Thursday, February 27, 2014
Created By:
#Progress Test 1,
Mega Widiastuti
1ST Critical Review
AYO! BERSATU DENGAN PERBEDAAN
Apabila mendengar kata
perbedaan sudah pasti berhubungan dengan sesuatu yang tidak sepaham dengan
kita. Terkadang perbedaan selalu menjadi alasan kita
untuk bertengkar, padahal perbedaan bisa menjadi alasan untuk berdamai. Salah
satunya yaitu dengan hidup rukun, karena kerukunan merupakan kebutuhan bersama
yang tidak dapat dihindarkan di tengah perbedaan.
Nah, Negara Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki banyak sekali budaya dan adat istiadatnya.
Melihat fenomena yang ada secara sekilas kita bisa melihat bahwa di Indonesia pasti terdapat banyak
perbedaan diantaranya, perbedaan ras, etnis, dan adat istiadat. Jika kita membicarakan tentang ada istiadat
erat kaitannya dengan masyarakat dan agama. Satu aspek yang paling menonjol di negara ini
adalah tentang keberagaman agamanya.
Berdasarkan sejarah,
kelompok pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama
dan budaya di dalam negeri ini,
dengan
pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Semenjak itulah
agama-agama yang ada di Indonesia terus berkembang dan diikuti oleh semakin
bertambahnya jumlah para pemeluk agama , hingga saat ini tak kurang ada enam
agama resmi yang diakui oleh negara Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Konghuchu, ditambah dengan bermacam-macam aliran/sekte
lainnya.
Menurut hasil
sensus penduduk tahun 2010, sebanyak 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia
adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38%
tidak terjawab atau tidak ditanyakan. Dengan keberagaman yang di miliki oleh negara kita,
seharusnya kita mampu untuk memperlihatkan ke dunia luar, dengan
prestasi-prestasi yang kita ukir. Bukan
malah dengan prestasi kejelekan yang kita perlihatkan, seperti peperangan antar
umat beragama, kericuhan antar etnis, dan lain sebagainya.
Menurut A. Chaedar Al-Wasilah dalam artikelnya yang berjudul
“Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” (2011), kerukunan umat
beragama harus dikembangkan sejak dini mungkin.
Hal ini berguna untuk menjaga hubungan baik antar warga,dan untuk mengembangkan wacana
sipil yang positif. Karena pada
kenyataanya terdapat berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam
mensukseskan kerukunan antar umat beragama, dari luar maupun dalam negeri kita
sendiri. Adapun beberapa kendalanya yaitu:
1.
Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam
komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia adalah munculnya
sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P.
Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung
(indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang
sensitif. Sehingga kalangan umat
beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak
terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga
jarak satu sama lain.
2.
Kepentingan Politik
Faktor Politik, faktor ini terkadang menjadi faktor penting
sebagai kendala dalam mencapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama
khususnya di Indonesia, contohnya sebuah kerukunan antar agama telah dibangun
dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun,
dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun
tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan
antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan
mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti
yang terjadi di negeri kita akhir-akhir ini, kita tidak hanya menangis melihat
political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan
lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita. Seperti konflik yang terjadi di Maluku, Poso,
ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai
tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat
Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang
sedikit banyak dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini.
Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat
Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di
Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang
sejarah. Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat
(Amerika dan sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini.
Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya,
biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang
permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar
rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya. Sedikitnya hal-hal yang terjadi diatas juga dipengaruhi
oleh politik, tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan
bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga
kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
3.
Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada
dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini,
di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat
dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman
keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah
ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan
dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk
Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini,
tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing
sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen
dan para pemimpinnya sendiri-sendiri, sehingga selalu memicu terjadinya kesalah
fahaman antar umat beragama yang ada di Indonesia.
Padahal pada zaman para
sahabat nabi juga pernah terjadi ikhtilaf, misalnya perbedaan faham dalam
masalah-masalah fiqih, tetapi mereka tidak berpecah belah, karena berpegang
kepada petunjuk risalah itu sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Q.S. An Nisa: 59).
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Q.S. An Nisa: 59).
Begitu indah contoh
tauladan dari para sahabat nabi ketika mencari
kebenaran, sehingga perbedaan pendapat umat tidak perlu menimbulkan perpecahan,
justru memperkaya khazanah perbendaharaan pengetahuan umat akan nilai-nilai
yang terkandung didalam ajaran Islam, begitu pula hendaknya setiap pemeluk
agama dapat menyikapi perbedaan-perbedaan yang terjadi. Karena dari situlah
tampak kemuliaan umat Islam di muka bumi, yaitu memilki sikap Tasamuh, tenggang
rasa dan tepa selira yang adi luhung.
Nah, seharusnya kita sebagai warga negara yang baik harus
bisa mentauladani sikaf para sahabat nabi, dengan menjunjung tinggi pedoman
atau moto negara Indonesia yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang seringkali
diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Secara
lebih konkritnya “Bhinneka Tunggal Ika” ini
berasal dari bahasa jawa kuno, kata bhinneka
berarti ”beraneka ragam” atau berbeda-beda.
Kata neka dalam bahasa
Sansekerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata aneka dalam bahasa Indonesia.
Kata tunggal berarti
“satu”. Seringkali semboyan ini
diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.
Semboyan ini bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya
bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. (id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika)
Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu
kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun di
kalangan rakyat, untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu.
Sekalipun terdapat unsur-unsur yang berbeda namun kemauan untuk mempersatukan
bangsa sesungguhnya mengatasi keanekaragaman itu tanpa menghapuskannya atau
mengingkarinya. Keinginan bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan memahaminya
sebagai realitas kehidupan, sesungguhnya dapat menjadi potensi kesadaran etik
pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Pada dasarnya pula, hal tersebut
dapat membentuk kebudayaan Indonesia masa depan yang bertumpu pada kesadaran
akan kemajemukan yang membangun bangsa Indonesia. (Zubair, t.t).
Selanjutnya
perlu diketahui bahwa Indonesia mempunyai etik plural dan multicultural. Menurut para ahli, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat majemuk (plural society) dan masyarakat multikultural
(multikultural society). Pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri utama
dari masyarakat multikultural yaitu suatu konsep yang menunjuk kepada suatu
masyarakat yang mengedepankan pluralisme budaya. Budaya adalah istilah yang menunjuk kepada semua aspek simbolik dan
yang dapat dipelajari tentang masyarakat manusia, termasuk kepercayaan, seni,
moralitas, hukum dan adat istiadat. Dalam
masyarakat multikultural konsepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat
itu hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap
menghargai, mengedepankan, dan membanggakan pluralisme masyarakat itu.
Menanggapi hal tersebut alangkah lebih baiknya jika kita
memandang bahwa agama-agama merupakan aset bangsa, mengapa demikian? Karena
Dari segi budaya, agama-agama di
Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-agama itu telah memberikan sesuatu
bagi kita sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri, maka
dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama memelihara dan
mengembangkan aset bangsa tersebut. Cita-cita ini barulah dapat diwujudkan
apabila setiap golongan agama menghargai legacy tersebut. Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya
sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagi pengembangan budaya Indonesia.
Karena ketidak sadaran itu maka kita melecehkan suatu golongan agama, sebagai
golongan yang tidak pernah berbuat apa-apa. Menyikapi hal tersebut maka
terdapat solusi untuk membangkitkan kesadaran kita terhadap berbudaya dan beragama,
yaitu: Mengembangkan religius literacy, tujuannya
agar dalam kehidupan pluralisme keagamaan perlu dikembangkan religious
literacy, yaitu sikap terbuka terhadap agama lain yaitu dengan jalan
melek agama. Pengembangan religious literacy sama dengan pemberantasan buta
huruf dalam pendidikan. Jadi perlu diadakan upaya pemberantasan buta agama,
karena dengan buta terhadap agama lain maka orang sering tertutup dan fanatik
tanpa menghiraukan bahwa ada yang baik dari agama lain.
Selain mengembangkan tentang
religious literacy, hal yang paling penting adalah membangun kembali rasa
keperdulian, yang tencantum dalam tri kerukunan umat
beragama. Hal ini bertujuan agar masyarakat
Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan, sekalipun banyak perbedaan. Konsep ini
dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau
pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran
agama yang diyakininya. Pada gilirannya, dengan terciptanya tri kerukunan itu
akan lebih memantapkan stabilitas nasional dan memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa.
Tri Kerukunan Beragama yang pertama
adalah kerukunan intern umat beragama.
Perbedaan pandangan dalam satu agama bisa melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama itu sendiri. Perbedaan mazhab adalah salah satu perbedaan yang nampak nyata. Kemudian lahir pula perbedaan organisasi masyarakat keagamaan. Walaupun satu aqidah, misalnya Islam-perbedaan sumber penafsiran, penghayatan, kajian, pendekatan terhadap Al-Quran dan AsSunnah terbukti mampu mendisharmoniskan intern umat beragama.
Perbedaan pandangan dalam satu agama bisa melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama itu sendiri. Perbedaan mazhab adalah salah satu perbedaan yang nampak nyata. Kemudian lahir pula perbedaan organisasi masyarakat keagamaan. Walaupun satu aqidah, misalnya Islam-perbedaan sumber penafsiran, penghayatan, kajian, pendekatan terhadap Al-Quran dan AsSunnah terbukti mampu mendisharmoniskan intern umat beragama.
Konsep ukhuwwah islamiyah merupakan
salah satu sarana agar tidak terjadi ketegangan intern umat Islam yang
meyebabkan peristiwa konflik. Konsep ini mengupayakan berbagai cara agar tidak
saling mengklaim kebenaran. Justru menghindarkan permusuhan karena perbedaan
mazhab dalam Islam. Semuanya untuk menciptakan kehidupan beragama yang
tenteram, rukun, harmonis, dan penuh kebersamaan.
Kedua, Kerukunan Antar Umat Beragama.
Konsep kedua ini mengandung makna kehidupan beragama yang tentram, harmonis,
rukun dan damai antar masyarakat yang berbeda agama dan keyakinan. Tidak ada
sikap saling curiga tetapi selalu menghormati agama masing-masing.
Berbagai kebijakan dilakukan oleh
pemerintah agar tidak terjadi saling mengganggu umat beragama lainnya.
Semaksimal mungkin menghindari kecenderungan konflik karena perbedaan agama.
Semua lapisan masyarakat bersama-sama menciptakan suasana hidup yang rukun,
damai, tentram dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dalam bingkai negara kesatauan Republik Indonesia yang berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ketiga, kerukunan antara umat beragama
dengan pemerintah. Undang Undang Dasar 1945 BAB IX Pasal 19 Ayat (1)
menyiratkan bahwa agama dan syariat agama dihormati dan didudukkan dalam nilai
asasi kehidupan bangsa dan negara. Dan setiap pemeluk agama bebas menganut
agamnya dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Bangsa Indonesia
sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa yang religius, atau tepatnya sebagai
bangsa yang beriman kepada tuhan, meski pengamalan syariat agama dalam
kehidupan sehari-hari belum intensif, namun dalam praktek kehidupan sosial dan
kenegaraan sulit dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai dan norma keagamaan.
Bahkan, dalam rangka suksesnya pembangunan nasional dalam sektor agama termasuk
salah satu modal dasar, yakni modal rohaniah dan mental.
Kembali
kepada point yang terdapat pada artikel “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang
berbicara tentang ketidak mampuan untuk menjaga hubungan
baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan konflik social dalam suatu
masyarakat. Menurut Soerjono
Soekanto
mengemukakan bahwa sebab sebab terjadinya konflik antara lain sebagai berikut.
- Perbedaan Antar perorangan
Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau pendapat. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena tidak pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain. - Perbedaan Kebudayaan
Perbedaan kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Selain perbedaan dalam tataran individual, kebudayaan dalam masing-masing kelompok juga tidak sama. Setiap individu dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. - Bentrokan
Kepentingan
Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. - Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat di dalam Masyarakat
Perubahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru. Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat keguncangan proses-prosessosial di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
Next,
saatnya kembali kepada point yang terdapat dalam “Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony”, tentang factor teman sebaya sangat penting dalam pembentukan
karakter anak misalnya dalam sikap saling menghormati, dan menghargai sesama
teman. Hal ini juga termasuk
indikator wacana sipil yaitu mendengarkan
penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan,
menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara
yang hormat. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran
sekolah. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam
teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).
Hal
ini juga berkaitan dengan data studi yang dikemukakan oleh Ariliaswati, bahwa
sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil.
Tetapi faktanya berbanding terbalik dengan Sistem pendidikan yang ada di Indonesia, karena di Indonesia terlalu banyak berorientasi
dengan pengembangan otak kiri (kognitif), serta kurang mengembangkan otak
kanan (afektif, empati, rasa). Padahal pengembangan karakter lebih
berkaitan dengan optimalisasi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan
otak kanan pun (seperti budi pekerti, agama) pada prakteknya lebih banyak
mengoptimalkan otak kiri ( seperti “hapalan”, atau hanya sekedar tahu).
Padahal
pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan
yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving dan acting”.
Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body
builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara
terus menerus agar menjadi kokoh dan kuat.
Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah
anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko
besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu
mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan
mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang
sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usia prasekolah merupakan
hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa
karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus
menerus dilakukan.
Menurut Berkowitz dkk.(1998), kebiasaan berbuat baik tidak
selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition)
menghargai pentingnya nilai-nilai karakter (valuing). Misalnya seseorang
yang terbiasa berkata jujur karena takut mendapatkan hukuman, maka bisa saja
orang ini tidak mengerti tingginya nilai moral dari kejujuran itu sendiri. Oleh
karena itu, pendidikan karakter memerlukan juga aspek emosi. Oleh Lickona (1991),
komponen ini adalah disebut “desiring the good” atau keinginan untuk
berbuat baik.
Pendidikan tidak lagi mementingkan kecerdasan otak kiri (IQ), yang lazim disebut headstart.
Namun, saat ini yang lebih dipentingkan adalah kecerdasan emosi yang lebih
banyak menggunakan otak kanan, yang disebut heartstart. Pada metode
headstart, anak ditekankan “harus bisa” sehingga ada kecenderungan anak dipaksa
belajar terlalu dini. Hal ini membuat anak stres, karena ada ketidaksesuaian
dengan dunia bermain dan bereksplorasi yang saat itu sedang dialaminya.
Sebaliknya, pola heartstart menekankan pentingnya anak mendapatkan
pendidikan karakter (social emotional learning), belajar dengan cara
yang menyenangkan (joyful learning), dan terlibat aktif sebagai subjek
bukan menjadi objek (active learning).
Sebagian besar kunci sukses menurut hasil penelitian mutakhir
sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh pemberdayaan otak kanan (kecerdasan
emosi) daripada otak kiri (kecerdasan intelektual). Namun ternyata kurikulum di
sekolah justru sebaliknya. Hal ini menjadi sumber kerawanan bagi anak :
melakukan tawuran, terjerumus pada narkoba, dan lain-lain, karena anak merasa
terlalu terbebani dan stres.
Dari semua pemaparan yang telah saya tulis sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa saya setuju dengan apa yang disampaikan A. Chaedar dalam
artikel yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” . Dimana pendidikan dasar mempunyai pengaruh
yang sangat besar untuk memupuk keharmonisan dan kerukunan beragama di
lingkungan masyarakat. Hal ini bertujuan
untuk memberikan keterampilan dasar kepada para siswa agar dapat mengembangkan kehidupan mereka sebagai
individu, anggota masyarakat, dan warga negara.
Dan pendidikan dasar ini merupakan langkah awal untuk
mencapai keterampilan dasar para siswa untuk melanjutkan ke pendidikan
selanjutnya. Begitu juga dengan penanaman
karakter terhadap siswa yang sangat erat kaitannya dengan “habit” atau
kebiasaan yang terus menerus dilakukan.
Referensi:
A. Chaedar Alwasilah, “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony”, Oktober, 2011:The Jakarta Post
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika
http://www.tugasku4u.com/2013/02/makalah-kerukunan-antar-umat-beragama.html
http://msibki3.blogspot.com/2013/03/konflik-agama-agama-di-indonesia.html
http://enjangwahyuningrum.wordpress.com/2010/01/03/peran-pendidikan-dalam-membangun-karakter
Created by : Mega Widiastuti
PBI-D 4th Semester


Subscribe to:
Post Comments (Atom)