Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Hilman Hidayatullah
“Majalah
Gatra edisi 23 Januari 2008 lalu memuat sebuah berita yang
sebenarnya terlalu penting untuk dilewatkan. Judulnya: “Jembatan Ayat Keras
dan Lunak.” Berita itu menceritakan seputar kontroversi isi disertasi Abd.
Moqsith, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan disertasi yang diuji pada 13 Desember 2007
itu, maka Abd Moqsith – yang suka menambah namanya menjadi Abd Moqsith Ghazali
– dinyatakan oleh UIN Jakarta telah berhak menyandang gelar Doktor dalam bidang
Ilmu Tafsir Al-Quran.
Kondisi itu sepertinya terus berlangsung hingga sekarang. Akhirnya, para dosen di perguruan tinggi Islam tersebut lebih menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Arab. Padahal agama Islam seharusnya diperdalam dengan menggunakan bahasa Arab, mengingat bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab.
Contohnya terlihat pada beberapa dosen dan bahkan guru besar di sebuah universitas Islam di Indonesia berkunjung ke Mesir. Di antara mereka yang berkunjung ada yang lantas mengadakan seminar atau diskusi umum tentang tema-tema keagamaan dengan para mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Al-Azhar. Salah satu diskusi yang pernah diadakan adalah tentang buku salah satu dosen IAIN yang mengkritik keshahihan hadits-hadits dalam Shahih Bukhari. Dalam diskusi itu, ternyata argumen-argumen yang digunakan dosen yang mengkritik hadits di dalam kitab Shahih Bukhari tersebut sangat lemah dan mudah dipatahkan oleh mahasiswa. Dari argumen-argumen itu tersebut akhirnya mahasiswa dapat menyimpulkan bahwa pondasi pemahaman agama dosen tersebut masih sangat lemah. Ironisnya, dosen tersebut padahal sudah bergelar profesor dan guru besar di sebuah IAIN
Timur Tengah yang menjadi basis utama bahasa Arab, dan juga tempat lahirnya para ulama besar yang mengajarkan Islam sudah sepantasnya dijadikan kiblat kembali oleh perguruan tinggi Islam kita. Namun ini bukan berarti membatasi belajar agama Islam harus di Timur Tengah. Islam adalah agama yang universal dan cocok di tempat mana saja. Artinya Islam juga bisa dipelajari di mana saja.
Harapan dan kepercayaan masyarakat Islam di Indonesia kepada perguruan tinggi Islam selama ini begitu besar. Perguruan tinggi Islam tidak lagi dipandang sebelah mata, dan juga bukan lembaga pendidikan tinggi alternatif. Jasa perguruan tinggi Islam di Indonesia sangat besar sekali. Sekarang, bagaimana perguruan tinggi Islam ini dapat mempertahankan statusnya tersebut. Bukan malah sebaliknya, perguruan tinggi Islam tapi dituding merusak Islam dari dalam. Wallahu’alam.[]
“orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang (rela) kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jikahgbiu89 kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Liberalisasi
Pendidikan, Suatu Kemajuan atau Kemunduran?
Membaca yang telah A. Chaedar Alwasilah paparkan dalam Jakarta
post Sat, 22 Oktober 2011 dimana banyak pembaca seolah olah di setir oleh
wacana tersebut, dicuci otaknya tentang pemahaman liberal itu sendiri, baik
dalam penggambaran atau pemaparan tapi wallahua’lam
dalam isinya, dalam konteks ini bagaimana terlihat sekali mengakarnya paham
tentang liberalisasi dalam pemikirannya, baik itu dalam suatu ideologi
kebangsaan bahkan telah masuk ke ranah pendidikan sekalipun, terlihat sekali
kegalauan, kebimbangan A chaedar dalam tulisannya, dalam bentuk teks sangat
dapat dipahami dengan mudah dan cukup membangun dalam wacana pendidikan, tapi dalam
sosiolinguistic atau conteks A. chaedar
dianatara 2 haluan besar pemahaman, dilema pemahaman yang dimana beliau tidak merasakanyan,
karena ideology liberal itu sendiri barada dintara dua titik nadir apakah akan
memilih sekulerisme/sosialisme atau meruksak tatanan ideology Islamisasi/khilafah.
Sebelum
menjelaskan apa yang daingkat dalam wacana pendidikan liberal, atau “dampak
terburuknya” tentang pendidikan liberal tersebut ,mari kita pahami pemahaman
dasar ideologynya dahulu sebelum memasuki inti texs, jadi, kenapa kita harus
menguraikan kasus ini, sebab kita harus memahami satu persatu permasalahan yang
ada, pertama ialah bagaimana kita bisa paham tentang arti liberalisasi tersebut,
bagaimana liberalisasi diantara 2 pemahaman, tidak kesana tidak kemari atau
bisa juga disebut ideology yang tergesa-gesa
bahkan bisa meruksak ideology islam sekalipun. Berikut pengertian dari apa yang
namanya ideology liberalisasi:
“Liberalisme atau Liberal
adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik
yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak
adalah nilai politik yang utama.[1]Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat
yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. [2] Paham liberalisme
menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.[2]Dalam masyarakat modern,
liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan
keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas.[3].”
Bisa kita
lihat sendiri dalam potongan pengertiannya itu sendiri kita dapat uraikan
ideology ini membebaskan setiap pengikutnya berbuat, bersikap atau berpikir
sesuai dengan apa yang mereka kehendakinya tanpa ada seseorang yang melarang sekalipun,
ini isi penisbatan dalam pengertian diatas dalam kalimat: “Paham liberalisme
menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama” disini
tergambar jelas seolah-olah ideology ini adanya akan perlawanan terhadap Negara
dan agama, dapat dipahami ini ialah pengertian dari ideology sekulerisme, yang memisahkan
antara kehidupan bernegara dengan berAgama, kemudian lebih jelasnnya arti dari
sekulerisme itu sendiri ialah:
“Sekularisme atau sekulerisme
dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang
menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat
menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan
menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak
menganakemaskan sebuah agama tertentu”
Tegas dalam
pengertian diatas adalah pengertian dari sekulerisme dan liberalisme yang sangat
bertentangan dengan falsafah Agama Islam, kita selaku orang muslim yang baik,
kita paham bahwa tindak tanduk kita di muka bumi tidak terlepas dari
syari’at-syari’at agama.
“Kami ciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah”
“Setiap langkah kehidupanku hanya untuk beribadah””
Kemudian pemahaman liberal ini juga sangat mendekati
dengan pemahaman marxisme atau leninsme, ini diangkat karena terdapat dalam
pokok-pokok liberalisasi nomor 1 yang isisnya:
“Kesempatan yang sama. (Hold
the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan
yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan”.
Diatas
tertulis dengan jelas tentang kesempatan yang sama dalam segala bidang
kehidupan dapat diartikan juga dengan penyamarataan atau satu rasa sama rata,
ini sangat identik dengan paham komunisme/marxisme dimana pengertiannya adalah:
“Komunisme
sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme
sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi.
Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran
rakyat secara merata.”
Pengertian
diatas memaparkan tentang bagaimana suatu system yang menyamakan pemerataan,
salah suatu pandangan, terdapat dalam pokok-pokok liberalis, liberalis adalah
kedok dan merupakan jalan bagaimana system marxisme ini lahir, jelas sudah komunis sangat bertentangan dengan
paham pancasilais apalagi dengan paham khilafah yang agama kita bawa sebagai
panduan kita hidup sebagai muslim yang baik, diatas bagaimana pemahaman
ideology liberalis sangat berbahaya bagi Negara dan agama, seperti isi ideology
pancasila berikut:
“Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah Pancasila merupakan
ideologi yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembagan jaman tanpa pengubahan
nilai dasarnya. Ini bukan berarti bahwa nilai dasar Pancasila dapat diubah
dengan nilai dasar yang lain yang sama artnya dengan meniadakan Pancasila atau
meniadakan identitas/jati diri bangsa Indonesia (AL Marsudi, 2000:62).”
Pancasila
sebagai ideologi terbuka mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar Pancasila itu
dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia dan
tuntutan perkembangan zaman secara kreatif dengan memperhatikan tingkatn kebutuhan
dan perkembangan masyarakat Indonesia sendiri. Tidak bebas sebebasnya seperti
liberal atau sekulerisme.
Kemudian
yang paling beresiko bagaimana paham liberalis bila masuk kedalam system
pendidikan kita, kita berbeda dengan Negara-negara lain, bila di Indonesia ya
gunakan cara Indonesia, tidak bisa dengan seenaknya menggunakan system dari
nmana datangnya dari antah berantah yang memiliki kelemahan dan di takutkan akan
adanya udang di balik batu, serta secara dengan tidak sadar akan menciderai
budaya ketimuran kita yang sangat menjungjung kekhasan dalam segala pola sendi
kehidupan.
Pendidikan
pun imbasnya bila terkontaminasi pemahaman liberalis akan sangat berbahaya bagi
generasi kita selanjutnya, apalagi dengan hanya iming-iming yang
mengatasnamakan perdamaian, bila disadari sedari awal apabila kita paham atas Agama
masing-masing yang kita anut, toleransi ini
akan sangat mudah di jalankan dan di aplikasikan, juga dampak liberalis
lainnya adalah pemahaman keilmuan dengan cara sekemauan dan seenak para
pencarinya dengan tidak menorelir qoidah-qoidah keilmuan tersebut, seperti
lahirnya para tokoh-tokoh yang mengatasnamakan jaringan islam liberal (JIL),
sedangkan arti dari jil ialah:
“Jaringan
Islam Liberal (JIL)
adalah sebuah pemikiran yang sifatnya liberal.
Mereka tidak tertarik denganteks-teks yang berkaitan dengan (al-quran
dan Hadis), tetapi lebih terikat dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam teks-teks tersebut. Dalam implementasinya pemikiran ini dapat disebut
meninggalkan teks dan hanya menggunakan rasio. Dari sudut bahasa gandingan
perkataan antara Islam dan Liberal itu tidak tepat. Sebab Islam itu bermaksud
tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, manakala bebas dalam pengertian tidak
harus tunduk kepada ajaran Agama (al-quran dan Hadis), pemikiran liberal
sebenarnya tepat disebut “pemikiran Iblis” daripada “Pemikiran Islam”, kerana
makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.”
diatas
tertera jelas bahwa pemahaman liberal telah masuk ke ranah bagaimana pemahaman
kita terhadap agama islam, dan menjadi sebuah landasan atau theory pemahaman
umat islamdalam menafsirkan Al-Quran dan hadist, sungguh kekeliruan yang sangat
menyesatkan bagaimana penafsiran tergantung kita yang memiliki otoritas ayat
tersebut baiknya diamalkan atau tidak. Berikut kutipannya “tidak tertarik dengan teks-teks yang berkaitan dengan (al-quran
dan Hadis), tetapi lebih terikat dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam teks-teks tersebut dan hanya menggunakan rasio” ternyata faktanya
kasus kasus seperti ini sangat mudah kita temui di lembaga pendidikan Islam
sekalipun, seperti di UIN, IAIN maupun STAIN, banyak pemahan-pemahaman yang
nyeleneh di luar nalar agama islam seutuhnya yang di implikasikan dalam tatanan
fiqh, syari’ah, maupun muamalah, ini
dilakukan oleh para mahasiswa maupun dosennya yang tergabung dalam jaringan
islam liberal tersebut. Seperti kasus
berikut:

Disertasi
Abd Moqsith yang berjudul, “Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat
Beragama” dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam
dan guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
(Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra
(Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer,
Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun Kamal dan
Prof. Dr. Salman Harun.
Melihat
tema yang dibahas dalam disertasi Abd. Moqsith tersebut, harusnya para ahli
tafsir di Indonesia tertarik untuk menyimaknya. Apalagi kasus ini sudah
terangkat di media massa. Namun, faktanya, respon terhadap disertasi itu
sepertinya dingin-dingin saja. Padahal, ini menyangkut masalah Al-Quran, kalam
Allah, dan penafsirannya.”
Sebenenrnya
masalahna ini telah menyebar ke ranah lainnya seperti konsfirasi syimbol
Universitas Islam negeri syarif hidayatullah Jakarta, seperti kutipan dalam
surat kabar electronic, dimana tertulis sperti berikut :
perubahan
logo Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah yang tadinya bernama
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah telah menjadi salah satu
topik yang cukup hangat sejak lama.
Logo
lama yang mencantumkan kitab suci Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi umat
Islam dan juga hadits, dalam logo baru yang dirilis pertanggal 21 Agustus 2008,dihilangkan
dan diganti dengan logo Hexagram yang melingkari bola dunia berwarna biru dan
ditutupi dengan sebuah buku terbuka dengan tulisan “UIN” di dalamnya.
Ada
sejumlah kalangan yang menyatakan jika simbol UIN yang baru ini bukan Hexagram
atau pun Bintang David, melainkan simbol Atheisme atau Sekularisme. Mereka
beralasan jika penafsiran simbol UIN adalah Hexagram, itu terlalu dipaksakan.
Namun bagi siapa pun yang mendalami bahasa simbol maka dia akan memahami jika
bentuk itu memang sebuah Hexagram, bukan yang lain, karena simbol Atheisme dan
Sekularisme itu dalam sejarahnya memang berasal dari simbol Hexagram.
Hexagram
sendiri awalnya bukan simbol yang “menakutkan” seperti sekarang. Awalnya,
simbol Hexagram dipakai oleh para pendeta penghitung bintang sebagai simbol
perkumpulannya. Namun simbol ini kemudian dipakai oleh Nabi Daud a.s. sebagai
stempel kerajaannya. Dan kemudian dalam perjalanannya dipakai oleh para tetua
Kabbalah dan sekarang diwarisi oleh gerakan zionisme internasional, yang
dipakai sebagai simbol bendera Zionis-Israel.
Acara
perubahan simbol UIN yang baru ini diadakan di auditorium utama UIN dan
dimeriahi oleh penampilan musik orkestra Dwiki Darmawan dan Ita Purnamasari.
Selain dihadiri Rektor UIN Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, juga ada mantan rektor
Drs H Ahmad Syadzali, serta Direktur MarkPlus, Hermawan Kertajaya. Hermawan
menilai jika logo yang baru ini, “…melambangkan proses horizontalisasi. Ini
mencerminkan kemajuan.”
Sedangkan
Komaruddin Hidayat menilai jika logo yang baru ini memberikan gambaran sebuah
identitas baru bagi UIN Jakarta menuju world class university. Istilah
ini tentu tidak lepas dari tema besar Globalisasi. Logo baru ini sudah
disepakati para guru besar tentunya.
Logo
UIN Jakarta yang baru terdiri dari empat elemen: bola dunia, partikel atom,
buku, dan tulisan "UIN". Dalam keterangan resminya dikatakan jika
bola dunia berwarna biru, dikatakan melambangkan wawasan universal UIN Jakarta
dan juga misi agama Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Partikel atom
berwarna emas menggambarkan keilmuan dan dinamika serta keajegan hukum alam
(sunnatullah) yang diperintahkan Allah untuk selalu dibaca dan diteliti demi
kesejahteraan umat manusia. Parikel itu juga dapat dilihat sebagai bunga
lotus atau sidrah (sidrah al-muntaha), yakni lambang cita-cita setiap
mukmin untuk menggapai pengetahuan kebenaran tertinggi (ma’rifah al-haq).
Kemudian
kitab atau buku berwarna putih dengan garis tepi berwarna kehijauan,
melambangkan sumber inspirasi dan kaidah hukum serta moral bagi pengembangan
UIN Jakarta. Sementara tulisan "UIN" berwarna biru melambangkan
kedalaman ilmu, kedamaian, dan kepulauan nusantara yang berada di antara dua
lautan besar, yakni sebuah wilayah yang mempertemukan berbagai peradaban dunia.
Selain itu, terdapat juga garis putih horizontal yang membelah tulisan
"UIN". Garis ini merupakan pengikat UIN Jakarta sebagai universitas
yang kuat.
Bisa
saja keterangan resmi menafsirkan demikian. Namun dalam bahasa simbol, tetap
saja logo tersebut mengandung Hexagram dan jika itu kemudian ditafsirkan
sebagai “bunga lotus” maka ini juga memiliki artinya sendiri yakni simbol
reinkarnasi dan bunga Dewa Matahari “Ra”. Sejak 2000 tahun sebelum masehi,
bangsa Mesir telah mengenal bunga Lotus yang dianggap melambangkan Dewa
Nefertem, yang memberikan cahaya kehidupan pada Ra, Dewa Matahari. Menurut
mereka, wangi bunga ini merupakan sumber dari kekuatan Ra. Osiris yang terbunuh
juga dipercaya lahir kembali melalui bunga lotus. Sebab itu, lotus juga
melambangkan kelahiran kembali atau reinkarnasi. Relief bunga lotus selalu
menjadi penghias peti mumi dan makam-makam kuno di Mesir. Dalam Budhisme, Lotus
dipercaya sebagai bunga kesucian, pencapaian tertinggi bagi ruh manusia. Bunga
ini juga mendapat tempat istimewa dalam Hinduisme. Bunga ini juga ada dalam
tradisi Cina yang menjadi alas Dewi Kwan Im. Sedangkan dalam mitologi Yunani
Kuno, bunga Lotus dikenal sebagai bahan penghilang kesadaran (hipnosis)
terbaik, sehingga dalam satu kisah diceritakan bahwa korban-korban bunga ini
oleh Odysseus dijadikan sebagai budak.
Lantas,
apakah dengan perubahan logo baru UIN ini jelas-jelas sudah dikuasai Yahudi dan
antek-anteknya? JIL, misalnya?
Kita
tentu sering mendengar ulah norak JIL yang memang banyak terdapat di kampus UIN
Jakarta. Para pengajarnya pun ada yang nyeleneh. Namun UIN Jakarta juga
dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa dan para pengajar yang hanif dan lurus, beda
sekali dengan aktivis JIL. Apakah dengan perubahan logo baru itu, kubu Liberal
yang memang antek Zionis-Yahudi (silau dengan tema Globalisasi yang sebenarnya
merupakan cita-cita kaum Lucuferian sebagaimana kalimat di dalam lambang negara
AS, “Novus Ordo Seclorum” atau cita-cita Pluralisme) dianggap telah menjadi
kekuatan hegemoni di kampus tersebut? Wallahu’alam bishawab.
Mudah-mudahan tidak.
Uraian
di atas hanyalah tentang makna simbol baru UIN Jakarta, bukan untuk menghakimi orang-orang
yang ada di dalamnya.
jadi, yang
menjadi pertanyaannya adalah “apa yang melatarbelakangi berkembangnya liberal
dalam tatanan pendidikan Islam ini kini??” sedikit jawaban tentang pertanyaan
itu adalah banyaknya dosen-dosen agama di PT Islam yang kuliah di luar negeri
yang bukan berorientasikan asas-asas islam, seperti yang dikutip dalam media
berikut :
Posted
by : Ahmad Sadzali Jumat, 31 Mei 2013
Perguruan
tinggi Islam, baik UIN atau IAIN memiliki peranan besar dalam tubuh umat Islam
di negara kita. Dari sejak berdirinya, tentu sudah banyak pendidik dan
pengemban dakwah Islam yang dilahirkan dari perguran tinggi Islam tersebut.
Bahkan lembaga ini juga bisa dibilang menjadi tempat kepercayaan masyarakat
untuk meneruskan jenjang pendidikan agama secara formal.
Selayaknya
sebuah perguruan tinggi, UIN atau IAIN tidak dapat berdiri sendiri. Untuk dapat
berkembang dan meningkatkan kualitas, perguruan tinggi Islam ini memang harus
bekerjasama dan membuka jaringan dengan lembaga pendidikan lainnya. Baik itu
lembaga pendidikan yang ada di dalam negeri itu sendiri, atau pun yang ada di
luar negeri.
Pada
awalnya, perguruan tinggi Islam di Indonesia memang memiliki hubungan erat
dengan perguruan-perguruan tinggi di Timur Tengah. Namun ketika Harun Nasution
menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kiblat perguruan
tinggi Islam itu mulai berubah ke Barat. Sekitar tahun 70an itulah IAIN gencar
mengirimkan lulusan ataupun dosen-dosennya ke Barat untuk memperdalam agama
Islam.
Kondisi itu sepertinya terus berlangsung hingga sekarang. Akhirnya, para dosen di perguruan tinggi Islam tersebut lebih menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Arab. Padahal agama Islam seharusnya diperdalam dengan menggunakan bahasa Arab, mengingat bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab.
Kurangnya
penguasaan para dosen di perguruan tinggi Islam ini tentu saja berdampak
negatif. Salah satu dampaknya adalah terhadap kelangsungan kerjasama perguruan
tinggi Islam di Indonesia dengan perguruan-perguruan tinggi Islam di Timur
Tengah.
Sebagai contoh,
perkumpulan Liga Universitas Islam Internasional batal diadakan di UIN/IAIN
karena kurang baiknya komunikasi bahasa Arab para dosen dalam negeri dengan
para dosen yang datang dari Timur Tengah. Alhasil, tempat pelaksanaanya
dipindahkan di Pondok Modern Darussalam Gontor, dan Liga Universitas Islam
lebih mempercayai Institus Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor sebagai rekan
kerja sama daripada UIN atau IAIN.
Dampak
negatif lainnya adalah kepada pemahaman para dosen itu sendiri terhadap ajaran
Islam. Karena pada dasarnya memang ajaran Islam itu harus diperdalam dengan dan
melalui bahasa Arab. Walau bagaimanapun sumber awal agama Islam ada di Timur
Tengah, dimana masyarakatnya berbahasa Arab. Bahasa Arab tidak dapat dipisahkan
dari agama Islam, apalagi untuk mempelajarinya lebih dalam.
Contohnya terlihat pada beberapa dosen dan bahkan guru besar di sebuah universitas Islam di Indonesia berkunjung ke Mesir. Di antara mereka yang berkunjung ada yang lantas mengadakan seminar atau diskusi umum tentang tema-tema keagamaan dengan para mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Al-Azhar. Salah satu diskusi yang pernah diadakan adalah tentang buku salah satu dosen IAIN yang mengkritik keshahihan hadits-hadits dalam Shahih Bukhari. Dalam diskusi itu, ternyata argumen-argumen yang digunakan dosen yang mengkritik hadits di dalam kitab Shahih Bukhari tersebut sangat lemah dan mudah dipatahkan oleh mahasiswa. Dari argumen-argumen itu tersebut akhirnya mahasiswa dapat menyimpulkan bahwa pondasi pemahaman agama dosen tersebut masih sangat lemah. Ironisnya, dosen tersebut padahal sudah bergelar profesor dan guru besar di sebuah IAIN
.
Dampak negatif lainnya lagi adalah menjamurnya virus pemikiran-pemikiran liberal di tengah mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia. Misalnya, tidak sedikit mahasiswa yang diajarkan mengkritik para ulama sebelum tahu ilmunya terlebih dahulu. Tidak sedikit pula mahasiswa menjadi liberal ketika masuk ke perguruan tinggi Islam, daripada sebelumnya. Padahal para mahasiswa inilah yang nantinya akan meneruskan perjuangan dakwah Islam.
Dampak negatif lainnya lagi adalah menjamurnya virus pemikiran-pemikiran liberal di tengah mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia. Misalnya, tidak sedikit mahasiswa yang diajarkan mengkritik para ulama sebelum tahu ilmunya terlebih dahulu. Tidak sedikit pula mahasiswa menjadi liberal ketika masuk ke perguruan tinggi Islam, daripada sebelumnya. Padahal para mahasiswa inilah yang nantinya akan meneruskan perjuangan dakwah Islam.
Itu hanya beberapa
dari dampak negatif yang ditimbulkan dari berubahnya kiblat perguruan tinggi
Islam di negara kita dari Timur Tengah ke Barat. Di satu sisi memang penulis
akui bahwa perguruan tinggi Barat memiliki kelebihan dibandingkan dengan Timur
Tengah. Namun kelebihan yang dimiliki Barat tersebut bukanlah hal yang substansial
dalam pembelajaran ajaran Islam, yang mengharuskan berpindahnya kiblat
pendidikan Islam kita ke sana.
Timur Tengah yang menjadi basis utama bahasa Arab, dan juga tempat lahirnya para ulama besar yang mengajarkan Islam sudah sepantasnya dijadikan kiblat kembali oleh perguruan tinggi Islam kita. Namun ini bukan berarti membatasi belajar agama Islam harus di Timur Tengah. Islam adalah agama yang universal dan cocok di tempat mana saja. Artinya Islam juga bisa dipelajari di mana saja.
Akan tetapi maksud
penulis di sini hanyalah menekankan pentingnya bahasa Arab sebagai alat untuk
memperdalam ajaran Islam, yang mana sumber bahasa Arab itu ada di Timur Tengah.
Secara logika, artinya memperdalam Islam sedikit banyaknya tidak dapat lepas
dari dunia Timur Tengah. Jadi, perguruan tinggi Islam yang menjadi wadah untuk
memperdalam ajaran Islam itu juga selogisnya memiliki hubungan erat dan
berkiblat ke Timur Tengah, bukan ke Barat.
Ada lagi faktor
yang lebih besar dari sekedar faktor bahasa Arab tersebut, yaitu faktor
pembelajaran agama Islam itu sendiri. Tidak semua ilmu dalam ajaran Islam dapat
dipelajari dengan otodidak atau tanpa guru, karena menuntut bimbingan pemahaman
dari seorang guru. Belum lagi tradisi sanad yang tidak dapat diindahkan dalam mempelajari
Islam. Dan hal ini semua kebanyakan hanya dapat ditemukan di Timur Tengah yang
banyak menyimpan ulama.
Harapan dan kepercayaan masyarakat Islam di Indonesia kepada perguruan tinggi Islam selama ini begitu besar. Perguruan tinggi Islam tidak lagi dipandang sebelah mata, dan juga bukan lembaga pendidikan tinggi alternatif. Jasa perguruan tinggi Islam di Indonesia sangat besar sekali. Sekarang, bagaimana perguruan tinggi Islam ini dapat mempertahankan statusnya tersebut. Bukan malah sebaliknya, perguruan tinggi Islam tapi dituding merusak Islam dari dalam. Wallahu’alam.[]
beberapa
data dan fakta yang telah berkembang di pendidikan islam kini ialah jelas
sekali tentang konsfirasi sabotase keilmuan dan paradigm kependidikan di Negara
ini telah di setir oleh kaum yahudi dan nashrani, salah satunya dengan cara masuknya
paham liberal, karena jelas paham liberal berasal dari mereka(yahudi/nashrani),
sama halnya dengan paham sekularisme tapi
liberal hanyalah versi lebih softnya, pada dasarnya orang yahudi dan nashrani itu
tidak akan pernah ridho tentang akan adnya umat islam di muka bumi, berawal dari
kisah nabi ibrahim dan antara kedua istrinya yang satu adalah siti sarah yang kaya
raya menjadi nenek moyang yahudi nashrani, sedangkan siti hajar sebagai
pembantu adalah nenek moyang Muhammad bin abdullah (Nabi Muhammad SAW), sejak
itulah tidak akan ridho jika kami harus mempercayai Muhammad bin Abdullah yang
keturunan pembantu, maka turunlah ayat :
Surah
Al Baqarah 120
“orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang (rela) kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jikahgbiu89 kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Jadi
dapat kita tarik kesimpulnnya dari keseluruhan wacana diatas tentang pemikiran
dasar sang pembuat teks A. Chaedar Alwasilah, dapat dilihat dari latar pendidikan dan
pemahaman ideology dari biographynya yang jelas lulusan dari Negara non Islam,
secara tidak langsung menumbuhkan ideology-ideology yang ia tak sadari telah
mengalir dalam darah dan pikirannya.
pemahaman tentang karakter ideologi ini
menjadi sangat penting untuk dipahami. Ketidakpahaman terhadap ideologi yang
dianut akan menyebabkan pemahaman yang bias terhadap seluruh sistem yang
dibangun. Hal itu berimbas pada ketidakpahaman terhadap tujuan suatu sistem
pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya. Giliran
berikutnya, sistem pendidikan yang dijalankan hanya akan membuat
program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan
peserta didik bagai kelinci percobaan.
Pendidikan yang sekular-materialistik saat
ini merupakan produk dari ideologi sekular yang terbukti telah gagal
mengantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang manusia
shalih dan mushlih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma
pendidikan yang didasarkan pada ideologi secular/liberal, yang tujuannya
sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian
tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, serta sinkretistik dalam
agamanya.
“Hizbut
Tahrir Indonesia. 2002. Bunga Rampai Syariat Islam.”
Referensi
AL Marsudi, 2000:62
Majalah Gatra edisi 23 Januari 2008
“Hizbut
Tahrir Indonesia. 2002. Bunga Rampai Syariat Islam.”


Subscribe to:
Post Comments (Atom)