Thursday, February 27, 2014

Dinamika Konflik Sosial Ditengah Kerukunan Beragama


“Dinamika Konflik Sosial Ditengah Kerukunan Beragama”
Kualitas suatu bangsa tidak hanya ditunjukkan dari segi pendidikannya saja, tetapi banyak aspek yang mendukungnya. Pendidikan dasar merupakan pondasi yang paling penting untuk membangun kualitas bangsa tersebut. Esensi Pendidikan dasar adalah “paspor” bagi setiap peserta didik untuk mengembangkan dirinya di masa depan, termasuk memasuki pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, dan bekal dasar untuk dapat hidup layak dalam hidup bermasyarakat dimanapun diduinia ini. Oleh karenanya, program belajar pendidikan dasar harus mengembangkan potensi peserta didik secara terpadu dan sinergis. Pola pendidikan di tingkat dasar harus dilakukan secara terpadu, karena secara psikologis perkembangan kemampuan kognisi, kemampuan sosio-emosional, kemampuan pengembangan moral dan perkembangan fisik peserta didik usia pendidikan dasar secara terpadu dan saling ketergantungan.

Pendidikan dasar merupakan peletak dasar sebagai pendidikan untuk tahap-tahap berikutnya karena dengan mengikuti gagasan konsep belajar sepanjang hidup, pendidikan dasar memberikan tekanan kepada belajar untuk mengetahui(learning to know), belajar cuntuk bekerja (learning to do), belajar menjadi dirinya sendiri (learning to be) dan belajar hidup bersama (learning to live together), yang semuanya ini merupakan bekal untuk terus belajar di jenjang pendidikan lebih lanjut.
Dewasa ini siswa di sekolah dasar lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan sebayanya. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009). Interaksiantarakawanmembukamataanakterhadappolatingkahlaku yang berlakudalamkebudayaantertentu, yang seringdilakukan.Dengandemikian, interaksiinicenderunguntukmempelajaribentuk-bentuktingkahlaku yang dipakaiuntukpergaulan yang berlaku.Interaksiantarakawanitumenyebakantersedianyacontoh yang lebihrepresentatiftentangapa yang bolehdilakukandalamkebudayaanitudibandingdengan yang tersedia di rumah.
Dalamsatukelasselisihusiaantarasiswasatudengansiswa yang lain tentu relative kecilatauhampirsama, sehinggadalamsatukelasterdapatkelompoktemansebaya yang salingberinteraksiantarasiswasatudengan yang lain sehinggaakanterbentukpolatingkahlaku yang dipakaidalampergaulanmereka. Dalaminteraksitersebuttidakmenutupkemungkinanantarsiswasatudengansiswa yang lainsalingmembantudanmembutuhkandalampembelajaranuntukmemperolehhasilbelajar yang lebihbaik.
Tantangan bagi seorang pendidik pada saat ini yaitu munculnya radikalisme di lingkungan sekitar. Pak Chaedar menyatakan bahwa masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesiaadalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Banyak orang yang mengatakan bahwa, radikalisme muncul ditandai oleh enam faktor penyebab radikalisme, yaitu:
1.      Faktor Pemikiran
Pada masa sekarang muncul dua pemikiran yang menjadi trend, yang pertama yaitu mereka menentang terhadap keadaan alam yang tidak dapat ditolerir lagi, seakan alam ini tidak mendapat keberkahan lagi dari Allah SWT lagi, penuh dengan penyimpangan. Sehingga satu-satunya jalan adalah dengan mengembalikannya kepada agama. Namun jalan yang mereka tempuh untuk mengembalikan keagama itu ditempuh dengan jalan yang keras dan kaku. Padahal nabi Muhammad SAW selalu memperingatkan kita agar tidak terjebak pada tindakan ekstremisme (at-tatharuf al-diniy), berlebihan (ghuluw), berpaham sempit (dhayyiq), kaku (tanathu’/rigid), dan keras (tasyaddud).

Pemikiran yang kedua yaitu bahwa agama adalah penyebab kemunduran umat Islam, sehingga jika mereka ingin unggul maka mereka harus meninggalkan agama yang mereka miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan hasil dari pemikiran sekularisme, yaitu dimana paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan atas pada ajaran agama.

Kedua pemikiran tersebut sangat berlawanan, dimana yang pertama mengajak kembali kepada agama dengan jalan yang kaku dan keras, dan yang satunya lagi menentang agama. Hal itu juga bertentangan dengan misi diciptakannya manusia oleh Allah Swt di semesta ini sebagai makhluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia.

2.      Faktor Ekonomi
Kemiskinan, pengangguran dan problematika ekonomi yang lain dapat merubah sifat seseorang yang baik menjadi orang yang kejam. Karena dalam keadaan terdesak atau himpitan ekonomi, apapun bisa mereka lakukan, bisa saja mereka juga melakukan teror.
Mereka juga berasumsi bahwasannya perputaran ekonomi hanya dirasakan oleh yang kaya saja, hal itu menyebabkan semakin curamnya jurang kemiskinan bagi orang tak punya. Sehingga mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal yang diluar dugaan kita.
Sebagaimana hadist nabi “kefakiran dapat menyeret kita kepada kekafiran”.

3.      Faktor Politik
Memiliki pemimpin yang adil, memihak kepada rakyat, dan tidak hanya sekedar menjanjikan kemakmuran kepada rakyatnya adalah impian semua warga masyarakat.
Namun jika pemimpin itu mennggunakan politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka akan timbul kelompok-kelompok masyarakat yang akan menamakan dirinya sebagai penegak keadilan, baik kelompok dari sosial, agama maupun politik, yang mana kelomok-kelompok tersebut dapat saling menghancurkan satu sama lain. Seperti halnya golongan khawarij yang lahir pada masa kholofah Ali bin Abi Tholib  yang disebabkan oleh ketidak stabilan politik pada masa itu, sehingga muncullah golongan syi’a dan khawarij yang meresa paling benar sendiri dan saling menstatmen kafir.

4.      Faktor Sosial
Faktor sosial ini masih ada hubungannya dengan faktor ekonomi. Ekonomi masyarakat yang amat rendah membuat mereka berfikir sempit, dan akhirnya mereka mencari perlindungan kepada ulama yang radikal, kerena mereka berasumsi akan mendapat perubahan perekonomian yang lebih baik. Dimulai dari situ masyarakat sudah bercerai berai, banyak golongan-golongan Islam yang radikal. Sehingga citra Islam yang seharusnya sebagai agama penyejuk dan lembut itu hilang.

Disinilah tugas kita untu mengembalikan Islam yang seharusnya sebagai “rohmatallil alamin” agar saudara muslim kita yang tadinya sedikit bergeser tidak semakin bergeser dan kembali kepada akidah-akidah dan syari’ah Islam yang sebenarnya.

5.      Faktor Psikologis
Pengalaman seseorang yang mengalami kepahitan dalam hidupnya, seperti kegagalan dalam karier, permasalahan keluarga, tekanan batin, kebencian dan dendam. Hal-hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk berbuat penyimpangan dan anarkis.Kita yang seharusnya senantiasa mengingatkan kepada mereka dari penyimpangan.
Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. saudara muslim kita yang seperti itulah yang menjadi target sasaran orang radikal untuk diajak bergabung dengan mereka. Karena dalam keadaan seperti itu mereka sangat rentan dan mudah terpengaruh.

6.      Faktor Pendidikan
Pendidikan bukanlah faktor yang langsung menyebabkan radikalisme. Radikalisme dapat terjadi dikarenakan melalui pendidikan yang salah. Terutama adalah pendidikan agama yang sangat sensitif, kerena pendidikan agama “amal ma’ruf nahi munkar”, namun dengan pendidikan yang salah akan berubah menjadi “amal munkar”.  Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan.
*      PERUBAHAN SOSIAL dan KONFLIK MENYOROTI POSISI AGAMA di BELAKANGNYA
Karena seringnya terusik harmonitas antar-umat beragama, maka muncul harapan akan kehadiran akan konsep beragama “yang baru”, lebih lapang, terbuka, penuh toleransi, dan kearifan, agar keraguan dan pesimisme terhadap kemampuan agama sebagai sumber pencerahan dan acuan praktis bagi masyarakat yang harmonis di masa yang akan datang dapat ditepis.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai tempat dan setiap waktu sering terjadi kecenderungan sebagian pemeluk agama untuk “tidak cocok” dengan umat beragama yang lain, yang oleh beberapa tokoh agama dinilai merupakan semacam “muntahan” dari situasi ketidakadilan yang sering terjadi di berbagai bagian dunia, termasuk di Indonesia sepanjang sejarah. Gejala ini merupakan salah satu dampak dari perubahan sosial yang terjadi yang akhirnya menimbulkan krisis, di mana sebagian orang mengalami dislokasi, tidak tahu posisinya dalam tatanan masyarakat yang tengah berubah. Atau sebagian mereka mengalami disorientasi, kehilangan orientasi dan arah tujuan hidupnya akibat transisi kehidupa yang tidak dapat dikuasainya.
Namun perlu diingat bahwa ketidakmampuan mengantisipasi perubahan sosial yang begitu cepat dan tidak dapat dikuasai dan dikendalikan, tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, akan tetapi masyarakat di negara maju seperti di Amerika dan di Eropa pun kerap kali mengalaminya.
Perubahan sosial yang terjadi, dari dahulu hingga sekarang, seringkali diikuti oleh berbagai konflik yang dibelakangnya tersangkut agama. Sehingga sulit dihindari munculnya sentimen yang dilatarbelakangi oleh suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), dan sangat problematis.
Selama rezim orde baru berkuasa di Indonesia, misalnya SARA menjadi suatu yang haram untuk diperbincangkan. Konflik bernuansa SARA yang muncul di berbagai daerah, tidak pernah terungkap dan terselesaikan secara tuntas, sehingga konflik yang terjadi selalu terasa baru bagi umat beragama. Dalam banyak konflik kekerasan dan kerusuhan, agama (keberagaman) kerap kali diikutkan dan bahkan telah menjadi salah satu pemicunya. Tetapi jarang orang melakukan aksi kekerasan atas nama dan memboncengkan simbol-simbol agama dibelakangnya. Kenyataan tersebut memunculkan pertanyaan-pertanyaa : betulkah agama dan keberagaman agama memiliki andil dalam merebaknya budaya kekerasan (culture of violence) di berbagai bagian dunia, termasuk yang pernah terjadi di Indonesia disebabkan berbagai kepentingan sosial yang mengatasnamakan agama?
Jawabannya tetaplah bahwa agama tidak mengajarkan konflik dan kekerasan. Agama selalu mengajarkan perdamaian dan kerukunan. Jika hal itu terjadi dan melibatkan umat, maka agama bukan menjadi fakta utama, melainkan dijustifikasi untuk kepentingan dan faktor lain.
*      AGAMA DI CELAH KONFLIK SOSIAL
      Konflik yang telah menelan jutaan jiwa di seluruh dunia bukan lagi masalah baru bahkan berkembang seusia manusia, dan terus bergerak menanti momentum yang tepat untuk bangkit. Sekarang ini sudah mulai dirasakan bahwa lahirnya tata dunia baru yang menggantikan kekuatan-kekuatan dua kutub perang dingin lama ditandai tidak hanya dengan munculnya adidaya, dan runtuhannya komunisme, tetapi juga oleh bangkitnya parokial yang didasarkan pada kesetiaan etnis dan agama.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, agama dapat menjadi suatu faktor pemersatu (uniting factor). Namun dalam beberapa hal, agama dapat juga dengan mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah (devending factor). Pakar sosiokologis Islam klasik, Ibnu Khaldun juga menyimpulkan bahwa perasaan seagama mungkin perlu, namun tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kelompok (sense of group belonging) atau kesatuan sosial. Harus ada faktor-faktor lain yang lebih memperkuat dan mempertahankan kohesi sosial.
Setiap agama memiliki landasan teologisnya sendiri untuk mengklaim kebenaran dirinya. Namun dalam waktu yang sama semua agama juga mempunyai dasar teologis untuk menyatakan bahwa Tuhan dan wahyulah yang merupakan kebenaran absolut. Manusia yang menyampaikan ajaran agama itulah yang melakukan interpretasi. Dan karena itu, interpretasi manusia atas wahyu menjadi kebenaran yang tidak absolut, dan tetap nisbi seiring dengan keterbatasannya selaku manusia. Dengan semangat dan sikap ini, kemudian dasar-dasar pengertian kerukunan dan keharmonisan beragama dapat dicapai.
Dengan begitu, maka kemutlakan dan kenisbian dalam agama dapat disederhanakan dengan dialog dua arah antara Tuhan dan manusia. Bilamana Tuhan menurunkan wahyu tentang kebenaran kepada manusia, itulah elemen absolut agama. Bilamana manusia memberi respons kepada kebenaran dari Tuhan dalam bentuk iman, “sambutan” tersebut menjadi tindakan keagamaan yang menghasilkan kebenaran yang relatif. Dan kepatuhan ini tercermin dalam simbol-simbol ritual yang berbeda, ekspresi-ekspresi keagamaan dalam individual dan sosial.
Terjadinya berbagai konflik yang bernuansa agama di tanah air dalam banyak hal tampaknya tidak berakar pada faktor teologis. Maka jarang elemen kemutlakan dan kenisbian dalam agama menjadi bibit konflik ini. Lebih sering diboncengi oleh persoalan sosial lain.
Memang seperti disebut di muka, setiap terjadi konflik antar-umat beragama kita merasa kesulitan untuk mendeteksi akar tunggal yang menjadi penyebab utamanya. Sebab seringkali penyebab utamanya bukan pada aspek doktrin yang merupakan inti agama melainkan pada akar serabut nonteologis, terutama persaingan politik dan ekonomi para pemimpinnya. Dengan demikian, pemicu utama antar konflik beragama bukan karena perbedaan doktrin ajaran tetapi lebih pada perebutan pengaruh politik dan ekonomi dari masing-masing pemeluknya.
Pembicaraan mengenai agama-agama, sejarah, wahyu, dan perjuangan para penyeru agama selalu terkait dengan problema sezaman atau setempat. Maka menurut sejarah, agama selalu terkait dengan masalah sosial. Karena itu, konflik-konflik agama lebih sering merupakan manifestasi dari konflik sosial dengan simbol-simbol keagamaan untuk tujuan-tujuan tertentu. Namun perlu disadari bahwa banyak alasan bagi agama-agama untuk tidak saja hidup rukun dan bertoleransi positif, melainkan juga untuk bekerjasama secara akrab dalam reformasi sosial, perubahan sosial atau transformasi sosial.
Pluralitas di masa depan dapat dipastikan akan semakin kentara dan kompleks, sebab ia merupakan salah satu ciri kehidupan global. Oleh karenanya, intensitas konflik sosial yang bernuansa agama di masa depan tampak sangat ditentukan oleh bagaimana umat beragama menyikapi potensi dan kasus-kasus konflik ini tidak akan mengancam kehidupan bersama. Sebaliknya jika penanganannya tidak tuntas dan tidak terencana, boleh jadi akan semakin dahsyat dan merepotkan.
Penyelesaian yang tidak tuntas dan transparan misalnya akan mengakibatkan berseminya dendam dikalangan mereka yang merasa tertindas atau dirugikan. Sementara itu, jika potensi da kasus-kasus konflik diredam dengan cara “menindasnya”, ia akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak secara tak terkendalikan.
*      MAKNA HARMONI DAN KONFLIK
Kehidupan bersama dalam masyarkat selalu berhadapan dengan dua kondisi sosial. Kondisi sosial yang selalu dihadapi  itu adalah hidup dalam suasana  harmoni dan  hidup dalam suasana konflik. Kondisi harmoni dan konflik silih berganti menghadiri kehidupan bersama itu. Kedua kondisi sosial  tersebut  masing-masing memiiki dimensi positif dan negatif. Ia akan berdimensi positif apabila harmoni dan konflik tersebut didasarkan pada proses penegakan kebenaran. Ini artinya harmoni itu sebagai kondisi  yang positif kalau ia sebagai  perwujudan kebenaran sejati. Demikian juga konflik itu akan berdimensi positif kalau dilandasi untuk menegakan kebenaran. Harmoni tanpa kebenaran  dapat menumpulkan dan melemahkan makna nilai-nilai kehidupan. Tegaknya nilai-niai kehidupan tersebut  sangat dibutuhkan untuk dapat memberikan makna untuk memajukan hidup ini mewujudkan ketentraman untuk mencapai kesejahtraan bersama yang adil dan beradab. Harmoni dalam hidup bersama memang merupakan suatu keadaan yang didambakan oleh setiap manusia normal di dunia ini. Cuma kalau harmoni itu sebagai perwujudan kebenaran.
Kondisi konflik betapapun kecilnya suatu kondisi yang tidak diharapakan oleh setiap orang. Namun konflik dalam kehidupan bersama merupakan suatu kenyataan yang hampir tidak pernah dapat dihindari. Untuk dapat mengambill makna positif dari setiap konflik yang terjadi, konflik itu harus dimanagement menuju rekonsiliasi. Untuk mencapai rekonsiliasi itu setiap konflik harus diarahkan sesuai dengan sistem-sistem yang terdapat dalam ilmu management  konflik. Konflik yang paling berat adalah konflik yang dipicu dengan alasan perbedaan pemahaman agama  dan perbedaan etnis. Kondisi konflik harus sesegera mungkin dimanagement dari  kondisi yang Fight ke Flight terus menuju Flow sampai ke Agreement dan terakhir menuju Rekonsiliasi. Dalam suasana Rekonsiliasi inilah kehidupan bersama dapat bergerak menuju kehidupan yang aman dan damai. Kehidupan yang aman dan damai ini dapat menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan nilai material secara seimbang dan kontinue.
Nilai spiritual dan nilai material yang tumbuh seimbang  dan kontinue itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan untuk membangun manusia dan masyarakat yang  harmonis dinamis dan produktif. Hanya dalam masyarakat yang harmonis, dinamis dan produktif itulah dapat menjadi wadah kehidupan untuk mewujudkan  apa yang disebut hidup aman damai dan bahagia lahir batin.
*      RELIGIOUS LITERACY MEMBANGUN KERUKUNAN
Rukun adalah sebagai terminal sosial untuk mengantarkan kehidupan yang aman dan damai. Hidup yang aman dan damai sebagai iklim sosial yang dibutuhkan untuk menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan nilai material secara seimbang dan kontinue. Nilai-nilai spiritual dan nilai material yang seimbang dan kontinue itu dibutuhkan untuk membangun manusia yang utuh dan berkualitas. Salah satu aspek yang dapat menimbulkan gangguan kerukunan sosial adalah pluralisme dibidang agama. Dengan mengembangkan sikap Religious Literacy kesalah pahaman akan pluralisme agama akan semakin dapat diatasi.
Religious Literacy itu akan semakin menampakan hasilnya apabila hal itu dilakukan secara jujur oleh semua pihak terutama para pemuka-pemuka semua agama. Gerakan ke arah Religious Literacy sudah semakin nampak. Penulis sendiri sebagai umat Hindu terutama sebelum reformasi sering diundang ke Gereja dan beberapa perguruan tinggi yang bernafaskan agama seperti ke Institut Agama Islam Negeri, ke Universitas Atma Jaya untuk berceramah tentang agama Hindu. Tujuan ceramah itu adalah untuk meningkatkan pemahaman umat Islam dan Kristen tentang ajaran agama Hindu. Yang paling sering dilakukan ditingkat Nasional adalah Dialog antar Umat beragama baik yang dilakukan oleh Litbang Departemen Agama RI, maupun yang disponsori oleh masing-masing lembaga agama yang ada.
Salah satu tujuan dialog umumnya mencarikan solusi berbagai permasalahan yang timbul di lapangan menyangkut gesekan yang sering terjadi dalam kehidupan antara umat  yang berbeda agama. Melek agama lain tidak saja diupayakan dalam dialog-dialog antara umat yang berbeda agama, namun hendaknya juga ditumbuhkan sendiri oleh masing-masing umat beragama terutama oleh tokoh-tokohnya. Toleransi itu hendaknya ditumbuhkan dari dalam diri sendiri sebagai suatu kebutuhan hidup dalam masyarakat yang pluralistis itu. Jadinya dengan melek agama lain, toleransi itu terjadi tidak atas tekanan dari luar diri sendiri.
REFERENSI
Muntasir: 1985:83 dalamSarmawati 2002
www.wahanapendidikanindonesia.blogspot.com
            Haraphap Syahrin, Teologi Kerukunan, Prenada Media Group : Jakarta. 2011
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment