Saturday, March 1, 2014

Praktek Literasi di Kelas Writing



Third Class Review                      
      
Praktek Literasi di Kelas Writing

Hangat, dan mulai memanas.  Kini telah terlewati tiga pertemuan, tak terasa pembelajaran mata kuliah ini telah menuju pertemuan keempat.   Pembahasan Mr.  Lala-pun semakin mendalam.  Mulai jum’at 21 Februari 2014 kemarin, dan lebih lagi tingkat literasinnya.  Lebih mengekspolere diri!  Memang semuanya baru pemula dalam menulis, tapi semuanya harus “ahli dan berliterasi tinggi”.   Exploring “Nothing but Literacy Engineering” itulah judul materi pembelajaran Jum’at kemarin.
“Education is the filling of a pail, but the lighting of fire.”
William Butter Yeats

Tugas chapter review, appetizer essay yang telah dikerjakan kemarin hanyalah sebuah pmbuka.  Seperti apa yang dikatakan Mr.  Lala “apa yang kalian kerjakan sebelumnya masih sebuah appetizer, inti dari semuanya baru akan dimulai sekarang”
Wow!!!! Lembaran-lembaran tugas-tugas di minggu pertama hingga minggu ketiga masih belum ada apa-apanya.  Hanya untuk melihat “Endurance” semua mahasiswa, katanya.  Endurance yang kita miliki sampai dengan pertemuan ketiga ini merupakan tolak ukur apakah fokus kita sudah kuat atau belum, dan mampu untuk melanjutkan mata kuliah ini taukah tidak.

Pada hari jum’at kemarin seperti biasa, sebelum masuk ke inti pemebelajaran, Mr.Lala memeriksa tugas yang telah dikerjakan oleh semua mahasiswanya. Tugas-tugas class review dan juga chapter review dari salah satu sub-bab buku karya Prof.  Chaedar Alwasilah “Pokoknya Rekayasa Literasi yang berjudul “Rekayasa Literasi”.  Saat pengecekan, Mr. Lala mengajukan beberapa pertanyaan seputar materi di minggu sebelumnya atau isi tulisan karya Prof Chaedar yang telah di review semua mahasiswa.  Dan dari semua pertanyaan yang diajukan ada salah satu pertanyaan yang masih belum terjawab, yakni seperti apa teks semiotik itu?
Berbicara tentang “teks”, Lehtonen dalam bukunya berjudul “The Cultural Analysis of Texts” membagi teks menjadi dua, yakni :
a.       Teks sebagai mahluk fisik
Berkenaan dengan sisi fisik mereka dapat kita simpulkan bahwa teks adalah “artefak comunicative”, dengan kata lain, instrumen komunikasi yang diproduksi manusia. Sebagai artefak, teks telah dihasilkan melalui bantuan dari berbagai teknologi. Bentuk-bentuk materi teks mencerminkan sifat tersebut. Teknologi awal yang bertujuan untuk memproduksi teks ditulis yang melalui kapak dan pisau, dengan tanda-tanda yang terukir di kayu atau batu. Alat seperti itu tidak bisa untuk menghasilkan teks pada skala besar , baik dari segi panjang atau dalam jumlah. Penggunaan bulu dan perkamen dalam waktu menciptakan jenis baru dari artefak (gulungan panjang ), serta gaya penulisan yang berbeda. Kemudian, teknik cetak melahirkan generasi baru buku yang berbeda dari yang sebelumnya.  Inilah yang kemudian memungkinkan untuk menghasilkan volume tak terhitung dari panjang teks. Teknologi yang lebih baru, perpustakaan melestarikan teks pada mikrofilm . Mail elektronik teks yang dihasilkan oleh keyboard komputer, dan terlihat pada monitor dan ditampilkan. The Oxford English Kamus dan pekerjaan dikumpulkan dari William Shakespeare yang tersedia dalam bentuk CD -ROM dan Encyclopaedia Britannica dapat dibaca di internet .
b.      Teks sebagai mahluk semiotic
Teks ini terorganisir dan ada kombinasi simbol relatif padat yang tampaknya agak jelas.  Dalam segala bentuknya, teks ditandai dengan tiga ciri, materialitas, hubungan formal dan kebermaknaan.  Yaitu :
1.        Tanda-tanda teks  adalah fisik dan material. Keberadaan fisik dan sensual pengartian selalu memiliki basis material, baik itu granit yang digunakan dalam patung atau gelombang udara yang dipancarkan selama tindakan berbicara.
2.        Hubungan formal antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks. Tanda-tanda yang diposisikan dalam hubungan temporal dan lokal tertentu dengan tanda-tanda lain, di mana mereka membentuk unit terorganisir yang berbeda pada tingkat hirarki yang berbeda, seperti ; huruf, kata, kalimat atau seluruh teks.
3.        Tanda-tanda memiliki  makna semantik. Mereka mengacu pada sesuatu di luar dirinya, apakah itu lingkup alam atau budaya, atau apakah non-tekstual atau tekstual fenomena. Sebuah karya musik pop, misalnya, bekerja pada semua tiga tingkatan: melalui energi suara yang dikandungnya,  melalui bentuk musik itu mencakup dan melalui makna itu berarti.  Semua ini terhubung, tetapi untuk tujuan analisis, mereka juga dapat sementara diperiksa secara terpisah.
Gagasan bahwa materialitas, hubungan formal dan kebermaknaan
semua terhubung satu sama lain mengingatkan fakta bahwa sebagai semiotik
makhluk (dalam kebermaknaan mereka), teks-teks tidak 'alami' tetapi diproduksi oleh  usaha tapi dibuat. Sering, teks - novel dan serial TV contoh –nya dibaca seolah-olah mereka 'jendela pada dunia', atau seolah-olah mereka
sendiri menghasilkan beberapa 'dunia imajiner'.  Dalam hal ini, perhatian terbayar
untuk hal-hal seperti tema teks atau karakter mereka. Fakta bahwa teks
tidak meniru realitas, tetapi sebaliknya, secara tekstual memproduksinya
tetap diperhatikan.  Dalam rangka untuk mendapatkan pegangan pada ini 'produktivitas semiotik' teks. Menurut Saussure, tanda linguistik dapat dibagi analitis menjadi dua bagian yang tidak terpisahkan: penanda dan signified. Referensi tanda yaitu, tanda yang mengacu pada itu, tetap berada di luar dari dua:
Tanda linguistik kemudian entitas psikologis dua sisi yang dapat digambarkan jika signifier dan signified itu sebuah lingkaran maka keduanya memiliki prso yang sama dari lingkaran tersebut.  Kedua elemen sangat erat bersatu , dan masing-masing mengingat yang lain .
Di satu sisi, tanda menurut Saussure adalah sewenang-wenang, mengacu pada
masyarakat dan orang-orang practicsing aktivitas linguistik. Namun, di
Sebaliknya, 'satu-satunya objek nyata linguistik adalah normal, hidup teratur
idiom yang ada'. Dalam kesewenang-wenangan mereka , tanda-tanda yang relatif stabil, yang meninggalkan sedikit ruang untuk kontribusi dari orang-orang yang berlatih aktivitas linguistik.
Setelah selesai mengecek, Mr. Lala menjelaskan sedikit tentang “Rekayasa Literasi” menurut Prof.  Chaedar sebagian diantaranya yaitu:
·           Definisi baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga tuntutan mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa dihindari
  Model literasi ala Freebody and Luke (2003): breaking the codes of texts; participating in the meanings of text; using texts functionally; critically analysing and transforming texts.
  Prof. Alwasilah meringkas lima ayat di atas menjadi: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi.
  Rujukan literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistik relatif konstan.  Studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (cultural studies) dengan dimensinya yang luas.
  Pendidikan yang berkualitas tinggi PASTI menghasilkan literasi berkualitas tinggi pula, dna juga sebaliknya.
  Reading, writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup
  Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi
  Pengajaran bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir kritis
  Ujung tombak pendidikan literasi adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis, strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994 dikutip dari Alwasilah 2012)
  Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.  Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.
  Empat dimensi rekayasa literasi: linguistik, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan
  Rekayasa literasi = merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut.
Apa yang telah dikejakan semua mahasiswa di kelas pada bisa dikatakan juga merupakan usaha untuk merekayasa literasi, jika melakukan hal berikut :
a.       Read to high repetition
b.      Merespond Teks
-          Mengecek dengan buku lain
-          Menulis ulang
Nah, berarti untuk merekayas literasi ita harus memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik.  Karena orang yang merekayasa itu harus membaca banyak teks, dan pemahaman bahasanya juga harus bagus.  Dengan demikian orang yang ingin melakukan rekayasa literasi perlu paham tentang linguistik.  Karena dalam linguistik dipelajari juga semantic (makna), maka tak mungkin bisa memahami teks jika tak belajar tentang ini. 
Yang terpenting, untuk merekayasa literasi harus menjadi orang yang berliterat terlebih dahulu.  Lalu apa itu literasi?  Literasi sebenarnya adalah apa yang kita lakukan.  Literasi ini angat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari, dalam beberapa aspek seperti :
-          Pemahaman teks
-          Science
-          Growth
-          Budaya
Apa yang telah dipelajari, dan di lakukan dalam mata kuliah writing ini juga termasuk praktek literasi.  Seperti membuat class review, chapter review, critical review, dan lainnya.  Satu lagi, akademik writing, yang telah dipelajari selama tiga minggu ini pun bagian dari literasi, cara untuk meningkatkan literasi yang kita miliki.  setelah tiga minggu belakangan membahas tentang akademik writing secara teori, dapat kita ambil poin-poin penting tentang elemen-elemen dalam academic writing, yaitu :
1.      Kohesi (Cohesion)
Perpindahan yang halus atau "aliran" antara kalimat dan paragraf, yang merupakan keserasian hubungan antar unsur yang satu dengan yang lain.

2.      Kejelasan (Clarity)
Makna dari apa yang hendak disampaikan agar komunikasi dapat terjalinbaik, dan jelas.
3.      Urutan logis (logical order)
 Mengacu pada urutan logis dari informasi. Dalam penulisan akademik, penulis cenderung bergerak dari umum ke khusus.
4.      Konsistensi (consistency)
 Konsistensi mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
5.      Unity
Pada sederhana, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan topik yang dibahas dalam paragraf tertentu.
6.      Keringkasan
keringkasan adalah ekonomi, pengatur dalam penggunaan kata-kata.  Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan (redundancy, atau "kayu mati.") langsung ketitik pokok pembicaraan.
7.      Kelengkapan
Informasi berulang-ulang atau tidak perlu, harus dihilangkan oleh penulis untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topik tertentu. Misalnya, dalam definisi cacar air, pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah terutama penyakit anak-anak yang ditandai dengan ruam.
8.      Ragam
Variety membantu pembaca dengan menambahkan beberapa "bumbu" untuk teks.
9.      Formalitas
Akademik menulis adalah formal dalam nada. Ini berarti bahwa kosakata canggih dan struktur tata bahasa yang digunakan. Selain itu, penggunaan kata ganti seperti "I" dan kontraksi dihindari.
            Setelah menjelaskan hal-hal di atas, Mr.  Lala menginormasikan bahwa minggu depan semua mahasiswa harus membuat critical review.  Dalam slide-nya beliau menyampaikan bahwa Critical evaluation itu harus mencakup atau menjawab pertanyaan :
-            What type of audience is the author targeting her article at?
-             What are the central claims in his/her argument?
-            What evidence does he/she use to back up the points she is making? 
-            Does the author make any claims that are not backed up by evidence?
-            Do you think that the evidence is  sufficient, for an article in an academic text book?
-            Does the author use any emotive words or statements? (If so, highlight any that you identify)
Dari semua yang dijelaskan diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa apa yang telah kita lakukan, tugas-tugas yang telah dikerjakan; Class Review, Chapter Review, Critical Review dan tugas lainnya merupakan bagian dari literasi. Termasuk belajar academic writing, yang memiliki sembilan elemen penting dalam kepenulisannya.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment