Saturday, February 22, 2014
Created By:
Mahromul Fadlillah
CLASS REVIEW 2
Writing 4’s Treasure
“Kuawali hariku dengan mendo’akanku agar ku slalu sehat dan
bahagia di sini”, itulah sepenggal lirik lagu Sheila on 7 yang Saya ganti
sedikit. Berharap semoga selalu diberi
kesehatan dan kebahagiaan dalam semua urusan, termasuk urusan mencari ilmu,
termasuk ilmu dalam mata kuliah writing and conversation 4, yang untuk
mendapatkannya harus memiliki sifat “KEPO” dan sikap jelajah sebagaimana
detektif.
Jum’at (lagi), 14 Februari 2014 adalah hari yang mengesankan. Tahu kenapa? Bukan karena hari itu hari
valentine, tapi karena hari itu adalah pertemuan kedua mata kuliah writing
4. Itu artinya, petualangan menjelajah
mencari harta karun sudah memasuki level 2.
Teaching orientation, dimaksudkan menyinggung apa saja yang akan
kita pelajari di mata kuliah writing 4 ini.
Di urutan pertama, sudah pasti ada Academic Writing, yang sudah
dijelaskan di awal pertemuan melalui silabus bahwa kita akan mempelajari
Academic Writing. Sifat-sifat yang ada
padanya, diantaranya:
1.
Impersonal, dimana sosok
penulis tersembunyi alias tidak dimunculkan pada wacana. Seperti kata “I”, “Penulis”, “ Peneliti”,
dll. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui
siapa penulis tersebut? Kita bisa
mengetahui identitas penulis melalui analisa “pieces of arguments” yang ada di
dalamnya mengandung informasi dan
pengetahuan, yang pastinya keduanya merupakan pengalaman dari penulis. Pengalaman setiap penulis pastinya
berbeda-beda dan inilah yang menyebabkan argumen tiap penulis memiliki kekhasan
masing-masing yang menjadikan ciri identitasnya.
2.
Reference, adalah
landasan teori-teori tentang argumen yang kita kemukakan. Teori itu ada karena telah melewati tahap
peneliatian-penelitian dalam upaya mencari “truth”. Oleh karena itu makin banyak referensi maka
makin kuat pula argumen yang kita kemukakan.
3.
Formal, bahasa yang
digunakan di akademic writing adalah bahasa formal dan juga terkesan rigid
(kaku).
Kemudian point selanjutnya, yang menjadi daftar target yang hendak
kita pelajari dan lakukan adalah tentang “Critical Thinking” dimana ada dua
posisi, yaitu posisi sebagai critical reader dan sebagai critical writer. Menurut Mr.Lala Bumela, tugas menulis class
review dan chapter review di buku debur kemudian menuliskannya kembali di blog,
adalah salah satu cara agar kita bisa merasakan dua posisi tersebut, yakni
posisi sebagai penulis dan juga posisi sebagai pembaca. Critical reader bukan hanya membaca teks yang
ada, tetapi ia juga mengoneksikan bacaan tersebut ke dalam pengalamannya. Sedangkan critical writer akan menyeleksi
pengetahuan-pengetahuan apa saja yang patut untuk dituliskannya berdasarkan
sasaran untuk siapa tulisannya tersebut.
Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini pastilah mempunyai
manfaat, itu yang Allah firmankan, begitupun dengan tulisan. Melalui tulisan, kita bisa berargumen, bisa
berbagi pengalaman, pengetahuan, kebahagiaan, kesedihan, harapan, bahkan kita
bisa marah dengan cara yang elegan. Dan
Inilah fungsi utama menulis, WRITING as:
1.
A way of knowing something
Ketika kita menulis, pastilah harus ada yang namanya tulisan,
rangkaian huruf-huruf yang membentuk kata, kemudian membentuk kalimat,
membentuk paragraf, kemudian membentuk teks bacaan yang bermakna. Apa yang harus ada dalam tulisan kita? Kita bisa menggunakan rumus dasar 5W+1
H. Bagaimana kita menulis tentang 5 W+1
H? Pastinya dengan mencari informasi
tentang sesuatu yang hendak kita tulis.
Jadi, menulis secara tidak langsung memaksa alam bawah sadar kita untuk
menjadi kepo. Berfikir dengan penuh
cabang pertanyaan berniat memuaskan keponya dengan jawaban-jawaban tepat.
2.
A way of representing something
Menulis adalah salah satu cara untuk menyajikan kembali
sesuatu. Setiap manusia mempunyai
kekhasan masing-masing, mempunyai sudut pandangnya masing-masing tentang
sesuatu. Tulisan yang dibuatnya pun
pastinya berbeda-beda karena di dalam teori psikologi pendidikan pun manusia
mempunyai potensi berkembang atau malah menyurut. Manusia bukan mesin, mereka mempunyai
kemampuan untuk berubah, diubah dan merubah.
(Berdasarkan teori perkembangan behaviorism, humanistic, cognition, and
construction).
3.
A way of reproducing something
Menulis adalah suatu cara untuk mereproduksi sesuatu. Kita harus sadar bahwa manusia sifatnya
fana. Sesuatu yang fana pasti akan
punah, ia harus bereproduksi dan berkembang biak. Ilmu pengetahuan pun harus direproduksi, agar
terjaga eksistensinya. Orang-orang hebat
yang kita kenal sampai saat ini, itu karena mereka menulis. Mereka terjaga eksistensinya melalui
tulisannya, beserta ilmu pengetahuannya.
Orang-orang hebat pun pasti akan meninggal dan diganti dengan jiwa-jiwa
yang baru, agar menjadi orang-orang hebat lagi, jiwa yang baru butuh bekal dan
salah satu diantaranya bekal itu adalah ilmu pengetahuan yang diwariskan
melalui tulisan.
Jarum jam berputar dipaksa oleh detik-detik waktu yang tak bisa
dihentikan insan. Berlanjut ke moment
selanjutnya yang dirasa tidak lengkap apabila Mr.Lala tidak menampilkan slide
powerpointnya. Dan inilah sepenggal dua
penggal paragraph yang dibalut dengan judul “Knowing Who We Really are”, slide
kedua benar-benar merasuki jiwa Saya, menampar lembut kesadaran diri. Membuat saya merasa malu atas nama ilmu
pengetahuan.
“Who You are in my Class?” pertanyaan untuk mahasiswa dalam mencari
ilmu, dalam belajar. Apa tujuannya
menjadi mahasiswa? Apakah hanya untuk menyelesaikan tiap tugas yang
diberikan? Mendapat nilai bagus? Menulis
tanpa kesungguhan hati? Mr.Lala
mengatakan bahwa jika dalam menulis kami belum bisa menikmatinya, itu berarti
kita belum menemukan passion kita. Belum
menemukan tujuan untuk apa kita menulis.
“Barthes did indeed declare
the death of the author, simultaneously signifying the birth of the
reader.” Dari pernyataan Barthes dapat
dipahami bahwa pembaca adalah generasi penerus dari penulis, sehingga di sini
diharapkan agar pembaca menjadi pembaca kritis yang terus berkembang menjadi
penulis intelektual, demi menjaga berlangsungnya kehidupan di masa mendatang
dan demi menjaga seluruh aspek kehidupan yang berkualitas.
Hyland says, “Writing is a practice based on expectations: the
reader’s chance of interpreting the writer’s purpose are increased if the
writer takes the trouble to anticipate what the reader might be expecting based
on previous texts he or she has read of the same kind.”
Lehtonen (2000) menyimpan petunjuk yang akan membuat kita lebih
dekat pada harta karun dalam penjelajahan writing 4 ini. Apa keterkaitan antara teks, konteks,
pembaca, penulis, dan arti? Mikko
Lehtonen pada bukunya yang berjudul “The Cultural Analysis of Texts”
mengungkapkan “All in all, usually all texts manage to mean something. This, though, is not so much a result of the
texts’ comprehensibility as such, but due to the fact that they activate
knowledge and skills in the reader that produce comprehensibility because they
are connected to the raw material for meanings, on its part, is linked to
relying on certain linguistic or other features (in spoken and written texts on
vocabulary and grammatical choices, in audiovisual texts on angles of view, the
relationship between pictures and music
and other such factors).”
Kesimpulan: dari pendapatnya Barthes dan Lehtonen, dapat diambil
kesamaan dengan ayatnya Profesor Chaedar yang mengatakan bahwa Literasi adalah
hasil kolaborasi. Pembaca dijembatani
teks untuk mengetahui pengalaman penulis, dimana di dalam teks tersebut
terdapat konteks yang dipengaruhi oleh beberapa bahan baku yang diambil
penulis. Untuk mencapai sebuah titik
temu yang disebut meaning, maka dibutuhkan segala pengetahuan dan keterampilan yang
berkembang dari pihak pembaca. Penulis
dan pembaca harus bersimbiosis. Penulis
(tidak) menuliskan sesuatu berdasarkan pemahamannya tentang pembaca, oleh
karena itu pembaca harus mengerahkan segala pengetahuan dan pengalamannya untuk
memaknai tulisan itu.
CHAPTER REVIEW
LITERASI (seharusnya) = (sama dengan) GENETIKA
Literasi? Tadinya saya berfikir bahwa literasi hanyalah sebuah
bacaan, sebuah teks, buku-buku, dan lain-lain yang ada bacaannya (tulisan),
hanya sebatas itu. Namun sekarang,
setelah membaca salah satu bahasan bab dalam buku yang berjudul “Rekayasa
Literasi” karya profesor Chaedar Alwasilah, ternyata literasi itu bukan hanya
masalah bacaan, bukan hanya sekedar kegiatan membaca-menulis. Literasi berkembang di zaman modern ini,
definisinya bukan hanya mengacu pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi
berkaitan dengan praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan
politik. Itulah alasannya literasi
dijadikan tolak ukur pendidikan, SDM, dan life quality suatu bangsa.
Dilihat dari judul yang dipilih profesor Chaedar, “REKAYASA
LITERASI”, Saya langsung berfikir tentang rekayasa genetika. Dimana gen diotak-atik, dimanipulasi
sedemikian rupa menggunakan berbagai prosedur.
GEN? Adalah sesuatu yang berukuran sangat-sangat kecil, bahkan tak bisa
dilihat oleh mata telanjang. Letaknya
jauh, di bagian dalam seperti halnya pedalaman, di dalam sel tubuh, di dalam
nukleus, di dalam kromosom. Tapi jangan
menyepelekan hal yang kecil, banyak hal yang dianggap kecil yang menjadi dasar
sesuatu menjadi hebat. Berdampak luar
biasa. Gen yang kecil dapat direkayasa
sehingga menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dengan tujuan menciptakan
hal yang lebih baik lagi. Begitu juga
dengan literasi, yang tadinya dianggap hanya sebagai kemampuan membaca-menulis,
namun sekarang karena dipercaya mempunyai dampak yang luar biasa bagi seluruh
aspek kehidupan, akhirnya para pakar pendidikan dunia berpaling ke definisi
baru yang menunjukkan paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan
pembelajarannya. Sehingga kini ada
ungkapan literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika, literasi
IPA, dan sebagainya.
Rekayasa literasi ada karena perkembangan zaman. Zaman berubah, manusia berubah, segala
sesuatunya berubah. Dan inilah pendapat
Freebody & Luke tentang literasi, adalah sebagai berikut:
1.
Memahami
kode dalam teks,
2.
Terlibat
dalam memaknai teks,
3.
Menggunakan
teks secara fungsional,
4.
Melakukan
analisis dan mentransformasikan teks secara kritis.
Keempat peran literasi di atas dapat diringkas ke dalam lima verba,
yaitu: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasikan
teks. Literasi tetap berurusan dengan
penggunaan bahasa. Menurut profesor
Chaedar, literasi mempunyai tujuh dimensi kajian lintas disiplin yang saling
terkait, yaitu:
1.
DIMENSI
GEOGRAFIS (lokal, nasional, regional, dan internasional)
Literasi seseorang bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring
sosial dan vokasionalnya. Contohnya:
Diplomat lebih sering ditantang untuk memiliki literasi internasional daripada
bupati.
2.
DIMENSI
BIDANG (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan , militer, dsb)
Tingkat dan efisiensi layanan publik dan militer bergantung pada
kecanggihan teknologi komunikasi dan persenjataan yang digunakan. Pendidikan yang berkualitas tinggi
menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. PASTI!
3.
DIMENSI
KETERAMPILAN (membaca, menulis, berhitung, berbicara)
Kualitas tulisan bergantung pada “GIZI” tulisan yang
disantapnya. “gizi” itu akan tampak
ketika dia berbicara. Tidak cukup dengan
literasi, orang mesti memiliki numerasi.
Dalam tradisi barat, ketiga keterampilan ini disebut 3R (Reading,
wRiting, dan aRithmatic).
4.
DIMENSI
FUNGSI
Meliputi kemampuan untuk memecahkan persoalan, mendapatkan
pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan potensi
diri.
5.
DIMENSI
MEDIA (teks, cetak, visual, digital)
Untuk menjadi literat pada zaman sekarang, orang tidak cukup
mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks alphabetis saja, tapi juga
harus menguasai IT (Information Technology).
Kini kehebatan universitas antara lain diukur lewat “webometrics”,
yakni sejauh mana universitas itu diperbincangkan di dunia maya.
6.
DIMENSI
JUMLAH (satu, dua, beberapa)
Jumlah dapat merujuk pada banyak hal, misalnya bahasa, variasi
bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, dan sebagainya. Orang “Multiliterat” mampu berinteraksi dalam
berbagai situasi. Kemampuan itu tumbuh
karena proses pendidikan yang berkualitas tinggi.
7.
DIMENSI
BAHASA (etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
Ada literacy yang singular, ada literacy yang plural. Hal ini beranalogi ke dimensi monolingual,
bilingual, dan multilingual.
Setelah mengetahui dimensi ihwal literasi, berikut akan dijelaskan
ihwal literasi yang menunjukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini.
·
Ketertiban
lembaga-lembaga sosial
Lembaga-lembaga
sosial menjalankan perannya dengan fasilitas bahasa, sehingga muncul bahasa
birokrat atau bahasa politik yang menunjukkan kekuasaan birokrat terhadap
rakyat. TIDAK ADA LITERASI YANG
NETRAL. Semua politik literasi dan teks
tulis memiliki ideologi, yakni didikte oleh lingkungan sosial politiknya.
·
Tingkat
kefasihan relatif
Setiap
interaksi memerlukan kefasihan berbahasa
dan literasi yang berbeda. Sebagai
perbandingan, nilai TOEFL 550 dianggap nilai minimal yang diperlukan oleh
mahasiswa asing untuk survive mengikuti kuliah dalam bahasa Inggris. Skor 550 ini tidak berbanding lurus dengan
penguasaan academic literacy dalam konteks sesungguhnya. Bisa jadi jika kita mendapatkan skor TOEFL
550 kita dianggap cukup fasih dalam bahasa Inggris, namun di negara yang
berbahasa Inggris, skor 550 tidak ada apa-apanya.
·
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan
Pada
tahap tinggi literasi membekali orang (mahasiswa) memproduksi dan mereproduksi ilmu
pengetahuan. Menulis akademik adalah
bagian dari literasi yang mesti dikuasai oleh para (calon) sarjana.
·
Standar
dunia
Dalam
persaingan global sekarang ini rujuk mutu (banch marking) dikembangkan ke
tingkat internasional sehingga literasi suatu bangsa (baca: kualitas
pendidikannya) mudah dibandingkan dengan bangsa lainnya. Masyarakat dunia kini menggunakan hasil-hasil
evaluasi melalui PIRLS, PISA, TIMSS, untuk mengukur literasi membaca, matematika,
dan ilmu pengetahuan alam.
·
Warga
masyarakat demokratis
Media
masa arus utama adalah mesin pemertahanan hegemoni. Masyarakat yang tidak literat tidak mampu
memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media massa. Media adalah salah satu pilar demokrasi.
·
Keragaman
lokal
Manusia
literat sadar mengenai keragaman bahasa dan budaya lokal atau cerlang budaya
(Ayatrohaedi: 1986) dan manusia lokal membangun literasi dalam konteks lokalnya
sebelum memasuki konteks nasional, regional, dan global. Dengan demikian, semakin berwawasan global,
semakin sensitif dan antisipatif dia terhadap keragaman lokal (local wisdom
literacy)
·
Hubungan
global
Sebagai
dampak teknologi komunikasi, kini semua orang adalah warga dunia, dan untuk
bersaing di tingkat dunia, semua orang harus memiliki literasi tingkat
dunia. Literasi tingkat ini bergantung
pada dua hal, yaitu penguasaan teknologi informasi (ICT Literacy) dan
penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
·
Kewarganegaraan
yang efektif
Warga
negara yang efektif mengetahui hak dan kewajibannya. Selama ini ada hipotesis yang mengatakan
bahwa perbedaan bahasa berarti defisit bahasa, dan demi demokratisasi
pendidikan literasi harus berupaya menutupi defisit bahasa.
·
Bahasa
Inggris ragam dunia
Hubungan
dan jejaring global memerlukan bahasa yang dapat diterima oleh semua
pihak. Bahasa Inggris kini dipelajari
oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia, namun karena setiap bangsa membangun
literasi dalam bahasa etnis dan lokalnya, bahasa Inggris mereka kental dengan
kelokalannya sehingga muncul berbagai ragam bahasa Inggris atau “Multiple
Englishes”.
·
Kemampuan
berfikir kritis
Literasi
bukan sekedar mampu membaca dan menulis, melainkan juga menggunakan bahasa itu
secara fasih, efektif, dan kritis.
·
Masyarakat
semiotik
Manusia
adalah makhluk pengguna tanda. Budaya
adalah sistem tanda, dan untuk memaknai tanda manusia harus menguasai literasi
semiotik. Dalam upaya mengkaji budaya,
para ahli menggunakan istilah sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Pendidikan
bahasa berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip
sebagai berikut:
·
Literasi
adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat.
·
Literasi
mencakup kemampuan resertif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun lisan.
·
Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah (4 R, yakni Reading, wRiting, aRithmatic,
Reasoning).
·
Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
·
Literasi
adalah kegiatan refleksi (diri) – Usage & Use
·
Literasi
adalah hasil kolaborasi
·
Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan membangun makna).
Kesimpulan profesor Chaedar dari perbincangan di atas tampak bahwa
orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja
dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan
bahasa secara optimal. Perbaikan
rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat dimensi, seperti gambar di bawah
ini:
Pengajaran bahasa yang baik menghasilkan orang literat yang mampu
menggunakan keempat dimensi ini secara serempak, aktif, dan terintegrasi. Dia menggunakan bahasa secara efektif dan
efisien.
Literasi berkembang dari waktu ke waktu, rapor literasi anak bangsa
yang merah dari hasil survey menimbulkan pertanyaan apa yang salah dengan
sistem pendidikan dan pengajaran literasi di negeri ini? Akarnya, perlu perubahan paradigma, yakni
pindah intelektual.
KESIMPULAN:
Setelah mengetahui definisi literasi secara kompleks, ternyata
literasi seperti gen. Hal yang tadinya
sederhana tapi sangat-sangat mempengaruhi kehidupan suatu makhluk. Berkualitas tidaknya makhluk salah satunya
dipengaruhi oleh gen, gen diutak-atik bertujuan untuk menciptakan sesuatu
menjadi lebih baik lagi. Begitupun
dengan literasi, yang tadinya dipandang sangat sederhana hanya kemampuan
membaca-menulis, namun sekarang kita tahu bahwa literasi mempunyai pengaruh
yang besar untuk seluruh aspek kehidupan, untuk pendidikan, Sumber Daya
Manusia, dan life quality, dan inilah tentang rekayasa literasi. Literasi harus disamadengankan genetika,
harus dipersiapkan sedini mungkin untuk menjadi benih kehidupan jiwa-jiwa baru
agar tercapai kehidupan yang lebih dinamis, maju di segala aspek kehidupan
dunia dan akhirat.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)