Sunday, February 23, 2014
Created By:
Alfat Prastowo
Class Review
“Dongkrak Literasi”
Pada Jum’at lalu 14 Februari 2014, Dosen menjelaskan tentang Teaching Orientation dan Literasi. Teaching Orientation ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu: Satu, Academic, berikut empat pembagian sifatnya seperti Impersonal, Reference, Formal dan Rigid. Dua, Critical Thinking, berikut dua pembagiannya seperti Critical Reader dan Critical Writer. Tiga, Writing, berikut tiga fungsinya seperti, a way of knowing something, a way of representing something (Describing), dan a way reproducing something. Untuk Literasi dosen menjelaskan dua pembagiannya yaitu: Life Qulity dan SDM (Sumber Daya Alam)
Teaching Orientation, sebuah rangkaian kata yang tidak asing lagi bagi seorang guru. Memang sudah sepantasnya bagi seorang guru mempunyai tujuan dan arah ketika mengajar. Seorang guru diharuskan menemukan metode mengajar yang sesuai dengan dirinya dan cocok untuk murid-muridnya. Sehingga jika kualitas seorang guru ini baik maka akan berdampak pada peserta dididknya pula.
Terdapat tiga macam dalam Teaching Orientation, yaitu: 1. Academic Writing, Sutu karya tulis yang disajikan dalam suasana akademis berdasarkan penelitian. Sehingga seluruh datanya Valid dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sifat dari Academic Writing ini ada empat, yaitu:
A. Impersonal, Tidak mengenal orang tertentu dalam artian penulis tidk bisa meletakan kata “I” sembarangan dalam paragraf. Dalam Academic Writing penulis dapat meletakan “I” dalam piece of argumen. Jadi ketika penulis berpendapatlah dapat meletakkan kata “I”.
B. Reference, Sudah seharusnya dan sepantasnya karya tulis yang bersifat akademis harus mempunyai bannyak referensi. Agar apa yang dituliskan dipertanggung jawabkan dan semua datanya Valid.
C. Formal, Tidak terdapat kata-kata gaul atau kata-kata yang dipakai dalam sehari-hari. Oleh karena itu dala akademik writing banyak kata-kata ilmiah dan intelektual.
D. Rigid, Kaku dalam artian pembahasan dalam akademik writing ini terbatas. Dikarenakan penulis hannya fokus untuk membahas atas apa yang sedang ia teliti.
Dalam Buku Ken Hyland yang berjudul Second Language Writing bahwa untuk mengajar Writing itu terdapat beberapa fokus, yaitu: - Language Structure – Text Funcition – Theme or Topics – Creative Expression – Compossing Procces – Content – Genre and Context of Writing.
Teaching Orientation yang kedua yaitu Critical Thinking. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional. Ini mencakup kemampuan untuk terlibat dalam pemikiran reflektif dan mandiri. Seseorang dengan keterampilan berpikir kritis dapat melakukan hal berikut :
1. memahami hubungan logis antara ide-ide
2. mengidentifikasi , membangun dan mengevaluasi argumen
3. mendeteksi inkonsistensi dan kesalahan umum dalam penalaran
4. memecahkan masalah secara sistematis
5. mengidentifikasi relevansi dan pentingnya ide-ide
6. merefleksikan pembenaran keyakinan dan nilai-nilai sendiri
Terdapat dua Critical, yaitu: 1. Critical Reader dan 2. Critical Writer. Critical Reader sudah saatnya bagi pembaca itu untuk berfikir kritis jangan sampai kita ini menjadi pembaca yang tak berdaya sebagaimana yang telah disampaikan oleh Prof. Chaedar Alwasilah. Critical Writer, tidak hannya pembaca yang dituntut untuk berfikir kritis akan tetapi penulis juga dituntut berfikir kritis. Penulis tidak hannya menuangkan ide belaka akan tetapi juga harus peka terhadap apa yang terjadi di sekitarnya dan mengkritisinya.
Teaching Orientation yang ketiga yaitu Writing. Menulis adalah sutu kegiatan menuangkan sebuah ide kedalam sebuah lembaran. Didalam menulis juga harus ada maksud dan tujuan. Dalam Teaching Orientation ini fungsi menulis terbagi menjadi tiga yaitu: 1. A way of knowing something, Dengan menulis kita akan mengetahui sesuatu. Sesutu disini bias jadi informasi, pengetahuan, atau pengalaman. Seseorang yang mahir menulis sudah pasti ia rajin membaca, dikarenakan ketika kita menulis sebelumnya kita harus mempunyai banyak pengetahuan. 2. A way of representing something (Describing), Dengan menulis kita bias menggambarkan sesuatu. Seperti halnya poin pertama, sesutu disini bias jadi informasi, pengetahuan, atau pengalaman. Kita bias menggambarkan sesuatu apaun, apakah kita ingin menggambarkan rumah adat Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan lainya. 3. A way reproducing Something, Dengan menulis kita dapat memproduksi sesuatu. Seperti halnya poin 1 dan 2 yaitu menulis dapat memproduksi suatu informasi, pengetahuan atau pengalaman.
Literasi adalah melek hidup, dalam artian seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang memupuni dan mengaplikasikannya dalam kehidupsnnya sehari-hari. Berikut dua factor yang mempengaruhi literasi suatu Negara, yaitu: 1. Kualitas hidup sesorang dalam sutu Negara. Bagaimana seseorang dalam sutu Negara dapat memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. Apakah seseorang itu menggunakan waktunya untuk membaca, belajar, menulis dan hal-hal yang bermanfaat lainnya. 2. Sumber Daya Manusia, dalam hal ini daya saing produknya. Negara yang literasinya tinggi maka mampu memproduksi barang sendiri dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Adapun barang impor tidak terlalu bannyak dalam artian Negara tersebut lebih mencintai produk dalam negeri.
Hal ini berbeda dengan Negara Indonesia. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Negara Indonesia ini mempunyai Sumber Daya Alam yang melimpah. Akan tetapi oleh masyarakat Indonesia ini tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya dan yang lebih parahnya kurang adanya perhatian dari pemerintah. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri harus impor dari luar atau Negara lain. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya literasi Negara Indonesia ini.
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan, Bahwa seseorang guru diharuskan memiliki orientasi ketika mengajar. Agar dampaknya dapat dirasakan oleh anak didiknya. Oleh karenanya tidak mudah bagi seorang guru yakni membutuhkan dedikasi yang tinggi untuk mengajar dan mencerdaskan anak bangsa. Berkaitan dengan litersi maka perlu adanya perubahan bagi masyarakat Indonesia. Dengan cara merubah kebiasaan yang buruk beralih ke yang baik.
Chapter Review 2
“ The Dark of Literacy “
Betapa lucunya negeri ini! Dengan hamparan alam yang sangat luas dan kaya akan Sumber Daya Alamnya. Sama sekali belum bisa mendongkrak litersi di Negeri ini. Hal ini mengindikasikan buruknya kualitas hidup dan kurangnya pemanfaatan Sumber Daya Alam di Negeri ini. Apakah ada yang salah dala system yang ada di negeri ini?
Literasi disini tidak hannya membaca dan menulis akan tetapi untuk jaman modern sekarang ini banyak macamnya sesuai dengan perkembangan zaman. Kini ada ungkapan Literasi Komputer, Virtual, Matematika, IPA, dan sebagainya. Sebagaiman yang digambarkan oleh Freebody dan Like, mereka menawarkan model lirerasi saebagai berikut: 1. Memahami kode dalam teks, 2. Terlibat dalam memaknai teks, 3. Menggunakan teks secara fungsional, dan 4. Melakukan analisi dan mentransformasi teks secara kritis. Keempat peran literasi ini dapat diringkas ke dalam lima Verba, yaitu: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Itulah hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Literasi masih berkaitan dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait, yaitu:
1. Dimensi Geografis (local, nasional, regional dan Internasional). Litersi seseorang dapat dikatakan berdimensi local, nasional, regional atau Internasional bergantung pada tingkat pendidikannya, social serta Vokasinya.
2. Dimensi Biidang (pendidikan,komunikasi, administrasi, hiburan, militer dan sebagainya). Tingkat dan Efisien layanan public dan militer, misalnya bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan persenjataan yang digunakan.
3. Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara). Setiap sarjana pasti mampu membaca, tapi tidak semua sarjana mampu menulis. Kualitas kita bergantung pada “gizi” bacaan yang disantapnya. Gizi ini akan nampak ketika ia berbicara.
4. Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri). Orang yang literat karna pendidikannya mampu memecahkan persoalan, tidak sulit untuk mendapatkan pekerjaan, memiliki potensi untuk mencapai tujuan hidupnya dan gesit mengembangkan serta produksi Ilmu Pengetahuan.
5. Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital). Penguasaan IT sangat penting, sehingga kini kehebatan Universitas anatara lain diukur lewat Webometries, Yakni sejauh mana Universitas itu diperbincangkan di dunia maya.
6. Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa). Literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi, bersifat relative. Anda mungkin sangat komunikatif dalam Bahasa Indonesia, tapi kurang komunikatif dalam bahasa ibu.
7. Dimensi Bahasa (etnis, local, nasional, regional, internasional). Ada litersi yang singular dan ada literasi yang plural. Bila anda orang sunda dana jurusan bahasa inggris, anda adalah multilingual dalam vbahasa inggris, sunda, dan Indonesia.
Pendidikan bahasa berbasis litersi seyogyanya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut: 1. Literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat. 2. Literasi mencangkup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan. 3. Litersi adalah kemampuan memecahkan masalah. 4. Litersai adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. 5. Literasi adalah kegiatan refleksi (diri). 6. Literasi adalah hasil kolaborasi. 7. Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Rapor Merah Litersi Anak Negeri
Ketika mendengar “Rapor Merah” begitu shocknya saya dan berasa tersayat-sayat hati ini. Sejak 1999 Indonesia ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International Student Assesment), TIMSS (The Third International Matematiies and Science Study) untuk mengatur literasi membaca, matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Terdapat temuan-temuan penting dari PIRLS 2006 yang relevan dengan perbincangan litersi membaca, yakni potensi membaca siswa kela IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan siswa dari negara lainnya. Dalam penelitian itu tujuan membaca meliputi Literacy purpose dan Information purpose, sedangkan proses membaca meliputi interpreting, integrating, dan evaluating.
Dari penelitian tersebut, bahwa tingkat literacy siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa negara-negara lain. Artinya pendidikan kita belum berhasil mencapai atau menciptakan warga negara literat yang siap bersaing dengan sejawatnya dari negara lain. Ringkasanya dalam sekala International litersi siswa kita belum kompetitif. Terlihat berbagai variabel yang terkait dengan pendidikan litersi, yakni pendapatan nasional perkapita, pendidikan orang tua, fasilitas belajar, lama belajar disekolah, Human Development Indeks (HDI), dan sebaginya. Manusia literat merupakan SDM yang memiliki potensi membangun bangsa. Pendidikan Literasi Investasi jangka panjang yang berfungsi transformatif untuk meningkatkan HDI dan menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Dengan kata lain, Pendidikan Litersi pasti mengubah pendapat dan pendapatan.
Dalam laporan PIRLS tidak ditemuka skor prestasi menulis, sehingga kita tidak mengetahui bukti korelasi antara skor presentasi membaca dan skor prestasi menulis. Namun dapat diprediksi bahwa prestasi menulis sangat bergantung pada kemampuan membaca. Namun banyak membaca tidak menjamin orang untuk rajin menulis. Jauh lebih banyak ilmuan daripada menulis. Sampai dengan 2003 Indonesia setiap tahun memproduksi 6.000 buku (termasuk terjemahan), Malaysia 8.500, Korea 45.000, Jepang 60.000, Amerika 90.000 dan India 70.000 judul. Sampai dengan 2006 India menempati posisi ketiga terbesar setelah Amerika dan Inggris. Sementara itu, diketahui sampai dengan 2007 tercatat 231.786 dosen di Dirjen Pendidikan Tinggi. Bila setiapn dosen menjalankan kewajibannya menulis sebuah buku dalam setiap tiga tahun, maka akan terbit sekitar 77.000 buah, belum termasuk buku-buku yang ditulis oleh kalangan Non-dosen. Dengan cara ini, Indonesia akan mampu menyamai India.
Temuan PIRIS ini adalah potret besar Literasi Indonesia dalam skala Internasional. Dalam laporan seperti ini tidak akan ditemukan potret yang spesifik dan detail ikhwal penyebab dan realisasi pengajaran literasi disekolah-sekolah. Potres buram literasi diatas adalah hilir persoalan dan untuk memahaminya kita harus mengerti hulunya. Dalam konteks pembelajara literasi di sekolah, misalnya kita harus melihat guru ihwal literasi dan penguasaan tekhnik pelajaran siswa. Artinya, Penguasaan tentang litersi dan pedagogik dan pengajaran literasi mesti dikuasai oleh guru. Namun tidak boleh dilupakan konteks sosial pembelajaran siswa, seperti suasana rumah, suasana sekolah dan suasana masyarakat secara keseluruhan. Hali ini juga perlu adanya bimbingan dari orang tua.
Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru dengan langkah-langkah profesionalnya yang terlibat dalam 6 hal: 1. Komitmen Profesional, 2. Komitmen Etis, 3. Strategi Analitis dan Reflektif, 4. Evaluasi diri, 5. Pengetahuan bidang studi, dan 6. Keterampilan literasi dan Numerasi (Cole dan Chan, 1994 dikutip oleh Setiadi, 2010). Dengan kata lain membangun literasi bangsa harus diawali dengan membangun guru yang profesional, dan Guru profesional hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang profesional juga.
Orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan Sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju kependidikan dan pembudayaan. Sekolah, Sebagai lembaga pendidikan formal adalah situs pertama untuk membangun literasi pada umumnya disokong oleh pemerintah dengan menggunakan dana publik, dan dengan demikian mudah diintervensi oleh berbagai kebikan, inovasi dan progaram uji coba pemerintah. Karena itu wajar jika proses dan hasil pembelajaran disekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur tingkat litersi. Kegitan literasi dalam keluarga dan dalam masyarakat berkontribusi pada tingkat literasi.
Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut 4 Dimensi, yaitu: 1. Linguistik atau fokus teks, 2. Kognitif atau fokus Mind, 3. Sosiokultural atau fokus pada kelompok, 4. Perkembangan atau fokus pada pertumbuhan. Sementara itu Kern (2000:38) menyebut tiga dimensi, yaitu dimensi Linguistik, sosiokultural, kognitif atau metakognitif. Dengan demikian rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam 4 Dimensi. Pengajaran membaca dan menulis harus ditempatkan dalam keempat dimensi yang saling terkait, Sebagaimana yang akan digambarkan tabel berikut:
Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional, mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Selama ini pendidikan di Indonesia relatif berhasil memproduksi manusia terdidik tapi pada umumnya kurang memiliki apresiasi terhadap sastra khususnya dan humaniora umumnya. Meluruskan rekayasa litersi seyogyanya pemahaman atas berbagai paradigma pengajran litersi. Dalam garis besarnya terdapat paradigma pembelajara literasi, yaitu: Decoding, Skill, dan Whole Language (Kucer:2000). Ketiga Paradigma tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
v 
Paradigma 1: Decoding, Menyatakan bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk litersi, dan belajar bahasa dimulai dari menguasai bagian-bagian bahasa. Siswa membangun litersi dengan diajari terlebih dahulu, yakni bagaimana memaknai kode bahasa. Dalam paradigma ini berlaku rumus: Perkembangan = Belajar Ihwal literasi Belajar literasi Belajar melalui litersi.


v
Paradigma 2: Keterampilan, bahwa penguasaan morfem dan kosakata dalah dasar untuk membaca. Fokus Pembelajaran diletakkan pada penguasaan sistem morfemik bahasa. Dengan kata lain, Siswa membangun literasi dengan diajari dahul, yakni cara memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosakata. Dalam paradigma ini berlaku rumus: Perkembangan litersi = belajar ihwal literasi belajar melalui literasi.

v 
Paradigma 3: Bahasa secara utuh dilihat dari namanya paradigma ini menolak pembelajaran yang meletakan fokus pada bagian atau serpihan bahasa. Pengajaran Bahasa mesti berfokus pada Pembelajaran makna, yaitu kegiatan mengajar makna secara utuh, tidak parsial. Siswa mesti dihadapkan pada teks otentik yang kontekstual untuk mendapatkan makna baru, bukanya bentuk kosakata baru. Paradigma ini mengajukan rumusan: Perkembngan litersi adalah belajar melalui literasi belajar literasi belajar ihwal literasi.


Dari Penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan. Bukan Perkara mudah bagi suatu Negara untuk membuat Negaranya berliterasi tinggi. Perlu adanya pembenahan mulai dari sektor Pendidikan, Masyarakat, Kebiasaan dan Lain-lain. Dalam pebaikan literasi senantiasa menyangkut empat dimensi, yaitu: 1. Linguistik atau Fokus Teks, 2. Kognitif atau Fokus Mind, 3. Socio-Culture atau Fokus Kelompok, 4. Perkembangan atau Fokus Pertumbuhan.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)