Saturday, March 1, 2014
Created By:
Ummi Kulsum
class review 3:
Metaforma
Literasi
Hujan begitu deras, ketika itu keadaan dan situasi di pagi hari sangat
tidak mendukung. Seiring berjalannya waktu, ku tetap bersemangat untuk
mengikuti mata kuliah “Writing and Composition 4” hingga usai pembelajaran.
Walaupun keadaan cuaca yang ekstrim ini, mata kuliah tersebut berjalan dengan
lancar. Serta walaupun ada halangan maupun rintangan untuk menjalaninya, hal
ini tidaklah menjadi beban pikiran yang berat. Inilah kehidupan yang ku jalani
demi menggapai suatu kesuksesan.
Pembahasan dalam mata kuliah ini, masih seputar dengan dunia literasi.
Dimana literasi ini menjadi perbincangan yang dahsyat bagi mahasiswa IAIN Syekh
Nurjati Cirebon ini. Sebenarnya dalam sejarah peradaban umat manusia, kemajuan
suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan kekayaan alam yang
melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari
peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Menurut Besnier
(dikutip dalam Duranti, 2001) dalam Key Concepts in Language
and Culture, literasi adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca
secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Inskripsi visual di sini termasuk di dalamnya adalah bahasa tulisan
yang dimediasi dengan alfabet, aksara. Belajar dari sejarah peradaban besar,
menggiatkan budaya literasi dapat mendorong tumbuhnya inovasi baru dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam
penjelasan Mr.Lala juga menyebutkan bahwa Ken
Hyland (2006) juga mengungkapkan pendapat tentang literasi. Literasi adalah
sesuatu yang kita lakukan. Hamilton
(1998), seperti dikutip dalam Hyland (2006: 21), melihat keaksaraan sebagai
kegiatan yang terletak di interaksi antara manusia. Hyland furhter berpendapat: "literasi akademik menekankan bahwa
cara kita menggunakan bahasa, disebut sebagai praktik keaksaraan, berpola oleh
lembaga sosial dan hubungan kekuasaan. Keberhasilan akademis berarti menyajikan
diri Anda dengan cara dihargai oleh disiplin Anda, mengadopsi nilai-nilai,
keyakinan, dan identitas yang mewujudkan dissourse akademik. Setelah
menganalisis teks yang berjudul “Rekayasa
Literasi” oleh Prof.Chaedar, terdapat point penting juga dalam teks
tersebut yaitu literasi adalah praktik kultural yang berkaitan artikel baru
persoalan sosial politik. Negara literasi terus menjamur sesuai artikel baru
tuntutan "Zaman edan" sehingga tuntutan mengenai perubahan pengajaran
pun regular tidak bisa dihindari. Model literasi ala Freebody dan Luke ( 2003): memecahkan kode teks, berpartisipasi
dalam makna teks, menggunakan teks fungsional, kritis menganalisis dan mengubah
teks. Prof Alwasilah meringkas lima ayat di Atas menjadi : memahami, melibati, menggunakan,
menganalisis, mentransformasi. Rujukan literasi terus berevolusi, sedangkan
rujukan linguistik putar relatif konstan. Studi literasi tumpang tindih
(overlapping) artikel baru objek studi menjabarkan budaya (cultural studies)
artikel baru yang dimensinya barisan aritmetik. Pendidikan yang berkualitas tinggi
PASTI menghasilkan literasi
berkualitas tinggi pula, dan juga sebaliknya. Membaca, menulis, berhitung, dan
penalaran sama dengan modal hidup.
Orang
multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi masyrakat yang regular
tidak literat dan regular tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu
diwacanakan lewat Media Masa Pengajaran Bahasa harus mengajarkan keterampilan
berpikir kritis. Ujung tombak pendidikan literasi adalah GURU dengan fitur :
Komitmen profesional, komitmen ETIS, pengembangan strategi analitis dan reflektif,
efikasi diri, pengetahuan kepemilikan modal studi menjabarkan, dan keterampilan
literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994 dikutip dari Alwasilah 2012).
Sedangkan rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk
menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara
optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke Pendidikan dan
Pembudayaan. Empat dimensi rekayasa literasi : Linguistik, kognitif,
sosiokultural dan perkembangan. Rekayasa literasi artinya merekayasa pengajaran
membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut. Kern (2003) mengatakan bahwa literasi mengacu pada
"pengetahuan umum dan keakraban dengan sastra". Orang yang literat
regular tidak sekedar baca-tulis TAPI juga terdidik dan mengenal Sastra.
Selain
itu juga, Mr.Lala menjelaskan tentang “An Appetizer on Academic Writing Elements”,
yaitu :
·
Cohesion
: gerakan halus atau " aliran " antara kalimat
dan paragraf.
·
Clarity : makna dari apa
yang Anda berniat untuk berkomunikasi sangat jelas.
·
Logical Order : mengacu
pada urutan logis dari informasi . Dalam penulisan akademik, penulis cenderung
bergerak dari umum ke khusus .
·
Consistency : Konsistensi
mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
·
Unity :
Pada sederhana, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara
langsung berhubungan dengan topik yang dibahas dalam paragraf tertentu.
·
Conciseness : keringkasan adalah pengaturan dalam
penggunaan kata-kata. Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan
menghilangkan kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan (redundancy
atau "kayu mati"). Pengecualian dari informasi yang tidak perlu
mempromosikan persatuan dan kesatuan.
·
Complitness : Sementara
informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan, penulis memiliki
untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topik tertentu. Misalnya,
dalam definisi cacar air, pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu
adalah terutama penyakit anak-anak yang ditandai dengan bintik-bintik merah
pada kulit.
·
Variety :
keanekaragaman membantu pembaca dengan menambahkan
beberapa "bumbu" untuk teks.
·
Formality : Akademik
menulis adalah formal dalam nada. Ini berarti bahwa kosakata canggih dan
struktur tata bahasa yang digunakan. Selain itu, penggunaan kata ganti seperti
" I " dan penyingkatan harus dihindari .
Disamping itu, seharusnya literasi
bangsa kita sebagai metaforma. Karena metaforma adalah proses yang seharusnya
menjadi bagian dari diri kita sama seperti organ tubuh. Metaforma, digunakan
untuk mendukung kreativitas, untuk menemukan dan menciptakan hal baru, untuk
memelihara suatu gagasan atau pertanyaan orisinal, untuk memperkaya pengalaman
belajar dan mengingatkan komunikasi. Metaforma ini sebagai proses yang membuka
kemungkinan terjadinya temuan dan ciptaan. Inilah yang seharusnya bangsa kita
menjadikan literasi sebagai metaforma. Dengan kata lain, literasi untuk bangsa
kita ini sangatlah kurang dan juga belum menjiwai hingga menjadi bagian dari
kehidupan kita. Kata literasi juga dipandang hanya semata-mata hal yang tidak terlalu
penting. Padahal, literasi sangat penting untuk bangsa kita karena literasi
tersebut merupakan bagian dari culture atau budaya manusia.
Literasi juga memiliki
tingkatan-tingkatan yang menanjak. Jika seseorang sudah menguasai satu tahapan
literasi maka ia memiliki pijakan untuk naik ke tingkatan literasi berikutnya. Wells (1987) menyebutkan bahwa terdapat
empat tingkatan literasi, yaitu: performative,
functional, informational, dan epistemic. Orang
yang tingkat literasinya berada pada tingkat performatif, ia mampu membaca dan
menulis, serta berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan (bahasa). Pada
tingkat functional orang
diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari
seperti membaca buku manual. Pada tingkat informational
orang diharapkan dapat mengakses pengetahuan dengan bahasa. Sedangkan pada
tingkat epistemic orang
dapat mentransformasikan pengetahuan dalam bahasa. Sementara itu, pendidikan
literasi juga memiliki prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Kern (2000), yaitu:
1.
Literasi melibatkan interpretasi
Penulis atau pembicara dan
pembaca/pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis atau
pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan,
dan lain-lain), dan pembaca/pendengar kemudian mengiterpretasikan interpretasi
penulis atau pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.
2.
Literasi melibatkan kolaborasi
Terdapat kerjasama antara dua pihak
yakni penulis atau pembicara dan pembaca atau pendengar. Kerjasama yang
dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis maupun
pembicara memutuskan apa yang harus ditulis maupun dikatakan atau yang tidak
perlu ditulis maupun dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca
maupun pendengarnya. Sementara pembaca maupun pendengar mencurahkan motivasi,
pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.
3.
Literasi melibatkan konvensi
Orang-orang membaca dan menulis atau
menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi atau kesepakatan kultural
(tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk
tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik
lisan maupun tertulis.
4.
Literasi melibatkan pengetahuan kultural
Membaca dan menulis atau menyimak dan
berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita,
dan nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem
budaya itu beresiko salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem
budaya tersebut.
5.
Literasi melibatkan pemecahan masalah
Karena kata-kata selalu melekat pada
konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan
di antara kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks,
dan dunia-dunia. Upaya memikirkan ataupun mempertimbangkan ini merupakan suatu
bentuk pemecahan masalah.
6.
Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri
Pembaca maupun pendengar dan penulis
maupun pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan
diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam
situasi
komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana
mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.
7.
Literasi melibatkan penggunaan bahasa.
Literasi tidaklah sebatas pada
sistem-sistem bahasa (lisan dan tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan
tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis
untuk menciptakan sebuah wacana.
Dalam
hal ini juga, literasi memiliki konektivitas antara teks,
konteks, writer, reader dan meaning yang sangat kompleks yang dikemukakan oleh
Miko Lehtonen bahwa bentuk teks bukan tulisan semata namun mengandung implikasi
arti yang lebih luas. Inilah diagram literasi yang berhubungan dengan teks,
konteks, writer, reader dan meaning :
Linguistik
merupakan aspek yang sangat luas dalam tulisan, oleh karena itu orang yang
merakayasa adalah orang yang mengerti linguistik dan pemahaman ilmunyapun sudah
dimiliki. Mengapa harus linguistik? Karena jika orang yang tidak bisa lingustik
maka tidak akan bisa merekayasa reader dan writer. Mengapa kita harus membaca
teks? Karena kita harus memiliki banyak pengalaman maupun pengetahuan mengenai
banyak teks. Teks itu sifatnya sangat ideologis atau semiotik, ketika
memproduksi tulisan tidak hanya dilihat dari seberapa banyaknya kata atau
symbol yang dituliskan, namun keadaan juga merupakan symbol semiotic ketika
penulis memproduksi teks. Teks tersebut dapat berbetuk tulisan, pidato, gambar,
music, dan sebagainya. Semua jenis teks
dibentuk oleh tiga kategori: material, hubungan formal dan kebermaknaan.
Contohnya lambang tengkorak pada racun yang memiliki arti konotasi, selain
menggambarkan racun itu juga memiliki konotasi tidak boleh diminum dalam bentuk
gamabr, verbal dan visual. Sedangkan fisik lebih menuju tentang media. Media
kini berkembang hingga teks elektronik yang muncul di masing-masing layar
monitor. Hal ini menunjukan bahwa teks diproduksi di bawah historical tertentu
dan prasyarat tertentu.
Seorang guru
pun tidak cukup mengajarkan speaking, reading, pronounciation tetapi juga
seorang guru hrus memahami berbagai ilmu. Tetapi pda kenyataannya tidak semua
guru memahami berbagai macam ilmu khususnya di Indonesia. Karena kita kurang
menguasai maupun memahami literasi, untuk itu kita sebagai calon generasi guru
bahasa harus memiliki literasi maupun memahami berbagai macam ilmu. Karena hal
ini sangatlah penting bagi seorang guru bahasa. Seharusnya apa yang kita
lakukan harus berlandasan praktek literasi.
Jadi, jiwa literasi untuk bangsa kita
harus dibenahi terlebih dahulu. Mulai dari kesadaran diri kita sebagai
mahasiswa hingga melatih untuk menghasilkan karya tulis. Karena dengan begitu
kita menjadi “Centre of Exellence”.
Kita khususnya mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon berharap akan menjadi pusat
keunggulan dan membuktikan bahwa bangsa kita bisa menghasilkan sebuah karya
yang luar biasa. Untuk itu, metaforma juga menjadi salah satu kunci utama untuk
mencapai tujuan yang kita inginkan. Metaforma inilah yang harus diterapkan
untuk para academic writing, karena inilah proses yang seharusnya menjadi
bagian dari diri kita sama seperti organ tubuh.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)