Sunday, February 16, 2014
Created By:
Mahromul Fadlillah
Mahromul Fadlillah
PBI-D 4th Semester
14121320242
CLASS REVIEW 1
WELCOME BACK TO CAMPUS, WELCOME WRITING 4.
Setelah kenyang merasakan libur semester ganjil yang kurang lebih
satu bulan, bosan dengan kegiatan di rumah dan rindu pada suasana kelas, rindu
pada teman-teman sampai rindu pada tugas-tugas kuliah beserta dosen-dosennya. Akhirnya, dimulai tanggal 03 Februari 2014,
Saya kembali pada rutinitas sebagai seorang mahasiswa, tepatnya mahasiswa
semester 4.
Jum’at Mubarok tepat pada tanggal 7 Februari 2014, kita mahasiswa
Tadris Bahasa Inggris (TBI) kelas D semester
4 IAIN Syekh Nurjati Cirebon melanjutkan kembali petualangan yang
menantang dalam menulis. Dalam mata
kuliah Writing and Conversation 4 dipandu oleh dosen yang super dan
menakjubkan, yang tidak bukan dan tidak lain adalah Mr.Lala Bumela.
07.30 WIB, adalah waktu dimana kita harus sudah berkumpul di ruang 46 yang berada di lantai 3 gedung TBI. Hari
itu adalah pertemuan pertama kami dalam mata kuliah writing 4, Saya yakin bahwa
teman-teman seperjuangan merasakan hal yang sama yaitu penasaran akan hal apa
saja yang harus dilewati sebagai tantangan di perjalanan petualangan menulis
kali ini. Sedikit rasa gugup, deg-degan
dicampur kurangnya pengetahuan dan pengalaman menulis membuat Saya makin rajin
berdo’a pada Tuhan agar diberikan semangat dan kesehatan agar bisa menjelajah cakrawala writing 4. Dapat memahami materinya, mendapatkan ilmunya
kemudian mengamalkannya, menerapkannya dalam setiap tugas writing 4 dan
berharap mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
Seperti biasanya, umumnya pada pertemuan pertama adalah membahas
kontrak belajar dan pembagian silabus. Seperti
biasanya juga, silabus mata kuliah yang dipegang Mr.Lala Bumela berbeda dengan
yang lainnya, tidak hanya mencantumkan materi apa saja yang akan dibahas,
tetapi juga mencantumkan sisi lainnya yang lebih rinci dan menarik. Pada halaman pembuka, ada suatu bacaan yang
benar-benar menarik bunyinya dan itu memang nyata terjadi, bacaan itu mengenai
hal yang harus dibayangkan tentang writing 4, writing 4 berarti kurang tidur
malam, pedih mata, kembali kesakitan, jari-jari tegang (karena harus banyak
menulis dan mengetik), buku berserakan di seluruh ruangan, banyak membicarakan
kampus, seringnya menggenggam batang coklat dan cangkir kopi. Mengimajinasikannya saja membuat malas dan
ingin merengek, tak ingin berada dalam kondisi tersebut, tapi dengan begitu ,
writing 4 secara tidak langsung membuat kita menjadi mahasiswa yang lebih baik,
individu yang lebih baik dan tentunya masyarakat yang lebih baik lagi. Inilah yang seharusnya yang dirasakan
mahasiswa. Bisa jadi jika tidak belajar,
kita malah lebih sakit dan menderita lagi, lebih lebih dari ini, di kemudian
hari.
Sekilas, Mr.lala menampilkan slide powerpointnya, beliau
menampilkan posisi team kelas kita berdasarkan nilai rata-rata yang didapat
pada semester sebelumnya pada mata kuliah English Phonology, beginilah
presentasi nilai yang ditampilkan:
1.
Class
D : 86,96
2.
Class
C : 84, 59
3.
Class
B : 82, 87
4.
Class
A : 69, 05
Dengan bangga, Saya sebagai anggota dari kelas D merasakan kepuasan
tersendiri. Sorak sorai kebahagiaan
terdengar, semua anggota kelas mengekspresikan kebahagiaannya. Namun, kita diingatkan oleh Mr.Lala agar
tidak terlena dengan hasil yang telah didapat, karena pada hakikatnya
mempertahankan lebih susah daripada mendapatkan. “PERFECTION IS LIKE CHASING HORIZON, KEEP
MOVING”, itulah sugesti dari Maria Popova yang intinya kita harus tetap
berusaha semaksimal mungkin, kapanpun sekalipun telah menjadi juara. Jangan merendahkan sesuatu hal dan menganggap
kita sempurna. Boleh jadi detik ini kita
juara, tapi selepas dari itu kita mulai dari nol lagi.
Sekarang, mari kita mulai, a long journey in writing 4. Menurut Mr.Lala writing 4 ini lebih membahas
dan condong pada akademik writing, dimana academic writing berbeda dengan
writing biasa, bahasa yang digunakannya lebih kaku. Sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan
ketika kita berada di mata kuliah writing 2, ketika membuat opini dan tanggapan
pada tulisan profesor Alwasilah, ketika membuat narrative, recount, dan
exposition text. Contoh dari academic
writing adalah jurnal, ada aturan-aturan pemakaian bahasa yang lazim digunakan
pada jurnal, seperti: tidak memunculkan kata saya atau penulis dalam kalimat
yang dibentuk, sosok penulis bersifat impersonal. Kalimat “I conducted this research in a
year...” dirubah menjadi this research conducted in a year...”. Biasanya sosok penulis yang dimunculkan dalam
kalimat hanyalah bagi mereka yang memang sudah benar-benar ahli.
Ini tentang tugas kami, pekerjaan kami bertambah lagi. Writing 4 benar-benar akan membuat kami
kurang tidur malam dan begadang karenanya karena selain membuat class review
dan chapter review pada buku debur kami, kami pun diharuskan mempostingnya ke
dalam blog kelas. Itu berarti kita harus
mengetik dan bercengkrama dengan Mr. Microsoft word. Itulah mengapa saya memberi judul postingan Saya Debur Qwerty, karena di mata kuliah ini kita harus sering menulis di buku debur dan juga papan keyboard (yang berjenis qwerty) untuk menyelesaikan tugas perminggunya.
Minggu ini akan ada banyak pertanyaan kode keamanan di situs blog
sepertinya, ketika kita memposting banyak tulisan atau file dalam satu waktu
dan kita diduga robot. Blog kelas
dikelola oleh beberapa admin yang dipercaya untuk memposting tulisan-tulisan
teman sekelasnya. Sistem kolektif kami
pilih agar blog dapat tersusun lebih rapi dan tidak banyak tangan.
Blog kelas akan diisi oleh postingan pertama mengenai class review
1 dan appetizer 1. Dimana appetizer 1
berisi tentang pendapat kita pada tulisan wacana dengan judul “(Bukan) Bangsa
Penulis”, “Powerfull Writers versus the Helpless Readers”, dan “Learning and
Teaching Process: more about Readers and Writers”. Pendapat kita dituangkan dalam bentuk opinion
essays, mengungkapkan benang merah diantara ketiganya.
Mr.Lala menugaskan kami untuk menulisnya dalam bahasa terlebih
dahulu sampai pertengahan semester.
Setelahnya, pada sesi challenge kita diharuskan menulis dalam bahasa
Inggris. Selamat datang writing 4. Selamat datang kopi panas. Selamat datang papan keyboard.
APPETIZER 1
SISI TULISAN MAHASISWA
Baca tulis, adalah pelajaran dasar yang kita peroleh sejak berada
di tingkat pendidikan dasar. Dengan
membaca dan menulis, era berubah menjadi sampai saat ini, era modern yang
tentunya jauh berbeda dengan era dimana manusia belum mengenal aksara. Itulah yang menjadi pembeda manusia purba
dengan homo sapiens, manusia cerdas yang mengenal aksara dan bisa merubah
peradaban dunia. Namun ternyata, di
zaman modern ini, banyak manusia yang tidak menghargai aksara, banyak ilmu-ilmu
yang diacuhkan, ditelantarkan. Ilmu
pengetahuan yang mereka dapat tak diwadahinya dalam bentuk tulisan, padahal
tulisan dapat dijadikan sarana dalam pengawetan pengetahuan, menjadikannya
panjang umur, ada dan berkembang dari waktu ke waktu.
Jangankan orang biasa yang tidak mendapatkan pendidikan cukup,
mahasiswa dan dosen pun terkadang malas untuk menulis. Mereka padahal hidup di lingkungan pendidikan
dan pastinya kental dengan aktifitas membaca dan menulis. Memprihatinkan, ternyata pernyataan di atas
terjadi di Indonesia, profesor Chaedar Alwasilah mengungkapkan bahwa Indonesia
bukan bangsa penulis, ungkapan tersebut dibuktikan dengan data yang menunjukan
mayoritas sarjana lulusan PT tidak bisa menulis. Dalam artikelnya ditegaskan bahwa yang tidak
bisa menulis jangan bermimpi jadi dosen.
Terlihat sekali bahwa profesor Chaedar menyuruh dosen-dosen untuk
menulis. Saya setuju dengan gebragan beliau,
karena jika bukan pendidik, siapa lagi yang berkewajiban melanggengkan ilmu
pengetahuan supaya dapat diajarkan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Dalam wacana “(Bukan) Bangsa Penulis”, profesor Chaedar memihak
mahasiswa agar tidak diberi kewajiban menulis skripsi ataupun jurnal, mengapa?
1.
Tradisi
penelitian dan pelaporan ilmu alamiah tidak boleh dipaksa-terapkan pada ilmu
humaniora.
2.
Jurnal
itu ajang silaturahmi intelektual dan profesional bagi para peneliti atau dosen
agar ilmunya tetap terbarukan, tidak ketinggalan zaman.
Dua alasan besar di atas didukung oleh fakta bahwa jurnal berbeda
dengan skripsi, thesis, dan desertasi.
Jurnal dikelola oleh tim yang ahli dalam bidang keilmuan tertentu. Jika mahasiswa diwajibkan menulis jurnal,
maka dipastikan akan terjadi fenomena “asal terbit jurnal-jurnalan”. Dikarenakan mahasiswa belum mempunyai ilmu
yang culup dari segi teknis dan kematangan keabstrakannya. Tingkat kesulitan dan kesungguh-sungguhan
jurnal adalah di atas skripsi, karena skripsi hanyalah genre tulisan akademik
yang bertujuan agar mahasiswa belajar menulis akademik. Profesor Chaedar tidak merekomendasikan
mahasiswa bahasa untuk membuat skripsi di akhir perkuliahannya, lebih baik
mereka membuat novel atau cerita pondok saja.
Tentang menulis akademik, menurut profesor Chaedar ada cara yang lebih
efektif dibandingkan menulis skripsi yaitu dengan mewajibkan mahasiswa banyak
menulis essay seperti laporan observasi, ringkasan bab, review buku, dan
sebagainya, yang kemudian tulisan-tulisan tersebut dikembalikan dengan komentar
kritis dari dosen, sehingga nalar dan argumen tulisan mahasiswa betul-betul
terasah. Lebih baik menulis jenis teks
di atas. Learning by doing, step by
step, daripada harus membuat skripsi yang tebal namun kita tidak mempunyai
passion karenanya, tidak tahu apa inti dari penulisannya karena banyak fenomena
pembuatan skripsi oleh orang lain.
Skripsi saja banyak yang memakai jasa oranglain untuk membuatkannya,
apalagi mewajibkan membuat jurnal yang tingkatannya lebih tinggi dibanding
skripsi?
Pada wacana selanjutnya yang berjudul “Powerful Writers versus the
Helpless Readers” profesor Chaedar mengungkapkan berdasarkan hasil surveynya,
pembaca tidak memahami teks yang mereka baca, dikarenakan:
1.
Pembaca
tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama dengan penulis.
2.
Keahlian
penulis sangat tinggi.
3.
Pembaca
belum mencapai tingkat tersebut dalam memahami.
4.
Pembaca
tidak bisa berkonsentrasi dalam saat membaca.
Dari alasan-alasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembaca tidak
mempunyai kepercayaan diri. Mereka mudah
menyerah dan menganggap dirinya lemah dan tidak cerdas dalam membaca. Mereka menganggap bahwa penulislah yang hebat,
memiliki keahlian dan intelektual yang hebat.
Pandangan seperti ini lah yang membuat sedikit sekali pembaca yang
bersifat kritis. Padahal, menurut
penulis ahli, Grice, penulis yang hebat itu harus memperhatikan kuantitas,
kualitas, relasi, dan cara dalam tulisannya.
Teringat pada kata-kata di writing 2, bahwa tiap tulisan mempunyai
majikannya masing-masing, oleh karena itu ketidakpahaman pembaca dalam membaca
suatu teks bukanlah sepenuhnya salah pembaca, hanya saja dia belum menemukan
jodoh bacaannya. Penulis juga harus
mempunyai kemampuan memilih bahasa yang sesuai untuk target pembacanya. Penulis dan pembaca harus mempunyai keahlian
mengoptimiskan diri sendiri, sehingga dengan begitu mereka bisa menemukan
bacaan yang pas dan menjadi jodohnya.
Dengan mengoptimalkan membaca teks yang sesuai dengan levelnya,
diharapkan pembaca tadi bisa menjadi pembaca kritis yang nantinya secara
bertahap ia akan menulis produktif, berkembang menjadi penulis muda menjadi
penulis dewasa sampai akhirnya menjadi penulis intelektual. Karena membaca dan menulis merupakan dua hal
yang sudah menjadi paket, maka lakukanlah dua hal tersebut sebagai proses
input- storage – output. Pengetahuan
terakumulasi melalui membaca, sementara menulis menempatkan pengetahuan ke
dalam kertas, menjaganya agar tidak hilang dari ingatan.
Disambung dengan wacana Learning and Teaching Process: More about
Readers and Writers, profesor Chaedar menitikberatkan permasalahan pada siswa
yang menghadapi kesulitan dalam membaca teks akademis. Hal itu dibuktikan dengan dilakukannya survey
dengan hasil yang mengejutkan bahwa siswa tidak mampu mengidentifikasi tema
utama potongan prosa Indonesia langsung dalam pemeriksaan pilihan ganda. Banyak
alasan mengapa hal ini terjadi, diantaranya yaitu kurangnya kompetensi pada
bagian dari guru mengajar murid, bisa juga karena pembaca tersebut belum
menemukan jodoh bacaannya, atau bahkan penulis yang terlalu introvert dalam
tulisannya. Sebagaimana yang telah kita
ketahui, makna dari sebuah bacaan termasuk prosa pasti ada yang tersurat dan
ada yang tersirat. Bahasa mempunyai
kekuatan untuk menciptakan makna yang tak terduga. Hal ini dipertegas dengan pendapatnya
profesor Halliday tentang semogenesis, bahwa bahasa memiliki sumber daya dalam
dirinya sendiri, dimana orang dapat menciptakan makna baru.
Profesor Chaedar menanggapi bahwa masalah ini berakar dari silabus
dan pemeriksaan sistem, yang guru-guru di sekolah dipaksa untuk mengikuti,
hanya merugikan perkembangan pemikiran kritis dan kompetensi bahasa. Spesifikasi kurikulum sangat rinci namun
tidak sesuai dengan kebutuhan murid.
Padahal “human intellegence” berbeda-beda, tapi perbedaan ini
disama-ratakan, contohnya dengan adanya KKM.
Lebih jauh lagi, profesor Chaedar membandingkan pembelajaran
mahasiswa bahasa yang ada di Indonesia dengan yang ada di luar negeri seperti
Inggris. Di Indonesia mahasiswanya
belajar teori dan pengetahuan dari dosennya yang mendapatkan PhD di luar
negeri. Di Inggris mahasiswanya lebih
memfokuskan pada bahasa asing yang sedang dipelajarinya sehingga mereka dapat
berbicara, mendengarkan, memahami, membaca, dan menulis dengan lancar. Mereka didorong untuk membaca sebanyak
mungkin bacaan yang menggunakan bahasa asing tersebut.
Hal ini Saya rasakan sendiri, dimana Saya sebagai mahasiswa bahasa
Inggris namun belum merasakan porsi bahasa Inggris yang cukup. Menurut Saya, porsi bahasa Inggrisnya
tertutupi oleh dengan materi lain yang memang kita dipaksa untuk mempelajarinya,
agar memenuhi nilai dalam indeks prestasi.
Disini kita harus menuruti dosen, karena dosen pun harus menuruti sistem
dan kebijakan.
Dari tiga wacana di atas, profesor Chaedar selalu memberikan
perbandingan antara yang terjadi pada siswa di Indonesia dengan siswa di luar
negeri. Dengan memberikan
perbandingan-perbandingan sepertinya beliau sedang mengkritisi dan mencoba
memberikan saran agar sistem pengajaran bahasa dari siswa tingkat dasar sampai
tingkat tinggi ditinjau ulang. Seperti
contohnya menghapuskan kewajiban membuat jurnal atau skripsi dan menggantikan
tugas akhirnya dengan membuat novel atau cerita pendek, untuk masalah belajar
menulis akademik mahasiswa bahasa dapat dibiasakan melalui pembuatan essay.
Mahasiswa menginginkan porsinya terpenuhi, itu kebutuhan dasar
mereka. Mahasiswa S1 bahasa membutuhkan
pengalaman dan ilmu dasar dalam berbahasa asing, bertahap. Tahap awal mempunyai target agar dapat
berbicara, mendengarkan, memahami, membaca, dan menulis dengan lancar. Target inilah yang nantinya menjadi modal
dasar dan aset mahasiswa bahasa untuk mengelola dan mengembangkan ilmunya. Jikalau nanti mengajar, maka modal dasar ini
bisa bisa mengantarkan pada kekompetenan.
Pembuatan skripsi, thesis, desertasi, jurnal pun tidak asal-asalan isinya
karena mahasiswa sudah dibekali modal berbahasa dan pastinya kepercayaan diri
mereka meningkat. Setelah kepercayaan
diri mereka meningkat, mereka pasti ingin menciptakan karya, tanpa dipaksa
mereka akan mencari informasi dan data dengan banyak cara diantaranya dengan
membaca.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)