Thursday, March 6, 2014

HARTA MASIH BELUM TERGALI !



Critical Review 2:

HARTA MASIH BELUM TERGALI !
(Karya Susi Nurjanah)
Semesta menyuguhkan jutaan fenomena kepada manusia, mereka yang melihat rajutan benang kehidupan ini memaknai setiap perjalanan hidup selayaknya nahkoda yang tak pernah mau menepi. Mereka sadar alam menyimpan berjuta-juta kotak harta karun yang tidak akan pernah habis tergali. Ketika seseorang berani mencungkilnya, maka yang lain sambar menyambar mengikuti, bergerak secepat guratan kilat untuk membuktikan kebenarannya, atau sebagian lain hanya sekedar mengikuti jejak si penggali dengan seonggok harapan bahwa dirinya akan menemukan hal yang sama di dataran lain. fakta menyebutkan harta karun ini akan terus bertambah berkali-kali lipat setiap detiknya.

Ketika manusia melihat dan menganalisis tentang fenomena-fenomena yang berserak, mereka akhirnya menuangkan refleksinya pada helaian-helaian kertas, mengucurkan himpunan kata dengan berbagai sudut pandang, berbagi pengalaman, mengeksplorasi setiap perubahan, menyuguhkan data dan fakta dan akhirnya memberi makna.
            Disinilah tempat segalanya tercurah, apapun bisa diungkap dan apapun bisa di kenali. lewat cakrawala harta karun yang terbentang dalam dunia aksara ini, hingga akhirnya fakta berbicara bahwa benda padat yang terlihat membosankan itu memiliki nilai ‘magis’ yang kuat, inilah harta yang dibentuk dari lembaran-lemabaran kertas bertinta dengan setumpuk bongkahan emas dan berlian di dalamnya, yap buku memang benda ajaib.
Sejalan dengan penulisan essay ini yang di niati untuk mengkritisi salah satu artikel Howard Zinn yang berjudul “Speaking truth to power with books”, tulisan ini pun sekaligus mengupas lebih dalam bagaimana kekuatan sebuah buku mampu menggoncangkan aspek-aspek kehidupan. Sebelum berangkat lebih jauh ke dalam artikel inti, mari lihat ulasan singkat mengenai sejarah reformasi buku dari beberapa abad yang lalu.
(plotpointkreatif.blogspot.com:2013) Buku pada awalnya hanya berupa tanah liat yang dibakar, mirip dengan proses pembuatan batu bata di masa kini. Buku tersebut digunakan oleh penduduk yang mendiami pinggir Sungai Euphrates di Asia Kecil sekitar tahun 2000 SM.
Penduduk sungai Nil, memanfaatkan batang papirus yang banyak tumbuh di pesisir Laut Tengah dan di sisi sungai Nil untuk membuat buku.Gulungan batang papirus inilah yang melatarbelakangi adanya gagasan kertas gulungan seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Romawi juga menggunakan model gulungan dengan kulit domba. Model dengan kulit domba ini disebut parchment(perkamen).
Bentuk buku berupa gulungan ini masih dipakai hingga sekitar tahun 300 Masehi. Kemudian bentuk buku berubah menjadi lenbar-lembar yang disatukan dengan sistem jahit. Model ini disebut codex, yang merupakan cikal bakal lahirnya buku modern seperti sekarang ini.






Pada tahun 105 Masehi, Ts’ai Lun, seorang Cina di Tiongkok telah menciptakan kertas dari bahan serat yang disebut hennep. Serat ini ditumbuk, kemudian dicampur dan diaduk dengan air hingga menjadi bubur. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, buku di jemur hingga mengering. Setelah mengering, bubur berubah menjadi kertas.
Pada tahun 751, pembuatan kertas telah menyebar hingga ke Samarkand, Asia tenganh, dimana beberapa pembuat kertas bangsa Cina diambil sebagai tawanan oleh bangsa Arab. Bangsa Arab, setelah kembali ke negrinya, memperkenalkan kerajinan pembuatan kertas ini kepada bangsa Morris di Spanyol. Tahun 1150, dari Spanyol, kerajinan ini menyebar ke Eropa. Pabrik kertas pertama di Eropa dibangun di Perancis, tahun 1189, lalu di Fabriano, Italia tahun 1276 dan di Jerman tahun 1391. Berkat ditemukannya pembuatan kertas inilah maka pembuatan buku di beberapa belahan dunia semakin berkembang. Seiring kencangnya pacuan roda zaman, lewat kecanggihan teknologi, buku-bukupun bertransformasi kedalam bentuk yang lebih canggih hingga akhirnya kita mengenal buku dalam bentuk digital atau elektronik yang biasa disebut e-book.
Namun Zinn berpendapat buku tidak hanya kumpulan fisik tulisan atau lembaran kertas tanpa makna, dia melihat bahwa buku mmepunyai efek besar yang berpotensi merubah dunia, buku dapat merubah kebijakan politik dan ekonomi negara. Disebutkan pula bahwa buku secara tidak langsung memunculkan kesadaran masyrakat akan sesuatu hal. Perjalanan panjang terjadi  ketika buku memuculkan tingkat kesadaran masyrakat, kesadaran masyrakat akan berdampak pada nilai aktivitas yang mereka lakukan hingga akhirnya akan menciptakan sebuah kebijakan baru. Seorang aktivis pastinya memliki kesadaran sosial tingkat tinggi, apa yang melatarbelakangi mereka dalam tindakannya adalah buku. Masyrakat mungkin tinggal dalam lingkungan yang sama, namun cara mereka berfikir dan bertindak sebagai warga negara akan sangat berbeda, hal ini berbanding lurus dengan tingkat literasi yang di miliki masing-masing individu.
Sebagai seorang sejarwan terkemukan, zinn paham betul pasang surut cerita masa lampau  dengan sederet peristiwa khasnya. (Jakartabeat.net:2010) Ia meninggalkan nama besar dari sebuah buku legendaris yang ia tulis; A People’s History of the United States.  Buku tersebut  yang ketika diterbitkan pertama kali di tahun 1980 hanya terjual empat ribu kopi, kini telah terjual habis hampir mencapai dua juta kopi dan dicetak ulang lima kali. Ia menempatkan sang penulis, saat itu seorang profesor sejarah di Boston University, di jajaran elit tradisi kritis kaum liberal-progresif Amerika. Tentu saja bagian paling menarik dalam bukunya adalah ketika ia memaparkan sisi gelap benua amerika dari sudut pandang orang-orang yang menjadi korban evolusi. Sasaran tembaknya tak tanggung tanggung: Christoper Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison.
Sejarahwan biasanya menulis seakan setiap pembaca punya sebuah kepentingan bersama yang tunggal. Para penulis tertentu seakan lupa bahwa produksi pengetahuan adalah alat tempur dalam antagonisme antar kelas sosial, ras, ataupun bangsa bangsa. Morison memang mengungkapkan bahwa sang pelaut telah melakukan genosida(pembantain masal) pada suku Indian Arawaks. Namun fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut.
Seandainya Morison adalah politisi dan bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi begitu serius. Namun justru karena fakta ini diceritakan oleh seorang intelektual, maka implikasinya jadi begitu mematikan. Ini seakan-akan menunjukan bahwa harga sebuah pengorbanan, meski begitu tak manusiawi, perlu untuk di apresiasi. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa benar telah terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian direproduksi  di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.
Berangkat dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi sejarah yang berbeda; sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.
Hal yang terparah ketika melihat kondisi serupa terjadi pula di Indonesia. Meskipun tak seekstrim kasus di amerika, namun fakta penelitian menunjukan bahwa negara kita menyandang predikat sebagai “negara gagal”. (historia.co.id:2012) Indonesia masuk dalam peringkat 63 calon negara gagal berdasarkan survey The Fund for Peace yang berpusat di Washington, Amerika Serikat. Seperti berdiri di tubir jurang, hanya selangkah lagi Republik yang didirikan dengan elan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme ini menjadi negara gagal. Penyebab utamanya tentu karena pemerintah dinilai gagal melindungi minoritas dan gagal mempersempit jurang perbedaan si kaya dan si miskin.
Padahal cita-cita revolusi kemerdekaan Indonesia tak untuk memperlebar jurang orang kaya dan miskin dan mengabaikan hak-hak minoritas. Republik ini didirikan, mengutip pidato Sukarno 1 Juni 1945, “semua untuk semua.” Artinya setiap orang dan kelompok yang menjadi bagian negeri ini memiliki hak dan kewajiban setara, tanpa kecuali.
Tapi cita-cita hanya tersisa sebagai angan-angan kosong kala dalam perjalanan 67 tahun kemerdekaan Indonesia, nasib minoritas di negeri ini semakin tertindas. Jurang perbedaan makin melebar. Sehingga rasa-rasanya pas juga kritik beberapa kalangan terhadap pemegang kekuasaan yang disebut menjalankan negeri ini hanya dengan menekan tombol “auto pilot”. Yang di atas tetap di atas, yang di bawah, tetaplah berada di bawah. Tak ada perubahan yang cukup berarti.
Indonesia disebut-sebut menuju negara gagal. Karena gagal meningkatkan kesejahteraan rakyatnya yang menyebabkan jurang perbedaan kaya dan miskin kian melebar. Pula gagal melindungi minoritas yang juga punya hak untuk hidup di Republik ini. Jadi, selama perjalanan sejarah sejak kemerdekaan sampai zaman sekarang, tanpa disadari, bangsa ini bagai berjalan menuju tepian jurang kegagalan. Benar tak pernah ada negara yang sempurna, namun ketidakadilan di negeri ini begitu terasa telanjang. Vulgar dan semakin lama semakin dianggap sebagai sebuah kelumrahan. Genosida yang terjadi memang bukan yang sebenarnya, namun tetap saja ini usaha pembunuhan masal secara perlahan-lahan. Kasusnya pun bukan dalam rangka kemajuan negara seperti yang dilaukan Columbus, namun ini lebih kepada kemajuan pribadi yang sukses dibintangi oleh elite politik.
Seperti yang telah dibahas bahwa sejarah turut ‘nimbrung’ dalam literatur, buku-buku biasanya ditulis menurut hal-hal yang disukai oleh penulis. Ketika morison berpendapat bahwa Columbus adalah sosok heroic dan akhirnya pikirannya menyatu dalam ranah pendidikan, maka inilah cara penulis menyampaikan tujuannya. Tentu saja kita tidak bisa benar-benar mengetahui apa maksud tersembunyi dari morison dalam karya nya, kita hanya bisa mengtahui sebagian makna yang tersirat tanpa tahu korelasi secara utuh. Sejurus yang zinn percayai “ I don’t think we know exactly what books do or what writing does”. Hanya satu yang jelas, morison telah berhasil ‘mensejarahkan’ rakyat lewat self interenst.
Bayangkan jika buku bisa benar-benar mempengaruhi pembaca apa yang terjadi pada  generasi muda amerika yang masih ‘dijejali’ faham morison dalam bukunya tentang Columbus. Akankah generasi penerus benua besar itu mengadopsi sikap kakek buyutnya yang menghalalkan segala cara untuk sebuah kemajuan? Mungkin ini asal muasal mengapa amerika serikat sangat kapitalis. Ini hanyalah salah satu implikasi dari sebuah sisi sejarah, belum membahas implikasi dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.

 






            Dalam artikelnya, Zinn selalu menyoroti bahwa buku dapat membangun kesadaran pembaca. Dalam beberapa kasus, sering sekali pembaca merasa terilhami oleh buku yang dibacanya, mereka mengaku bahwa hidup mereka berubah 180’ setelah membaca buku-buku tertentu. Jangankan buku-buku bertekstur rigid yang hampir semuanya merupakan tautology, ketika membaca fiksipun beberapa pembaca mengaku terlau asyik terayun dalam gelombang alur cerita, hingga akhirnya mereka menemukan perubahan dalam dirinya. Seseorang tiba-tiba merasa sensitive setelah membaca sad romance memang tak aneh bukan ?
Menurut Zinn, terdapat beberapa cara bagaimana buku dapat membangun kesadaran pembaca:
1.      Buku dapat menyuguhkan ide-ide yang mana pembaca belum pernah tahu sebelumnya
2.      Buku dapat menyadarkan kita, bahwa penulis ternyata tidak sejalan dengan reader interest . pambaca biasanya akan mencari literature lain yang menunjukan bahwa pemikiran dirinya ternyata benar, dan ini akan berdampak pada cara mereka mengakutualisasikan diri mereka.
3.      Banyak orang mengira bahwa mereka meyakini apa yang mereka ketahui, dan pada kenyataanya mereka hanya mengetahui sesuatu secara parsial. Disinilah buku berperan dalam memenuhi keyakinan pembaca. Buku akan menuliskan banyak esensi dari sesuatu yang pembaca ketahui.
Ketika mengetahui yang sebenarnya terjadi pada Columbus, ada perasaan lain muncul selain rasa terkejut. Bayangkan saja, Columbus si pahlawan hanyalah salah satu manipulasi sejarah yang menyembunyikan kekejamannya, lalu masih adakah tipuan-tipuan sejarah yang lainnya? Pertanyaan semacam ini adalah efek yang dihasilkan oleh sebuah buku, dari sini pembaca berangkat untuk mulai menelusuri fakta-fakta yang lainnya.
Fakta lain menyebutkan bahwa indoesia ternyata mengadopsi aliran ekonomi kapitalis dari negara amerika, ternyata system ekonomi amerikapun masih ‘bermadzhabkan’ pembelaan terhadap dominator yang kuat. (anneahira.com) system ekonomi kapitalis yang digawangi amerika serikat menitikberatkan pada modal, artinya di dunia ini modallah yang memiliki peran penting maju tidaknya perekonomian suatu negara. System ekonomi kapitalis juga cenderung tidak membela kaum lemah.
Dan disadari atau tidak system ekonimi amerika serikat menyeret satu per satu negara-negara didunia memiliki poros yang sama. Satu hal yang paling mencolok adalah amerika serikat sebagai pendonor ekonomi dunia. Lihat saja negara manapun yang mempunyai masalah dengan keuangannya akan ‘dibantu’ oleh amerika, termasuk Indonesia.
Dampaknya, negara tersebut akan memiliki ketergantungan yang tinggi serta hutang budi kepada negara pendonor. Dan secara tidak langsung, efek tersebut membuat negara yang dibantu mengikuti aliran pendonor yang dalam hal ini adalah Amerika serikat.
Jika sudah begini, buku panduan apalagi yang salah, ideology mana lagi yang keliru, apa lagi yang belum terkuak? Ternyata negara kita masih harus terus menggali harta karun untuk mengungkap sejumlah fakta yang rasional. Jika dilihat dari data statistic minat baca-tulis masyarkat indoesia menunjukan angka yang sangat menghawatirkan, (miftahblogspotcom.blogspot.com:2010) Data BPS 2006 menunjukkan, masyarakat Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5 persen dari total penduduk yang beratus-ratus juta jiwa. Sedangkan dengan menonton televisi sebanyak 85,9 persen dan mendengarkan radio sebesar 40,3 persen. Ini mengindikasikan bahwa memang masyarakat Indonesia belum mempunyai kesadaran akan pentingnya budaya baca-tulis. Padahal, tingginya minat membaca terkait erat dengan peradaban dan kecemerlangan suatu peradaban bangsa-negara. Semakin tinggi budaya baca, semakin maju pula bangsa tersebut, karena mampu untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Sedangkan masyarakat di negara-negara industri yang maju, mereka rata-rata membaca delapan jam per hari, sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap hari (UNESCO, 2005). Ini tentunya merupakan suatu ironi serta penghambat yang jelas akan kemajuan bangsa-negara. Karena dengan jumlah masyarakat yang mencapai 230 juta jiwa, hanya beberapa persen saja yang memiliki budaya membaca, itupun hanya sebatas untuk mengisi waktu luang belum merupakan kebutuhan pokok. Tidak mengherankan jika kemudian Indonesia hingga sudah 63 tahun lamanya merdeka belum mampu untuk membuat peradaban baru dan maju berkembang sesuai harapan faunding father bangsa. Alasannya sederhana minimnya budaya baca dan tulis masyarakat Indonesia.
Kondisi ini bukan semata-mata menggambarkan ketertinggalan bangsa saja, namun juga menunjukan kepada dunia betapa miskinnya kita akan pengetahuan dan competition track. Tidak juga karena minim sumber daya alam, namun miskin akan kesadaran. Diantara hamparan sejuta kekayaan yang orang bilang ‘surga dunia’ ini, masyarkat Indonesia masih belum tahu bagaiamana cara mengolah energy galian yang selalu menjadi incaran negara luar.
Seperti disebutkan sebelumnya, alam semesta ini menyimpan harta karun. Jelas saja jika orang menyebut negara kita miskin ditengah limpahan kekayaan alamnya, hal ini disebabkan karena sedikit saja orang yang mampu menggali harta karun tersebut. Kondisi berbalik terjadi pada negara-negara maju, ketika sudah disadarkan tentang pentingnya literasi mereka langsung bergulat dengan zaman untuk mengimbangi setiap tantangannya.
  Buku kini bukan hanya sarana untuk membaca dan menwambah wawasan saja, namun kini buku merupakan alat ampuh penggebrak kemajuan suatu bangsa. Niliai-nilai yang sering kita anggap nihil dalam suatu buku ternyata jika ditelaah lebih dalam akan menghasilkan makna yang sangat luar biasa, pembentukan makna secara parsial juga yang mendorong masyarakat masih menjadi pembaca buta: bilangnya sih baca, tapi ga tau apa yang di baca. Jika saja masyarakat sadar bahwa buku yang selama ini mereka lihat adalah benda ajaib, mungkin mereka akan menjadikan buku sebagai ritual harian yang harus dibaca disbanding menonton tv. Namun sayangnya, cara menyadarkan masyrakat inilah yang masih sangat sulit untuk dipecahkan. Seharusnya dengan kecanggihan teknoligi sekarang ini, masyrakat sadar bahwa tulisanlah yang kini menjadi raja dalam imperium bangsa sekarang ini, bukannya malah menutup mata atau bahkan pura-pura menutup mata agar tak pernah tahu seberapa parahnya negara kita tertinggal.

Zinn dalam artikelnya menyuntikan semangat kepada para pembaca. Bagi yang gila baca mungkin hal ini akan meningkatkan harga diri mereka dibanding dengan seseorang yang baru menyadari bahwa buku memiliki sesuatu yang besar. Kebijakan politik yang selalu dianggap ‘suci’ adalah hasil dari literasi, roda ekonomi adalah produk literasi, tidak terkecuali dengan budaya yang selalu berdampingan dengan dunia literasi, pun peran pendidikan yang seluruh aspeknya adalah sub-sub literasi. Seorang Napoleon Hill, mengungkapkan bahwa derajat sebuah bangsa, salah satunya ditentukan oleh media yang dibaca dan minat baca bangsa itu sendiri. Lebih tajam lagi bila kita menyimak ungkapan Andrias Harefa, bahwa masa depan suatu bangsa akan ditentukan oleh berapa artikel yang ditulis setiap harinya di Negara dimana bangsa itu berada, dan berapa buku yang diterbitkan dalam setahun.
Sekali lagi, buku adalah harta yang paling bernilai untuk diwariskan, lihatlah piramid yang dibangun pada 3000 tahun yang lalu, sebagian besar sudah rusak bahkan hancur, tapi lain halnya dengan kitab Nabi Musa yang ditulis pada kurun waktu yang sama dengan pembangunan Piramid oleh Firaun, sampai saat ini masih tetap utuh, tidak rusak, sudah dibaca jutaan orang, dan dan akan bertahan selamanya.




           
           
            Literatur
Di akses pada hari senin, 3 maret 2014 pukul 12.30
Di akses pada hari senin, 3 maret 2014 pukul 12.30
Di akses pada hari senin, 3 maret 2014 pukul 12.30





Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment