Sunday, February 16, 2014

Writing buat Jari Keriting

 
Writing buat Jari Keriting
Perkenalkan nama saya “Ayu”.  Sebenarnya saya lebih suka dipanggil Dwi atau neng uwie, tapi sayang seluruh keluarga saya menobatkan nama “Ayu” sebagai nama panggilan akrab saya. Semua ini karena gagasan ayah saya, yang berharap anak putrinya bisa nyata cantik atau ayu dalam bahasa jawa.
Hampir semua hal ada campur tangan dan gagasan dari ayah.  Begitupun, dengan perkuliahan.  Ayah selalu memuja dan berharap saya bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin, karena baginya saya adalah harapan terakhir yang nantinya bisa dibanggakan. Namun, karena ulahnya sekarang saya berada di kelas bahasa inggris D bersama kumpulan orang-orang jenius.  Yang saya rasa membuat diri ini semakin hanyut dan malu, karena saya pikir hanya saya yang dungu.
Entah salah atau tidak, saya harus bergelut dalam kelas bahasa inggris sekarang…
Hari ini, saya bertemu Mr.Lala kembali dalam mata kuliah writing for academic.  Jadi ingat masa lalu, sa’at semester dua Mr.Lala pun menjadi dosen pengampu mata kuliah writing.  Yang membuat saya sedih yaitu nilai writing saya yang hanya memperoleh C+.  Ini sangat mengecewakan.  Sejak sa’at itu saya mengerti, menulis butuh skill dan meremehkan hal yang sepele akan berakibat fatal.
Jujur, awalnya saya santai dan nyaman mengikuti mata kuliah writing, karena saya pikir menulis sangat mudah.  Satu-satunya alasan mengapa saya berani berkata seperti itu adalah hobi.  Yup, saya sangat suka menulis.  Namun, menulis menggunakan ilmu writing membuat saya kesulitan dan payah.
Saya sangat yakin dan percaya diri, bahwa saya akan mendapat nilai yang memuaskan pada mata kuliah writing.  Jelas !!! saya kan hobi menulis.
Namun, semua tidak sesuai harapan. SAYA GAGAL !!!  
“Dari kegagalan, saya bisa belajar.”
Masih tetap seperti dulu, Mr.Lala tegas dan disiplin.  Tepat pukul 07.30 diruang 46 Mr.Lala sudah berdiri tegak didepan kami, mahasiswa dan mahasiswi bahasa inggris D.  Tidak ada perubahan dari dosen bijak itu, tapi bagi diri saya harus ada perubahan.  Seperti hari ini, saya merubah posisi duduk.  Dulu saya takut setiap mata kuliah writing hadir, itu alasan mengapa saya selalu duduk dideretan pojok, bangku paling belakang.  Namun sekarang saya menantang diri untuk duduk dideretan depan.  Mungkin terdengar sepele dan semua orang juga mampu duduk dideretan depan.  Namun ini tantangan berat bagi saya, karena setiap kali saya harus mengatur nafas dan aliran darah yang mengalir cepat hingga jantung saya berdegup kencang.  Tentu terdengar alay, tapi ini faktanya.
Mr.Lala mulai explain tentang writing empat syllabus.  Ada Sembilan halaman, seperti biasanya Mr.Lala speak English hampir full English menjelaskan masing-masing page.  Saya mulai tengak-tengok-larak-lirik-kanan-kiri-depan-belakang cari orang dungu yang selevel dengan saya, tapi TIDAK ADA.
Setelah ovservasi serjenak, saya kagum pada seluruh penghuni PBI D mereka fokus dan diam mendengarkan Mr.Lala explain.  Saya semakin malu, rasanya hanya saya yang tidak begitu mengerti. Buktinya, mereka diam sementara saya tengak-tengok. Tapi, saya penasaran sebenarnya mereka diam, paham tidak?
Pertanyaan itu mulai menari dipikiran saya. Berusaha mencari kawan yang satu level dengan saya, tapi belum ada. Akhirnya saya merenung, saya rasa tidak akan ada orang yang mau satu level dengan cewek dungu seperti saya. Jadi, sayalah yang harus mau ikut berkembang minimal naik satu level agar bisa sejajar dengan mereka, penghuni PBI D lainnya.
Syllabus halaman pertama Mr.Lala menegaskan, bahwa mempertahankan nilai (sesuatu) lebih sulit dari pada mendapatkannya. Tahun ini kelas PBI D mendapat peringkat pertama dan kami harap mampu mempertahankannya. Mr. Lala tepat berdiri didepan saya, mengatakan diwriting empat mahasiswa-mahasiswi harus menguatkan jarinya. Bagaimana melatih jari tanggan agar kuat untuk menulis??? Saya pun belum menemukan solusinya. Namun, saya berusaha belajar dari pengalaman masa lalu. Benar!!! Setiap pertemuan mata kuliah writing Mr. lala menugaskan menulis minimal 4 halaman class review dan chapter review. Hal itu saja sudah membuat jari tangan saya keriting akibat menulis dan kesalahan saya menulis dengan system kebut semalam (SKS).  Karenanya pada mata kuliah writing empat ini saya tidak akan menggunakan sistem itu lagi, untuk menghindari efek jari tangan keriting.  Semoga berhasil !!!   
Tantangan writing for academic (semester empat) lebih dahsyat lagi.  Ada class review, chepter review, argumentative dan blog class.  Pada syllabus page tiga ada course reading dan ada sebelas buku yang akan menjadi bahan pembelajaran mahasiswa.  Namun, kita harus mencarinya sendiri.  Pada dasarnya Mr. Lala hanya ingin menyadarkan bahwa mencari buku (ilmu) susahnya luar biasa.
Pada syllabus page empat ada grading scale.
A+
98-100
C+
77-79
A
94-97
C
74-76
A-
90-93
C-
70-73
B+
87-89
D
60-69
B
84-86
E

B-
80-83
F
< 60

Khusus semester empat class review minimal lima halaman dan chapter review minimal 10 halaman.  Untuk critical review minimal 2500 kata (tulis dengan bahasa indonesia) dan 3000 kata untuk argumentative essay (tulis dengan menggunakan bahasa inggris).  Pada syllabus page delapan menjelaskan tentang critical review dan page sembilan tentang the content of a critical review.
Catatan :
Critical review is the summarization and evaluation of the ideas and information in an article.
The content of critical review.  Introduction – Summary – Main body (critique) – Conclusion – References.
***






Opini Essay
Terkuaknya Misteri di Indonesia
Banyak orang yang beranggapan bahwa seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun perguruan tinggi sangat terkesan “WOW”.  Lamanya pengalaman belajar di kampus-kampus membuat orang awam percaya kalau para lulusan sarjana perguruan tinggi mampu mendidik dan berkarya, khususnya karya tulis.  Namun, mereka hanya mampu menerka-nerka tanpa mengetahui misteri dibalik itu semua.
Sesuai wacana karya bapak Chaedar tentang “Pokoknya Rekayasa Literasi” dengan judul “(Bukan) Bangsa Penulis”.  Menjelaskan bahwa jengkelnya Dirjen Pendidikan Tinggi, penanggung jawab pengawal publikasi ilmiah dikalangan perguruan tinggi, karena mayoritas sarjana lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis.  Bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Sangat memprihatinkan.  Jadi, tidak semua para lulusan sarjana perguruan tinggi mampu menulis, Meski kerap kali dipandang “WOW” dan mampu berkarya khususnya membuat jurnal.
Sebenarnya kemampuan menulis artikel jurnal adalah literasi tingkat tinggi, yakni kemampuan memproduksi ilmu pengetahuan.  Seperti diimbau oleh Direktur Jendral Pendidikan Tinggi.  Jurnal itu ajang silaturahmi intelektual dan profesional bagi para peneliti atau dosen agar ilmunya tetap terbarukan, tidak ketinggalan zaman.
Artikel jurnal adalah bukti kepakaran dan spesialisasi keilmuan penulisnya.  Artikel jurnal seringkali sangat teknis, abstrak, dan hanya dimengerti oleh sesama pakar yang jumlahnya relatif terbatas.  Karena itu tiras jurnal sangat sedikit dibandingkan dengan tiras buku teks, majalah, dan surat kabar.
Untuk memproduksi mahasiswa dan dosen yang produktif menulis, perlu membenahi pembelajaran baca-tulis yang benar ditingkat SMA.  Sesuai penelitian Krashen (1984) di perguruan tinggi AS.  Karya tulis di indonesia tertinggal jauh dengan negara tetangga dan saya sependapat dengan wacana bapak Chaedar, bahwa mayoritas pendidikan di indonesia mahasiswa dan dosennya tidak bisa menulis.
Bagaimana tidak ???
Di Indonesia sangat miskin minat para mahasiswa-mahasiswi pada prodi sastra.  Minimnya minat menulis tentu sulit untuk melahirkan karya jurnal.  Harusnya, para mahasiswa-mahasiswi “dipaksa” jatuh cinta pada karya sastra.  Yang realistis adalah mewajibkan para dosen setiap tahun menulis artikel jurnal atau buku teks.  Jadi, yang tidak bisa menulis sebaiknya jangan bermimpi jadi dosen !!!
(Artikel pertama dari A. Chaedar Alwasilah. Pikiran Rakyat, 28 Februari 2012).
Selain itu, ada artikel kedua dari bapak Chaedar dengan judul “Powerful Writers Versus the Helpless Readers”.  Sangat menarik karena pada awal paragrap beliau menerapkan kalimat tanya. “Jika anda tidak memahami teks yang anda baca, apa alasannya ???” (If you do not  understand the text you are reading, what is the reason???)
Saya menggaris bawahi alasannya, diantaranya :
1.      Mereka mengatakan bahwa mereka tidak memiliki latar belakang membaca yang tepat.
2.      Keahlian penulis sangat tinggi.
3.      Angka tersebut masih diluar kapasitas mereka sebagai pelajar baru.
4.      Retorika itu terlalu rumit.
5.      Mereka tidak bisa berkonsentrasi ketika mambaca dan menyalahkan diri mereka sendiri.

Pada poin pertama sebenarnya mereka (para pembaca) hanya kurang percaya diri saja, hingga menganggap dirinya tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama.  Kemudian poin-poin berikutnya lebih dominan menyalahkan diri sendiri seolah-olah semua masalah membaca adalah akibat dari kurangnya konsentrasi.
Pembaca tidak berdaya ketika membaca.  Harusnya, dosen-dosen yang ada di indonesia jangan berpaku pada buku luar negri, karena mungkin susah dipahami oleh mahasiswa di indonesia.  Jadi, bagi dosen di indonesia yang belajar keluar negri harus direview dalam bahasa indonesia, supaya bahasa indonesia tetap digunakan.  Dosen harus menulis (bisa membuat buku) agar tidak menggunakan buku import dan dari luar negri.
Artikel yang ketiga dengan judul “Learning and Teaching Process : more about readersand writers”.  Saya akui, saya berpihak pada penulis dan bapak Chaedar tentang kesulitan membaca teks akademis.  Karena sa’at ini saya sedang berperan sebagai peserta didik dan kerap kali menghadapi kesulitan dalam mebaca teks akademis.  Baik tertulis awalnya dalam bahasa indonesia atau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia atau disajikan kepada kami dalam bahasa inggris.
Orang bertanya, apa alasan ketidak mampuan ini ???
Jawaban sang penulis artikel ini adalah bahwa situasinya jauh lebih rumit.  Yang tampak mendasar yakni silabus dan pemeriksaan sistem, yang guru-guru di sekolah dipaksa untuk mengikuti hanya merugikan perkembangan pemikiran kritis dan kompetensi bahasa.  Meskipun kurikulum sangat rinci, tetap saja murid malas membaca dan menulis.  Dari artikel ketiga ini saya dapat menyimpulkan, bahwa di indonesia pendidikannya kurang memuaskan karena ada yang salah dalam sistem kurikulumnya.
kesimpilannya : 
Faktanya bangsa Indonesia bukan bangsa penulis. Untuk menciptakan bangsa penulis tentunya orang indonesia harus berlatih menulis dan membaca agar memproduksi ilmu pengetahuan.
selain itu, harusnya sistem pendidikan di indonesia dirubah.  Bukan lagi membaca berorientasi tapi membaca-menulis yang berorientasi.  (memperbanyak tulisan tapi tetap konsisten membaca).  Untuk para dosen harus banyak membuat jurnal, sementara mahasiswa cukup membuat essay.  Tapi bagi mahasiswa yang berminat melahirkan jurnalnya tidak mengapa.


Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment