Saturday, February 22, 2014
Created By:
Liana Nurbakti
Name :
Liana Nurbakti
Class/Semester: PBI-D/ 4
NIM :
14121320241
2nd Class Review
Fact About Reader and
Writer
Jum’at, 14 February
2014 merupakan pertemuan kedua pada Mata Kuliah Academic Writing. Seperti
biasa, Mr. Lala Bumela selalu dating tepat waktu, begitupun mahasiswanya.
Sebelum memulai
pembelajaran, Mr. Lala mengulang kembali materi yang minggu lalu disampaikan.
Pada semester 4 ini, teaching orientasinya sangat berbeda dengan writing pada
semester 2. Diantaranya ada academic writing, critical thinking dan writing itu
sendiri. Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas satu per satu.
Pertama, academic
writing. Kenapa harus academic writing? Karena pada semester 4 ini kita tidak
hanya sekedar mengarang atau menulis. Tulisan kita harus merujuk pada referensi-referensi
dan harus ada data yang valid. Contohnya adalah research. Research tergolong
pada academic writing karena melihat artinya saja, research berarti meneliti.
Dengan meneliti, kita bisa menemukan sesuatu hasil yang valid. Hasilnya pun
tidakhanya sekedar hasil, tetapi merujuk pada beberapa referensi. Semakin
banyak referensi, researcher akan semakin mendekati truth (kebenaran). Selain
itu, banyaknya referensi juga digunakan untuk mengcompare pendapat dari
beberapa buku. Dengan demikian, hasilnya pun akan semakin valid dan semakin
meyakinkan. Academic writing mempunyai empat sifat, yakni ; pertama, impersonal. Impersonal artinya
penulis tidak menggunakan sudut pandang orang pertama, kedua maupun ketiga.
Penulis hanya menunjukkan dirinya lewat pendapat-pendapatnya saja. Kedua adalah reference based, artinya
tulisan harus merujuk pada referensi. Seperti yang sudah dijelaskan tadi
diatas, bahwa tulisan itu bukan hanya asal tulisan, tapi harus ada bukti yang
mendukung tulisan kita, yakni referensi-referensi. Ketiga adalah formal, artinya tulisan kita harus menggunakan bahasa
yang formal. Ke$$empat adalah rogid,
artinya kaku.
Kedua, critical
thinking artinya berfikir kritis. Berfikir kritis bukan hanya ditujukan pada
pembaca, tetapi sebagai penulis juga harus mempunyai fikiran yang kritis.
Ketiga, wrting.
Terdapat 3 ayat tentang writing, yaitu:
1.
A
way of knowing something. Dengan menulis, kita dapat mengetahui banyak hal yang
belum kita tahu sebelumnya.
2.
A
way of representing something. Dengan menulis, kita dapat menyajikan kembali
apa yang kita ketahui dalam tulisan kita.
3.
A
way of reproducing something. Dengan menulis, kita dapat menghasilkan sesuatu
karya, baik itu jurnal, buku teks, karya ilmiah dan lain sebagainya.
Something dari ketiga
ayat diatas dapat merujuk kepada kepada beberapa hal, diantaranya information,
knowledge ataupun experience. Tapi prioritasnya lebih merujuk pada experience,
karena experience itu lebih terasa dan lebih mudah untuk diingat daripada
informasi atau knowledgenya. Contohnya pada saat pembelajaran phonology yang
sangat rumit, mahasiswa kurang peduli bahkan tidak peduli dengan informasi dan
pengetahuan yang mereka dapatkan. Tapi yang paling berkesan dan paling diingat
oleh mahasiswa adalah pengalaman belajarnya. Pengalaman saat mereka harus
mengerjakan tugas yang begitu banyak, pengalaman saat mereka harus mencari dan
membaca buku yang sangat tebal, pengalaman saat mereka harus begadang setiap
malam untuk mengerjakan tugas dan pengalaman lain-lainnya.
Setelah selesai
mengulas materi minggu lalu, Mr. Lala mulai membagi kelas menjadi dua kelompok.
Seperti biasa, Mr. Lala berkeliling mengecek class review dan appetizer
mahasiswa. Sambil mengecek passport masing-masing mahasiswa, Mr. Lala bertanya
kepada setiap mahasiswa. Setelas selesai mengecek passport mahasiswa, Mr. Lala
memberikan kesimpulan bahwa literasi itu bukan hanyay berefek pada publish
saja. Literasi juga berefek pada kualitas kehidupan dan SDM. Jika SDM di
Indonesia sudah bagus, maka daya saing bangsa kita pun akan semakin meningkat.
Apabila Indonesia sudah memiliki litersi ayng tinggi, otomatis kehidupan di
indoneysia pun akan semakin membaik.
Setiap dosen pasti
menginginkan mahasiswanay agar menjadi lebih baik. Itulah yang selalu dilakukan
oleh Mr. Lala. Setiap pertemuan, Mr. Lala selalu memberikan cambukan (semangat)
kepada mahasiswanya. Kata-kata angyy diucapkannya pun selalu menjadi inspirasi
dan memberikan semangat untuk mahasiswanya. Pada pertemuan kedua ini, Mr. lala
menunjukkan slide dengan judul “Knowing Who We Really Are”. Melihat judulnya
saja, jelas adalah untuk memotivasi kita agar kita sadar akan tugas kita
sebagai pelajar. Siapa sih kita
sebenarnya? Mahasiswa yang hanya memasuki kelas tujuan? Mahasiswa yang hanya
mengikuti kontrak belajar di dalam kelas? Atau mahasiswa yang bagaimana?
Kata-kata itu jelas sangat mencambuk mahasiswa, terutama saya untuk sadar
tuygasnay sebagai mahasiswa yang bukan hanya ikut-ikutyan atau terpaksa
memasuki kelas. Sebagai mahasiswa, harusna sadar dan mengikuti pembelajaran
dengan sepenuh hati. Dengan demikian, serumit-rumitnya pelajaran akan terasa
mudah dan enjoy dalam mengikutinya.
Seburuk-buruknya murid,
guru pasti selalu memberikan nilai positive kepada murid-muridnya. Begitupun
Mr. Lala, beliau menganggap mahasiswanya adalah multilingual writer. Padahal,
tidak sedikit mahasiswa yang mengikuti kelas academic writing itu karena
tuntutan academic. Multilingual writer artinya mahasiswa dapat menulis secara
effective dalam beberapa bahasa. Jadi mahasiswa bukan hanya menulis dalam satu
bahasa, karena setiap mahasiswa pasti mempunyai bahasa ibu masing-masing,
bahasa nasional dan bahasa internasional. Oleh karena itu, kita disebut
mahasiswa yang multilingual writer karena kita dapat menulis dalam beberapa
bahasa, seperti bahasa sunda, bahasa Indonesia dan bahasa inggris. Bukan hanya
itu, tapi kita juga bisa dikatakan sebagai pembaca yang kritisdalam ketiga bahasa tersebut. Selain itu, kita juga bisa
mengubah diri kita dari mahasiswa pembaca menjadi mahasiswa penulis.
Multilingual juga tidak hanya pandai dalam berbahasa atau menulis, tapi juga
harus bisa menjelaskan pilihan hidup masing-masing yang pada akhirnya akan
merupah dunia menjadi lebih baik.
Hyland dalam bukunya
berkata “writing is a practice based on expectation: the readers chances of interpreting the writers purpose
are increased if the writer takes the trouble to anticipate what the reader
might be expecting based on previous
text he or she has read of the same kind”, artinya menulis adalah sebuah
latihan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pembaca untuk
menginterpretasikan tujuan penulis itu sendiri. Jika penulis menuliskan sesuatu
yang rumit, pembaca harus berfikir kritis, dalam arti pembaca harus bertanya
apa yang dimaksudkan si penulis. Jangan sampai pembaca itu menjadi pembaca yang
tak berdaya.
Berbeda dengan Hyland,
Hoey dalam bukunya tahun 2001 berkata bahwa “likens the readers and writers to dancers
following each other steps, each assembling sense from a texts by anticipating
what the other is likely to do by making connections to prior texts”, artinya
bahwa pembaca dan penulis itu layaknya seorang penari yang mengikuti langkah
satu sama lain. Dengan kata lain, menurut Hoey pembaca dan penulis membuat
koneksi yang disebut seni.
Lehtonen lebih dalam
membahas tentang menulis. Beliau memulai pembahasannya dari pengertian bahasa
terlebih dahulu. Menurut lehtonen, bahasa adalah sebuah system yang menegaskan
arti bahasa itu sendiri. Lehtonen juga menambahkan bahwa teks dan pembaca tidak
pernah bisa berdiri sendiri, karena faktanya keduanya saling memproduksi satu
sama lain. Maksudnya adalah bahwa seseorang tidak bisa dikatakan sebagai
pembaca ketika tidak memegang dan membaca teks. Sebaliknya teks juga tidak akan
ada artinya jika tidak dibaca oleh manusia. Selain itu, lehtonen juga
menambahkan koneksi antara teks, konteks, reader, writer dan meaning. Menurut
lehtonen, hubungan antara teks, konteks, reader dan writer adalah sama-sama
menuju ke meaning. Tujuan dari semuanya adalah untuk mengetahui, memproduksi
dan memahami isi bacaan. Reader bisa saja mengerti atau mengartikan konteks
(isi) dari tulisan berbeda dengan yang dimaksudkan oleh penulisnya. Bahkan
pembaca bisa saja memberikan pengertian yang lebih luas dari apa yang penulis
maksudkan.
Menurut Rolan Barthes
(1915-1980), pembaca dalam artian luas adalah sebagai teks. Pembaca adalah
bentuk arti dalam sebuah teks.
Dilihat dari berbagai
sumber, ternyata pembaca dan penulis itu memiliki arti yang sangat luas.
Penulis dan pembaca bisa dikatakan sebagai seni atau dancer yang mana mereka
saling mengikuti langkah satu sama lain. Pembaca juga bisa dikatakan sebagai
arti dari sebuah teks, yang mana pembaca memberikan makna tersendiri kedalam
teks. Pemnulis, pembaca dan teks juga bisa dikatakan sebagai simbosis
mutualisme, yang mana ketiganya saling memberikan manfaat satu sama lain.
Dalam pertemuan kedua
ini, saya mendapat pelajaran bahwa saya harus bisa menjadi pembaca yang kritis.
Jangan sampai saya menjadi pembaca yang tak berdaya yang menganggap dirinya
tidak mampu untuk sampai kepada pikiran penulis.
1st Chapter Review
All About Literacy
Menurut 7th
Edition Oxford Advanced Learners Dictionary, 2005-898, literasi adalah
kemampuan membaca dan menulis. Tapi pada kenyataannya istilah literasi jarang
dipakai dalam bangku perkuliahan di Indonesia. Istilah yang lebih sering
dipakai adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Pada masa lalu,
membaca dan menulis dikatakan ‘cukup’ sebagai pendidikan dasar untuk membekali
manusia dalam menghadapi tantangan zaman. Padahal sekarang adalah zaman ‘edan’,
yang mana semua hal berkembang dengan sangat pesat, dari mulai technology,
pendidikan dan dalam bidang lainnya. Jika kita hanya mengandalkan membaca dan
menulis (pendidikan dasar) saja, itu tidak akan cukup untuk menghadapi
tantangan zaman.
Litersi bukan hanya
sekedar kemampuan mental dan keterampilan baca-tulis, tapi literasi adalah
praktek cultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik. Untuk
meluruskan paradigm setiap orang yang menganggap bahwa literasi itu adalah
hanya keterampilan baca tulis, maka pada zaman kini ada ungkapan literasi computer,
literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA dan sebagainya.
Freebody dan Luke
menawarkan model litersi sebagai berikut :
1.
Memahami
kode dalam teks (breaking the codes of texts)
2.
Terlibat
dalam memaknai teks (participating in the meaning of texts)
3.
Menggunakan
texts secara fungsional (using texts functionally)
4.
Melakukan
analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically analyzing and
transforming texts)
Keempat model litersi diatas dapat diringkas menjadi
lima verba, yaitu memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan
mentransformasi teks. Itulah hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat
demokratis. Memang benar sekali tentang lima verba diatas. Literasi itu bukan
hanya keterampilan baca-tulis saja, tapi juga harus memahami, melibati,
menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks. Contoh kecilnya saja,
pada saat kita di kelas dan ada dosen yang sedang menerangkan, kita harus
memahami apa yang dosen katakan. Setelah kita memahami, kita harus melibatkan
diri dalam pembelajaran tersebut. Artinya kita tidak hanya mendengarkan, tetapi
harus melibatkan diri, contohnya jika kita tidak mengerti materi yang diberikan
oleh dosen, kita harus bertanya kepada dosen atau teman yang sudah mengerti.
Melibatkan diri juga bukan hanya bertanya, tapi bisa juga kita memberikan
pendapat tentang sesuatu pada saat pembelajaran. Ilmu yang kita dapatkan juga
harus digunakan atau diterapkan dalam kehidupan kita. Contohnya, jika kita
mendapatkan ilmu tentang menulis maka kita harus rajin menulis dan harus
menghasilkan sebuah karya seperti jurnal, karya ilmiah dan lain-lain. Untuk
mengingat kembali ilmu yang sudah kita dapatkan, sebagai seorang pelajar dan
calon guru, kita harus mentransformasikan ilmu yang kita dapatkan kepada orang
lain. Dengan demikian, ilmu yang telah kita dapatkan aka selalu menempel dalam
ingatan kita dan akan sulit untuk hilang. Dengan melibatkan kelima verba
tersebut dalam pendidikan, saya yakin pendidikan di Indonesia akan semakin
mambaik. Bukan hanya itu, tapi literasinya juga akan semakin tinggi. Jika
bangsa Indonesia sudah memiliki literasi yang tinggi, maka Indonesia akan
menjadi Negara maju.
Literasi berkaitan dengan penggunaan bahasa dan kini
merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh demensi yang saling
terkait, diantaranya:
1.
Dimensi
geografis (local, nasional, regional dan internasional)
2.
Dimensi
bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer dan sebagainya)
Literasi suatu bangsa tergantung pada
berhasil atau tidaknya bidang-bidang yang tertera di atas. Kita ambil contoh
dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang berkualitas tinggi akan menghasilkan
literasi yang berkualitas tinggi pula. Contohnya SMAN 1 Cirebon dibandingkan
dengan SMAN 1 Palimanan. Dilihat dari letak geografisnya saja itu sangat berbeda.
SMAN 1 Cirebon terletak di kota, sedangkan SMAN 1 Palimanan berada di wilayah
kecamatan. Dalam kualitasnya pun tentu akan berbeda pula. SMAN 1 Cirebon akan
memiliki nilai standar kelulusan yang lebih tinggi dibandingkan dengan SMAN 1
Palimanan. Selain itu, technology yang digunakannya pun akan berbeda. SMAN 1
Cirebon akan memiliki technology yang lebih tinggi daripada SMAN 1 Palimanan.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa SMAN 1 Cirebon memiliki kualitas
literasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan SMAN 1 Palimanan.
3.
Dimensi keterampilan (membaca, menulis,
menghitung dan berbicara)
Literasi seseorang tampak dalam keterampilannya
dalam membaca, menulis, menghitung dan berbicara. Setiap sarjana pasti mampu
membaca, tapi belum tentu dia mampu menulis. Untuk bisa menulis, kita
harusbanyak persiapan dan banyakilmu tentang apa yang akan kita tuliskan. Untuk
itu, sebagai persiapan untuk menulis, kita harus banyak membaca. Bagi seorang
penulis, buku adalah sebagai gizi. Semakin banyak kita membaca buku, maka akan
semakin berkualitas tulisan kita. Buku yang kit abaca juga akan tampak pada
saat kita berbicara, karena bahasa orang yang suka membaca buku akan berbeda
dengan orang yang jarang membaca buku.
4.
Dimensi
fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan dan mengembangkan potensi diri)
5.
Dimensi
media (teks, cetak, visual, digital)
Sekarang adalah zamannya technology. Untuk menjadi
seorang literat, kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan baca-tulis biasa.
Kita harus bisa mengandalkan kemampuan dalam bertekhnology. Misalnya tulisan
kita diupload ke blog, sehingga seluruh dunia mampu melihat karya kita.
6.
Dimensi
jumlah (satu, dua dan beberapa)
7.
Dimensi
bahasa (etnis, local, nasional, regional dan internasional)
Bahasa adalah sebagai identitas darimana dia
berasal. Contohnya saya berbicara menggunakan bahasa sunda, berarti saya
berasal dari sunda. Saya kuliah di jurusan bahasa inggris. Maka saya adalah
termasuk orang yang multilingual, yaitu memiliki kemampuan dalam tiga bahasa
yaitu bahasa sunda, bahasa Indonesia dan bahasa inggris. Seseorang dikatakan
literat dalam bahasanya jika dia bisa menempatkan posisi dimana dia berada. Maksudnya seperti
ini, jika saya sedang berkumpul dengan teman-teman maka saya menggunakan bahasa
Indonesia. Tapi ketika saya di kelas, saya menggunakan bahasa inggris. Jika
saya berada di rumah, tidak mungkin saya menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa inggris, karena orang rumah tidak akan mengerti apa yang saya katakana,
maka di rumah saya menggunakan bahasa sunda.
Ada 11 gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukka
perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan
ilmu pengetahuan sekarang ini, diantaranya:
1.
Ketertiban
lembaga-lembaga social.
2.
Tingkat
kefasihan relative.
3.
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan.
Literasi mampu mengembangkan potensi diri seseorang
dan membekali seseorang untuk memproduksi ilmu pengetahuan.
4.
Standar
dunia.
Dalam dunia pendidikan, literasi merupakan nilai
tolak ukur kualitas suatu bangsa. Apabila literasi suatu bangsa tinggi, maka
kualitas pendidikan di bangsa tersebut dikatakan baik.
5.
Warga
masyarakat demokratis.
Literasi memfasilitasi warga Negara dalam menjunjung
tinggi nilai demokratis melalui pendidikan.
6.
Keragaman
local.
7.
Hubungan
global.
Hubungan global adalah komunikasi orang tingkat
dunia. Mengingat sekarang adalah zamnannya technology, tentu untukmencapai
tingkat dunia semua orang harus mempunyai literasi tingkat internasional dan
harus menguasai ICT Literasi.
8.
Kewarganegaraan
yang effektif.
Literasi membekali warga Negara untuk mampu mengubah
diri, menggali potensi diri serta berkontribusi bagi keluarga, lingkungan dan
negaranya.
9.
Bahasa
inggris ragam dunia.
10. Kemampuan berfikir kritis.
Literasi buka hanya baca tulis, tetapi
juga harus bisa menggunakan bahasa atau berbicara dengan fasih, effective dan
berfikir kritis.
11. Masyarakat semiotic.
Masyarakat semiotic adalah masyarakat yang berupaya
mengkaji budaya.
7 prinsip literasi, yaitu :
1. Literasi adalah kecakapan hidup (life
skill) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan
produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan.
3. Literasi adalah kemampuan memecahkan
masalah.
4. Literasi adalah refleksi penguasaan dan
apresiasi budaya.
5. Literasi adalah kegiatan refleksi (diri)
6. Literasi adalahhasil kolaborasi.
Literasi itu tidak hanya terdiri dari
satu pihak. Literasi merupakan gabungan atau kolaborasi antara pembaca, penulis
dan teks. Ketiganya tidak dapat berdiri sendiri, karena ketiganya saling
memproduksi satu sama lain. Seseorang menulis karya dengan menuangkan ide-ide
yang ada dalam fikirannya. Tulisan itu tidak akan bermanfaat jika tidak ada
orang yang membacanya. Maka disanalah ada kolaborasi dengan pembaca.
7. Literasi adalah kegiatan melakukan
interpretasi
Literasi adalah sebuah ajang untuk
menginterpretasikan sesuatu, dimana penulis menginterpretasikan pengalaman yang
dia lalui dan ide-ide yang terdapat dalam fikirannya melalui kata-kata yang terangkai
menjadi sebuah karya. Pembaca pun bisa menilai hasil karya penulis itu.
Sejak tahun 1999, Indonesia mengikuti
proyek penelitian dunia yang bertujuan dalam membaca meliputi literary purposes
dan informational purposes, sedangkan dalam proses proses membaca meliputi
interpreting, integrating dan evaluating. Dari hasil temuan penelitian tersebut
terlihat jelas sekali bahwa tingkat literasi siswa di Indonesia masih sangat
jauh tertinggal oleh siswa di negera-negara lain. Itu artinya pendidikan di Indonesia
belum berhasil menciptakan siswa yang literat, yang mampu bersaing dengan
Negara lain. Hal itu dipengaruhi oleh berbagai macam factor. Bukan hanya
terfokus pada pengajarnya saja, tapi dilihat dari pendapatan nasional juga.
Pendapatan nasional sangat mempengaruhi pendidikan di Indonesia. Karena dengan
pendapatan nasional, pemerintah memberikan bantuan-bantuan kepada sekolah
sehingga fasilitas belajarpun memadai. Tapi seperti yang kita tahu, pendapatan
nasional Negara Indonesia sangat sedikit, sedangkan sekolah yang rusak
dimana-mana. Lalu darimana dananya pemerintah memberikan bantuan? Itulah PR
kita sebagai warga Negara. Selain itu, factor yang mempengaruhinya adalah latar
belakang atau pendidikan keluarga. Keluarga adalah guru nomor satu bagi seorang
anak. Jika di sekolah sang anak tidak mengerti apa yang diterangkan oleh
gurunya, tentu dia akan menanyakan kepada orangtuanya di rumah. Jika orangtua
nya tidak mengerti, lalu anak harus bertanya kepada siapa lagi? Jadi peran
orangtua itu sangat berpengaruh untuk seorang anak. Untuk membangun bangsa
menjadi lebih baik, Indonesia harus mempunyai SDM yang memiliki potensi yang
bagus sehingga daya saing kita pun tinggi.
Dalam penelitian diatas, juga tidak
menemukan skor prestyasi menulis, sehingga tidaka ada bukti korelasi antar
prestasi membaca dan menulis. Prestasi menulis itu sangat dipengaruhi oleh
kemampuan membaca. Seorang penulis pasti adalah seorang yang sering membaca,
tapi tidak semua pembaca adalah seorang penulis. Berkaitan dengan menulis,
Indonesia merupakan negera terendah dalam produksi buyku. Dalam setahun,
Indonesia hanya memproduksi 6000 buku. Padahal jumlah dosen di Indonesia sangat
banyak sekali, yaitu sekitar 231.786 dosen. Harusnya dalam setahun Indonesia
bisa memproduksi buku sebanyak 77.000. tapi dalam kenyataannya Indonesia hanya
mampu memproduksi 6000 buku. Lalu kemana buku-buku yang seharusnya ada? Factor
yang mempengaruhinya yaitu dosen yang malas atau dosen yang tidak mempunyai
keterampilan dalam menulis.
Berdasarkan hasil evaluasi penelitian
yang dilakukan, ujung tombak literasi adalah guru dengan langkah-langkah
profesionalnya, yaitu:
1. Komitmen professional.
2. Komitmen etis.
3. Strategi analitis dan reflektif.
4. Efikasi diri.
5. Pengetahuan bidang study.
6. Keterampilan literasi dan numerasi.
Dari pembahasan
diatas dapat diketahui bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan
berbudaya. Sedangkan rekayasa literasi itu adalah upaya yang disengaja dan
sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan
bahasa secara optimal. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formalyang sering
dijadika rujukan dalam upaya mengukur tingkat literasi.
Menurut Kucer,
2005: 293-4, perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi,
yaitu:
1. Linguistic atau focus teks.
2. Kognitif atau focus mind.
3. Sosiokultural atau focus kelompok.
4. Perkembangan atau focus pertumbuhan.
Kegiatan literasi selalu melibatkan
keempat dimensi diatas. Literasi juga difungsikan dalam konteks social.
Pada intinya, pengajaran literasi adalah
untuk menjadikan manusia yang secara fungsional mampu baca tulis, terdidik,
cerdas dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Untuk mempelajari literasi,
setidaknya diawali oleh tiga paradigma, yaitu :
1. Decoding, yaitu penguasaan kode bahasa.
2. Keterampilan, siswa menguasai sitem
morfamik bahasa.
3. Bahasa secara utuh, yaitu siswa
menguasai teks otentik yang kontekstual sehingga mendapatkan makna baru, bukan
kosakata baru.
Table perubahan
paradigm pengajaran literasi
Tadinya…
|
Kini…
|
-
bahasa
adalah system struktur yang mandiri.
|
-
Bahasa
adalah fenomena social.
|
-
focus
pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
|
-
Focus
pada serpihan-serpihan kalimat yang slaing terhubung.
|
-
Berorientasi
ke hasil.
|
-
Berorientasi
ke proses.
|
-
Focus
pada teks sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa.
|
-
Focus
pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi.
|
-
Mengajarkan
norma-norma perspektif dalam berbahasa.
|
-
Perhatian
pada variasi register dan gaya ujaran.
|
-
Focus
pada penguasaan keterampilan secara terpisah (discrete)
|
-
Focus
pada ekspresi diri.
|
-
Menekankan
makna denotative dalam konteksnya
|
-
Menekankan
nilai komunikasi.
|
Pak Haidar
menuliskan wacana yang merujuk pada paradigm pengajaran literasi yang mana
didalamnya ada sastra, yang diajarkan di TK sampai PT di AS.
Melalui wacana
tersebut, pak Haidar ingin memberitahukan kepada seluuh mahasiswa di Indonesia
mengenai pendidikan yang ada di USA. Dalam wacana tersebut, pendidikan di AS
membiasakan mahasiswanya untuk menulis sejak TK sampai SMA. Ini terlihat sekali
pada paragraph lima, yakni pengalaman Anne J. Arbali memulai untuk menulis
jurnal tentang kegiatannya sehari-hari dan membaca essay yang sangat sederhana.
Selain itu, Anne J. Arbali juga mencoba untuk menuliskan kembali sesuatu yang
telah ia baca. Hal itu ia lakukan sejak ia duduk di bangku SD. Tidak hanya
sampai di bangku SD, Anne J. Arbali melakukan kegiatannya itu sampai ia duduk
di bangku kuliah, dimana dia mengambil jurusan seni, yang menuntutnya untuk
banyak membaca buku yang bertujuan untuk memperkaya pengetahuan dan
menghasilkan perspektif yang berbeda dari setiap sumbernya.
Selain dukungan
dari system pendidikan yang tertata, peran orangtua dan keluarga juga mendorong
siswa di USA untuk meningkatkan budaya literasi sejak dini dengan cara
mengirimkan anak-anaknya ke perpustakaan umum setiap hari sekolah mulai pukul
6-9 p.m.
Setelah membaca
wacana tentang Anne J. Arbali, jelas Indonesia kalah jauh dari amerika. Di
Indonesia, anak kecil zaman sekarang jarang yang memiliki minat untuk menulis
dan membaca. Mereka justru sangat antusias ketika memiliki
tekhnologi-tekhnologi tercanggih. Salahnya disini adalah orangtuanya yang
memfasilitasi anakanak-anak dengan barang-barang elektronik yang akan
mengakibatkan anak kurang minat dalam membaca dan menulis. Itulah kenapa peran
orangtua sangat penting sekali dalam proses tumbuh kembangnya anak.
Selain pern orangtua, rendahnya literasi
di Indonesia juga adalah pengaruh dari banyaknya sarjana ahli sastra dan
linguistic yang tidak bisa menulis. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa dan
calon pendidik, mahasiswa harus mulai melatih diri untuk menulis, agar kita
terbiasa menulis dan mampu memproduksi buku sendiri. Tapi meskipun begitu, kita
tidak boleh sepenuhnya menyalahkan guru atau dosen . kita harus bercermin
kepada diri kita sendiri, apakah sudah ada jiwa literat dalam diri kita? Kalau
belum, harus mulai ditumbuhkan jiwa literat itu dalam diri kita masing-masing.
Dari semua pembahasan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa literasi bukan hanya sekedar keterampilan baca tulis,
tapi literasi juga merupakan praktek cultural yang berkaitan dengan persoalan
social, politik dan sastra. Sedangkan rekayasa literasi itu sendiri adalah
upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan
berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Agar system pendidikan kita
maju dan mempunyai literasi yang tinggi, kita harus menerapkan sitem pendidikan
yang ada di Amerika. Siswa harus dibiasakan membuat jurnal dan membaca setiap
hari. Dengan demikian, lulusan sarjana dipastikan semuanya bisa menulis dan kita
bisa menyakmakan posisi dalam prosuksi buku minimalnya dengan Malaysia.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)