Monday, March 31, 2014

Historian, Linguist and Poet Cycle


Class Review ke-7
Historian, Linguist and Poet Cycle

Tanpa tahu bagaimana awalnya, ketika membuka  mata telah mendapati dunia ini telah memasuki abad ke-21.  Dulu, seperti yang kita ketahui dari pelajaran sejarah SMP dan SMA, orang-orang prasejarah belum mengenal aksara, karenanya mereka hanya berkomunikasi secara lisan saja sehingga banyak karya yang anonim (tanpa nama pengarang) sehinggga menyebabkan karya tersebut dikenal dengan banyak versi dan tak dapat diselidiki mana yang cenderung benar karena tak ada referensi.  Beranjak ke penemuan aksara, di Indonesia aksara yang dipergunakan pertama kali nenek moyang kita adalah bahasa sangsekerta.  Seperti yang Herodotus ungkapkan bahwa tinggi rendahnya sejarah dipengaruhi oleh pergerakan manusia.  Selama bumi masih berotasi dan berevolusi mengelilingi matahari pada lintasan edarnya, maka manusia masih mempunyai kesempatan untuk bergerak dan membuat sejarah.  Hari ini adalah penentuan sejarah di hari esok yang direalisasikan dalam bentuk tulisan (sebagai artefaknya).  Abad 21 ini akan dikenang oleh abad selanjutnya, dikenal sebagai abad teknologi dimana literasi pun sudah direkayasa sedemikian rupa.
Seperti contoh model literasi dan kaitannya dengan masyarakat global, dikutip dari buku Inspiring Action on Education page 9 yang dimuat ulang dalam bukunya Alberta berjudulkan Literacy First:  A Plan for Action (2010).  Seperti inilah cakupan literasi untuk seorang pelajar:
 
Literasi tak sesederhana hanya kegiatan membaca dan menulis saja.  Literasi memang erat kaitannya dengan tulisan, menjadikan literasi itu sendiri rumit dan mempunyai banyak hubungan ini dan itu karena writing/tulisan itu sendiri mempunyai banyak benang merah dengan aspek lainnya.
3 orang teratas yang jabatannya sangat intim dengan literacy atau writing adalah: sejarahwan (historian), ahli bahasa (linguist), dan sastrawan (poet).  Ketiganya mempunyai visi misi sama yaitu menemukan nilai (value) dan perubahannya (its change).

               Yang membedakan diantara ketiganya adalah karya sastranya, historian dan linguist lebih cenderung menulis menggunakan standar tulisan akademik (academic writing), sedangkan poet menulis dengan tulisan estetik (estetica writing).  Penemuan nilai oleh ketiganyha adalah membuat segala sesuatunya terlihat lebih jelas dari yang tadinya samar-samar.  Mereka mencoba “UNCOVERING THE HIDDEN TRUTH”.  Seperti yang tercantum dalam slide powerpoint yang disajikan Mr.Lala dalam pertemuan ke-7, bahwa: 
 
To write, means for the poet to crush the wall behind which something that “was always there” hides.

                                    Milan Kundera comments in L’Art Duroman, 1986





 Historian, linguist dan poet bermisi sama yaitu menemukan kebenaran namun dengan cara yang berbeda.  Ketiganya berupaya menemukan bentuk pemahaman baru.  Sejarahwan mencari kebenaran sejarah dengan mengait-ngaitkan hubungan sebab akibat peristiwa ke peristiwa, begitu juga dengan linguist meneliti suatu kebenaran melalui teks diantaranya (intertextuality).  Sastrawan juga menemukan bukan menciptakan, seperti ungkapan Milan Kundera:

Poets don’t invent poems.  The poem is somewhere behind it’s been there for a long long time.  The poet merely discoverers it.

                                                                        (Kundera, 1986: 49)


                   Historian, linguist, and poet discover the hidden truths, world does not run as natural as God prescribes.  So many complicated relation between each other things.  History, literacy, and ideology have a close relation.  Ideology influences literacy and then literacy influences the history.  From our discussion beforehand about Columbus on Howard Zinn’s explanation, we know that Zinn has marxism ideology; so he against the history which said that Columbus is a founding father of U.S.  His literacy is different from other author who for to Columbus.  Literacy and history influence each other.
                   Teks yang dihasilkan oleh penghasil teks sebagai individu bukanlah hasil dari keseluruhan individu itu, teks yang dihasilkan mungkin saja berasal dari wacana praada (baca: sebelumnya)  yang itu semua berakar pada kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politis, dan ideologi yang terletak jauh di balik kesadaran dan kontrol penghasil teksnya.  Sebuah teks yang lahir mungkin saja hasil dari suatu perjuangan diantara banyak tangan penghasil wacana itu.  Dengan demikian, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis. (Fowler:1986).  Kesimpulannya tulisan, ideologi, dan sejarah mempunyai siklus yang dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan pergerakan peradaban.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment