Saturday, February 22, 2014

Class and Chapter Review 2


2nd Class Review
14 February 2014
RASDENI (14121320256)
(PBI-D Semester 4)

REVOLUSI MENJADI BANGSA LITERATE
Hari ini, Jum’at, 14 Februari 2014 merupakan class review kedua tepatnya pada pertemuan yang kedua kami, mahasiswa dengan Mr. Lala Bumela pada mata kuliah Writing and Conversation 4 yang sebenarnya lebih ke Writing for Academic Purposes.  Mr. Lala Bumela mengawali pembelajaran ini dengan mengumumkan bahwa pada hari Minggu, aka nada workshop yang bernama “At Amerika” yang bertempat tidak cukup jauh yaitu di Jakarta.  Acara workshop tersebut tidak dipungut biaya alias gtaris dan Mr. Lala Bumela menganjurkan kami untuk ikut serta dalam acara tersebut.
Pada pertemuan kali ini, Mr. Lala Bumela mengawali pembahasan yang bersangkutan dengan Teaching Orientation.  Teaching orientation mencakup beberapa hal diantaranya yaitu: Academic writing, critical thinking, dan writing.  Untuk lebih memperjelas ketiganya, kita akan membahas satu-persatu.
1.      Academic Writing
Academic writing (menulis akademik) merupakan menulis teks atau tulisan berupa karya ilmiah, laporan, essay, skripsi, dan sebagainya untuk memenuhi kepentingan akademik yang ditulis dengan bahasa baku dan mengikuti aturan-aturan penulisan, serta sistematika penulisan yang benar.
Academic writing dapat dihasilkan dari banyaknya research (penelitian) yang bersifat validy dan dengan berbagai perbandingan (comparing), antara sumber (referensi) satu dengan lainnya.  Tujuan utamanya adalah satu yaitu untuk menemukan data yang paling benar (truth).  Academic writing mempunyai sifat-sifat tersendiri, diantaranya yaitu:
a)      Impersonal
Academic writing bersifat impersonal, berarti bahwa dalam academic writing penulis tidak memunculkan subjek I/researcher/karakter dirinya sendiri.  Penulis akan menghadirkan karakter atau point of view mereka pada argument atau pada pieces argumennya.
b)      Reference Based
c)      Formal
Dalam academic writing, tidak ada tulisan yang menggunakan bahasa informal, kesemuanya ditulis dengan bahasa formal.  Kata, kalimat, maupun paragraph semua diungkapkan secara formal atau dalam bahasa baku.
d)     Rigid
Dalam academic writing, ide-ide yang dipresentasikan ke dalam tulisan masih bersifat kaku atua masih beku.  Tugas utama penulis dalam hal ini, yakni mencari cara atau jalan bagaimana untuk mencairkan ide yang kaku tersebut agar lebih dapat dimengerti dan dipahami pembaca.
2.      Critical Thinking
Sebagai seorang mahasiswa, kita dituntut untuk memiliki pemikiran yang kritis, ditambah kita dikategorikan sebagai kandidat penulis yang berliterasi, khususnya dalam menulis akademik.  Menulis akademik dengan pemikiran yang kritis, kita dituntut untuk memposisikan diri menjadi dua kriteria, yaitu kita sebagai critical reading dan critical writing.  Di samping kita sebagai penulis yang akademik, sejalan dengan itu kita harus memunculkan critical reading dengan hebat.
3.      Writing
Dalam hal ini, ada tiga siklus writng yang harus dibangun, yaitu:
a)      A way of knowing something,
b)      A way of representing something, dan
c)      A way of reproducing something.
something pada ketiga siklus writing tersebut dapat merujuk kepada information, knowledge, dan experience.  Dari ketiga rujukan tersebut, yang terpenting atau yang menjadi kata kuncinya adalah experience.  Pengalaman merupakan guru yang paling baik.
Kita adalah Multilingual Writer yang dapat menulis secara efektif dalam dua bahasa, bahasa ibu dan bahasa lain (Indonesia atau Inggris).  Efektif dalam artian tidak hanya menjadi seorang penulis saja, tetapi mampu berperan sebagai pembaca kritis, baik dalam bahasa ibu (L1) maupun dalam bahasa kedua (L2).  Sehingga dapat mengubah diri dari seorang mahasiswa bahasa menjadi mahasiswa penulis.  Mahasiswa yang berkemampuan membuat informasi terpilihdalam hidup, yang dapat mengubah dunia melalui pengetahuannya.
Bagi seorang pemula menulis begitu mudah, mereka menullis sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran mereka, bukan menulis akademik.  Semakin kita mempelajari lebih dalam mengenai ilmu menulis, maka akan mengubah paradigm dari yang menulis itu mudah menjadi menulis itu complicated (rumit), dalam bahasa jawa disebt njlimet.
Hyland, seorang penulis mengungkapkan bahwa “writing is a practice based on expectations: the readers chances of interpreting the writer’s purpose are increased if the writer takes the trouble to anticipate what the reader might be expecting based on previous text he or she has read of the same kind.”  Untuk dapat menulis dengan baik, tentunya dibutuhkan tingkat literasi tinggi.  Faktor yang mempengaruhi kualitas literasi suatu bangsa yaitu life quality dan Sumber Daya Manusia (SDM).  Literasi erat kaitanyya dengan daya saing suatu bangsa.  Jika sumber daya manusia bagus, maka bangsa tersebut mampu atau memiliki daya saing tinggi di dunia global.
Daya saing begitu berpengaruh terhadap cermina suatu bangsa, khususnya di Indonesia.  Kita sadari bahwa sebagian besar produk-produk yang beredar di Negara ini adalah produk impor.  Hal tersebut menunjukkan  bahwa daya saing kita dengan Negara lain masih begitu rendah.  Sebagai perbandingan yaitu Negara tetangga, Korea tepatnya.  Korea berhasil menciptakan produk-produk sendiri yang tenar di Negara manapun, seperti produk Samsung dan Hyundai.  Korea Utara juga berhasil menciptakan nuklir yang hebat.  Hal tersebut menunjukkan bahwa Korea memiliki daya saing tinggi dengan Negara-negara lain. Tingginya daya saing tersebut dikarenakan oleh tingkat literasi yang tinggi pula.  Jika tingkat literasi rendah, akan sulit untuk bersaing dengan Negara-negara luar.  Sebagai pertanyaan, setinggi apa tingkat literasi Indonesia?
Literasi sangat erat kaitannya dengan writing.  Sebagai seorang penulis, tujuan utamanya yakni memuaskan pembaca dengan memeriksa skemata mereka.  Text-Writer-Reader, ketiganya saling berhubungan.  Tidak akan ada sebuah teks tanpa adanya writer (penulis) dan tujuan writer menulis teks adalah untuk reader (pembaca).  Dapat dikatakan bahwa writer dan reader adalah sepasang dancer.  Mereka selalu melangkah bersama, sejalan dan seirama, tidak berlawanan arah, dan memiliki kekompakan.  Begitupun penulis dan pembaca.  yang terpenting dalam writing yakni pembuatan makna, makna harus sampai kepada pembaca.  Jangan menjadikan tulisan seperti kuburan, yang tidak ada pembaca, pengkritik, dll.  Kunci pembentukan makna (meaning formation) adalah pembaca, dan kunci penting lainnya yaitu mutual production antara penulis dan pembaca.
Pendapat Lehtonen mengenai hubungan text, writer, dan reader adalah sebagai berikut:
Ø  The reader ascended to the nucleus of the formation of meanings, and reading became the place where meanings belonged.
Ø  Text and readers never exist independently of each other, but in fact produce one another.
Ø  Reading includes choosing what to read, organizing and linking them together in order to form meanings, as well as bringing the reader’s own knowledge into text.
Pada intinya, keahlian berliterasi pertama-tama dibangun dari membaca.  Menjadi seorang penulis, nilai tulisan yang dihasilkan bergantung pada tingkat membacanya.  Membaca yang bermodel pas-pasan, akan menghasilkan tulisan yang hanya sekedar tulisan tanpa adanya makna atau informasi.  Oleh karena itu, jika kita tidak berevolusi menjadi pembaca yang hebat, kita tidak akan pernah menjadi seorang penulis yang hebat pula.  Terbukti bahwa reading merupakan aspek yang lebih kompleks.
Kesimpulannya, pada pertemuan ini membahas mengenai beberapa aspek literasi, mulai dari teaching orientation yang mencakup beberapa hal yaitu: academic writing yang bersifat impersonal, reference based, bahasa formal, dan rigid, critical thinking (berpikir kritis), dan writing (a way of knowing, representing, and reproducing something, something yaitu information, knowledge, dan research).  Rendahnya literasi dari sumber daya manusia di Indonesia, menyebabkan Indonesia tidak mempunyai daya saing dengan Negara lain.  Salah satu cara untuk menumbuhkan literasi adalah dengan memperbanyak membaca dan membudayakan menulis, khususnya menulis akademik.  Untuk menjadi seorang penulis akademik yang hebat, perlu adanya perubahan atau revolusi untuk menjadi pembaca yang hebat pula.

 
CHAPTER REVIEW
18 February 2014
RASDENI
(PBI-D Semester 4)

SANG PENJELAJAH LITERASI
Literasi telah menjadi buah bibir di kalangan masnyarakat, khususnya mahasiswa dan dosen.  Berikut akan dibahas lebih jauh mengenai literasi dalam artian yang sebenarnya, diambil dari buku Pokoknya Rekayasa Literasi karya A. Chaedar Alwasilah.
Terdapat beberapa model pendekatan dan metode para ahli bahasa dalam mempelajari bahasa asing.  Di bawah ini akan dibahas mengenai lima model pendekatan tersebut.
  1. Pendekatan Struktural dengan menggunakan grammar translation methods.  Pendekatan ini populer sampai dengan perang dunia ke-2.  Identik dengan namanya, pendekatan ini memfokuskan pada penggunaan dan penguasaan bahasa tulis serta lebih menekankan ketata bahasaan.  Pendekatan ini bertujuan melatih siswa untuk mampu mengidentifikasi jenis-jenis kata, unit-unit sintaksis (kata, frase, dan klausa) berikut cara penggabungannya.  Melalui pendekatan ini, diharapkan siswa mampu mengatasi masalah sekitar analisis kesalahan berbahasa dan sintaksis kalimat dan wacana agar siswa mampu berbahasa menggunakan tata bahasa yang tepat.
  2. Pendekatan Audiolingual (dengar-ucap), yang berlaku dari 1940-1960.  Latihan dialog-dialog pendek pada siswa merupakan fokus pendekatan ini.  Dengan terlatihnya berdialog, diharapkan siswa kemudian mampu beranalogi dengan dialog tersebut.  Karena pendekatan ini terlalu fokus pada keahlian ujaran, pendekatan ini mengabaikan penguasaan bahasa tulis siswa.  Siswa pandai berdialog, tetapi kurang dalam tulisan.
  3. Pendekatan Kognitif dan Transformatif sebagai implikasi teori-teori syntactic structure (Chomsky, 1957).  Fokus utama pendekatan ini yakni membangkitkan (generating) yang bertujuan agar potensi bahasa yang dimiliki siswa dengan potensi lingkungan sesuai.
  4. Pendekatan Communicative Competence, ngetren pada 1980-1990 dan dipopulerkan oleh Hymes (1976) dan Widdowson (1978).  Tujuannya yakni menghadirkan bahasa yang bernalar dalam setiap komunikasi yang komunikatif.
  5. Pendekatan Literasi (genre-based).  Pendekatan literasi merupakan implikasi dari studi wacana.  Melalui pendekatan ini, siswa dilatih untuk tidak sekedar mampu berbahasa lisan, tetapi tulisanpun harus terlatih.  Salahsatu medianya yaitu melalui wacana.  Siswa dikenalkan berbagai genre wacana baik lisan maupun tulisan untuk membangun tingkat literasi mereka.  Tahapan pembelajarannya yaitu membangun pengetahuan, menyusun model teks, menyusun teks, terakhir menciptakan teks.

Pendekatan literasi menghasilkan pengertian tersendiri mengenai literasi.  Definisi lama literasi yakni kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005:898).  Meskipun istilah literasi jarang dipakai, namun intinya tetap merujuk ke kemampuan membaca dan menulis.  Pada masa silam, dengan membaca dan menulis dianggap sudah cukup untuk membekali manusia agar mampu menghadapi perubahan dan tantangan zaman.  Seiring dengan perkembangan zaman, literasi pada masa sekarang tidak hanya bersangkutan dengan baca-tulis saja, tetapi literasi merupakan praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik.
Akibat tantangan perkembangan zaman, Freebody dan Luke menyimpulkan model literasi yakni memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks.  Hal tersebut adalah hakikat ber-literasi kritis sebagai masyarakat demokratis.  Banyak sekali definisi literasi dari para ahli linguistik dunia yang menyumbangkan pendapatnya mengenai literasi.  Salah satunya yaitu pendapat Barber tentang literasi yang dikutip oleh Hayat dan Yusuf yaitu:
In the 21th century, world class standards will demand that everyone is highly literate, highly numerate, well-informed, capable of learning constantly, and confident and able to play their part as a citizen of academic society
(Baeber, dikutip Hayat dan Yusuf, 2010:23).
            Seperti hakikatnya zaman, literasi juga mengalami revolusi yang terus-menerus dari definisi lama yaitu hanya membaca dan menulis, kini makna literasi semakin meluas dan kompleks.  Literasi memiliki tujuh dimensi yang saling terkait, yaitu:
  1. Dimensi geografis meliputi wilayah lokal, nasional, regional, dan internasional.  Tingkat pendidikan dan jejaring sosial serta vokasional seseorang sangat menentukan letak literasi dalam dimensi geografis.
  2. Dimensi bidang pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb.  Literasi bangsa berdasarkan dimensi ini bergantung pada kemajuan bidang tersebut.
  3. Dimensi keterampilan, yang mencakup bidang membaca, menulis, berhitung, dan berbicara.  Literasi seseorang dapat terukur melalui keterampilan yang mencakup keempat aspek tersebut.  Seseorang tidak cukup dengan hanya berliterasi saja, tetapi merekapun mesti memiliki keterampilan yang lain, salah satunya keterampilan menghitung (numerisasi).
  4. Dimensi fungsi.  Sebagai seorang literat, tentu merka akan mampu memecahkan persoalan, mudah mendapat pekerjaan, mengembangkan pengetahuan dan potensi dirinya guna mencapai tujuan yang sesungguhnya.
  5. Dimensi media, meliputi teks cetak, visual dan digital.  Hidup di era globalisasi yang sana-sini selalu berkaitan dengan teknologi, sebagai literate kita tentunya menyesuaikan dengan era sekarang.  Jadi tidak hanya membaca dan menulis, tetapi literate juga dalam penguasaan teknologi.
  6. Dimensi jumlah.  Menjadi seorang literate harus memiliki penguasaan dalam beberapa bahasa, karena literasi bersifat relative.  Seorang literate akan mampu berbahasa secara komunikatif.
  7. Dimensi bahasa, meliputi bahasa etnis, local, nasional, regional, dan internasional.  Terdapat literasi singular dan plural.  Dalam literasi pliral, seorang literate sesungguhnya mampu berbahasa baik lokal sampai ke internasional.

Sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, paradigm literasi senantiasa mengalami perubahan.  Dengan fasilitas bahasa misalnya, lembaga-lembaga social berhasil memunculkan bahasa politik yang menunjukkan kekuasaannya terhadap rakyat.  Literasi diperlukan yaitu berdasarkan tingkat kefasihan relatifnya, literasi membekali seseorang untuk mengembangkan potensi akademik, literasi diukur menurut standar dunia melalui PIRLS (Progress in International Reading literacy Study), literasi dapat menghasilkan warga Negara yang demokratis, literasi menyadarkan manusia akan keragaman bahasa dan budaya lokal, literasi seseorang mestinya berada di tingkat dunia agar dapat bersaing di tingkat dunia pula, literasi membekali manusia menjadi warga Negara yang efektif, literasi yang bertujuan menggunakan bahasa secara fasih, efektif dan kritis, dan terakhir literasi mampu memaknai tanda (literasi semiotic).
Selain memiliki dimensi dan selalu berubah atau berevolusi tiap zamannya, literasi juga memiliki prinsip-prinsip tersendiri.  Terdapat tujuh prinsip literasi, yaitu:
  1. Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
  2. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana tertulis maupun secara lisan.
  3. Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.  Pendidikan bahasa melatih untuk menjadi pribadi yang berpikir kritis untuk memecahkan masalah, karena bahasa merupakan alat untuk berpikir.
  4. Literasi refleksi atau cerminan penguasaan dan apresiasi budaya.
  5. Literasi merupakan kegiatan refleksi diri.
  6. Literasi adalah hasil kolaborasi, dalam artian bahwa literasi selalu melibatkan dua pihak yang berkaitan, yaitu penulis dan pembaca.
  7. Literasi merupakan kegiatan melakukan interpretasi.
Pengakuan kemampuan berliterasi suatu bangsa salah satunya dengan ikut serta ke dalam proyek dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for Internatioanal Student Assessment), dan TIMSS (the Third International Mathematics and Science Study).  Ketiganya merupakan metode untuk mengukur literasi suatu bangsa.
Indonesia mengikuti proyek penelitian tersebut sejak 1999.  Pada PIRLS 2006 meneliti aspek literasi pada siswa kelas IV Indonesia dengan peserta Negara lain.  Penelitian tersebut memfokuskan pada bidang membaca meliputi interpreting, integrating, dan evaluating.  Hasil PIRLS tersebut bisa dikatakan mengecewakan.  Tingkat literasi Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa-siswa dari Negara lain.  Ditaraf internasional, literasi siswa Indonesia belum kompetitif, faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya yakni pendapatan nasional per kapita, pendidikan orang tua, fasilitas belajar, lamanya belajar, dsb.
Dalam laporan PIRLS tidak ditemukan skor prestasi menulis, tetapi menulis dapat diukur dari seberapa banyaknya membaca.  Tercatat sampai 2003, Indonesia setiap tahunnya memproduksi 6.000 buku.  Angka yang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang berhasil memproduksi 90.000 buku setiap tahunnya.
Berdasarkan dari penelitian PIRLS, menunjukkan dengan jelas bahwa literasi yang ada di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan Negara lain.  Persoalan tersebut merupakan tugas guru dan orang tua siswa untuk menumbuhkan jiwa literasi sejak dini kepada peserta didik (siswa), karena ujung tombak pendidikan literasi yaitu guru dan keenam langkah-langkah profesionalnya, yakni: komitmen professional, komitmen etis, strategi analisis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang study, dan keterampilan literasi dan numerisasi (Cole dan Chan, 1994 dikutip oleh Setiadi, 2010).
Dari hasil penelitian PIRLS, tampak bahwa orang literate adalah orang yang terdidik dan berbudaya.  Rekayasa literasi merupakan upaya mengoptimalkan penguasaan bahasa untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya literasi.  Penggunaan bahasa yang merupakan gerbang menuju pendidikan pembudayaan dan mesti dilatih dengan cara berliterasi.
Literasi yang tertanam di Indonesia seperti yang kita sadari belum begitu baik.  Oleh karena itu, perlu adanya rekayasa perbaikan literasi guna meningkatkan literasi yang ada.  Perbaikan rekayasa literasi tersebut senantiasa melibatkan empat dimensi, yaitu:
  1. Linguistic atau fokus teks,
  2. Kognitif atau fokus minda,
  3. Perkembangan atau fokus pertumbuhan (growth), dan
  4. Sosiokultural atau fokus kelompok.
(Kucer, 2005: 293-4)
Dengan demikian, inti dari rekayasa literasi yaitu merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi di atas.  Literasi harus terkait dengan keempat dimensi tersebut, karena pengajaran bahasa akan mampu menciptakan seorang literate yang mampu menerapkan keempat dimensi tersebut secara serempak, aktif, dan terintegrasi.  Seorang literate tentu akan mampu menggunakan bahasa secara aktif dan efisien.
Keterkaitan literasi dengan keempat dimensi tersebut dapat digambarkan pada diagram di bawah ini:



Dari diagram di atas, dapat memberi penjelasan bahwa:
  1. Dimensi Linguistik (fokus pada teks)
Pembelajaran literasi membekali mahasiswa menyangkut kemampuan baca-tulis yang memerlukan pengetahuan mencakup beberapa hal, yaitu:
Ø  Sistem bahasa pembangunan makna yang meliputi jenis dan struktur teks, morfologi, sintaksis, semantic, dan ortografi.
Ø  Persamaan dan perbedaan antara bahasa lisan dan tulisan.
Ø  Keragaman bahasa yang mencerminkan kelompok sampai status sosial.
  1. Dimensi Pengetahuan Kognitif (fokus pada minda)
Makna membangun literasi yakni membangun keterampilan yang berkaitan dengan pengetahuan:
Ø  Aktif, selektif, dan konstruktif pada saatmembaca dan menulis.
Ø  Memanfaatkan pengetahuan untuk membangun makna.
Ø  Menggunakan proses mental dan strategi untuk menghasilkan makna seperti memprediksi, memonitor, mengevaluasi, merevisi, merespons, menarik kesimpulan, dan membangun koherensi berdasarkan jenis teksnya.
  1. Dimensi Pertumbuhan dan Perkembangan (growth)
Dimensi ini mengemukakan bahwa untuk menjadi seorang literate, pasti melalui proses “menjadi.”  Kata menjadi disini yaitu tahapan untuk menguasai sejumlah pengetahuan, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Ø  Pembelajaran yang aktif dan konstruktif.
Ø  Pemakaian berbagai strategi dan proses mengkonstruksi berbagai dimensi (pengumpulan data, mengajukan dan menguji hipotesis, dan melakukan transaksi dengan mereka yang lebih fasih).
Ø  Menggunakan dukungan dan mediasi dari pelaku literasi.
Ø  Pemanfaatan pengetahuan lewat membaca untuk mendukung kegiatan menulis, begitupun sebaliknya.
Ø  Mampu menegosiasi makna tekstual.
Oleh karena itu, literasi dikatakan sebagai proses “menjadi.”


  1. Dimensi Sosiokultural (focus pada kelompok)
Dalam dimensi ini, membaca dan menulis memerlukan pengetahuan diantaranya yaitu:
Ø  Tujuan dan pola literasi yang beragam sesuai dengan kelompok, daerah, lembaga, etnis, agama, pekerjaan, status social dan sebagainya.
Ø  Aturan dan norma dalam melakukan transaksi dengan bahasa tulis sesuai kelompok.
Ø  Fitur-fitur linguistik dari berbagai versi untuk berbagai tujuan.
Ø  Penggunaan literasi untuk memproduksi, menggunakan, mempertahankan, dan mengontrol pengetahuan.
Ø  Bentuk dan fungsi literasi yang bernilai tinggi dan dapat dipertahankan oleh berbagai kelompok.
Ø  Kemampuan mengkritik teks dari berbagai kelompok sosial dan lembaga.
Jadi, pengajaran literasi mengajarkan tentang sejumlah kepekaan tekstual dan kultural lintas kelompok dan lembaga.
Kemudian, dalam sebuah literasi selain adanya dimensi, literasi juga memiliki tiga paradigm disamping tujuan literasi yaitu menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca-tulis, cerdas, terdidik, dan menunjukkan apresiasinya terhadap sastra.  Ketiga paradigma literasi tersebut yaitu:
  1. Decoding
Paradigma ini memiliki pandangan bahwa penguasaan bagian-bagian bahasa merupakan gerbang memasuki dunia literasi.  Sejalan dengan berjalannya paradigma ini, siswa belajar literasi secara deduktif yaitu siswa mampu membuat hubungan antara tulisan dengan makna.  Paradigma ini berhasil mencetuskan rumus:
Perkembangan literasi= belajar ihwal literasiàbelajar literasiàbelajar melalui literasi
  1. Keterampilan
Menurut paradigma keterampilan, penguasaan morfem dan kosakata menjadi dasar membaca.  Oleh karena itu, penekanan pada paradigm ini lebih melatih reading untuk menemukan kosakata baru.  Pembangunan literasi dalam diri siswa, dengan mengajarkan lebih dulu mengenai literasi khususnya pengajaran memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosakata.  Paradigma ini menghasilkan rumus yang sama dengan paradigma decoding, yaitu:
Perkembangan literasi= belajar ihwal literasiàbelajar literasiàbelajar melalui literasi
  1. Bahasa Secara Utuh
Paradigma ini menekankan agar siswa terfokus pada makna, bukan pada bentuk bahasa, yakni mengajarkan makna secara utuh.  Dengan paradigm ini, diharapkan siswa mampu menguasai teks otentik yang kontekstual sehingga mendapatkan makna baru, bukan kosakata baru.  Paradigma bahasa secara utuh, menghasilkan rumus:
Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasiàbelajar literasiàbelajar ihwal literasi
Rumus yang berlaku pada paradigma ini bertolak belakang dan bertentangan dengan kedua paradigm di atas.

Adanya perbedaan paradigma berkaitan dengan literasi telah mengubah pula sudut pandang pengajaran bahasa.  Perubahan sudut pandang tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


Dari tabel di atas tampak jelas perbedaan antara pengajaran bahasa dulu dengan sekarang.  Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa diperlukan adanya perubahan paradigma literasi yaitu hijrah intelektual dan hijrah bernalar dikarenakan oleh tantangan zaman.
Dari pembahasan di atas mengenai literasi, dapat disimpulkan bahwa literasi mempunyai cakupan yang luas tidak sekedar baca-tulis saja, namun literasi yang dipelajari menjadikan manusia fungsional yang mampu membaca dan menulis, terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasinya terhadap sastra, guna menjadikan dirinya sebagai individu yang berliterasi tinggi.
Literasi bergerak dinamis, yaitu literasi selalu selalu berevolusi sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman.  Sejalan dengan revolusi literasi melahirkan paradigma-paradigma literasi berdasarkan dimensi literasi yaitu linguistic, kognitif, pertumbuhan dan perkembangan, dan sosiokultural.
Salah satu proyek penelitian dunia untuk mengukur tingkat literasi suatu bangsa, PIRLS yang memfokuskan pada penelitian literasi dalam bidang membaca, membuktikan bahwa tingkat literasi khususnya dalam bidang membaca di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan Negara lain seperti Amerika Serikat.  Dengan demikian, perlu adanya perubahan pengajaran bahasa khususnya literasi yang melibatkan keempat dimensi literasi.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment