Thursday, February 27, 2014

Liberalisasi Pendidikan, Suatu Kemajuan atau Kemunduran?


Liberalisasi Pendidikan, Suatu Kemajuan atau Kemunduran?

Membaca yang telah A. Chaedar Alwasilah paparkan dalam Jakarta post Sat, 22 Oktober 2011 dimana banyak pembaca seolah olah di setir oleh wacana tersebut, dicuci otaknya tentang pemahaman liberal itu sendiri, baik dalam penggambaran atau pemaparan tapi wallahua’lam dalam isinya, dalam konteks ini bagaimana terlihat sekali mengakarnya paham tentang liberalisasi dalam pemikirannya, baik itu dalam suatu ideologi kebangsaan bahkan telah masuk ke ranah pendidikan sekalipun, terlihat sekali kegalauan, kebimbangan A chaedar dalam tulisannya, dalam bentuk teks sangat dapat dipahami dengan mudah dan cukup membangun  dalam wacana pendidikan, tapi dalam sosiolinguistic atau conteks  A. chaedar dianatara 2 haluan besar pemahaman, dilema pemahaman yang dimana beliau tidak merasakanyan, karena ideology liberal itu sendiri barada dintara dua titik nadir apakah akan memilih sekulerisme/sosialisme atau meruksak tatanan ideology Islamisasi/khilafah.

Sebelum menjelaskan apa yang daingkat dalam wacana pendidikan liberal, atau “dampak terburuknya” tentang pendidikan liberal tersebut ,mari kita pahami pemahaman dasar ideologynya dahulu sebelum memasuki inti texs, jadi, kenapa kita harus menguraikan kasus ini, sebab kita harus memahami satu persatu permasalahan yang ada, pertama ialah bagaimana kita bisa paham tentang arti liberalisasi tersebut, bagaimana liberalisasi diantara 2 pemahaman, tidak kesana tidak kemari atau bisa juga disebut  ideology yang tergesa-gesa bahkan bisa meruksak ideology islam sekalipun. Berikut pengertian dari apa yang namanya ideology liberalisasi:
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.[1]Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. [2] Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.[2]Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas.[3].
Bisa kita lihat sendiri dalam potongan pengertiannya itu sendiri kita dapat uraikan ideology ini membebaskan setiap pengikutnya berbuat, bersikap atau berpikir sesuai dengan apa yang mereka kehendakinya tanpa ada seseorang yang melarang sekalipun, ini isi penisbatan dalam pengertian diatas dalam kalimat: Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agamadisini tergambar jelas seolah-olah ideology ini adanya akan perlawanan terhadap Negara dan agama, dapat dipahami ini ialah pengertian dari ideology sekulerisme, yang memisahkan antara kehidupan bernegara dengan berAgama, kemudian lebih jelasnnya arti dari sekulerisme itu sendiri ialah:
Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu
Tegas dalam pengertian diatas adalah pengertian dari sekulerisme dan liberalisme yang sangat bertentangan dengan falsafah Agama Islam, kita selaku orang muslim yang baik, kita paham bahwa tindak tanduk kita di muka bumi tidak terlepas dari syari’at-syari’at agama.
“Kami ciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah”
“Setiap langkah kehidupanku hanya untuk beribadah””
             Kemudian pemahaman liberal ini juga sangat mendekati dengan pemahaman marxisme atau leninsme, ini diangkat karena terdapat dalam pokok-pokok liberalisasi nomor 1 yang isisnya:
Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan”.
Diatas tertulis dengan jelas tentang kesempatan yang sama dalam segala bidang kehidupan dapat diartikan juga dengan penyamarataan atau satu rasa sama rata, ini sangat identik dengan paham komunisme/marxisme dimana pengertiannya adalah:
“Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi. Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata.”
Pengertian diatas memaparkan tentang bagaimana suatu system yang menyamakan pemerataan, salah suatu pandangan, terdapat dalam pokok-pokok liberalis, liberalis adalah kedok dan merupakan jalan bagaimana system marxisme ini lahir, jelas  sudah komunis sangat bertentangan dengan paham pancasilais apalagi dengan paham khilafah yang agama kita bawa sebagai panduan kita hidup sebagai muslim yang baik, diatas bagaimana pemahaman ideology liberalis sangat berbahaya bagi Negara dan agama, seperti isi ideology pancasila berikut:
“Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah Pancasila merupakan ideologi yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembagan jaman tanpa pengubahan nilai dasarnya. Ini bukan berarti bahwa nilai dasar Pancasila dapat diubah dengan nilai dasar yang lain yang sama artnya dengan meniadakan Pancasila atau meniadakan identitas/jati diri bangsa Indonesia (AL Marsudi, 2000:62).”
Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar Pancasila itu dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia dan tuntutan perkembangan zaman secara kreatif dengan memperhatikan tingkatn kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia sendiri. Tidak bebas sebebasnya seperti liberal atau sekulerisme.
Kemudian yang paling beresiko bagaimana paham liberalis bila masuk kedalam system pendidikan kita, kita berbeda dengan Negara-negara lain, bila di Indonesia ya gunakan cara Indonesia, tidak bisa dengan seenaknya menggunakan system dari nmana datangnya dari antah berantah yang memiliki kelemahan dan di takutkan akan adanya udang di balik batu, serta secara dengan tidak sadar akan menciderai budaya ketimuran kita yang sangat menjungjung kekhasan dalam segala pola sendi kehidupan.
Pendidikan pun imbasnya bila terkontaminasi pemahaman liberalis akan sangat berbahaya bagi generasi kita selanjutnya, apalagi dengan hanya iming-iming yang mengatasnamakan perdamaian, bila disadari sedari awal apabila kita paham atas Agama masing-masing yang kita anut, toleransi ini  akan sangat mudah di jalankan dan di aplikasikan, juga dampak liberalis lainnya adalah pemahaman keilmuan dengan cara sekemauan dan seenak para pencarinya dengan tidak menorelir qoidah-qoidah keilmuan tersebut, seperti lahirnya para tokoh-tokoh yang mengatasnamakan jaringan islam liberal (JIL), sedangkan arti dari jil ialah:
“Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah sebuah pemikiran yang sifatnya liberal. Mereka tidak tertarik denganteks-teks yang berkaitan dengan (al-quran dan Hadis), tetapi lebih terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks tersebut. Dalam implementasinya pemikiran ini dapat disebut meninggalkan teks dan hanya menggunakan rasio. Dari sudut bahasa gandingan perkataan antara Islam dan Liberal itu tidak tepat. Sebab Islam itu bermaksud tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, manakala bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-quran dan Hadis), pemikiran liberal sebenarnya tepat disebut “pemikiran Iblis” daripada “Pemikiran Islam”, kerana makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.”
diatas tertera jelas bahwa pemahaman liberal telah masuk ke ranah bagaimana pemahaman kita terhadap agama islam, dan menjadi sebuah landasan atau theory pemahaman umat islamdalam menafsirkan Al-Quran dan hadist, sungguh kekeliruan yang sangat menyesatkan bagaimana penafsiran tergantung kita yang memiliki otoritas ayat tersebut baiknya diamalkan atau tidak. Berikut kutipannya “tidak tertarik dengan teks-teks yang berkaitan dengan (al-quran dan Hadis), tetapi lebih terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks tersebut dan hanya menggunakan rasio” ternyata faktanya kasus kasus seperti ini sangat mudah kita temui di lembaga pendidikan Islam sekalipun, seperti di UIN, IAIN maupun STAIN, banyak pemahan-pemahaman yang nyeleneh di luar nalar agama islam seutuhnya yang di implikasikan dalam tatanan fiqh, syari’ah, maupun muamalah,  ini dilakukan oleh para mahasiswa maupun dosennya yang tergabung dalam jaringan islam liberal tersebut.  Seperti kasus berikut:
Image“Majalah Gatra edisi 23 Januari 2008 lalu memuat sebuah berita yang sebenarnya terlalu penting untuk dilewatkan. Judulnya: “Jembatan Ayat Keras dan Lunak.” Berita itu menceritakan seputar kontroversi isi disertasi Abd. Moqsith, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan disertasi yang diuji pada 13 Desember 2007 itu, maka Abd Moqsith – yang suka menambah namanya menjadi Abd Moqsith Ghazali – dinyatakan oleh UIN Jakarta telah berhak menyandang gelar Doktor dalam bidang Ilmu Tafsir Al-Quran.
Disertasi Abd Moqsith yang berjudul, “Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama” dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun.
Melihat tema yang dibahas dalam disertasi Abd. Moqsith tersebut, harusnya para ahli tafsir di Indonesia tertarik untuk menyimaknya. Apalagi kasus ini sudah terangkat di media massa. Namun, faktanya, respon terhadap disertasi itu sepertinya dingin-dingin saja. Padahal, ini menyangkut masalah Al-Quran, kalam Allah, dan penafsirannya.”
Sebenenrnya masalahna ini telah menyebar ke ranah lainnya seperti konsfirasi syimbol Universitas Islam negeri syarif hidayatullah Jakarta, seperti kutipan dalam surat kabar electronic, dimana tertulis sperti berikut :
perubahan logo Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah yang tadinya bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah telah menjadi salah satu topik yang cukup hangat sejak lama.
Logo lama yang mencantumkan kitab suci Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi umat Islam dan juga hadits, dalam logo baru yang dirilis pertanggal 21 Agustus 2008,dihilangkan dan diganti dengan logo Hexagram yang melingkari bola dunia berwarna biru dan ditutupi dengan sebuah buku terbuka dengan tulisan “UIN” di dalamnya.


Ada sejumlah kalangan yang menyatakan jika simbol UIN yang baru ini bukan Hexagram atau pun Bintang David, melainkan simbol Atheisme atau Sekularisme. Mereka beralasan jika penafsiran simbol UIN adalah Hexagram, itu terlalu dipaksakan. Namun bagi siapa pun yang mendalami bahasa simbol maka dia akan memahami jika bentuk itu memang sebuah Hexagram, bukan yang lain, karena simbol Atheisme dan Sekularisme itu dalam sejarahnya memang berasal dari simbol Hexagram.
Hexagram sendiri awalnya bukan simbol yang “menakutkan” seperti sekarang. Awalnya, simbol Hexagram dipakai oleh para pendeta penghitung bintang sebagai simbol perkumpulannya. Namun simbol ini kemudian dipakai oleh Nabi Daud a.s. sebagai stempel kerajaannya. Dan kemudian dalam perjalanannya dipakai oleh para tetua Kabbalah dan sekarang diwarisi oleh gerakan zionisme internasional, yang dipakai sebagai simbol bendera Zionis-Israel.
Acara perubahan simbol UIN yang baru ini diadakan di auditorium utama UIN dan dimeriahi oleh penampilan musik orkestra Dwiki Darmawan dan Ita Purnamasari. Selain dihadiri Rektor UIN Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, juga ada mantan rektor Drs H Ahmad Syadzali, serta Direktur MarkPlus, Hermawan Kertajaya. Hermawan menilai jika logo yang baru ini, “…melambangkan proses horizontalisasi. Ini mencerminkan kemajuan.”
Sedangkan Komaruddin Hidayat menilai jika logo yang baru ini memberikan gambaran sebuah identitas baru bagi UIN Jakarta menuju world class university. Istilah ini tentu tidak lepas dari tema besar Globalisasi. Logo baru ini sudah disepakati para guru besar tentunya.
Logo UIN Jakarta yang baru terdiri dari empat elemen: bola dunia, partikel atom, buku, dan tulisan "UIN". Dalam keterangan resminya dikatakan jika bola dunia berwarna biru, dikatakan melambangkan wawasan universal UIN Jakarta dan juga misi agama Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Partikel atom berwarna emas menggambarkan keilmuan dan dinamika serta keajegan hukum alam (sunnatullah) yang diperintahkan Allah untuk selalu dibaca dan diteliti demi kesejahteraan umat manusia. Parikel itu juga dapat dilihat sebagai bunga lotus atau sidrah (sidrah al-muntaha), yakni lambang cita-cita setiap mukmin untuk menggapai pengetahuan kebenaran tertinggi (ma’rifah al-haq).
Kemudian kitab atau buku berwarna putih dengan garis tepi berwarna kehijauan, melambangkan sumber inspirasi dan kaidah hukum serta moral bagi pengembangan UIN Jakarta. Sementara tulisan "UIN" berwarna biru melambangkan kedalaman ilmu, kedamaian, dan kepulauan nusantara yang berada di antara dua lautan besar, yakni sebuah wilayah yang mempertemukan berbagai peradaban dunia. Selain itu, terdapat juga garis putih horizontal yang membelah tulisan "UIN". Garis ini merupakan pengikat UIN Jakarta sebagai universitas yang kuat.
Bisa saja keterangan resmi menafsirkan demikian. Namun dalam bahasa simbol, tetap saja logo tersebut mengandung Hexagram dan jika itu kemudian ditafsirkan sebagai “bunga lotus” maka ini juga memiliki artinya sendiri yakni simbol reinkarnasi dan bunga Dewa Matahari “Ra”. Sejak 2000 tahun sebelum masehi, bangsa Mesir telah mengenal bunga Lotus yang dianggap melambangkan Dewa Nefertem, yang memberikan cahaya kehidupan pada Ra, Dewa Matahari. Menurut mereka, wangi bunga ini merupakan sumber dari kekuatan Ra. Osiris yang terbunuh juga dipercaya lahir kembali melalui bunga lotus. Sebab itu, lotus juga melambangkan kelahiran kembali atau reinkarnasi. Relief bunga lotus selalu menjadi penghias peti mumi dan makam-makam kuno di Mesir. Dalam Budhisme, Lotus dipercaya sebagai bunga kesucian, pencapaian tertinggi bagi ruh manusia. Bunga ini juga mendapat tempat istimewa dalam Hinduisme. Bunga ini juga ada dalam tradisi Cina yang menjadi alas Dewi Kwan Im. Sedangkan dalam mitologi Yunani Kuno, bunga Lotus dikenal sebagai bahan penghilang kesadaran (hipnosis) terbaik, sehingga dalam satu kisah diceritakan bahwa korban-korban bunga ini oleh Odysseus dijadikan sebagai budak.
Lantas, apakah dengan perubahan logo baru UIN ini jelas-jelas sudah dikuasai Yahudi dan antek-anteknya? JIL, misalnya?
Kita tentu sering mendengar ulah norak JIL yang memang banyak terdapat di kampus UIN Jakarta. Para pengajarnya pun ada yang nyeleneh. Namun UIN Jakarta juga dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa dan para pengajar yang hanif dan lurus, beda sekali dengan aktivis JIL. Apakah dengan perubahan logo baru itu, kubu Liberal yang memang antek Zionis-Yahudi (silau dengan tema Globalisasi yang sebenarnya merupakan cita-cita kaum Lucuferian sebagaimana kalimat di dalam lambang negara AS, “Novus Ordo Seclorum” atau cita-cita Pluralisme) dianggap telah menjadi kekuatan hegemoni di kampus tersebut? Wallahu’alam bishawab. Mudah-mudahan tidak.
Uraian di atas hanyalah tentang makna simbol baru UIN Jakarta, bukan untuk menghakimi orang-orang yang ada di dalamnya.
jadi, yang menjadi pertanyaannya adalah “apa yang melatarbelakangi berkembangnya liberal dalam tatanan pendidikan Islam ini kini??” sedikit jawaban tentang pertanyaan itu adalah banyaknya dosen-dosen agama di PT Islam yang kuliah di luar negeri yang bukan berorientasikan asas-asas islam, seperti yang dikutip dalam media berikut :
Posted by : Ahmad Sadzali Jumat, 31 Mei 2013


Perguruan tinggi Islam, baik UIN atau IAIN memiliki peranan besar dalam tubuh umat Islam di negara kita. Dari sejak berdirinya, tentu sudah banyak pendidik dan pengemban dakwah Islam yang dilahirkan dari perguran tinggi Islam tersebut. Bahkan lembaga ini juga bisa dibilang menjadi tempat kepercayaan masyarakat untuk meneruskan jenjang pendidikan agama secara formal.

 Selayaknya sebuah perguruan tinggi, UIN atau IAIN tidak dapat berdiri sendiri. Untuk dapat berkembang dan meningkatkan kualitas, perguruan tinggi Islam ini memang harus bekerjasama dan membuka jaringan dengan lembaga pendidikan lainnya. Baik itu lembaga pendidikan yang ada di dalam negeri itu sendiri, atau pun yang ada di luar negeri. 

Pada awalnya, perguruan tinggi Islam di Indonesia memang memiliki hubungan erat dengan perguruan-perguruan tinggi di Timur Tengah. Namun ketika Harun Nasution menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kiblat perguruan tinggi Islam itu mulai berubah ke Barat. Sekitar tahun 70an itulah IAIN gencar mengirimkan lulusan ataupun dosen-dosennya ke Barat untuk memperdalam agama Islam.

            Kondisi itu sepertinya terus berlangsung hingga sekarang. Akhirnya, para dosen di perguruan tinggi Islam tersebut lebih menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Arab. Padahal agama Islam seharusnya diperdalam dengan menggunakan bahasa Arab, mengingat bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab.

Kurangnya penguasaan para dosen di perguruan tinggi Islam ini tentu saja berdampak negatif. Salah satu dampaknya adalah terhadap kelangsungan kerjasama perguruan tinggi Islam di Indonesia dengan perguruan-perguruan tinggi Islam di Timur Tengah.  Sebagai contoh, perkumpulan Liga Universitas Islam Internasional batal diadakan di UIN/IAIN karena kurang baiknya komunikasi bahasa Arab para dosen dalam negeri dengan para dosen yang datang dari Timur Tengah. Alhasil, tempat pelaksanaanya dipindahkan di Pondok Modern Darussalam Gontor, dan Liga Universitas Islam lebih mempercayai Institus Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor sebagai rekan kerja sama daripada UIN atau IAIN.

Dampak negatif lainnya adalah kepada pemahaman para dosen itu sendiri terhadap ajaran Islam. Karena pada dasarnya memang ajaran Islam itu harus diperdalam dengan dan melalui bahasa Arab. Walau bagaimanapun sumber awal agama Islam ada di Timur Tengah, dimana masyarakatnya berbahasa Arab. Bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dari agama Islam, apalagi untuk mempelajarinya lebih dalam.

            Contohnya terlihat pada beberapa dosen dan bahkan guru besar di sebuah universitas Islam di Indonesia berkunjung ke Mesir. Di antara mereka yang berkunjung ada yang lantas mengadakan seminar atau diskusi umum tentang tema-tema keagamaan dengan para mahasiswa Indonesia yang kuliah di Universitas Al-Azhar. Salah satu diskusi yang pernah diadakan adalah tentang buku salah satu dosen IAIN yang mengkritik keshahihan hadits-hadits dalam Shahih Bukhari. Dalam diskusi itu, ternyata argumen-argumen yang digunakan dosen yang mengkritik hadits di dalam kitab Shahih Bukhari tersebut sangat lemah dan mudah dipatahkan oleh mahasiswa. Dari argumen-argumen itu tersebut akhirnya mahasiswa dapat menyimpulkan bahwa pondasi pemahaman agama dosen tersebut masih sangat lemah. Ironisnya, dosen tersebut padahal sudah bergelar profesor dan guru besar di sebuah IAIN
.
            Dampak negatif lainnya lagi adalah menjamurnya virus pemikiran-pemikiran liberal di tengah mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia. Misalnya, tidak sedikit mahasiswa yang diajarkan mengkritik para ulama sebelum tahu ilmunya terlebih dahulu. Tidak sedikit pula mahasiswa menjadi liberal ketika masuk ke perguruan tinggi Islam, daripada sebelumnya. Padahal para mahasiswa inilah yang nantinya akan meneruskan perjuangan dakwah Islam.

            Itu hanya beberapa dari dampak negatif yang ditimbulkan dari berubahnya kiblat perguruan tinggi Islam di negara kita dari Timur Tengah ke Barat. Di satu sisi memang penulis akui bahwa perguruan tinggi Barat memiliki kelebihan dibandingkan dengan Timur Tengah. Namun kelebihan yang dimiliki Barat tersebut bukanlah hal yang substansial dalam pembelajaran ajaran Islam, yang mengharuskan berpindahnya kiblat pendidikan Islam kita ke sana.

            Timur Tengah yang menjadi basis utama bahasa Arab, dan juga tempat lahirnya para ulama besar yang mengajarkan Islam sudah sepantasnya dijadikan kiblat kembali oleh perguruan tinggi Islam kita. Namun ini bukan berarti membatasi belajar agama Islam harus di Timur Tengah. Islam adalah agama yang universal dan cocok di tempat mana saja. Artinya Islam juga bisa dipelajari di mana saja.

            Akan tetapi maksud penulis di sini hanyalah menekankan pentingnya bahasa Arab sebagai alat untuk memperdalam ajaran Islam, yang mana sumber bahasa Arab itu ada di Timur Tengah. Secara logika, artinya memperdalam Islam sedikit banyaknya tidak dapat lepas dari dunia Timur Tengah. Jadi, perguruan tinggi Islam yang menjadi wadah untuk memperdalam ajaran Islam itu juga selogisnya memiliki hubungan erat dan berkiblat ke Timur Tengah, bukan ke Barat.

            Ada lagi faktor yang lebih besar dari sekedar faktor bahasa Arab tersebut, yaitu faktor pembelajaran agama Islam itu sendiri. Tidak semua ilmu dalam ajaran Islam dapat dipelajari dengan otodidak atau tanpa guru, karena menuntut bimbingan pemahaman dari seorang guru. Belum lagi tradisi sanad yang tidak dapat diindahkan dalam mempelajari Islam. Dan hal ini semua kebanyakan hanya dapat ditemukan di Timur Tengah yang banyak menyimpan ulama.
 
            Harapan dan kepercayaan masyarakat Islam di Indonesia kepada perguruan tinggi Islam selama ini begitu besar. Perguruan tinggi Islam tidak lagi dipandang sebelah mata, dan juga bukan lembaga pendidikan tinggi alternatif. Jasa perguruan tinggi Islam di Indonesia sangat besar sekali. Sekarang, bagaimana perguruan tinggi Islam ini dapat mempertahankan statusnya tersebut. Bukan malah sebaliknya, perguruan tinggi Islam tapi dituding merusak Islam dari dalam. Wallahu’alam.[]

beberapa data dan fakta yang telah berkembang di pendidikan islam kini ialah jelas sekali tentang konsfirasi sabotase keilmuan dan paradigm kependidikan di Negara ini telah di setir oleh kaum yahudi dan nashrani, salah satunya dengan cara masuknya paham liberal, karena jelas paham liberal berasal dari mereka(yahudi/nashrani), sama halnya dengan paham sekularisme tapi  liberal hanyalah versi lebih softnya,  pada dasarnya orang yahudi dan nashrani itu tidak akan pernah ridho tentang akan adnya umat islam di muka bumi, berawal dari kisah nabi ibrahim dan antara kedua istrinya yang satu adalah siti sarah yang kaya raya menjadi nenek moyang yahudi nashrani, sedangkan siti hajar sebagai pembantu adalah nenek moyang Muhammad bin abdullah (Nabi Muhammad SAW), sejak itulah tidak akan ridho jika kami harus mempercayai Muhammad bin Abdullah yang keturunan pembantu, maka turunlah ayat :
Surah Al Baqarah 120
 
            “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang (rela) kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jikahgbiu89 kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Jadi dapat kita tarik kesimpulnnya dari keseluruhan wacana diatas tentang pemikiran dasar sang pembuat teks A. Chaedar Alwasilah, dapat dilihat dari latar pendidikan dan pemahaman ideology dari biographynya yang jelas lulusan dari Negara non Islam, secara tidak langsung menumbuhkan ideology-ideology yang ia tak sadari telah mengalir dalam darah dan pikirannya.
pemahaman tentang karakter ideologi ini menjadi sangat penting untuk dipahami. Ketidakpahaman terhadap ideologi yang dianut akan menyebabkan pemahaman yang bias terhadap seluruh sistem yang dibangun. Hal itu berimbas pada ketidakpahaman terhadap tujuan suatu sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya. Giliran berikutnya, sistem pendidikan yang dijalankan hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan.
Pendidikan yang sekular-materialistik saat ini merupakan produk dari ideologi sekular yang terbukti telah gagal mengantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang manusia shalih dan mushlih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang didasarkan pada ideologi secular/liberal, yang tujuannya sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, serta sinkretistik dalam agamanya.
“Hizbut Tahrir Indonesia. 2002. Bunga Rampai Syariat Islam.”









Referensi
AL Marsudi, 2000:62
Majalah Gatra edisi 23 Januari 2008
“Hizbut Tahrir Indonesia. 2002. Bunga Rampai Syariat Islam.”
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment