Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Alfat Prastowo
Hidup Rukun Sebagai Pondasi Negara
Pendidikan
adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan,
dan kebiasaan sekelompok orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.
Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga
memungkinkan secara otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif
pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan.
Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar,
sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang. Sebuah
hak atas pendidikan telah diakui oleh beberapa pemerintah. Pada tingkat global,
Pasal 13 PBB 1966 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Meskipun pendidikan adalah wajib di
sebagian besar tempat sampai usia tertentu, bentuk pendidikan dengan hadir di
sekolah sering tidak dilakukan, dan sebagian kecil orang tua memilih untuk
pendidikan home-schooling, e-learning atau yang serupa untuk anak-anak mereka.
Jika kita ingin mengetahui kualitas suatu bangsa, hanya
melihat kualitas dan praktek sistem pendidikan. Hampir
semua negara maju menyadari link ini dan dengan demikian membentuk sistem
pendidikan yang baik. Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan
yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun tidak
terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab
Kementerian
Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Kemdiknas), dahulu bernama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Depdikbud). Di
Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar
pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Saat ini, pendidikan di
Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama,
yaitu formal, nonformal, dan informal. Pendidikan juga dibagi ke dalam empat
jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi.
Saya
rasa Indonesia harus menanamkan Pendidikan Karakater, mengingat moral anak bangsa
ini sudah tidak baik lagi.
Penguatan
pendidikan moral (moral education) atau pendidikan
karakter
(character education)
dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang
melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya
pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja,
kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan
obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik
orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat
diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.
Menurut
Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing),
sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior).
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakanbahwa karakter yang baik didukung
oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan
perbuatan kebaikan. Bagan dibawah ini merupakan bagan kterkaitan ketiga
kerangka pikir ini.
Pengertian Pendidikan Karakter Menurut Ahli,
1. Pendidikan
Karakter Menurut Lickona
Secara sederhana, pendidikan karakter
dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk
mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat,
dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh
Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan
karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu
seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai
etika yang inti.
2. Pendidikan
Karakter Menurut Suyanto
Suyanto (2009) mendefinisikan
karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
3. Pendidikan
Karakter Menurut Kertajaya
Karakter adalah ciri khas yang
dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan
mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin”
yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon
sesuatu (Kertajaya, 2010).
4. Pendidikan
Karakter Menurut Kamus Psikologi
Menurut kamus psikologi,
karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya
kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif
tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).
Nilai-nilai dalam pendidikan karakter
Ada 18 butir nilai-nilai
pendidikan karakter yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin,
Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat
Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif,Cinta
Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab. Lebih
jelas tentang nilai-nilai pendidikan karakter dapat di
lihat pada bagan dibawah ini:
18 Nilai
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter
telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi
yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi
juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter
dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life
to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari
seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter
secara optimal. Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang
tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode
pembelajaran yang sesuai adalah metode
keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.
Masalah sosial berulang seperti
tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh
Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu kurangnya semata-mata
kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda.
Konflik sosial dan ketidakharmonisan agama khususnya
merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk
mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan
karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama harus
dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Hal
ini paling mendesak bahwa kami mempromosikan program-program kreatif dan
inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan siswa.
Radikalisme
adalah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan/pergantian terhadap suatu
sistem di masyarakat sampai ke akarnya, jika perlu dilakukan dengan menggunakan
cara-cara kekerasan. Atau menginginkan adanya perubahan total terhadap suatu
kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat. Selain agama, radikalisme juga
sudah “menjangkiti” aliran-aliran sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Ada
anggapan di kalangan masyarakat awam bahwa radikalisme hanya dilakukan oleh
agama tertentu saja, dan anggapan itu memang tidak salah. Kelompok radikal di
negeri ini tumbuh subur. Mereka masih bebas melancarkan serangan dengan merusak
nilai-nilai kemanusiaan.
Di Indonesia,
aksi kekerasan (teror) yang terjadi selama ini kebanyakan dilakukan oleh
sekelompok orang yang mengatasnamakan/mendompleng agama tertentu. Agama
dijadikan tameng oleh mereka untuk melakukan aksinya. Selain itu mereka juga
memelintir sejumlah pengertian dari kitab suci. Teks agama dijadikan dalih oleh
mereka untuk melakukan tindak kekerasan atas nama jihad. Beberapa pelaku yang
sudah ditangkap oleh aparat keamanan, ternyata dari kelompok Islam garis keras
(Islam radikal). Selama dunia belum berakhir, Islam radikal akan tetap ada,
termasuk di Indonesia. Namun, semua aksi kekerasan atas nama agama sangat tidak
dibenarkan, baik menurut hukum agama dan hukum negara. Kita yakin bahwa tidak
agama yang mengajarkan kekerasan terhadap sesama umat manusia, yang ada adalah
saling menghormati dan mengasihi antar sesama makhluk ciptaan Tuhan. Gerakan
ini sebenarnya bisa dicegah, salah satunya adalah dengan mengoptimalkan peran
ulama untuk mendakwahkan nilai-nilai luhur agama Islam.
Ulama adalah
simbol yang sangat efektif dalam menyebarkan Islam sebagai agama yang Rahmatan
Lil `Alamin. Ulama harus menjadi garda depan mengajarkan pesan-pesan Islam yang
damai. Mereka tidak boleh terjebak pada pemaknaan teks agama, misalnya jihad,
yang memberi pengajaran mengenai kekerasan. Selain ulama, lingkungan keluarga
juga ikut berperan mencegah radikalisme yang berkembang akhir-akhir ini, yakni
dengan pendidikan yang benar. Keluarga merupakan benteng terdepan untuk
mencegah radikalisme sehingga orangtua harus dibekali pengetahuan dan diberi
materi mengenai kebangsaan, sebab selama ini seakan-akan peran keluarga
terlupakan dan anak dibiarkan tanpa pendamping. Pendidikan anak hanya
diserahkan ke sekolah tanpa pengawasan orangtua. Demi menjaga keutuhan bangsa,
masalah ini harus dipecahkan secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa.
Selain itu, dalam menangkal ideologi radikalisme harus dilakukan gerakan
deradikalisme dengan pendekatan lunak melalui penguatan dan revitalisasi
implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan bernegara.
Dalam kehidupan bermasyarakat kerukunan antar umat beragama
sangat diperlukan karena tidak menuntut kemungkinan bahwa orang yang disekitar
kita satu agama dengan kita. Tidak bisa dibayangkan apabila tidak terciptanya
kerukunan antar umat beragama pada masyarakat sekarang ini, mungkin akan
terjadi perang antar agama. Sebagai contoh kecil, seorang penganut agama islam
bertetangga dengan orang yang menganut agama lain. Pada saat orang islam itu
shalat orang beragama lain menghidupkan suara lagu atau menjerit- jerit tidak
karuan atau sebaliknya. Dari cerita tersebut,bagaimana menurut orang islam
apabila ibadahnya di ganggu?, tentunya akan marah, dengki, dendam dan lain-
lain yang akhirnya menuju kepada konflik yang berkepanjangan. Itulah sebabya
mengapa kerukunan antar umat beragama sangat diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat. Telah dibahas sebelumnya bahwa kerukunan identik dengan kata
“damai” dan “tentram”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan
hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran
(Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka
“kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak
dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan
ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak
boleh dicamputi pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu
dalam kerja sama yang baik. Kerja sama antar umat beragama merupakan bagian
dari hubungan sosial antar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam.
Hubungan dan kerja sama dalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya
tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup
kebaikan. Hubungan yang baik antar umat beragama dapat berdampak positif bagi
pemuda penerus bangsa. Untuk itu kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat
dapat diwujdkan dengan:
a) Saling tenggang rasa, saling menghargai,
toleransi antar umat beragama
b) Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk
agama tertentu
c) Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan
d) Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan
Negara atau pemerintah. Dengan demikian akan dapat
tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman dan
kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi
dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan ini di mana
rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu
sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya
adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009). Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar
belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan
dibentuk oleh latar belakang mereka. Program
sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana
sipil positif.
Indikator wacana sipil termasuk
mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan
pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi
dengan cara yang hormat. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata
pelajaran sekolah.
Siswa harus dilatih
untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung,
berdiri diam dan bergiliran di berbicara.
Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk
menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi.
Pada sekolah dasar, guru kelas
berfungsi untuk mengawasi siswa untuk hampir sepanjang hari.
Haruskah mereka tahu bagaimana merancang dan
memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan
wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan. Pada
menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan
untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu.
Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik
dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial
dalam suatu masyarakat tertentu.
Sebuah laporan penelitian oleh
Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam dukungan
kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa.
Interaksi rekan dalam studi sosial, kelas Indonesia dan
Pancasila tidak perilaku mengganggu jika guru mengelola secara efektif. Menjadi berisik tidak selalu negatif. Ini bisa menjadi bukti interaksi interaktif dan mencerahkan. Oleh
karena itu, disarankan agar mempromosikan interaksi sebaya harus dilaksanakan
sebagai salah satu kegiatan rutin kelas.
Siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan
satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh
perhatian, berdebat hormat dan suara mengorbankan untuk mempersiapkan mereka
untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis.
Data dari studi Ariliaswati
diperoleh dalam penelitian tindakan tiga siklus yang dilakukan dengan kelas
kelas empat dari 43 siswa di sebuah sekolah dasar di Pontianak, kota di mana
bentrokan antaretnis telah terjadi cukup sering.
Studi ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi
sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil. Sebagai siswa SD, anak-anak yang belum mampu memberikan
alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tapi bisa mengekspresikan
kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Selain itu, para siswa tampak percaya satu sama lain,
sehingga kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil.
Studi Aprilliaswati mengajarkan
kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah,
tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga
intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan
warga negara yang beradab. Pendidikan kita saat
ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang ke
kekuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi
tersebut.
Masih segar dalam ingatan kita
adalah insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota parlemen saling
bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan
langsung di seluruh negeri. Alih-alih mendidik anak-anak sekolah, politisi ini telah
menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana berperilaku. Untuk mengulang, kejadian ini menunjukkan bahwa pendidikan
politik belum berbuat cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil.
Ketika politisi dan birokrat gagal
untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan untuk
berfungsi secara maksimal. Guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mendorong pengalaman bermakna, yaitu, interaksi dengan siswa lain dari agama
yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Idealnya kebijakan harus ditegakkan dimana sekolah yang
dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda agama, etnis dan dari
kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Kampus
ini juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual
keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk efektif
pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan, Korupsi, kisruh politik, disintegritasi,
krisis kepercayaan, kualitas pendidikan yang membahayakan, lemahnya penegakan
hukum, penguasaan sumber daya oleh asing, dan ragam jenis lainnya, tak
terhingga mungkin jumlahnya jika kita mencoba mendata berbagai tantangan yang
mendera Indonesia dewasa ini.
Legenda intelektual
Indonesia, Nurcholish Madjid (Cak Nur) menyebut hal ini sebagai krisis
multidimensional yang sedang melanda Indonesia. Ada banyak solusi sesungguhnya,
salah satunya yaitu melalui pengenalan bidang ilmu ‘Liberal Arts’.
Liberal?
Arts? Ilmu ini belum cukup populer di Indonesia. Sebagian orang di Indonesia
sangat ‘anti’ dengan kata ‘liberal’. Konstruksi sosial yang dibangun dari kata
ini seolah sangat menakutkan. Kata liberal sederhananya diartikan dengan kata
‘bebas’ dan kata ini menyeramkan bagi sebagian orang yang konservatif dan
fundamentalis. Padahal, lima belas tahun yang lalu, sesungguhnya perjuangan
berdarah keringat dalam nama reformasi itu ; bertaruh untuk ‘kebebasan’.
Jadi apa itu sebenarnya Liberal Arts?
Ilmu bebas? ;
seni semacam drama, lukisan? ; tentang hal hal yang bukan teknis, namun yang
esensial dan fundamental, contoh ; kenapa harus ada sturktur sosial di masyarakat?,
yang berbau filsafat? ; kebebasan dalam bersastra, berpendapat, ilmu sastra? ;
kebebasan berkarya? ; seni kebebasan, bebas ekspresikan karya cipta karsa rasa
tanpa melanggar norma. Apresiasinya bisa dari hal kecil sampai hal besar? ;
ilmu general, bebas tanpa keterpaksaan, luwes dalam berkarya, mantap dalam ilmu
dunia yang variatif? ; Ilmu dunia akhirat?
Itulah beberapa jawaban yang muncul dari sejumlah pemuda.
Semua jawaban
di atas bisa jadi benar. Liberal arts ialah ilmu tentang arts (seni) yang
berarti juga ; budaya, secara luas – bebas, tercakup didalamnya ; produk-produk
budaya ; lukisan, drama, pengetahuan dan lain lain, ditinjau salah satunya dari
perspektif filsafat.
Sebelum lebih
jauh, kita butuh kenal dulu tujuh unsur kebudayaan yang paling populer ; urut
dari yang paling susah diubah ; sistem kepercayaan, sistem pengetahuan,
teknologi, ekonomi/mata pencarian, sistem kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian.
Dalam sistem pendidikan di sejumlah negara maju, liberal arts juga dijadikan
sebagai sebuah sistem pendidikan, sehingga bermunculan sejumlah college liberal
arts.
Istilah
liberal sesungguhnya berasal dari kata latin libre yang berarti bebas atau
merdeka. Apabila diinterpretasikan secara lebih luas, orang yang mendapat
pendidikan liberal arts adalah orang bebas dan dari namanya saja kita dapat
menerka bahwa sistem pendidikan atau kurikulum liberal arts itu memberi peluang
kepada peserta didiknya untuk memilih satuan atau paket mata kuliah yang
diminatinya sebagai bekal apabila ia terjun di dunia kerja.
Pada sistem
pendidikan modern,menurut ensiklopedi itu lagi, yang termasuk ke dalam liberal
artsitu adalah studi mengenai teologi, susastra, filsafat, sejarah,
bahasa,matematika, dan sains. Dalam pendidikan tingkat undergraduate (setaraf
dengan S-1 di Indonesia), tujuan dari liberal arts adalah untuk memberi
pengetahuan umum agar para mahasiswa memiliki dasar pengetahuan kuat yang akan
menjadi bekal kepada mereka dalam dunia kerja dan dalam menempuh karier
profesional atau karier ilmiah yang lebih tinggi.
Agus Suwignyo
dalam bukunya Dasar-dasar Intelektualitas (2007), menengarai program ini pada
dua muatan, yaitu dalam perspektif kurikulum pendidikan sebagai kurikulum objek
kajian, dan disposisi sikap sebagai kurikulum tersembunyi. Kurikulum objek
kajian berkaitan dengan ilmu yang dipelajari, mencakup sains formal, sains alam
empiris, dan sains sosial empiris. Sementara kurikulum tersembunyi berhubungan
dengan etos keilmuan dalam suatu disposisi sikap yang melekat pada kepemilikan
ilmu. Disposisi sikap merujuk pada kemampuan mencetuskan gagasan otentik yang
mendasari sikap dan perilaku kelimuan.
Pendidikan
liberal art menekankan pada pengembangan kemampuan berfikir dan menalar, yakni
pengolahan kompetensi untuk menemukan dasar rasional bagi suatu gagasan dan
sikap, disamping juga mengolah kopetensi-kempetensi yang umum dan mendasar.
Umum artinya tidak spesifik atau khusus; mendasar artinya esensial dan tidak
pragmatis. Hal ini tentu disertai dengan banyak kata ‘why’.
Pendidikan
liberal art juga mencakup keseluruhan dimensi kemanusiaan secara utuh, yakni
manusia sebagai mahluk yang menalar, berinteraksi dan berkembang, dan menciptakan
individu yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab. Individu yang bebas bagi
sebagian orang, dikhawatirkan akan menciptakan budaya yang bebas. Bagaimana
menanggapi hal ini?.
Budaya
merujuk pada unsur teratasnya, yaitu religi yang jadi landasan bagi unsur-unsur
berikutnya. Religi adalah sistem kepercaaan yang berkaitan dengan cara pikir-
landasan dasar bertindak dari seorang individu. Individu yang bebas akan mampu
menemukan landasan terbaik bagi dirinya yang akan menjadi penuntunnya untuk
hidup ‘berbudaya’ yang cerdas.
Topik bahasan
liberal arts lebih ke arah fenomena/isu yang muncul, dilihat dari sisi pandang
manusianya sebagai salah satu produk budaya dalam masyarakat, Batasan topiknya
adalah isu-isu yang aktual dan esensial. Ada banyak potensi produk dari ilmu
liberal arts. Salah satu yang terpenting adalah landasan pemikiran bagi
berbagai hal.
Disinilah
liberal arts bisa ambil bagian dalam solusi atas krisis multidimensional di
Indonesia. Mengkaji kembali berbagai hal yang lari dari hakikatnya, menanamkan
kebebasan berpikir bagi setiap individu, dan menciptakan kebebasan yang
terdidik serta terbina dalam kehidupan demokrasi yang progresif.
Indonesia
sedang ‘galau’. Galau karena kurang kokohnya landasan pemikiran. Galau ini
dapat diobati dengan seni ; seni berpikir yang bebas-cerdas. Galau ini bisa
membaik, jika dirawat untuk disembuhkan dan ‘dibangunkan’ ; karena galau ini
muncul dari ‘tidur’ yang terus berjalan ; ngigau.
REFERENSI
Al-Wasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
http://liberalarts.upj.ac.id/tentang-liberal-arts/apakah-liberal-arts/definisi-la/
REFERENSI
Al-Wasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)