Saturday, February 22, 2014

A MULTILINGUAL WRITER



Nendi gunawan/14121320250/ 2nd Class Review

“ A MULTILINGUAL WRITER
Jum’at, 14 Februari 2014. Hari ini adalah pertemuan kedua bersama Mr. Lala. Penulisan class review kali ini berjudul “Multilingual Writer”. Walaupun  baru dua kali pertemuan pada semester ini, namun rasanya sudah seperti sepeluh pertemuan lebih. Hal itu dikarenakan tugas-tugas yang begitu bersahabat dengan mahasiswa. Sebelum memberikan/menjelaskan materi beliau memberitahukan beberapa hal diantaranya adalah tugas class review dan chapter review yang harus lebih banyak yitu 10 halaman serta harus di upload kedalam blog yang  menarik dan bagus dari kelas-kelas PBI lain.
Kemudian beliau juga memberitahukan bahwa nanti akan ada workshop di Jakarta dan totarnya akan di pandu oleh doctor langsung dari Amerika dengan tema “ At Amerika ”, dan itu semua free. Setelah itu beliauh menugaskan kepada mahasiswa agar mencari lebih banyak referensi untuk class review maupun chapter review agar karya yang kita hasilkan semakin kuat dan bagus untuk para pembaca. Oleh karena itu semakin banyak referensi yang dipakai, maka akan  semakin bagus pula karya yang dihasilkan.

Setelah itu beliau menjelaskan materi dan pada akhir penjelasan beliau memeriksa class review dan chapter review yang telah kami buat. Kemudian bliau bertanya mengenai apa yang telah kita tulis didalam chapter maupun class review. Semua mahasiswa dibuat deg-degan ketika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang beiau berikan. Hampir sebagian besar mahasiswa mampuh menjawab pertanyaan dari beliau. Sungguh kelas dibuat aktif dan harus berfikir kritis. Mahasiswa harus bisa menanggungjawabkan apa yang telah ditulis dalam catatan mereka. Beliau mengecek satu persatu tugas class review serta chapter review mahasiswa.
Pertemuan kali ini beliau masih membahas tentang Academic Writing. Beliau melanjutkan penjelasan minggu kemarin yang terputus karena waktu. Beliau menjelaskan tentang teaching orientation yang mana academic writing itu bersifat formal, impersonal, evidence based, objective, systematic, dan analytical. Formal dalam akademik writing adalah pembacanya harus para sarjana. Berbeda dengan non academic yang pembacanya hanya orang-orng biasa saja. Impersonal adalah bukan hanya orang-orang tertentu saja. Maka point of view dalam academic writing adalah impersonal yang bersifat umum dan luas. seperti research, memberikan informasi yang valid, real, serta jelas. Dalam hal ini ada beberpa point yang harus diperhatikan seperti: First is Inpersonal, seperti mengganti kata “I” menjadi  short of view orang ketiga dengan menggunakan he/she untuk merubah I. Maka kita akan muncul pada pieces of argument. second is Referensi, dimana tulisan yang dibuat harus memakai banyak referensi agar tulisan/karya yang dibuat semakin bagus dan real.  Third is formal, kita harus membuat tulisan dengan bahasa-bahasa yang formal agar mudah dipahami  oleh setiap pembaca. Fourth is Rigid, kita harus bisa tegar/sabar dalam mengerjakannya agar mampuh menghasilkan karya yang baik. Selain itu, academic writing bersifat analytical dan systematic.  Maksudnya adalah dalam tulisan tersebut harus sistematis dalam pemilihan dan penempatan kata-katanya, struktur tata bahasa, maupun susunan kalimatnya harus jelas dan tepat.
Kemudian tentang critical thinking. Dimana critical thinking ini kita harus mampuh membuat class review dan critical writing dengan balance serta dengan baik dan benar. Kemudian yang terakhir adalah writing, ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam writing diantaranya ialah A way of knowing something, Kita harus mengetahui bagaimana cara mendapatkan suatu  pengetahuan. A way of representing something, pada poin ini kita harus mengetahui bagaimana cara mempresentasian sesuatu. Contohnya adalah orang yang ada disetiap dearah di Indonesia memiliki cara penyampaian yang berbeda-beda, seperti orang dari papu dengan anak Ponpes. Terakhir adalah A way of reproducing something, bagaimana caranya untuk memproduksi sesuatu yang bagus. Mungkin ketika kita ingin memproduksi sesuatu kita harus memperhatikan tentang information, knowledge and experience first.
Pembahasan beliaupun ini beralih tentang literasi. Literasi adalah baca-tulis. Literasi menjadi bagian yang cukup besar dalam kehidupan kita, serta literasi itu dibangun dengan pengalaman. Menurut Hyland (2004:4), menulis adalah praktek yang didasarkan pada harapan: peluang pembaca menafsirkan maksud penulis meningkat jika penulis mengambil kesulitan untuk mengantisipasi apa yang pembaca mungkin mengharapkan didasarkan pada teks-teks sebelumnya ia telah membaca dari jenis yang sama.”
Dalam power point juga beliau menjelaskan bahwa reader and writer are dancer? Menurut Hoey (2001), dikutip dalam Hyland (2004), mengibaratkan para pembaca dan penulis seperti penari yang mengikuti langkah masing-masing. Setiap rasa perakitan dari teks dengan mengantisipasi hal lain yang kemungkinan akan dilakukan dengan membuat koneksi teks sebelumnya. 


Kesimpulannya adalah dalam academic writng kita harus memperhatikan tentang teaching orientation, yang mana membahas mengenai inpersonal, referensi, formal, maupun rigid. kita harus memperhatikan pula tentang Critical thinking yang mana lebih mengacu kepada class review dan critical review yang kita buat agar hasil karya yang dibuat lebih baik dari sebelumnya. Kita juga harus perhatikan pula tentang writing itu sendiri, kita harus tahu bagaimana cara kita untuk mengetahui sesuatu, mempresentasikan sesuatu, dan memproduksi sesuatu.
Literasi menjadi bagian yang cukup besar dalam kehidupan kita, serta literasi itu dibangun dengan pengalaman. Beliau juga menjelaskan bahwa ketika seseorang  menjadi seorang chef itu ketika masakannya matang atau siap untuk disajikan. Begipun dalam writing ketika menulis sesuatu, dan sebelum tulisan yang dibuat itu bisa dibaca, difahami, serta dinikamati oleh orang lain maka kamu belum bisa menjadi seoran penulis.


Nendi gunawan/14121320250/ 2nd Chapter Review

Rekaya Literasi: “ Ironi ! Rapor Merah Literasi Anak Negeri ”

            Tak kenal lelah, tak kenal henti, itulah yang dilakukan bapak  A. Chaedar Alwasilah untuk memajukan masyarakat Indonesia  yang kini tertinggal jauh dengan masyarakat Negara lain. Keinginginan bapak Chaedar untuk meningkatkan Literasi pada masyarakat Indonesia tanpaknya masih jauh. Melalui karya-karyanya beliau terus meningkatkan literasi anak muda  Indonesia agar mampuh bersaing dengan masyarakat luar. Dalam buku-buku yang telah beliau terbitkan literasi menjadi bahasan yang sangat digemari oleh dosen/guru maupun mahasiswa, dan Rekayasa Literasi adalah bab pembahasan kali ini. Usaha beliau untuk meningkatkan literasi di Indonesia serta agar  mayrakat Indonesia mampuh bersaing dengan Negara-negara lain terus diakukan dengan karya-karyanya. Rekaya Literasi! Inilah yang tejadi saat ini para literate berlomba untuk menjadi yang terdepan agar mampuh brsaing dengan Negara-negara lain.
            Rekayasa Literasi menjelaskan tentang perjalan, perkembangan literasi dari waktu ke waktu dengan mengikuti perkembangan zaman yang terus berkembangan dengan pesat sampai saat ini.  Dalam perbincangan metodologi pengajaran di kalangan guru bahasa saat ini, yang menjadi buah bibir adalah genre, wacana, litersi, teks, serta konteks. Dalam definisi lama literasi adalah kemampuan baca-tulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 898). Sedangkan dalam konteks persekolahan literasi jarang di pakai, bahkan pada kamus besar bahasa Indonesia edisi keempat juga tidak mencantumkan tema literasi. Pada masa silam membaca dan menulis saja sudah dianggap “cukup” sebagai penidikan dasar (pendidikan umum), namun kenyataanya berbeda dengan sekarang. Pada kondisi sekarang adalah zaman “edan” dimana pemdidikan dasar saja tidak cukup untuk mengandalkan kemampuan membaca dan menulis saja. Selama bertahun-tahun literasi hanya dianggap sebagai persoalan psikologi, yang berkaitan dengan kemampuan baca-tulis. Kenyataannya Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh karena itu para pakar pendidikan dunia berpaling kepada definisi baru yang menunjukkan paradigm baru dalam upaya memaknai literasi.
            Disamping itu, pada saat ini muncul ungkapan-ungkapan literasi yang bersanding dengan kata-kata lain seperti literasi computer, literasi virtual, literasi Matematika, literasi IPA, dan sebagainya. Hal ini adalah makna literasi atas penyebab perkembangan zaman. Freebody dan Luke menawarkan literasi seperti berikut: {1} memahami kode dalam teks (breaking the codes of text), {2} terlibat dalam memaknai teks (Participating the codes of text), {3} menggunakan teks secara fungsional (using teks functionally), dan {4} melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically analyzing and transforming text). Keempat literasi ini dapat diringkas dalam lima verba yaitu memahami, melibati, menggunkan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Itulah hakikat literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
            Makna dan rujukan literasi terus berevolusi, dan kini maknanya semakin meluas dan kompleks. Namun literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan kini  merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait. Tujuh dimensi tersebut antara lain ialah :
  1. Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional).
    Literasi dapat dikatakan berdimensi
    lokal, nasional, regional, dan internasional, bergantung pada tingkat pendidikan serta  jejaring sosial dan vokasionalnya.
  2. Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb).
    Literasi suatu bangsa tampak dalam dimensi ini. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Hal ini karena bidang pendidikan merupakan ujung tombak kebangkitan suatu bangsa.
  3. Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara)
    Literasi seseorang tampak atau tercermin dari dimensi ini. Tingkat dan efisiensi layanan public dan militer misalnya bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan persenjataan yang digunakan. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula.kita tahu bahwa Semua sarjana mampu membaca, akan tetapi tidak semua sarjana mampu menulis. Oleh sebab itu, keterampilan sangat diperlukan. Untuk menjadi sarjana yang baik, orang tidak cukup dengan mengandalan literasi. Namun juga mereka harus memiliki numerasi (ketrampilan menghitung).
  4. Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri)
    Orang yang literat karena pendidikannya mampu memecahkan masalah dan mengatasi semua tentang kehidupan yang menghampirinya.
  5. Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital)
    Menjadi seorang literat zaman sekarang, orang tidak cukup untuk mengandalkan kemampuan membaca dan menulis alfabhet, namun harus mampu kemampuan membaca dan menulis teks cetak, visual dan digital.
  6. Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa)
    Jumlah dapat merujuk pada banayak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu dan media. Literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi, bersifat relatif.
  7. Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
    Ada literasi yang singular dan ada yang plural. Hal ini beranalogi ke demensi monolingual, dan multingual.
Adapun perubahan literasi  sesuai degan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, antara lain “ketertiban lembaga-lembaga social” yang mana hidup bermasyarakat ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga social, seperti RT, RW sampai dengan DPR dan presiden. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan perannya dengan fasilitas bahasa, sehingga muncul bahasa birokrat atau bahasa politik yang menunjukkan kekuasaan birokrat terhadap rakyat. “Tingkat kefasihan relative” setiap interaksi memerlukan kefasihan yang berbeda. Literasi adalah salah satu kefasihan yang harus dikuasi, agar dapat melakukan peranan fungsional dalam setiap interaksi. “pengembngan potensi diri dan pengetahuan” pada hal ini literasi membekali orang untuk mampu mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya sendiri. Serta penguasaan bahasa ibu agar mampu berekspresi dan mengepresikan segala hal dalam lingkungan budaya. Dengan demikian akan mampu untuk  memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan. Serta calon-calon sarjana harus mampuh menulis akademik dengan baik dan benar dan itulah literasi yang harus dikuasi.
Poin selanjutnya adalah “Standar dunia” dalam hal ini persaingan global dikembangkan ketingkat internasional sehingga tingkat literasi suatu bangsa mudah dibandingkan dengan bangsa lain. “warga masyarakat demokrasi” pendidikan seyogyanya mampu menghasilkan manusia atau masyarakat yang literat yaitu masyarakat yang mempunyai literasi yang memadai sebagai warga Negara yang demokrasi. Masyarakat yang tidak literat tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media massa. “Keragaman local” Keragaman bahasa dan budaya local cemerlang disadari oleh manusia atau masyarakat literat. Serta masyarakat local harus membangun literasi dalam konteks lokalnya sebelum memasuki konteks nasional, regional, dan global. “Hubungan Global” Untuk bersaing pada tingkat dunia masyarakat harus mempunyai literasi tingkat dunia. Yang mana literasi ini bergantung pada dua hal yaitu penguasaan teknologi informasi (ITC literacy) dan penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
Selanjutnya  adalah “kewarganegaraan yang efektif” dimana literasi membekali manusia kemampuan menjadi warga Negara yang efektif yakni warga Negara yang mampu mengubah diri, menggali diri, serta berkontribusi bagi keluarga, lingkungan, dan negaranya. “bahasa inggris ragam dunia” bahasa inggris kini dikuasai oleh bangsa-bangsa diseluuh  dunia. Hubungan dan jejaring global memerlukan bahasa yang dapat ditrima oleh semua pihak. Sehingga bagi mayoritas masyrakat bahasa local menjadi bahsa kedua. ”kemampuan berfikir kritis” literasi bukan hanya sekedar membaca dan menulis, melainkan menggunakan bahasa itu dengan fasih, efektif dan kritis. “masyrakat semiotic” budaya adalah system tanda, dan untuk memakai suatu  tanda manusia harus menguasai literasi semiotic. Dalam upaya mengkaji budaya, para ahli menggunakan istilah sintaksis, semantic, dan pragmatic. Simantik budaya mengkaji cara aspek-aspek budaya saling terkait dalam system budaya. Semantic budaya mengkaji hubungan tanda-tanda dengan rujukannya. Pragmatic budaya mengkaji hubungan tanda pengirim dan penerima.
Pendidikan bahasa berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti beberapa prinsip dibawah ini:
“Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat”.
“Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan”.
“Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah. Berbaca-tulis adalah kegiatan mengetahui hubungan antar kata, unit bahasa, serta antar teks dunia tanpa batas”.
“Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Berbaca-tulis selalu ada dalam system budaya (kepercayaan, sikap, cara, dan tujuan budaya). Pendidikan budaya seyogianya mengajarkan pengetahuan budaya”.
“Literasi adalah kegiatan refleksi (diri). Penulis maupun pembaca senantiasa berfikir ihwal bahasa dan mengaitkannya pengalaman subjektif dan dunianya”.
“Literasi adalah hasil kalaborai. Berbaca-tulis selalu melibatkan antara dua pihak yang berkomunikasi”.
“Literasi adalah kegiatan melakukan interprestasi. Pendidikan bahasa sejak dini seyogianya melatih mahasiswa melakukan interprestasi atas berbagai teks dalam wacana tekstual, visual, maupun digital diberbagai ranah kehidupan dan bidang ilmu”.
            Ironi. Anak negeri berapor merah dalam literasi. Sejak tahun 1999 indonesia ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International Student Asessment), dan TIMSS (the Third International Mathematic and Science Study) untuk mengukur literasi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Berikut ini adalah temuan-temuan dari PIRLS 2006 tentang literasi atara lain :
v  Skor pretasi anak membaca di Indonesia adalah 407 untuk semua siswa. Angka ini di bawah nilai rata-rata Negara peserta, dan nilai tertinggi diperoleh Rusia (565).
v  Negara yang skor prestasi membacanya di atas rata-rata 500 di tandai oleh pendapatan kapita yang lebih tinggi. Indonesia memiliki HDI 0,711 dan GNI/kapita 810 US $.
v  Ditemukan tiga katagori Negara berdasarkan perbandingan skor membaca literacy purposes (LP) dan Informational Purposes (IP). Indonesia bedara pada indicator yang lebih tinggi.
v  Di Indonesia hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membcanya masuk dalam katagori sangat tinggi. 19% menengah, 55% rendah.  Artinya Indonesia tidak mampu mencpai skor 400.
v  Tercatat 44% orang tua di Indonesia (dibandingkan Skotlandia 85%) teribat dalam early home literacy activities, yaitu membaca buku, bercerita, bernyanyi, bermain huruf, kata, dan membaca nyaring.
v  Sekitar 13% siswa berada dalam katagori high err, 77% medium, 10% katagori low herr. Indonesia masukkatagori paling bawah yaitu hanya sekitar 1% dalam katagori high, 62% medium, 37% low.
v  Orang tua siswa Negara peserta  PIRLS yang lulus uiversitas 25%, lulus SMA 21%, lulus SMP 31%, lulus SD  15%, tidak lulus SD 8%.

Tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa Negara-negara lain. Indonesia belum mampu memciptakan siswa yang literat. Temuan PIRLS ihwal adalah potret besar literasi  Indonesia dalam skala internasional. Ujung tombak pendidikan adalah guru dengan profesionalnya yang terlihat dalam enam hal yakni komitmen professional, komitmen etis, strategis analisis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang study, dan ketrampilan literasi dan numerasi. (Cole dan Chan, 1994 dkutip oleh setiadi, 2010). Dengan kata lain, membangun literasi bangsa harus diawali dengan membangun literasi guru yang professional, dan guru professional dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang professional juga.
Implementasi. Dari perbinncangan di atas tampak bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya melalui penguasaan budaya yang optimal. Adapun perubahan paradigm pengajaran bisa dilihat dari table dibawah ini :
Tadinya......
Kini….
v  Bahasa adalah system struktur yang mandiri.
v  Focus pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
v  Berorientasi ke hasil.
v  Focus pada teks sebagai display kosa kata dan struktur tata bahasa.
v  Mengajarkan norma - norma prespektif dalam berbahasa.
v  Focus pada penguasaan ketrampilan terpisah.
v  Menekankan makna denotif dalam konteksnya.
v  Bahasa adalah fenomena social.

v  Focus pada serpihan - serpihan kalimat yang saling berhubungan.
v  Berorientasi ke proses.
v  Focus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi.
v  Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran.
v  Focus pada ekpresi diri.

v  Menekankan nilai komunikasi.
Paradigma adalah cara pandangdan pemaknaan terhadap objek pandang. Jika nilai rapor anak bangsa ini merah seperti yang telah diungkapkan pada sebelumnya, apa yang salah dengan pendidikan dan pengajaran di negeri ini? Bisa jadi karena method dan tehnik pada pengajaran literasi di negeri ini kurang mencerdaskan. Namun, jangan sontak menyalah kanguru bahasa, karena pendidikan literasi seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya memiliki berbagai dimensi.
Kesimpulnnya  adalah  Rekayasa Literasi menjelaskan tentang perjalan, perkembangan literasi dari waktu ke waktu dengan mengikuti perkembangan zaman yang terus berkembangan dengan pesat sampai saat ini.  Dalam perbincangan metodologi pengajaran di kalangan guru bahasa saat ini, yang menjadi buah bibir adalah genre, wacana, litersi, teks, serta konteks. Dalam definisi lama literasi adalah kemampuan baca-tulis. Sedangkan dalam konteks persekolahan literasi jarang di pakai, bahkan pada kamus besar bahasa Indonesia edisi keempat juga tidak mencantumkan tema literasi. Tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa Negara-negara lain. Indonesia belum mampu memciptakan siswa yang literat. Temuan PIRLS ihwal adalah potret besar literasi  Indonesia dalam skala internasional. Ujung tombak pendidikan adalah guru dengan profesionalnya yang terlihat dalam enam hal yakni komitmen professional, komitmen etis, strategis analisis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang study, dan ketrampilan literasi dan numerasi. (Cole dan Chan, 1994 dkutip oleh setiadi, 2010). Dengan kata lain, membangun literasi bangsa harus diawali dengan membangun literasi guru yang professional, dan guru professional dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang professional juga. Implementasi. Dari perbinncangan di atas tampak bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya melalui penguasaan budaya yang optimal.

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment