Sunday, March 30, 2014
Created By:
Iis Yulia Riani
Aktif Bumikan Literasi
Untuk menjadi seorang penulis yang
berkualitas, maka ada beberapa proses yang harus kita lalui. Berikut ini adalah
proses yang akan dilaluinya :
Emulate
Discover
Create
Proses pertama yang akan dilalui
yaitu Emulate (Meniru). Meniru adalah bagian penting dari menemukan lalu
menciptakan. Proses meniru disini bukan berarti kita dituntut untuk menjadi
seorang plagiat, tetapi meniru disini kita harus menciptakan hal yang baru dari
proses meniru tersebut. Proses yang kedua yaitu Discover (Penemuan), penemuan
disini yaitu informasi yang kita dapatkan dari hasil meniru. Informasi tersebut
dapat kita kembangkan menjadi sebuah karya yang baru. Proses yang terakhir
yaitu Create (Menciptakan), proses terakhir ini adalah proses yang paling
menentukan, yang mana hasil ciptaan tersebut apakah dapat diterima dengan baik
atau tidak oleh para pembaca. Setelah kita amati, ternyata proses yang harus
dilalui oleh seorang penulis memang tidak mudah. Maka dari itu perlu adanya
juga pemahaman literasi yang cukup tinggi, agar hasil karya yang kita ciptakan
dapat dipahami oleh orang lain.
Penguasaan literasi yang tinggi
tentunya tidak mengabaikan aspek sosiokultiral, karena literasi tersebut
merupakan bagian dari kultur atau budaya manusia. Kendati demikian, literasi
tentunya sangat erat kaitannya dengan “Ideology, History dan Poet”.
a. Hubungan
literasi dengan history
Perkembangan sejarah setelah perang dunia ke-II
menunjukkan kecenderungan kuat untuk mempergunakan ilmu-ilmu social dalam
kajian sejarah. Dasar pemikirannya adalah : Pertama, sejarah deskriptif-naratif
sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan berbagai masalah atau gejala yang
serba kompleks dalam peristiwa sejarah.Kedua, pendekatan multidimensional yang
bertumpu pada penggunaan konsep dan teori ilmu social yang paling tepat untuk
memahami gejala atau masalah yang kompleks itu. Ketiga, dengan bantuan
teori-teori social, yang menunjukkan hubungan antara berbagai factor (inflasi,
pendapat nasional, pengangguran, dsb), maka pernyataan-pernyataan mengenai masa
silam dapat dirinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keempat,
teori-teori dalam ilmu social biasanya berkaitan dengan struktur umum dalam
kenyataan sosio-historis. Karena itu, teori-teori tersebut dapat digunakan
untuk menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan yang luas. Bila
teori-teori social itu diandalkan dan dipercaya, maka dengan menggunakan
teori-teori itu pengkajian sejarah juga dapat diandalkan seperti halnya
ilmu-ilmu social yang terbukti kesahihan studinya. Dengan cara ini, pengkajian
sejarah yang dihasilkan tidak lagi dominan dengan subjektifitas, yang serung
dialamatkan kepadanya. Kelima, studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian
hal-hal informative tentang “apa”, “siapa”, “kapan”, “dimana”, dan “bagaimana”,
tetapi juga ingin melacak berbagai struktur masyarakat (sosiologi), pola
kelakuan (antropologi) dan sebagainya. Studi yang menggunakan pendekatan ini
akan melahirkan karya sejarah yang semakian antropologis (anthropological
history) dan sejarah yang sosiologis (sosiologycal history).
b. Hubungan
literasi dengan ideology
Menurut Fowler (1996:10) : “Seperti sejarawan
linguistic kritis bertujuan untuk memahami nilai-nilai yang mendukung formasi
social, ekonomi dan politik, dan diakronis. Dalam hal ini, perubahan nilai atau
value banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat. Contohnya yaitu mahasiswa yang
terlambat masuk kelas tanpa mengucapkan salam dan langsung pergi duduk. Maka
dapat dikatakan bahwa mahasiswa tersebut tidak memiliki value yang baik.
Berdasarkan contoh tersebut, maka pengertian value itu sendiri yaitu menurut
Fraenkel (1977:6) adalah idea atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa
yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang, biasanya
mengacu pada estetika (keindahan), etika, pola perilaku, logika benar salah,
dan keadilan.
Pandangan Halliday pada pokok pikiran bahwa wacana
hakikatnya adalah praktek ideologi. Dalam pandangan kritis, wacana dipandang
sebagai praktik ideology, atau pencerminan dari ideology tertentu. Ideologi
yang berada dibalik penghasil teksnya akan selalu mewarnai bentuk wacana
tertentu. Penghasil teks yang berideologi liberalisme atau sosialisme tentu
akan menghasilkan wacana yang memiliki karakter sendiri. Hal itu semakin
diperkuat dan dieksplisitkan dengan pernyataan Fowler (1996) bahwa ideology itu
terdapat dimana-mana disetiap teks tunggal baik itu lisan, tertulis, audio,
visual atau kombinasi dari semua itu. Oleh karena itu, membaca dan menulis yang
didalamnya tentu terdapat teks dan wacana selalu termotivasi secara ideologis.
Hubungannya dengan ideology V.N Noloshinov
(Eagleton, 1991) secara filsif Soviet yang banyak berkutat dalam bidang
filsafat bahasa. Beliau dianggap sebagai tokoh yang pertama kali mengkaji
ideology dari aspek linguistic. Voloshinov melihat ideology sebagai hasil dari
internalisasi kata-kata yang termuat dalam bahasa. Bahasa-bahasa yang ada
merupakan ranah dari ideology itu sendiri. Voloshinov mendefinisikan ideology
sebagai perjuangan dari kepentingan social yang bertentangan pada tingkatan
nada.
c. Hubungan
literasi dengan poet (sastra)
Kemampuan membaca dan menulis menjadi indicator
peradaban suatu bangsa. Kemampuan membaca dan menulis suatu bangsa tercermin
dalam bangsanya. Jika sastra berkembang dengan pesat dan diapresiasi dengan
baik oleh masyarakat suatu bangsa, itu tandanya literasi suatu bangsa
meningkat. Jadi ada hubungan yang erat antara sastra dan literasi. Selain itu,
sastra juga menjadi sarana penting dalam pertumbuhan peradaban karena sastra
mendokumentasikan peradaban suatu bangsa.
Milan
Kundera (in L’Art Duroman, 1986)
Kundera memaparkan konsep pribadinya dari novel
eropa (“art tawa lahir dari Allah”). Namun, diera sekarang (“paradox termina”,
novel tidak bisa hidup damai dengan semangat zaman kita. Jika ia masih ingin
“bergerak” sebagai sebuah novel, dia bisa melakukan itu terhadap kemajuan
dunia. Kundera merupakan referensi konstan untuk penulis yang merupakan pilar
“sejarah pribadi dari novel”nya Rabelais, Cervantes, Sterne, Diderot, Flaubert,
Tolstoy, Musil, Gombrowich. Karakter Kundera sering secara eksplisit sering
diidentifikasi sebagai isapan jempol dari imajinasi sendiri, mengomentari dalam
first person-on karakter dalam cerita yang sama sekali orang ketiga, Kundera
lebih pedulli pada kata-kata yang membentuk karakter ketimbang dengan
penampilan fisik karakter. Dia sebagai penulis ingin focus pada fisik dan tidak
penting untuk pemahamn karakter. Banyak karakter Kundera dimaksudkan sebagai
eksposisi dari salah satu tema ini dengan mengorbankan mereka sepenuhnya.
Spesifik dalam kaitannya dengan karakter cenderung agak kabur. Seringkali,
lebih dari satu karakter utama yang digunakan dalam novel, bahkan sampai
sepeuhnya menghentikan karakter dan melanjutkan plot dengan karakter baru.
Novel awal Kundera menjelajahi aspek tragis dan konflik ganda totaliarisme. Dia
tidak hanya melihat karya-karyanya namun, seperti komentar politik “kecaman
totalitarianism tidak layak dalam sebuah novel” kata Kundera. Kundera
menganggap dirinya untuk menjadi penulis tanpa pesan. Kundera menjelaskan bahwa
tidak hanya penerbit yang salah tentang keberadaan pesan tersebut dalam
pekerjaan, tetapi saya sangat senang dengan kesalahpahaman. Saya telah berhasil
sebagai novelis, saya berhasil mempertahankan ambiguitas moral dari situasi.
Saya telah memelihara dengan esensi dari novel sebagai seni. Ironi dan ironi
tidak peduli dengan pesan.
Semogenesis
·
Semogenesis in the development of
text
Dalam pengembangan teks verbal, pola theme-rheme
mengingat, pola given-new dan pola cohesive membuat makna tekstual baru untuk
membuat tematik dan informationaly coheren dan cohesive text dengan
semiotiacising-unit ideasional dan interpersonal makna sebagai unit tekstual,
meskipun tidak mengubah makna ideasional dan interpersonal asli dari teks.
Nomalisation sebagai proses semogenesis gramatikal metafora juga merupakan
salah satu dari makna tekstual pengambilan sumberdaya. Hal ini memberikan
kontribusi yang besar terhadap tematik, informasi dan kohesif makna keputusan
dalam pengembangan teks, tanpa mengubah makna ideasional dan interpersonal.
·
Context, system and text as an
semogenetically organic whole
Konteks, system dan teks bukan material entitas yang terpisah, melainkan
keseluruhan organic semogenetically. Mereka membangun satu sama lain, sehingga
masing-masing semogenetically terkandung dalam lainnya. Dengan demikian, mereka
dapat dilihat dari tiga perspektif komplementer berbeda, yaitu dari teks, system,
dan konteks. Teks sebagai konfigurasi makna sistemik dipillih adalah sepserti
yang terkandung dalam konteks dan system. Dengan kata lain, hal itu dihasilkan
dari system, dipicu oleh konteks. Jadi, teks adalah bagian dari teks dan
konteks.
Kesimpulan
Menulis dapat diartikan mengungkap apa saja yang
disembunyikan, hal tersebut bisa berbentuk sejarah atau kehidupan kita
sehari-hari. Namun ketika kita akan mengungkap hal tersebut, maka perlu adanya
referensi atau fakta-fakta yang kuat agar tulisan yang kita buat dapat diyakini
oleh pembaca. Selain itu, tulisan yang kita buat harus ada (pusat gempa yang
dapat membuat pembaca merasa tergugah ketika membaca teks yang kita buat), dan
juga harus adanya gravity (daya tarik dari teks tersebut).


Subscribe to:
Post Comments (Atom)