Sunday, March 9, 2014

KURANGNYA PEMAHAMAN MENGHASILKAN SALAH PERSEPSI



NAME :  LATIFAH NURHASANAH
CLASS :  PBI-D/4
NIM :  14121330388
CLASS REVIEW 4

KURANGNYA PEMAHAMAN MENGHASILKAN SALAH PERSEPSI

Berkariblah dengan sepi
Sebab dalam sepi ada (momen) penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari
Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya stimulus yang memborbardir indera kita
Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu-satu untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita
Bila tidak, mereka hanya dengungan yang bising di kepala saja
Tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita memahami dunia disekitar kita (sedikit) lebih baik.
Berkariblah dengan sepi
Sejak dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika beredar dalam ramai
Dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat tanpa harus memuaskan keinginan yang lain
Berkariblah dengan sepi
Karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar yang pekak
Berkariblah dalam sepi
Sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih
(Budi Hermawan)

Senja pagi kala itu mengiringi langkah gontai kaki yang belum berpijak sempurna, seakan tak mau kalah dengan mata yang selalu dipaksa untuk selalu terjaga dan terbuka tepat waktu.  Sehinggz mata dan kaki ini tak kuasa menuruti semangatku kala itu.  Semangat yang kuat seakan berlomba dengan sang mentari. Pada akhirnya aku dan kawankupun berhasil mengalahkan sinar sang mentari, karena sinar semangat kami terlebih dahulu terpancar dari pada sinar sang mentari.
Pagi itu adalah kuliah terpagi sepanjang sejarah kuliah di IAIN SYEKH NURJATI.  Jarum jam menunjukan pukul 06.50. dosen writing sudah bersiap dan duduk manis didepan meja sembari menunggu mahasiswa yang belum hadir untuk memulai perkuliahan. Pukul 07.01 perkuliahanpun resmi dimulai.
Bait-bait Budi Hermawan itulah yang pertama kali menyentuh hati dipagi itu. Seakan disihir dan menelusur menyusup kedalam hati.  Ada dua deret kalimat yang sangat mengena disanubari, yakni:
“Berkariblah dengan sepi , karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti”
“Berkariblah dalam sepi, sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih”
Beranjak ke pembahasan, kali ini membahas mengenai sebuah teks kritikan yang dibangun oleh setiap mahasiswa mengenai artikel Classroom Discourse yang dikemas dalam sebuah ulasan yang disebut dengan Critical Review.  Critical review adalah sebuah teks yang dimana isinya adalah mengenai kritikan yang dikuatkan oleh berbagai macam pendapat dari sumber-sumber yang ada.  Yang didalamnya terdapat lebih dari 2.500 rangkaian kata yang harus kita tuliskan dan persembahkan.  Pekerjaan sepeti ini sebenarnya gampang-gampang susah, malah lebih cenderung ke susahnya.  Karena harus melalui tahapan-tahapan tertentu sebelum kita disebuat dengan Quality reader and writer. Yaitu:




Sebenarnya harapan dari dosen writing sendiri setidaknya mahasiswa sudah sampai ke “Quality Reader”, tetapi untuk sebuah permulaan seperti saat ini, mahasiswa hanya mampu sebatas “Reader” saja. 
Seorang penulis yang baik adalah penulis yang selalu belajar dari sebuah kesalahan sebelumnya, sehingga tidak akan mengulangi hal yang sama untuk yang kedua kali.  Sedanhkan penulis yang profesional adalah adalah penulis yang tercermin daris setiap tulisannya yang menarik dan memenuhi sasaran yang tepat bagi pembacanya.
Ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan kala itu mengenai classroom discourse, diantaranya:
a.         Setujukah jika Classroom is “sacred site?”
b.        Setujukah jika Classroom is “complicated?”
c.         Setujukah jika meaning is making practice?
Ketiga pertanyaan tersbut dapat menghipnotis seluruh mahasiswa yang berada dikelas pagi itu, sehingga semuanyapun menjadi terdiam tanpa sepath katapun, karena kami tidak mengetahui sama sekali dengan istilah-istilah tersebut.  dan pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu satu persatu terjawab dan terjelaskan, yaitu:
1.        Classroom id a “sacred site”, artinya classroom itu merupakan sesuatu yang sangat sakral.  Tidak sembarang orang bisa masuk dan mengikutinya, jika tidak dibarengi dengan kriteria tertentu.  Contohnya jika didalam sebuah kegiatan shalat ada wudhlu sebagai salah satu syaratnya, maka didalam classroom discoursepun seperti itu, yaitu harus membangun sebuah interaksi antara guru dan siswa ataupun sebaliknya.  Sehingga nantinya akan timbul berbagai macam pertanyaan, tnaggapan dan lain sebagainya.  Classroom discourse ini merupakan seitus yang suci, yang berisi interaksi, dimana discourse sendiri terdiri dari teks dan conteks.
2.        Classroom is “complicated”, maksudnya adalah karena terjadinya sebuah perbedaan background dan jenis interaksi, maka disebut dengan complicated atau rumit.  Sebab pemilihan latar belakang setiap orang itu pasti berbeda seperti etnik, education, ekonomi, politik, dan lain-lain.  Yang nantinya ujunt dari permasalahan ini terletak pada interaksi yaitu TALKS. Talks inilah yang menjadi main point dari artikel A. Chaedar Alwasilah yang hilang.
3.        Meaning is making practice maksudnya adalah classroom discourse yang bisa dikatakan sebagai menaing making practice adalah classroom yang mempunyai:
Ø  Ideologi classes yang merupakan sets of believe dari diri kita sendiri
Ø  Values yang merupakan  nilai luhur dan budi pekerti yang berbeda, serta merupakan nilai tinggi rendahnya minat belajar seseorang.
Jadi dilihat dari penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sebuah classroom discourse itu dapat dikatakan sebagai a sacred site (artefak/situs suci), complicated, dan making meaning.  Karena tidak mungkin seorang penjual es, nasi kuning ataupun seorang penjual batagor bisa masuk kedalam kelas, karena kelas bukan tempatnya orang jualan.  Oleh karena itu classroom discourse dipandang sebagai situs suci, dan hal yang paling crusial dari classroom discourse ini adalah adanya talk atau interaksi.
Seangkan pelajaran yang dapat diambil dari sini, adalah jangan pernah terjebak pada sebuah tulisan yang belum sepenuhnya dipahamidan dimengerti.  Karena nantinya akan menghasilkan kesalahpahaman dalam mengkritik dan mengambil main point seperti yang terjadi pada pertemuan ini.  Kurangnya informasi dari pembahasan inti classroom discourse itu sendiri menghasilkan kesalahpahaman dan salah persepsi , sehingga yang dibahas bukan inti dari classroom discoursenya, melainkan lebih condong ke toleransi, serta banyaknya restatement disetiap paragrafnya yang menyebabkan kejenuhan ketika membaca.
Tetapi kita dapat belajar dari semua kesalahan ini agar menjadi lebih baik dan banyak belajar dari pengalaman, karena pengalaman adalah sebuah guru yang terbaik.  Satu kalimat semangat dari chaedar alwasilah adalah “Jika ingin menjadi penulis yang baik, maka harus berani tampil dengan tidak sempurna.”

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment