Saturday, February 22, 2014

Fact About Reader and Writer



Name              : Liana Nurbakti
Class/Semester: PBI-D/ 4
NIM                : 14121320241
2nd Class Review

Fact About Reader and Writer
Jum’at, 14 February 2014 merupakan pertemuan kedua pada Mata Kuliah Academic Writing. Seperti biasa, Mr. Lala Bumela selalu dating tepat waktu, begitupun mahasiswanya.
Sebelum memulai pembelajaran, Mr. Lala mengulang kembali materi yang minggu lalu disampaikan. Pada semester 4 ini, teaching orientasinya sangat berbeda dengan writing pada semester 2. Diantaranya ada academic writing, critical thinking dan writing itu sendiri. Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas satu per satu.
Pertama, academic writing. Kenapa harus academic writing? Karena pada semester 4 ini kita tidak hanya sekedar mengarang atau menulis. Tulisan kita harus merujuk pada referensi-referensi dan harus ada data yang valid. Contohnya adalah research. Research tergolong pada academic writing karena melihat artinya saja, research berarti meneliti. Dengan meneliti, kita bisa menemukan sesuatu hasil yang valid. Hasilnya pun tidakhanya sekedar hasil, tetapi merujuk pada beberapa referensi. Semakin banyak referensi, researcher akan semakin mendekati truth (kebenaran). Selain itu, banyaknya referensi juga digunakan untuk mengcompare pendapat dari beberapa buku. Dengan demikian, hasilnya pun akan semakin valid dan semakin meyakinkan. Academic writing mempunyai empat sifat, yakni ; pertama, impersonal. Impersonal artinya penulis tidak menggunakan sudut pandang orang pertama, kedua maupun ketiga. Penulis hanya menunjukkan dirinya lewat pendapat-pendapatnya saja. Kedua adalah reference based, artinya tulisan harus merujuk pada referensi. Seperti yang sudah dijelaskan tadi diatas, bahwa tulisan itu bukan hanya asal tulisan, tapi harus ada bukti yang mendukung tulisan kita, yakni referensi-referensi. Ketiga adalah formal, artinya tulisan kita harus menggunakan bahasa yang formal. Ke$$empat adalah rogid, artinya kaku.

Kedua, critical thinking artinya berfikir kritis. Berfikir kritis bukan hanya ditujukan pada pembaca, tetapi sebagai penulis juga harus mempunyai fikiran yang kritis.
Ketiga, wrting. Terdapat 3 ayat tentang writing, yaitu:
1.    A way of knowing something. Dengan menulis, kita dapat mengetahui banyak hal yang belum kita tahu sebelumnya.
2.    A way of representing something. Dengan menulis, kita dapat menyajikan kembali apa yang kita ketahui dalam tulisan kita.
3.    A way of reproducing something. Dengan menulis, kita dapat menghasilkan sesuatu karya, baik itu jurnal, buku teks, karya ilmiah dan lain sebagainya.
Something dari ketiga ayat diatas dapat merujuk kepada kepada beberapa hal, diantaranya information, knowledge ataupun experience. Tapi prioritasnya lebih merujuk pada experience, karena experience itu lebih terasa dan lebih mudah untuk diingat daripada informasi atau knowledgenya. Contohnya pada saat pembelajaran phonology yang sangat rumit, mahasiswa kurang peduli bahkan tidak peduli dengan informasi dan pengetahuan yang mereka dapatkan. Tapi yang paling berkesan dan paling diingat oleh mahasiswa adalah pengalaman belajarnya. Pengalaman saat mereka harus mengerjakan tugas yang begitu banyak, pengalaman saat mereka harus mencari dan membaca buku yang sangat tebal, pengalaman saat mereka harus begadang setiap malam untuk mengerjakan tugas dan pengalaman lain-lainnya.
Setelah selesai mengulas materi minggu lalu, Mr. Lala mulai membagi kelas menjadi dua kelompok. Seperti biasa, Mr. Lala berkeliling mengecek class review dan appetizer mahasiswa. Sambil mengecek passport masing-masing mahasiswa, Mr. Lala bertanya kepada setiap mahasiswa. Setelas selesai mengecek passport mahasiswa, Mr. Lala memberikan kesimpulan bahwa literasi itu bukan hanyay berefek pada publish saja. Literasi juga berefek pada kualitas kehidupan dan SDM. Jika SDM di Indonesia sudah bagus, maka daya saing bangsa kita pun akan semakin meningkat. Apabila Indonesia sudah memiliki litersi ayng tinggi, otomatis kehidupan di indoneysia pun akan semakin membaik.
Setiap dosen pasti menginginkan mahasiswanay agar menjadi lebih baik. Itulah yang selalu dilakukan oleh Mr. Lala. Setiap pertemuan, Mr. Lala selalu memberikan cambukan (semangat) kepada mahasiswanya. Kata-kata angyy diucapkannya pun selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk mahasiswanya. Pada pertemuan kedua ini, Mr. lala menunjukkan slide dengan judul “Knowing Who We Really Are”. Melihat judulnya saja, jelas adalah untuk memotivasi kita agar kita sadar akan tugas kita sebagai  pelajar. Siapa sih kita sebenarnya? Mahasiswa yang hanya memasuki kelas tujuan? Mahasiswa yang hanya mengikuti kontrak belajar di dalam kelas? Atau mahasiswa yang bagaimana? Kata-kata itu jelas sangat mencambuk mahasiswa, terutama saya untuk sadar tuygasnay sebagai mahasiswa yang bukan hanya ikut-ikutyan atau terpaksa memasuki kelas. Sebagai mahasiswa, harusna sadar dan mengikuti pembelajaran dengan sepenuh hati. Dengan demikian, serumit-rumitnya pelajaran akan terasa mudah dan enjoy dalam mengikutinya.
Seburuk-buruknya murid, guru pasti selalu memberikan nilai positive kepada murid-muridnya. Begitupun Mr. Lala, beliau menganggap mahasiswanya adalah multilingual writer. Padahal, tidak sedikit mahasiswa yang mengikuti kelas academic writing itu karena tuntutan academic. Multilingual writer artinya mahasiswa dapat menulis secara effective dalam beberapa bahasa. Jadi mahasiswa bukan hanya menulis dalam satu bahasa, karena setiap mahasiswa pasti mempunyai bahasa ibu masing-masing, bahasa nasional dan bahasa internasional. Oleh karena itu, kita disebut mahasiswa yang multilingual writer karena kita dapat menulis dalam beberapa bahasa, seperti bahasa sunda, bahasa Indonesia dan bahasa inggris. Bukan hanya itu, tapi kita juga bisa dikatakan sebagai pembaca yang kritisdalam ketiga  bahasa tersebut. Selain itu, kita juga bisa mengubah diri kita dari mahasiswa pembaca menjadi mahasiswa penulis. Multilingual juga tidak hanya pandai dalam berbahasa atau menulis, tapi juga harus bisa menjelaskan pilihan hidup masing-masing yang pada akhirnya akan merupah dunia menjadi lebih baik.
Hyland dalam bukunya berkata “writing is a practice based on expectation: the readers  chances of interpreting the writers purpose are increased if the writer takes the trouble to anticipate what the reader might be expecting based on previous text he or she has read of the same kind”, artinya menulis adalah sebuah latihan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menginterpretasikan tujuan penulis itu sendiri. Jika penulis menuliskan sesuatu yang rumit, pembaca harus berfikir kritis, dalam arti pembaca harus bertanya apa yang dimaksudkan si penulis. Jangan sampai pembaca itu menjadi pembaca yang tak berdaya.
Berbeda dengan Hyland, Hoey dalam bukunya tahun 2001 berkata bahwa “likens the readers and writers to dancers following each other steps, each assembling sense from a texts by anticipating what the other is likely to do by making connections to prior texts”, artinya bahwa pembaca dan penulis itu layaknya seorang penari yang mengikuti langkah satu sama lain. Dengan kata lain, menurut Hoey pembaca dan penulis membuat koneksi yang disebut seni.
Lehtonen lebih dalam membahas tentang menulis. Beliau memulai pembahasannya dari pengertian bahasa terlebih dahulu. Menurut lehtonen, bahasa adalah sebuah system yang menegaskan arti bahasa itu sendiri. Lehtonen juga menambahkan bahwa teks dan pembaca tidak pernah bisa berdiri sendiri, karena faktanya keduanya saling memproduksi satu sama lain. Maksudnya adalah bahwa seseorang tidak bisa dikatakan sebagai pembaca ketika tidak memegang dan membaca teks. Sebaliknya teks juga tidak akan ada artinya jika tidak dibaca oleh manusia. Selain itu, lehtonen juga menambahkan koneksi antara teks, konteks, reader, writer dan meaning. Menurut lehtonen, hubungan antara teks, konteks, reader dan writer adalah sama-sama menuju ke meaning. Tujuan dari semuanya adalah untuk mengetahui, memproduksi dan memahami isi bacaan. Reader bisa saja mengerti atau mengartikan konteks (isi) dari tulisan berbeda dengan yang dimaksudkan oleh penulisnya. Bahkan pembaca bisa saja memberikan pengertian yang lebih luas dari apa yang penulis maksudkan.
Menurut Rolan Barthes (1915-1980), pembaca dalam artian luas adalah sebagai teks. Pembaca adalah bentuk arti dalam sebuah teks.
Dilihat dari berbagai sumber, ternyata pembaca dan penulis itu memiliki arti yang sangat luas. Penulis dan pembaca bisa dikatakan sebagai seni atau dancer yang mana mereka saling mengikuti langkah satu sama lain. Pembaca juga bisa dikatakan sebagai arti dari sebuah teks, yang mana pembaca memberikan makna tersendiri kedalam teks. Pemnulis, pembaca dan teks juga bisa dikatakan sebagai simbosis mutualisme, yang mana ketiganya saling memberikan manfaat satu sama lain.
Dalam pertemuan kedua ini, saya mendapat pelajaran bahwa saya harus bisa menjadi pembaca yang kritis. Jangan sampai saya menjadi pembaca yang tak berdaya yang menganggap dirinya tidak mampu untuk sampai kepada pikiran penulis.
1st Chapter Review

All About Literacy
Menurut 7th Edition Oxford Advanced Learners Dictionary, 2005-898, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Tapi pada kenyataannya istilah literasi jarang dipakai dalam bangku perkuliahan di Indonesia. Istilah yang lebih sering dipakai adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Pada masa lalu, membaca dan menulis dikatakan ‘cukup’ sebagai pendidikan dasar untuk membekali manusia dalam menghadapi tantangan zaman. Padahal sekarang adalah zaman ‘edan’, yang mana semua hal berkembang dengan sangat pesat, dari mulai technology, pendidikan dan dalam bidang lainnya. Jika kita hanya mengandalkan membaca dan menulis (pendidikan dasar) saja, itu tidak akan cukup untuk menghadapi tantangan zaman.
Litersi bukan hanya sekedar kemampuan mental dan keterampilan baca-tulis, tapi literasi adalah praktek cultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik. Untuk meluruskan paradigm setiap orang yang menganggap bahwa literasi itu adalah hanya keterampilan baca tulis, maka pada zaman kini ada ungkapan literasi computer, literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA dan sebagainya.

Freebody dan Luke menawarkan model litersi sebagai berikut :
1.    Memahami kode dalam teks (breaking the codes of texts)
2.    Terlibat dalam memaknai teks (participating in the meaning of texts)
3.    Menggunakan texts secara fungsional (using texts functionally)
4.    Melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically analyzing and transforming texts)
Keempat model litersi diatas dapat diringkas menjadi lima verba, yaitu memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasi teks. Itulah hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis. Memang benar sekali tentang lima verba diatas. Literasi itu bukan hanya keterampilan baca-tulis saja, tapi juga harus memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks. Contoh kecilnya saja, pada saat kita di kelas dan ada dosen yang sedang menerangkan, kita harus memahami apa yang dosen katakan. Setelah kita memahami, kita harus melibatkan diri dalam pembelajaran tersebut. Artinya kita tidak hanya mendengarkan, tetapi harus melibatkan diri, contohnya jika kita tidak mengerti materi yang diberikan oleh dosen, kita harus bertanya kepada dosen atau teman yang sudah mengerti. Melibatkan diri juga bukan hanya bertanya, tapi bisa juga kita memberikan pendapat tentang sesuatu pada saat pembelajaran. Ilmu yang kita dapatkan juga harus digunakan atau diterapkan dalam kehidupan kita. Contohnya, jika kita mendapatkan ilmu tentang menulis maka kita harus rajin menulis dan harus menghasilkan sebuah karya seperti jurnal, karya ilmiah dan lain-lain. Untuk mengingat kembali ilmu yang sudah kita dapatkan, sebagai seorang pelajar dan calon guru, kita harus mentransformasikan ilmu yang kita dapatkan kepada orang lain. Dengan demikian, ilmu yang telah kita dapatkan aka selalu menempel dalam ingatan kita dan akan sulit untuk hilang. Dengan melibatkan kelima verba tersebut dalam pendidikan, saya yakin pendidikan di Indonesia akan semakin mambaik. Bukan hanya itu, tapi literasinya juga akan semakin tinggi. Jika bangsa Indonesia sudah memiliki literasi yang tinggi, maka Indonesia akan menjadi Negara maju.
Literasi berkaitan dengan penggunaan bahasa dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh demensi yang saling terkait, diantaranya:
1.    Dimensi geografis (local, nasional, regional dan internasional)
2.    Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer dan sebagainya)
Literasi suatu bangsa tergantung pada berhasil atau tidaknya bidang-bidang yang tertera di atas. Kita ambil contoh dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang berkualitas tinggi akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Contohnya SMAN 1 Cirebon dibandingkan dengan SMAN 1 Palimanan. Dilihat dari letak geografisnya saja itu sangat berbeda. SMAN 1 Cirebon terletak di kota, sedangkan SMAN 1 Palimanan berada di wilayah kecamatan. Dalam kualitasnya pun tentu akan berbeda pula. SMAN 1 Cirebon akan memiliki nilai standar kelulusan yang lebih tinggi dibandingkan dengan SMAN 1 Palimanan. Selain itu, technology yang digunakannya pun akan berbeda. SMAN 1 Cirebon akan memiliki technology yang lebih tinggi daripada SMAN 1 Palimanan. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa SMAN 1 Cirebon memiliki kualitas literasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan SMAN 1 Palimanan.
3.     Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung dan berbicara)
Literasi seseorang tampak dalam keterampilannya dalam membaca, menulis, menghitung dan berbicara. Setiap sarjana pasti mampu membaca, tapi belum tentu dia mampu menulis. Untuk bisa menulis, kita harusbanyak persiapan dan banyakilmu tentang apa yang akan kita tuliskan. Untuk itu, sebagai persiapan untuk menulis, kita harus banyak membaca. Bagi seorang penulis, buku adalah sebagai gizi. Semakin banyak kita membaca buku, maka akan semakin berkualitas tulisan kita. Buku yang kit abaca juga akan tampak pada saat kita berbicara, karena bahasa orang yang suka membaca buku akan berbeda dengan orang yang jarang membaca buku.
4.    Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan dan mengembangkan potensi diri)
5.    Dimensi media (teks, cetak, visual, digital)
Sekarang adalah zamannya technology. Untuk menjadi seorang literat, kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan baca-tulis biasa. Kita harus bisa mengandalkan kemampuan dalam bertekhnology. Misalnya tulisan kita diupload ke blog, sehingga seluruh dunia mampu melihat karya kita.
6.    Dimensi jumlah (satu, dua dan beberapa)
7.    Dimensi bahasa (etnis, local, nasional, regional dan internasional)
Bahasa adalah sebagai identitas darimana dia berasal. Contohnya saya berbicara menggunakan bahasa sunda, berarti saya berasal dari sunda. Saya kuliah di jurusan bahasa inggris. Maka saya adalah termasuk orang yang multilingual, yaitu memiliki kemampuan dalam tiga bahasa yaitu bahasa sunda, bahasa Indonesia dan bahasa inggris. Seseorang dikatakan literat dalam bahasanya jika dia bisa menempatkan  posisi dimana dia berada. Maksudnya seperti ini, jika saya sedang berkumpul dengan teman-teman maka saya menggunakan bahasa Indonesia. Tapi ketika saya di kelas, saya menggunakan bahasa inggris. Jika saya berada di rumah, tidak mungkin saya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa inggris, karena orang rumah tidak akan mengerti apa yang saya katakana, maka di rumah saya menggunakan bahasa sunda.

Ada 11 gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukka perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, diantaranya:
1.        Ketertiban lembaga-lembaga social.
2.        Tingkat kefasihan relative.
3.        Pengembangan potensi diri dan pengetahuan.
Literasi mampu mengembangkan potensi diri seseorang dan membekali seseorang untuk memproduksi ilmu pengetahuan.
4.        Standar dunia.
Dalam dunia pendidikan, literasi merupakan nilai tolak ukur kualitas suatu bangsa. Apabila literasi suatu bangsa tinggi, maka kualitas pendidikan di bangsa tersebut dikatakan baik.
5.        Warga masyarakat demokratis.
Literasi memfasilitasi warga Negara dalam menjunjung tinggi nilai demokratis melalui pendidikan.
6.        Keragaman local.
7.        Hubungan global.
Hubungan global adalah komunikasi orang tingkat dunia. Mengingat sekarang adalah zamnannya technology, tentu untukmencapai tingkat dunia semua orang harus mempunyai literasi tingkat internasional dan harus menguasai ICT Literasi.
8.        Kewarganegaraan yang effektif.
Literasi membekali warga Negara untuk mampu mengubah diri, menggali potensi diri serta berkontribusi bagi keluarga, lingkungan dan negaranya.
9.        Bahasa inggris ragam dunia.
10.    Kemampuan berfikir kritis.
Literasi buka hanya baca tulis, tetapi juga harus bisa menggunakan bahasa atau berbicara dengan fasih, effective dan berfikir kritis.
11.    Masyarakat semiotic.
Masyarakat semiotic adalah masyarakat yang berupaya mengkaji budaya.

7 prinsip literasi, yaitu :
1.    Literasi adalah kecakapan hidup (life skill) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2.    Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
3.    Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
4.    Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5.    Literasi adalah kegiatan refleksi (diri)
6.    Literasi adalahhasil kolaborasi.
Literasi itu tidak hanya terdiri dari satu pihak. Literasi merupakan gabungan atau kolaborasi antara pembaca, penulis dan teks. Ketiganya tidak dapat berdiri sendiri, karena ketiganya saling memproduksi satu sama lain. Seseorang menulis karya dengan menuangkan ide-ide yang ada dalam fikirannya. Tulisan itu tidak akan bermanfaat jika tidak ada orang yang membacanya. Maka disanalah ada kolaborasi dengan pembaca.
7.    Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi
Literasi adalah sebuah ajang untuk menginterpretasikan sesuatu, dimana penulis menginterpretasikan pengalaman yang dia lalui dan ide-ide yang terdapat dalam fikirannya melalui kata-kata yang terangkai menjadi sebuah karya. Pembaca pun bisa menilai hasil karya penulis itu.

Sejak tahun 1999, Indonesia mengikuti proyek penelitian dunia yang bertujuan dalam membaca meliputi literary purposes dan informational purposes, sedangkan dalam proses proses membaca meliputi interpreting, integrating dan evaluating. Dari hasil temuan penelitian tersebut terlihat jelas sekali bahwa tingkat literasi siswa di Indonesia masih sangat jauh tertinggal oleh siswa di negera-negara lain. Itu artinya pendidikan di Indonesia belum berhasil menciptakan siswa yang literat, yang mampu bersaing dengan Negara lain. Hal itu dipengaruhi oleh berbagai macam factor. Bukan hanya terfokus pada pengajarnya saja, tapi dilihat dari pendapatan nasional juga. Pendapatan nasional sangat mempengaruhi pendidikan di Indonesia. Karena dengan pendapatan nasional, pemerintah memberikan bantuan-bantuan kepada sekolah sehingga fasilitas belajarpun memadai. Tapi seperti yang kita tahu, pendapatan nasional Negara Indonesia sangat sedikit, sedangkan sekolah yang rusak dimana-mana. Lalu darimana dananya pemerintah memberikan bantuan? Itulah PR kita sebagai warga Negara. Selain itu, factor yang mempengaruhinya adalah latar belakang atau pendidikan keluarga. Keluarga adalah guru nomor satu bagi seorang anak. Jika di sekolah sang anak tidak mengerti apa yang diterangkan oleh gurunya, tentu dia akan menanyakan kepada orangtuanya di rumah. Jika orangtua nya tidak mengerti, lalu anak harus bertanya kepada siapa lagi? Jadi peran orangtua itu sangat berpengaruh untuk seorang anak. Untuk membangun bangsa menjadi lebih baik, Indonesia harus mempunyai SDM yang memiliki potensi yang bagus sehingga daya saing kita pun tinggi.
Dalam penelitian diatas, juga tidak menemukan skor prestyasi menulis, sehingga tidaka ada bukti korelasi antar prestasi membaca dan menulis. Prestasi menulis itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan membaca. Seorang penulis pasti adalah seorang yang sering membaca, tapi tidak semua pembaca adalah seorang penulis. Berkaitan dengan menulis, Indonesia merupakan negera terendah dalam produksi buyku. Dalam setahun, Indonesia hanya memproduksi 6000 buku. Padahal jumlah dosen di Indonesia sangat banyak sekali, yaitu sekitar 231.786 dosen. Harusnya dalam setahun Indonesia bisa memproduksi buku sebanyak 77.000. tapi dalam kenyataannya Indonesia hanya mampu memproduksi 6000 buku. Lalu kemana buku-buku yang seharusnya ada? Factor yang mempengaruhinya yaitu dosen yang malas atau dosen yang tidak mempunyai keterampilan dalam menulis.
Berdasarkan hasil evaluasi penelitian yang dilakukan, ujung tombak literasi adalah guru dengan langkah-langkah profesionalnya, yaitu:
1.    Komitmen professional.
2.    Komitmen etis.
3.    Strategi analitis dan reflektif.
4.    Efikasi diri.
5.    Pengetahuan bidang study.
6.    Keterampilan literasi dan numerasi.

Dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Sedangkan rekayasa literasi itu adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formalyang sering dijadika rujukan dalam upaya mengukur tingkat literasi.
Menurut Kucer, 2005: 293-4, perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi, yaitu:
1.    Linguistic atau focus teks.
2.    Kognitif atau focus mind.
3.    Sosiokultural atau focus kelompok.
4.    Perkembangan atau focus pertumbuhan.
Kegiatan literasi selalu melibatkan keempat dimensi diatas. Literasi juga difungsikan dalam konteks social.
Pada intinya, pengajaran literasi adalah untuk menjadikan manusia yang secara fungsional mampu baca tulis, terdidik, cerdas dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Untuk mempelajari literasi, setidaknya diawali oleh tiga paradigma, yaitu :
1.    Decoding, yaitu penguasaan kode bahasa.
2.    Keterampilan, siswa menguasai sitem morfamik bahasa.
3.    Bahasa secara utuh, yaitu siswa menguasai teks otentik yang kontekstual sehingga mendapatkan makna baru, bukan kosakata baru.

Table perubahan paradigm pengajaran literasi
Tadinya…
Kini…
-          bahasa adalah system struktur yang mandiri.
-          Bahasa adalah fenomena social.
-          focus pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
-          Focus pada serpihan-serpihan kalimat yang slaing terhubung.
-          Berorientasi ke hasil.
-          Berorientasi ke proses.
-          Focus pada teks sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa.
-          Focus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi.
-          Mengajarkan norma-norma perspektif dalam berbahasa.
-          Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran.
-          Focus pada penguasaan keterampilan secara terpisah (discrete)
-          Focus pada ekspresi diri.
-          Menekankan makna denotative dalam konteksnya
-          Menekankan nilai komunikasi.

Pak Haidar menuliskan wacana yang merujuk pada paradigm pengajaran literasi yang mana didalamnya ada sastra, yang diajarkan di TK sampai PT di AS.
Melalui wacana tersebut, pak Haidar ingin memberitahukan kepada seluuh mahasiswa di Indonesia mengenai pendidikan yang ada di USA. Dalam wacana tersebut, pendidikan di AS membiasakan mahasiswanya untuk menulis sejak TK sampai SMA. Ini terlihat sekali pada paragraph lima, yakni pengalaman Anne J. Arbali memulai untuk menulis jurnal tentang kegiatannya sehari-hari dan membaca essay yang sangat sederhana. Selain itu, Anne J. Arbali juga mencoba untuk menuliskan kembali sesuatu yang telah ia baca. Hal itu ia lakukan sejak ia duduk di bangku SD. Tidak hanya sampai di bangku SD, Anne J. Arbali melakukan kegiatannya itu sampai ia duduk di bangku kuliah, dimana dia mengambil jurusan seni, yang menuntutnya untuk banyak membaca buku yang bertujuan untuk memperkaya pengetahuan dan menghasilkan perspektif yang berbeda dari setiap sumbernya.
Selain dukungan dari system pendidikan yang tertata, peran orangtua dan keluarga juga mendorong siswa di USA untuk meningkatkan budaya literasi sejak dini dengan cara mengirimkan anak-anaknya ke perpustakaan umum setiap hari sekolah mulai pukul 6-9 p.m.
Setelah membaca wacana tentang Anne J. Arbali, jelas Indonesia kalah jauh dari amerika. Di Indonesia, anak kecil zaman sekarang jarang yang memiliki minat untuk menulis dan membaca. Mereka justru sangat antusias ketika memiliki tekhnologi-tekhnologi tercanggih. Salahnya disini adalah orangtuanya yang memfasilitasi anakanak-anak dengan barang-barang elektronik yang akan mengakibatkan anak kurang minat dalam membaca dan menulis. Itulah kenapa peran orangtua sangat penting sekali dalam proses tumbuh kembangnya anak.
Selain pern orangtua, rendahnya literasi di Indonesia juga adalah pengaruh dari banyaknya sarjana ahli sastra dan linguistic yang tidak bisa menulis. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa dan calon pendidik, mahasiswa harus mulai melatih diri untuk menulis, agar kita terbiasa menulis dan mampu memproduksi buku sendiri. Tapi meskipun begitu, kita tidak boleh sepenuhnya menyalahkan guru atau dosen . kita harus bercermin kepada diri kita sendiri, apakah sudah ada jiwa literat dalam diri kita? Kalau belum, harus mulai ditumbuhkan jiwa literat itu dalam diri kita masing-masing.
Dari semua pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa literasi bukan hanya sekedar keterampilan baca tulis, tapi literasi juga merupakan praktek cultural yang berkaitan dengan persoalan social, politik dan sastra. Sedangkan rekayasa literasi itu sendiri adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Agar system pendidikan kita maju dan mempunyai literasi yang tinggi, kita harus menerapkan sitem pendidikan yang ada di Amerika. Siswa harus dibiasakan membuat jurnal dan membaca setiap hari. Dengan demikian, lulusan sarjana dipastikan semuanya bisa menulis dan kita bisa menyakmakan posisi dalam prosuksi buku minimalnya dengan Malaysia.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment