Thursday, February 27, 2014

Stop Radicalism! Let's Build Religious Harmony


critical review
Stop Radicalism! Let's Build Religious Harmony

Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, karenannya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas dari kemajuan yang di mulai dari pendidikannya, pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa ini (Indonesia). Di yakini juga bahwa Kualitas sumber daya manusia (SDM) memiliki posisi sangat penting untuk memajukan sebuah bangsa. Investasi modal manusia menjadi prioritas dan kunci sukses terhadap keunggulan suatu bangsa. Seperti yang telah di paparkan oleh A. Chaedar Al-Wasilah dalam artikelnya yang bertajuk “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” (2011) Salah satu tujuan dari pendidikan dasar (SD) adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara.  
     
Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Ini menunjukan bahwa pendidikan sekolah dasar (SD) adalah awal dari pembangunan karakter siswa dimana perlu adanya perhatian khusus dan lebih dipentingkan. Mengingat jika pendidikan dasarnya saja sudah bobrok, bagaimana pendidikan selanjutnya akan terrealisasi dengan baik? Disini peran guru kembali di tekankan bahwa guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa hampir sepanjang hari. Mereka harus tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan dan juga menanamkan sikap plularisme dan liberalisme untuk membangun religious harmony tanpa radikalisme.
Indikasi wacana sipil classroom discourse pada siswa sekolah dasar (SD) yaitu :
1.      Menyimak (attensive listening)
Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang lisan-lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi serta interprestasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami makna komunikasi yang disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
2.      Berpendapat.
Anak-anak sebagai makhluk yang usianya lebih muda dianggap tidak punya kemampuan komunikasi yang mumpuni, sehingga seringkali apa yang mereka sampaikan tidak didengarkan oleh orang yang lebih tua. Memang tidak bisa disalahkan, karena pada dasarnya pengetahuan anak dalam membedakan kenyataan dan khayalan masih dalam tahap perkembangan, sehingga seringkali opini yang mereka nyatakan menjadi tidak berdasar atau bahkan tidak sesuai realita. Namun seperti makhluk sosial lainnya, anak-anak juga punya kebutuhan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapatnya.
3.      Bertanya.
Menurut Ribowo, B. (2006) pentingnya penggunaan keterampilan bertanya secara tepat adalah untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam suatu proses belajar mengajar di kelas, yaitu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu pokok bahasan, memusatkan perhatian siswa terhadap suatu pokok bahasan atau konsep, mendiagnosis kesulitan-kesulitan khusus yang menghambat siswa belajar, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkritisi suatu informasi yang ia dapatkan, mendorong siswa mengemukakan pendapatnya dalam diskusi, menguji dan mengukur hasil belajar siswa. Pentingnya siswa bertanya di kelas juga untuk mendorong terjadinya interaksi antar siswa agar siswa lebih terlibat secara pribadi dan lebih bertanggung jawab terhadap pertanyaan yang diajukan. Dalam hal ini bertujuan agar menciptakan sistem pembelajaran Student Centre Learning, dimana siswa yang aktif di dalam kelas sedangkan guru menjadi fasilitator, bukan pemegang kekuasaan penuh atas kelas.
4.      Menyatakan setuju atau tidak setuju
Dalam diskusi siswa harus biasa menyatakan pendapatnya apakah setuju atau tidak dengan pendapat temannya, siswa juga harus diberi pengarahan bagaimana menyampaikan pendapat dengan baik, begitu pula menyanggah dengan baik. Disini siswa diajarkan sikap bagaimana menghargai orang lain.
5.      Mencapai mufakat dengan penuh rasa hormat
Ketika diskusi berakhir diharapkan siswa dapat mengerti dari hasil yang telah di diskusikan, bahwa itu adalah hasil mufakat para anggota diskusi sehingga harus bisa menghormati apapun hasil akhir adalah mufakat bersama.
Betapa pentingnya indikator di atas bagi siswa sekolah dasar ini bertujuan untuk membangun rasa solidaritas yang tinggi, menanamkan sikap menghargai pendapat orang lain dan juga membangun budaya yang baik dengan sesama. ini ditekankan sejak dini karena mengingat banyaknya konflik sosial yang terjadi di negara kita (Indonesia), disinyalir terjadinya konflik sosial radikalisme di indonesia sebab akibat dari indikasi berikut:
Pertama, perbedaan antar perorangan Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau pendapat. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena tidak pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain. Misalnya dalam suatu diskusi kelas, kamu bersama kelompokmu kebetulan sebagai penyaji makalah. Pada satu kesempatan, ada temanmu yang mencoba untuk mengacaukan jalannya diskusi dengan menanyakan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu dibahas dalam diskusi tersebut. Kamu yang bertindak selaku moderator melakukan interupsi dan mencoba meluruskan pertanyaan untuk kembali ke permasalahan pokok. Namun temanmu (si penanya) tadi menganggap kelompokmu payah dan tidak siap untuk menjawab pertanyaan. Perbedaan pandangan dan pendirian tersebut akan menimbulkan perasaan amarah dan benci yang apabila tidak ada kontrol terhadap emosional kelompok akan terjadi konflik.
Kedua, Unsur SARA (Suku, Ras, dan Agama) seperti kerusuhan Poso dan Ambon, pertikaian antar suku di papua. Faktor ekonomi Kerusuhan Sampit berakar pada kecemburuan ekonomi dimana masyarakat lokal merasa kurang beruntung dibidang ekonomi dibandingkan dengan masyarakat pendatang. Seperti hal nya konflik sosial yang terjadi di poso adalah berawal dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama. Blum lagi kurang adanya keadilan dimana ada sebagian masyarakat yang merasa di diskriminasi, ada juga masalah politik dimana penguasaan struktur pemerintahan oleh satu pihak dalam arti tidak ada keseimbangan jabatan dalam pemerintahan. Serta masalah tentang karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli poso dan kaum pendatang seperti bugis, jawa, gorontalo, dan kaili. Konflik sosial yang terjadi di poso ini sangat berdampak pada masyarakat khususnya masyarakat poso itu sendiri, Mulai dari segi Budaya, Hukum, Politik, Ekonomi, selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis juga bendampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan.
Kemudian perang adat di papua yang sangat sering terjadi. Menurut saya,  penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen. Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi social. Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru. Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural.
Ini yang menjadi masalah pelik yaitu Potret Konfik Bernuansa Agama di Indonesia, masih saja “Kebencian dan permusuhan antar agama meningkat di semua wilayah besar dunia, kecuali Amerika,” kata Pew yang melakukan penelitian rutin terkait isu ini sejak 2007. Hindu, Buddha dan agama lokal memperlihatkan tingkat permusuhan lebih rendah. Diantara 25 negara berpenduduk paling padat, Mesir, Indonesia, Rusia, Pakistan dan Myanmar menderita akibat konflik agama.

Penyerangan atas pengikut Syiah di Sampang, menambah catatan buruk Indonesia yang disebut Pew Centre paling parah menderita konflik agama. Lima negara yang dicatat Pew sebagai negara yang paling melakukan pembatasan atas kebebasan beragama adalah Mesir, Cina, Iran, Arab Saudi dan Indonesia.
Pasca reformasi, laporan Moderate Muslim Society tahun 2010 mencatat adanya 81 kasus kekerasan agama. Laporan ini tentu saja sama sekali bukan gambaran sempurna karena tidak semua wilayah Indonesia masuk dalam jangkauan monitoring. Pada wilayah termonitor pun tidak semua kasus kekerasan agama terlaporkan. Misalnya, dalam laporan Moderate Muslim Society, Jawa Timur hanya dilaporkan adanya 4 kasus kekerasan agama, padahal laporan yang dikeluarkan Center for Marginalized Communitiestahun 2010 mencatat 56 kasus yang bisa masuk dalam kategori pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Secara garis besar, gambaran kehidupan beragama tahun2 011 yang muncul di laporan paling mutakhir Center for Religious & Cross-cultural Studies atau CRCS UGM tak berbeda secara signifikan dari beberapa tahun sebelumnya. Hal ini tentu tak  berarti berita baik, tetapi mengisyaratkan bahwa dalam beberapa tahun ini belum ada kemajuan yang menggembirakan, atau justru kemunduran dalam beberapa hal.
            Ada beberapa hal utama yang digarisbawahi dalam laporan tersebut. Dari segi isu, dua yang utama dan kerap menjadi masalah masih tetap, yaitu penodaan/ penyimpangan agama dan rumah ibadah. Kedua hal ini menjadi isu utama karena dalam beberapa tahun ini, konflik-konflik di seputar isu itu kerap berubah menjadikekerasan yang tak tertangani dengan baik. Pandangan senada dapat kita lihat pula dari salah satu  penilaian yang diajukan oleh beberapa organisasi masyarakat sipil. The Wahid Institute (WI), misalnya, setiap tahun sejak laporan ini menjangkau wilayah DIY, Banten, Kalimantan Barat,Jawa Barat, Bali, Sulawesi Tengah, Lampung, Sumatera Barat, NTB, JawaTengah, Sumatera Utara, Riau, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur.
            Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia (sebelumnya, sejak 2005 telah menerbitkan laporan bulanan). Sesuai namanya, laporan ini terutama membahas dua hal: (1) pelanggaran kebebasan beragama, yang pelakunya adalah institusi negara (termasuk kantor kementerian, badan-badan negara, polisi, kantor pengadilan, tentara, dan juga pemerintah daerah, desa, kecamatan, kabupaten/ kota dan provinsi); dan (2) intoleransi atas dasar agama dan keyakinan, yang pelakunya dapatnegara, tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat (ormas,khususnya ormas keagamaan, individu, maupun massa yang tak teridentifikasi). Berdasarkan kedua kriteria itu, WI menghitungsecara kuantitatif jumlah pelanggaran dan tindakan intoleransi.Membandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, WI menilaisituasi kebebasan beragama di Indonesia pada 2011 sudah sampai pada tahap lampu merah.
           Sebenarnya melekatkan agama sebagai satu varian potensial pemicu kekerasan adalah hal yang tidak mudah. Demikian ini karena agama dianggap sebagai ajaran yang selalu diasosiasikan dengan ajaran yang sarat dengan nilai kedamaian dan keselamatan. Sementara dalam suatu tindak kekerasan terdapat hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan, kehancuran bahkan kematian. Wajah sejuk agama sangat tidak mungkin dilekatkan dengan wajah panas kekerasan. Fakta seringkali menunjukkan bahwa agama dapat memicu terjadinya tindak kekerasan. Pemeluk agama menjadikan doktrin agama sebagai main drive, Primum mobile dan push factor kekerasan yang mereka lakukan. Tindak kekerasan yangmengatas namakan agama seringkali diterjemahkan oleh sebagian orang sebagai legal doctrine yang harus dilaksanakan. Kekerasan atas nama agama dapat diterjemahkan sebagai kekerasan yang melibatkan agama sebagai premium variant. Kekerasan adalah suatu sifat atau keadaan yang mengandung kekuatan, tekanan dan paksaan. persoalan agama bagi masyarakat Indonesia, sehingga konflik sosial dan politik yang sebenarnya di luar agama pun seringkaliditarik ke wilayah agama untuk mendapatkan dukungan yanglebih banyak dari pemeluknya. Konflik berlatar belakang agama kadang-kadang masih terjadi, termasuk di era reformasi, sepertikonflik Ambon, Poso, Sampit, Ciketing, Yasmin, dan lain-lain. Konflik-konflik ini, sebenarnya tidak diawali oleh faktor agama,tetapi persoalan ekonomi, sosial, dan hukum secara umum.Hanya saja, kemudian para pelakunya melibatkan agama untuk mendapatkan dukungan emosional dari kelompok agama.  
            Dalam hal ini, agama dimanfaatkan sebagai faktor pemersatu (integratif) bagi komunitas agama tertentu, tetapi menjadi faktor pemecah belah (disintegratif) antar kelompok agama yang berbeda. Dilihat dari sudut mana pun, kondisi semacam itu tentu sangat merugikan umat manusia secara umum, dan masyarakat serta negara Indonesia secara khusus. Mereka terdampar dalam suatu kondisi yang sangat sulit untuk menyikapi persoalan secaraarif dan sekaligus berada dalam inertia yang tidak ketulungan untuk mencari solusi secara kreatif, sistematis dan tuntas. Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum opini dunia tentang “terorisme Islam” muncul ke permukaan, kita pernah mendengar sebutan “fundamentlisme Islam”. Dalam bahasa Arab, “fundamentalisme” atau al-ushuliyyah berarti “mendasar atau disiplin dalam menjalankan kewajiban agama”.
    “Muslim fundamental” adalah muslim yang sangat disiplin dalam menjalankan ajaran Islam, seperti salat lima waktu secara berjamaan atau menghindari sesuatu yang tidak jelas kehalalannya.  Dalam konteks itu, umat Islam diserukan untuk melaksanakan ajaran agamanya secara fundamental. 
    “Radikalisme” dalam bahasa Arab disebut syiddah al-tanatu.  Artinya keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran.  Muslim radikal adalah orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam memandang agama-agama lainnya.  Kelompok muslim radikal muncul sejak terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, menyusul kemudian Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh umat Islam sendiri.  Saat itu, radikal Islam diwakili oleh kelompok Khawarij.
    Sementara itu, Islam yang harmonis dapat dibuktikan dari peristiwa Fath Makkah (pembebasan Kota Makkah) oleh umat Islam yang dipimpin langsung Nabi Muhammad.  Kota Makkah dibebaskan setelah puluhan tahun dijadikan markas kegiatan orang-orang musyrik.Saat umat Islam mengalami suasana euforia atas keberhasilannya menguasai kota tersebut, ada sekelompok kecil sahabat Nabi yang berpawai dalam kota dengan meneriakkan slogan “al-yaum yaumul malhamah” (hari ini adalah hari pertumpahan darah).
    Slogan itu dimaksudkan sebagai upaya balas dendam mereka atas kekejaman orang-orang musyrik Makkah kepada umat Islam selama puluhan tahun.  Gejala tidak sehat tersebut dengan cepat diantisipasi oleh Nabi Muhammad dengan melarang beredarnya slogan itu dan menggantinya dengan slogan yang lebih ramah dan penuh kasih: al-yaum yaumul marhamah (hari ini adalah hari penuh belas kasih).  Akhirnya, peristiwa pembebasan Kota Makkah dapat terwujud tanpa insiden berdarah.
    Gejala kemunculan radikalisme Islam sesungguhnya ditengarai ada sejak Nabi Muhammad masih hdiup.  Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dikisahkan, ketika di daerah Ja’ranah Nabi Muhammad membagikan fa’I atau harta rampasan perang dari wilayah Thaif dan Hunain, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah dari Banu Tamim melayangkan protes kepada beliau.  “Bersikap adillah, wahai Muhammad!”  Nabi Muhammad dengan tegas menjawab, “Celaka kamu!  Tidak ada orang yang lebih adil dari aku.  Karena apa yang kami lakukan berdasar petunjuk Allah!”
    Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhammad bersabda, “Suatu saat akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca Alqur’an, namun tidak mendapatkan substansinya.  Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini.”
    Hadis sahih di atas kemudian terbukti setelah Nab Muhammad wafat.  Pada 35 H, Khalifah Usman bin Affan terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem.  Peristiwa itu kemudian terulang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib yang juga terbuhun oleh kalangan ekstrem dari umat Islam.  Komunitas ekstrem tersebut sungguh pun pada mulanya bernuansa politik, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan faham Khawarij.
    Hal yang menarik, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij itu memvonis kafir Khalifah Ali bin Abi Thalib atas dasar kesalahan beliau yang membenarkan arbitrase atau tahkim dengan Mu’awiyah.  Soalnya, bagi Khawarij, yang berlaku adalah doktrin laa hukma illa Allah, bahwa arbitrase itu hanya milik Allah.  Khalifah Ali bin Abi Thalib pun menangkis diplomasi mereka dengan kata-kata singkat, “Untaian kata yang benar, namun tendensius dan mengarah pada yang batil”.
    Gelombang umat Islam radikal yang berkembang saat ini sebenarnya terpengaruh oleh pola-pola Khawarij pada masa periode awal sejarah umat Islam.  Sikap mereka yang ingin menempuh jalur apa saja, menyalahkan siapa saja yang tak sama pemahamannya, merupakan refleksi dari pemahaman mereka yang “sathiyyah” (dangkal) dan belum tuntas terhadap ajaran Islam.
Ketiga, faktor ketidak adilan setiap orang berhak atas “kebutuhan manusia yang mendasar” tanpa memandang perbedaan “buatan manusia” seperti ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya. Untuk mencapai itu antara lain harus dilakukan penghapusan kemiskinan secara mendasar, pemberantasan butahuruf, pembuatan kebijakan lingkungan yang baik, dan kesamaan kesempatan bagi perkembangan pribadi dan sosial. Inilah tugas yang harus dilaksanakan pemerintah. Ketika seseorang merasa diprlakukan tidak adil maka dia akan menuntut, apalagi jika ini terjadi dalam suatu kelompok ras, etnis, agama tertentu. Sayangnya keadilan di negri kita (Indonesia) masih sering di abaikan, hukum diibaratkan seperti pisau yang tajam kebawah dan tumpul ke atas. Terpampang jelas dalam sila ke lima pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” namun pada kenyataannya sistem keadilan di indonesia tidak terlaksana dengan baik.
Keempat, faktor politik juga disinyalir menjadi penyakit sosial, Berbicara kondisi politik di Indonesia maka tidak akan jauh dari sebuah kekuasaan. Dewasa ini politik justru seringkali di gunakan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Ntah dengan apa pun, tidak melihat rambu rambu yang ada, hal yang terpenting kursi kekuasaan harus di dapat. Namun, kursi kekuasaan contohnya saat pemilihan caleg, pemilu dan sebagainya itu harus di bayar dengan pengorbanan yang besar juga baik itu fikiran dan materil. Contohnya saja kini marak kampanye dengan melibatkan anak kecil, anak kecil yang belum saatnya terjun kedalam dunia politik teracuni fikirannya, tak pantas ketika anak-anak bangsa kita dijadikan kambing hitam bagi oknum-oknum haus kekuasaan, hanya dengan diiming-imingi politik uang Akhirnya generasi penerus dan masyarakat yang menjadi korban dari kondisi politik yang ada sekarang. Para birokrat bangsa ini sepertinya masih terlalu sibuk untuk terus berebut kursi kekuasaan.
Sebenarnya politik layaknya sebuah pisau. Bila pisau tersebut di gunakan oleh ibu rumah tangga untuk memasak maka pisau akanlah sangat bermanfaat. Maka akan tersedia hidangan yang lezat untuk keluarga. Namun beda cerita bila pisau tersebut di gunakan oleh pembunuh. Maka yang terjadi adalah sebuah kesedihan dan kesengsaraan yang terjadi. Begitu pula dengan politik, ia akan bisa menjadi sebuah alat untuk mencapai sebuah kebahagiaan atau malah menjadi sebuah kesengsaraan.
Dalam keempat faktor terjadinya penyakit sosial tersebut perlu adanya pencegahan dini terhadap generasi penerus bangsa kita agar mereka tidak tertananam sifat radikalisme. Maka dari itu studi Ariliaswati menjelaskan bahwa ketika politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal. Guru SD harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Ini bertujuan untuk mengembangkan sikap toleransi antara umat beragama dalam diri mereka sejak dini, sikap saling menghargai dalam perbedaan suku, RAS, dan strata sosial.

Penanaman sikap pluralisme dan liberalisme dapat teraplikasikan dengan mengajarkan makna dari pancasila sebagai dasar Negara kita, dalam kelima sila tersebut dapat kita jelaskan nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya sebagai berikut isi butir-butir pancasila yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang     Maha Esa.
(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
(5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
(1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-
bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit
dan sebagainya.
(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
(5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
(6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
(7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(8) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
(10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
(1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
(3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
(4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
(6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
(7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
(1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak
dan kewajiban yang sama.
(2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
(4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
(6) Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
(7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
(9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
(10)Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.


5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
(1) Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
(2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
(3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(4) Menghormati hak orang lain.
(5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
(6) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
(7) Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
(8) Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
(9) Suka bekerja keras.
(10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan
bersama.
(11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
Cukup generasi sebelumnya yang memiliki ego sangat tinggi untuk memperjuangkan harga diri perseorangan, kelompok dengan mengabaikan aspek-aspek penting dalam demokrasi dan keamanan jiwa masyarakat, kini saatnya generasi kita yang maju memperjuangkan bangsa dengan kualitas pendidikan yang tinggi, biarlah mereka bermain senjata api, namun kita pandaikanlah untuk memainkan pena kita, bangsa yang pandai, berliterasi tinggi, berattitude dan memiliki religius harmony. Dimulai sejak dini penanaman sikap menghargai pendapat, menghargai perbedaan, bertoleransi, agar penyakit-penyakit sosial saat ini di kemudian hari tidak nampak kembali.

Sebagai mahasiswa IAIN yang dipayungi oleh kementrian agama, khususnya fakultas tarbiyah (keguruan) yang  dituntut menjadi pendidik-pendidik berbeda dengan universitas lainnya, kita berperan besar dalam membangun karakter anak didik yang mempunyai religious harmony terutama dalam agama islam. Banyak yang dapat kita terapkan kepada peserta didik, contohnya yaitu meskipun pesrta didik yang kita ajar tidak semuanya muslim, kita harus mengajarkan toleransi kepada peserta didik dengan cara memaparkan perbedaan antar tiap agama namun tetap dalam koridor penanaman sikap toleransi yang tinggi, juga menanamkan sikap tidak membeda-bedakan antara strata sosial, karena jika dalam pendidikan dasar (SD) tidak di tanamkan sikap-sikap yang telah saya paparkan diatas, maka akan sulit membangun karakter peserta didik yang diharapkan dan berreligious harmony.
Kesimpulannya adalah Classroom Discourse to Foster Religious Harmony dapat terlaksana jika pendidik berperan besar dalam membangun karakter peserta didik dengan wacana sipil positif  yaitu mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. penanaman sikap pluralisme dan liberalisme akan membangun religious harmony tanpa radikalisme. juga berkenaan dengan itu peran sekolah dan pendidik (guru) harus berfungsi secara maksimal. dimana sekolah juga harus membangun keefektifan pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.


DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Buku Utama
http://ahmadifatah.blogspot.com/2012/10/paradigma-ideologi-pendidikan-liberal.html
 http://www.pendidikanislam.net/index.php/untuk-guru-a-dosen/38-umum/132-akar-gerakan-islam-radikal
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment