Saturday, February 22, 2014

2nd Class Review “Belajar Jadi Penulis”


2nd Class Review
“Belajar Jadi Penulis”
            Jumat, 14 Februari 2014, ruang 46, pukul 07.30 WIB. Pada hari itu saya memakai baju warna merah marun, saya datang pada pukul 07.20 WIB dan saya langsung duduk di bangku paling depan, karena saya ingin cepat paham dan tidak merasa ngantuk. Tidak lama kemudian teman-teman datang, saya masih ingat di sebelah kanan saya ada Dwi Ayu Asri Bahari, sebelah kiri saya ada Liana Nurbakti, di belakang saya ada Nita Agustina Maulidya dan lagi-lagi saya tepat berada di depan meja dosen. Tak lama kemudian Mr. Lala pun masuk dan mulai menjelaskan materi, kami pun memperhatikan dengan seksama. Yang dijelaskan oleh Mr. Lala yaitu tentang Teaching Orientation.

Teaching Orientation terbagi menjadi tiga yaitu Academic Writing (Menulis akademik), Critical Thinking, dan Writing (Menulis). Di dalam Academic writing (Menulis akademik) kita di haruskan untuk menulis yang berhubungan dengan akademik dan harus ada data-data yang valid, untuk mendapatkan data yang valid kita harus melakukan penelitian terlebih dahulu, di dalam penelitian tersebut kita menggunakan banyak sekali referensi. Makin banyak referensi yang kita gunakan maka kebenaran itu semakin dekat, dan kita bisa membandingkan hasilnya.
Di dalam Academic writing terdapat empat hal yang harus diperhatikan, yaitu; Pertama Impersonal adalah dimana posisi kita sebagai penulis itu disamarkan, dengan kata lain “I” tidak digunakan, tetapi tetap kita tidak boleh meninggalkan atau menghilangkan tempat jati diri kita sebagai penulis. Kedua Reference adalah sebagai penulis kita harus mempunyai sumber data dari mana kita mendapatkan informasi tersebut, sebagi contoh pada saat kita semester tiga (Phonology) kita menggunakan banyak buku diantaranya Haliday, Kula, dan Parker, itulah rujukan ilmu atau informasi kita. Ketiga Formal based adalah di dalam menulis kita berada di dunia formal, jadi tulisan kita harus sesuai dengan EYD, dan tidak menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan writing academic. Dan yang terakhir Rigid (Kaku) adalah kita sebagai seorang penulis akademik bahasa yang kita gunakan memang kaku, dan membuat orang yang membaca cepat merasa bosan dan kantuk, itulah mengapa di dalam menulis akademik terasa kaku.
Setelah Academic writing, kita harus bisa menjadi Critical thinking. Critical thinking artinya berpikir kritis, berpikir kritis bukan hanya ada di pembaca tetapi juga penulis harus berpikir kritis. Di dalam Critical thinking terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu; pertama Critical Reader adalah sebagai pembaca, kita harus bisa berpikir kritis apakah bacaan tersebut enak dibaca atau membosankan. Kedua Critical Writer adalah sebagai penulis, kita juga harus dituntut untuk berpikir kritis tentang tulisan yang kita buat, sebagai contoh kita membuat class review (menjadi penulis), setelah selesai kita harus mengetiknya dan memposting tulisan tersebut di blog kelas, selagi kita mengetik kita menjadi pembaca, pembaca yang kritis yang mengetahui mana yang salah dan mana yang harus diperbaiki.
Di samping Academic writing dan Critical thinking, masih ada Writing. Di dalam menulis kita mendapatkan dan memproduksi sesuatu. Hasil dari writing, yaitu; pertama A way of knowing something maksudnya dengan cara menulis kita mendapatkan banyak hal atau informasi baru. Kedua A way of representating something maksudnya dengan cara menulis kita bisa menunjukkan atau menyajikan apa yang kita ketahui di dalam tulisan yang kita buat. Ketiga A way of reproducting something maksudnya dengan menulis kita dapat menghasilkan sebuah karya yaitu buku. Something disini bukan hanya informasi ataupun ilmu pengetahuan tetapi yang lebih utama yaitu Experience, karena pada saat kita menulis kita membagi pengalaman dan pada saat kita membaca yang mudah kita ingat yaitu pengalamannya.
Setelah Mr. Lala menjelaskan tentang Teaching orientation, Mr. Lala menginstruksikan kita untuk menjadi dua kelompok besar dan membuat lingkaran. Sama seperti semester sebelumnya Mr. Lala memeriksa kelas review dan menanyakan satu persatu tentang materi yang menjadi Chapter review (appetizer). Saya masuk di kelompok ke dua, sebelah kanan saya ada Liana Nurbakti sebelum saya dia terlebih dahulu yang ditanya oleh Mr. Lala, dan sebelah kiri saya ada Dwi Ayu Asri Bahari, dia ditanya oleh Mr. Lala setelah saya dengan kata lain dia menjadi orang terakhir yang ditanya.
Mr. Lala menjelaskan sedikit tentang Literacy. Literasi itu sangat penting karena literasi menentukan kualitas hidup (Life quality), semakin tinggi literasi yang kita punya maka semakin baik pula kualitas hidup kita, sedangkan semakin rendah literasi yang kita punya maka semakin buruk pula kualitas hidup kita. Literasi ditentukan oleh SDM (Sumber Daya Manusia), semakin bagus SDM di suatu negara maka literasi yang mereka miliki semakin bagus pula dan SDM ini bisa dijadikan daya saing untuk menghadapi persaingan di kancah global.
Di dalam power point The 2nd Session in Writing 4 class: Knowing who we really are (slide pertama). Pada slide kedua terdapat pertanyaan “Who are you in my class?” disitu terdapat lima opsi jawaban dan semua jawaban itu berinti pada kata “terpaksa”, memang benar adanya karena itulah yang saat ini saya rasakan tapi kadang sesuatu yang dipaksakan itu baik memang benar tujuan pemaksaan itu adalah agar membuat kita lebih baik lagi yaitu dalam hal menulis dam membaca. Kemudian pada slide ketiga terdapat pernyataan “You are ...” Multilingual writer, maksudnya kita bisa menulis dalam bahasa ibu, bahasa nasional dan bahasa inggris, yang kemudian bisa menjadi Critical reader, yang bisa menjelaskan pilihan hidup masing-masing dan bisa mengubah dunia. “is it too much for you?” menurut saya itu simple, tapi prosesnya itu yang harus membutuhkan tenaga yang kuat dan nutrisi yang banyak, nutrisi disini kita harus rajin membaca buku-buku yang bisa menunjang kita agar kita bisa menjadi Multilingual writer, disamping membaca kita harus menulis karena setelah kita baik dalam hal membaca dan menulis kita bisa menjadi Multilingual writer. Pada slide keempat juga terdapat pertanyaan “My writing is too difficult ?” memang yang saya rasakan itu sangat susah, karena kita dipaksa untuk membaca suatu bacaan yang tidak kita sukai bahkan bacaan tersebut sangat kaku, dan setelah kita membaca kita dipaksa untuk menulis. Memang benar “All begining are difficult” tapi jika kita dipaksa untuk memulai, maka kita pasti bisa melewatinya. Inilah cara Mr. Lala kepada kami agar kami bisa menjadi Multilingual writer karena semua dosen pasti menginginkan mahasiswanya untuk bisa menjadi lebih baik bahkan bisa melebihi kemampuan yang dimilikinya.
Masih di slide ke empat, menurut Hyland (2004 : 4) dalam bukunya Menulis adalah sebuah latihan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menginterprestasikan tujuan penulis itu sendiri, jika penulis membawa masalah sebagai antisipasi apakah pembaca bisa mengharapkan di tulisan yang mereka baca sebelumnya dengan macam yang sama. Sedangkan pada slide ke lima ada sebuah pernyataan “Writer and Reader = Dancer ?” disini Hoey (2001) mempunyai pendapat yang berbeda dengan Hyland, yaitu “ Pembaca dan penulis itu layakny seorang penari yang mengikuti langkah satu sama lain, saling mengerti dari sebuah teks dengan mengantisipasi apakah yang lain memungkinkan untuk menjadikan koneksi teks sebelumnya. Dengan kata lain penulis dan pembaca membuat sebuah koneksi yang disebut Seni.
Kemudian pada slide ke enam, terdapat pendapat-pendapat dari Lehtonen (2000 : 74) on Barthes. Menurut Lehtonen bahasa adalah sebuah sistem yang mengaskan arti bahasa itu sendiri, dan seorang penulis itu bukanlah seorang yang hanya main-main dala menulis, penulis hanya dikatakan penulis hanya pada saat ia menulis, setelah selesai menulis ia bukan lagi disebut sebagai penulis. Sedangkan menurut Barthes kelemahan seorang penulis akan menimbulkan merendahnya pembaca. Lebih lanjut lagi pada slide ke tujuh Lehtonen mengatakan teks dan pembaca tidak pernah bisa berdiri sendiri, karena pada faktanya antara  teks dan pembaca saling terkait satu sama lain, maksudnya seseorang tidak bisa dikatakan sebagai pembaca ketika ia tidak bisa membaca teks dan teks juga tidak akan ada artinya jika tidak dibaca oleh pembaca (manusia).
Di dalam buku Lehtonen (2000) terdapat koneksi antara text, context, reader, dan writer, semua itu tertuju pada sebuah meaning tujuan dari semua itu adalah untuk mengetahui, memproduksi, serta memahami suatu meaning dari bacaan atau tulisan yang ada pada teks yang telah dibaca. Pembaca akan mengerti isi atau context suatu bacaan, namun dalam tingkat meaning antara pembaca satu dan pembaca lainnya akan berbeda.
Jadi kesimpulan pada Class Review ke dua ini adalah kita sebagai mahasiswa diwajibkan untuk bisa menulis akademik, di samping menulis kita juga diharuskan untuk membaca berbagai buku, karena buku adalah “gizi” untuk kita, di dalam menulis kita juga harus bisa menjadi penulis dan pembaca kritis. Penulis dan pembaca mempunyai koneksi yang sama yaitu teks, tetapi pemahaman meaningnya berbeda. Teks, writer dan reader itu saling berhubungan satu sama lain. Semoga dengan dipaksanya saya dalam membaca dan menulis bisa menjadi suatu kebiasaan dikemudian hari (Amin).

1st Chapter Review
Literasi Sangat Penting!
            Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 898). Di indonesia istilah literasi jarang dipakai dan yang sering dipakai menurut Setiadi (2010) adalah pengajaran bahasa atau pemebelajaran bahasa. Memang benar dari saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak pernah mendengar istilah literasi, yang ada hanya pembelajaran bahasa, baru pada saat berada di bangku Perguruan Tinggi (PT) istilah literasi baru digunakan. Hanya segelintir orang saja yang mengerti dan menggunakan kata “literasi”, dan membuat orang di Indonesia kurang mengetahui apa itu literasi, padahal literasi sama halnya dengan pengajaran bahasa (Setiadi: 2010). Itulah bukti awal bahwa masyarakat di Indonesia kurang literate bahkan bisa dikatakan belum literate.
            Kini kemampuan membca dan menulis itu tidak cukup, karena beraitan dengan persoalan sosial dan politik. Apabila kita pandai membaca dan menulis, bukan berarti kita sudah literate. Pada konteks saat ini orang yang sudah literate contohnya membuang sampah pada tempatnya (sadar akan kebersihan), itulah persoalan sosial. Sedangkan di dalam konteks politik contohnya di Indonesia belum sadar akan hukum pelanggaran korupsi, dengan kata lain pejabat di Indonesia belum literate.
            Freebody dan Luke menawarkan model literasi sebagai beikut: (1) memahami kode dalam teks (Breaking the codes of texts), (2) terlibat dalam memaknai teks (participating in the meanings of texts), (3) menggunakan teks secara fungsional (using texts functionally), dan (4) melakukan analisis dan menstrasformasi teks secara kritis (critically analyzing and transforming texts). Ke empat model literasi ini dapat diringkas menjadi memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentrasformasi teks. Semua itu menjadi hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis, sebagai contoh sebagai mahasiswa kita dituntut untuk memahami materi materi yang diberikan dosen ataupun teman kita yang sedang presentasi di kelas. Kita juga dituntut untuk terlibat dalam presentasi tersebut atau diskusi tersebut seperti memberikan pertanyaan, sanggahan dan menanggapi. Di samping terlibat dalam diskusi kita dituntut untuk membaca materi (texts) mana yang berkaitan dengan diskusi atau yang tidak berkaitan dengan diskusi, berarti kita menggunakan teks. Setelah menggunakan teks, semua harus dituntut untuk menganalisis teks yang telah dibaca dan menyalurkan ilmu yang telah diperoleh.
            Pada saat ini definisi-definisi tentang literasi begitu banyak, seperti The National Literacy Act di Amerika Serikat (1991), O’Sullivan (1994: 170), Barber dikutip Hayat dan Yusuf (2010: 23), The New London Group (1996) dikutip Hayat dan Yusuf (2010: 53) dan Bull dan Anstey (2003: 53). (Lihat: Pokoknya Rekayasa Literasi: 160-161). Maka makna dan rujukan literasi terus berevolusi, semakin meluas dan kompleks. Jadi memang benar saat ini literasi bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, melainkan lebih dari itu seperti literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA dan sebagainya. Sehingga menuntut kita untuk menguasai lebih dari satu literasi yang ada di zaman sekarang ini agar bisa hidup saat tantangan zaman.
            Literasi memiliki tujuh dimensi yang saling terkait yaitu:
  1. Dimensi geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional)
  2. Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer dsb)
  3. Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung dan berbicara)
  4. Mimensi fungsiDimensi media (teks, cetak, visual, digital)
  5. Dimensi jumlah (satu, dua, bebrapa)
  6. Dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
*lihat Pokoknya Rekayasa Literasi: 161-163

Sebagai contoh di Cirebon terdapat banyak sekali sekolah-sekolah. Sekolah yang berada di kota dan di kecamatan pasti akan berbeda tingkatan literasinya, baik dalam segi dimensi geografis sampai dimensi bahasa itulah yang menyebabkan tingkatan literasinya berbeda. Sekolah yang berada di kota pasti sistem pembelajarannya sudah tertata sehingga literasinya tinggi, sedangkan sekolah di kecamatan sistem pembelajarannya masih kurang tertata sehingga tingkat literasinya kurang. Sehingga pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Pasti! (rekayasa literasi: 161). Dimensi disini bisa disebut sebagai faktor yang dapat menimbulkan perbedaan tingkat literasi.
Di samping literasi memiliki tujuh dimensi yang saling terkait, literasi masih mempunyai 11 frase kunci bahwa perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu:
  1. Keterlibatan lembaga-lembaga sosial.
  2. Tingkat kefasihan relatif.
  3. Pengembangan potensi diri dan pengetahuan.
Contoh: sebagai mahasiswa kita dituntut untuk menulis dan membaca banyak buku, tujuannya untuk membekali mahasiswa dalam mengembangkan potensi diri dan pengetahuan, khususnya membaca dan menulis, itulah fungsi literasi.
  1. Standar dunia.
  2. Warga masyarakat demokratis.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh Freebody dan Luke, masyarakat yang demokratis harus memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentrasnformasi. Jadi masyarakat yang demokrasi pasti akan berliterasi secara kritis.
  1. Keragaman lokal.
  2. Hubungan global.
  3. Kewarganegaraan yang efektif.
  4. Bahasa Inggris ragam dunia.
  5. Kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan seseorang yang sudah berliterasi dengan baik.
  1. Msyarakat semiotik.
*Pada halaman 166 (Pokoknya Rekayasa Literasi), disitu ditulis 10 frase kunci literasi, padahal setelah dihitung jumlahnya bukan 10 frase tetapi 11 frase.
           
Pendidikan bahasa berbasis literasi seharusnya mengikuti tujuh prisnsip, yaitu:
  1. Literasi adalah keakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
  2. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwawancara secara tertuismaupun lisan.
  3. Literasi adalah kemampuan memeahkan masalah.
Sama seperti pada dimensi fungsi, orang yang literat - karena pendidikannya – mampu memeahkan persoalan, tidak sulit untuk mendapatkan pekerjaan, memiliki potensi untuk menapai tujuan hidupnya, dan gesit mengembangkan serta mereproduksi ilmu pengetahuan (kepakaran). (hal. 162). Jadi orang yang berliterasi pasti memiliki pengetahuan yang banyak sehingga mempunyai kemampuan untuk memeahkan masalah.
  1. Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
  2. Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
Sebagai contoh  pada saat berada di lingkungan kampus harus menggunakan bahasa Indonesia, apalagi mahasiswa jurusan bahasa Inggris maka di dalam kelas harus menggunkan bahasa Inggris, tetapi setelah mereka pulang ke kampung atau daerah masing-masing mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia apalagi bahasa Inggris, melainkan menggunakan bahasa asal seperti Jawa atau Sunda. Literasi sebagai kegiatan refleksi (diri), sama halnya dengan dimensi bahasa dan sadar akan keragaman lokal. *Baca Rekayasa Literasi: Dimensi bahasa (hal. 163) dan keragaman lokal (hal.165).
  1. Literasi adalah hasil kolaborasi.
Seperti halnya Lehtonen di dalam bukunya, teks dan bahasa tidak bisa berdiri sendiri, karena faktanya keduanya saling terkait. Begitupun literasi adalah kolaborasi antara membaca, mean menulis, dan menerapkan.
  1. Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.

Seperti yang sudah kita ketahui literasi adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Sebelum memulai pembelajaran bahasa, yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah pengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan, terkhusus pengajaran bahasa asing, yaitu:
  1. Pendekatan struktural.
Fokus pembelajarannya pada tata bahasa seperti Grammar, bentuk, dan pada jenis katanya.
Contoh pada bentuk seperti “ it is box”, sedangkan pada jenis katanya seperti positive, negative dan interogative.
  1. Pendekatan audiolingual.
Fokus pembelajarannya pada dialog-dialog pendek, sedangkan bahasa penulisnya terabaikan.
  1. Pendekatan kognitif.
Fokus pembelajarannya pada siswa yang dimana siswanya diharuskan untuk menyesuaikan bahasa dengan lingkungannya.
  1. Pendekatan komunikatif.
  2. Fokus pembelajarannya pada siswa yang dimana siswanya diharuskan untuk memfokuskan pada bahasa dan berkounikasi secara komunikatif.
  3. Pendekatan literasi.
Fokus pembelajarannya pada pengenalan berbagai genre (jenis-jenis) waana lisan dan tulisan. Sesuai dengan kurikulum 2014 terdapat tahapan-tahapan untuk menjadikan siswa bisa menghasilkan wacana yang sesuai dengan konteks komunikasi, yaitu (1) membangun pengetahuan, (2) menyususn model-model teks, (3) menyusun teks bareng-bareng, dan (4) menciptakan teks.
            Sebelum pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa, terkhusus pengajaran bahasa asing, harusnya Indonesia mengevaluasi terlebih dahulu pengajaran bahasa atau pemebelajaran bahasa nasional terlebih dahulu, karena Indonesia sejak 1999 ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS, PISA, dan TIMSS. Hasilnya sangat menengangkan yaitu literasi anak negeri banyak memperoleh rapor merah. (Baca Bab. 6 Rekayasa Literasi: 169). Setelah membaca temuan-temuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak negeri (Indonesia) memiliki tingkatan literasi yang rendah dan jauh tertinggal dengan negara-negara lainnya. Untuk mengejar ketertinggalan perlu upaya peningkatan SDM. dan dalam hal memproduksi buku Indonesia masih rendah hanya 6000 buku pertahun, berbanding terbalik dengan jumlah dosen di Indonesia yaitu sekitar 231.786 dengan jumlah yang banyak harusnya Indonesia dapat memproduksi buku sebanyak 77.000 buku pertahun. Itulah mengapa Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain karena SDMnya yang belum literate.
            Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru, dengan langkah-langkah profesionalnya sebagai berikut:
  1. Komitmen profesional
  2. Komitmen etis
  3. Strategi analisis dan reflektif
  4. Efikasi diri
  5. Keterampilan literasi dan numerasi.
Rekayasa literasi adalah merekayasa pengajaran membaca dan menulis. Rekayasa literasi bertujuan untuk memperbaiki kualitas literasi di Indonesia, dan ingat itu bukan budaya, budaya hanya sebagai efek samping saja. Menurut Kucer 2005: 293-4, perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi, yaitu:
  1. Dimensi pengetahuan kebahasaan, fokusnya terletak pada teks.
  2. Dimensi pengetahuan kognitif, fokusnya terletak pada minda.
  3. Dimensi perkembangan, fokusnya pada pertumbuhan.
  4. Pengetahuan sosiokultural, fokusnya pada kelompok.
Ke empat dimensi tersebut akan mengacu pada kegiatan literasi. Kegiatan literasi tersebut mencakup mampu berbaca-tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Menurut kucer (2000) ada tiga paradigma pembelajaran literasi, yaitu:
  1. Decoding, penguasaan kode bahasa, awalnya diberi pengetahuan tentang kode-kode bahasa. Rumus: perkembangan literasi = belajar ihwal literasi – belajar literasi – melalui literasi.
  2. Keterampilan, siswa menguasai sistem merfomik bahasa. Rumus: perkembngan literasi = belajar ihwal literasi – belajar literasi – belajar melalui literasi.
  3. Bahasa secara utuh, siswa menguasai teks otentik yang kontekstual sehingga mendapatkan makna baru bukan kosa kata baru. Rumus: perkembangan literasi adalah belajar literasi – belajar literasi – belajar ihwal literasi.
Sebagai generasi penerus bangsa, jangan sampai mengulangi kesalahan (baca Pokokonya literasi: 79). Jika terulang kembali kesalahan, yang patut diperbaiki adalah sistem pendidikan, pengajaran literasi (metode dan teknik), bukan salah guru, karena sekarang bukan saatnya saling menyalahkan, yang terpenting adalah menumbuhkan jiwa literate dalam diri peserta didik (baik siswa maupun mahasiswa).
Tadinya
Kini
  1. Bahasa adalah sistem struktur yang mandiri.
  2. Fokus pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
  3. Berorientasi hasil.
  4. Fokus pada teks sebagai display kosa kata dan struktur tata bahasa.
  5. Mengajarkan norma-norma perspektif dalam berbahasa.
  6. Fokus pada penguasaan keterampilan secara terpisah (disrete).
  7. Menekankan makna denotatif dalam konteksnya.
  1. Bahasa adalah fenomena sosial.
  2. Fokus pada serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung.
  3. Berorientasi pada proses.
  4. Fokus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi.
  5. Perhatian pada teks variasi register dan gaya ajaran.
  6. Fokus pada ekspresi diri.
  7. Menekankan nilai komunikasi.

Pada wacana 6.1 Learning Literature from Elementary through High Shool, pak Chaedar mencoba  membeitahukan sastra sebagai bagian dari literasi. Dalam wacana tersebut terlihat jelas bahwa sistem pendidikan di Amerika yang sudah tertata dengan baik, yaitu membiasakan siswanya mulai dari prasekolah (TK), SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi (PT) mengharuskan siswanya untuk selalu menulis, ini terlihat pada paragraf kelima, yakni:
Anne J. Arbali mulai menulis jurnal tentang kegiatn sehari-harinya dan mulai membaca essay yang sederhana. Setelah membaca essay yang sederhana Ane J. Arbali menoba menulis tentang tentang essay yang telah ia baca, hal ini ia lakukan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Sistem pendidikan yang yang tertata, peran orang tua dan keluarga bisa menjadi faktor pendukung yang bisa mendorong siswa untuk meningkatkan budaya literasi sejak dini, dengan ara mengirimkan siswa (anaknya) ke perpustakaan umum setiap hari dari pukul 6 - 9 p.m. Bukan hanya .di bangku sekolah dasar sampai SMA saja Anne J. Arbali membaca dan menulis, tetapi pada saat ia di PT kebiasaan tersebut terus berlanjut, apalagi ai mengambil jurusan seni, yang selalu menuntutnya untuk banyak membaca buku dengan tujuan memperkaya penegtahuan dan menghasilkan perspektif-perspektif yang berbeda dari setiap sumbernya.
            Harusnya kita bisa meniru dan menerapkan apa yang dilakukan oleh Anne J. Arbali, walaupun kita melakukannya pada saat di PT karena tak ada kata terlambat untuk belajar, kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi yang akan memajukan bangsa ini. Apalagi kita calon guru yang harus membimbing siswanya agar mempunyai literasi yang memadai, jika kita tidak literate maka siswa kita pun tidak akan literate. Dan jika kita literate maka siswa kita akan literate juga.
            Setelah membaca Rekayasa Literasi, dapat diambil kesimpulan yaitu literasi tidak sederhana sekedar menguasai alfabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dengan simbol tulisannya, tetapi simbol itu difungsikan secara bernalar dalam konteks sosial. Rapor merah anak bangsa, karena anak bangsa tidak atau belum literate, seseorang dikatakan literate itu tidak hanya bisa berbaca tulis, tetapi juga terdidik dan mengenal sastra. Literasi juga mempunyai mempunyai banyak dimensi yang saling terkait dan 11 frase kuni bahwa perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru, dan rekayasa literasi adalah merekayasa pengajaran membaca dan menulis untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan kualitas hidup, hal yang harus dievaluasi dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah membiasakan siswanya dari bangku prasekolah sampai PT untuk menulis dan membaca. Semoga suatu hari nanti saya bisa menjadi orang yang literate dan bisa menjadi seorang guru yang bisa mendidik dan mengarahkan siswanya agar terbiasa untuk membaca dan menulis, agar rapor merah anak bangsa sedikit demi sedikit menghilang. Dengan literasi semua bisa berubah, dengan literasi dunia bisa berubah, oleh karena itu literasi sangat penting i dalam kehidupan.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment