoleransi justru akan menimbulkan masalah dan memecah belah kerukunan social. Mari bersama-sama menciptakan kerukunan tersebut dengan mengetahui dan mempraktikan rasa bertenggang rasa kita , menghargai agama lain, bersatu padu dengan orang yang berbeda keimanan dan kepercayaan, dan sebagainya.

            When politicians and bureaucrats fail to educate the public, schools should be restored and empowered to function to the fullest. Elementary school teachers should provide opportunities to students to foster meaningful experiences, i.e., interactions with other students of different religion, ethnicity and from different social groups. (Classroom discourse to
foster religious harmony- A.C Alwasilah).

            Masih segar dalam ingatan kita adalah insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri. Hal tersebut mencoreng citra karakter politis negeri . Tatkala para wayang pemerintahan tak mampu membuktikan wawasan berliterasi mereka dihadapan public secara nyata, maka dengan kata lain hasil pembentukkan karakter generasi yang gagal berasal dari sisi politisi pemerintahan itu sendiri.

            Lantas siapa yang bertugas membentuk kembali karakter muda idealis negeri ? Jawabannya dituturkan Dr.Chaedar dengan jelas bahwa  guru (SD) lah yang harus mengarahkan generasi penerus kearah yang lebih berwawasan tinggi dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu, interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.

            Pengenalan beragam agama pada anak usia dini justru akan lebih mengajarkan arti perbedaan dan menghargai satu sama lain. Pendekatan ilmu social yang dilakukan guru dalam penanaman benih karakter muda idealis diharapkan mampu mendedikasikan dirinya pada misi tersebut. Apabila benih tersebut gagal ditanam maka jangan harap ada keuntungan yang didapat, melihatnya tumbuh dengan sempurna dan memanen hasilnya pun tak akan pernah terwujud.

            Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni berharap dialog antar-umat beragama dapat memperkuat kerukunan beragama dan menjadikan agama sebagai faktor pemersatu dalam kehidupan berbangsa.

"Sebab jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dan kemajuan suatu negara," katanya dalam Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia untuk Mengantar NKRI di Jakarta, Rabu.
            Pada pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu itu Maftuh menjelaskan, kerukunan umat beragama di Indonesia pada dasarnya telah mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir namun beberapa persoalan, baik yang bersifat internal maupun antar-umat beragama, hingga kini masih sering muncul. Maka dengan adanya misi perdamaian antar umat beragama tersebut, step by step perkara agama akan terhindari.
            Sejak manusia mampu menciptakan senjata yang mampu menghancurkan bumi dalam sekejap, saat itu perdamaian menjadi harga mutlak yang harus dijaga. Memang berat menjaga sesuatu yang telah dicapai. Proses meningkatkan kualitas yang signifikan tidak semudah membalikkan kedua telapaktangan. Keadaan menghargai, bertoleransi atas perbedaan duniawi dibutuhkan dalam cita rasa pahit manisnya kehidupan. Sejak dini belajarlah untuk menghargai perbedaan, agar kelak semua orang selalu menjaga perdamaian.
            Selain itu, factor yang memungkinkan yang paling penting dan mendasar yaitu dengan  memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting.
            Jika seseorang itu masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama dirinya sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian.
            Sebelum membentuk karakter generasi muda, dalam proses mencegah dan menanggulangi kejadian sebelumnya agar class discourse kerukunan beragama tetap berjalan lurus dengan tujuan akhir, maka harus adanya pengetahuan akan hal apa saja yang mampu menjadi kendala hilangnya nilai-nilai social, gotongroyong dan lain-lain.
Kendala-Kendala Penghambat Kerukunan
1. Rendahnya Sikap Toleransi
            Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain.
            Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik. 
2. Kepentingan Politik
            Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya.
            Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3. Sikap Fanatisme
            Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
            Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
            Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.
            Pada saat melewati panjangnya perjalanan hidup, hadiah yang akan diperoleh adalah penghargaan baru dari tempat yang dipijak. Hubungan antar umat beragama dan hukum atau aturan beragama dirasa sebagai penyemangat kehidupan.   Muncullah langkah terbaik untuk memahami budaya (cultural understanding) dan self-understanding.
                Dengan demikian, jendela kecil untuk melihat indahnya dunia berasal dari hal kecil  yang tidak disadari sebelumnya. Berkohesi dalam toleransi beragama dipandang sulit karna belum adanya dorongan kuat dalam dedikasi kerukunan beragama. Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai kerukunan umat antar beragama ada beberapa sebab, antara lain Rendahnya Sikap Toleransi, Kepentingan Politik dan Sikap Fanatisme. Adapun solusi untuk menghadapinya, adalah dengan melakukan Dialog Antar Pemeluk Agama dan menanamkan Sikap Optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar umat beragama. Diawali dengan perubahan paradigm terhadap anak didik sebagai calon generasi penerus bangsa. Dunia ini pernah ternoda oleh peperangan sadis yang panjang. Tapi biarlah ia menjadi sejarah masa lalu. Saatnya kita menulis sejarah masa depan yang penuh dengan kedamaian.






 REFERENCES:

http://internasional.kompas.com/read/2014/02/26/0834229/ di akses pada tanggal 24 Februari 2014 pukul 19.34
http://www.religiousharmony.org/ diakses pada tanggal 25 Februari 2014 pukul 17.00
Alwasilah,A.Chaedar.2004.Pokoknya Rekayasa Literasi.Bandung-PT Kiblat Buku Utama.


Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment