Sunday, February 16, 2014

KEMBALI BERKREASI



On Saturday, 15 February 2014



Seiring berjalannya waktu, ketika liburan sudah terlewati, layaknya mahasiswa pada umumnya yanghari-harinya selalu penuh dengan berbagai macam tugas kuliah.  Banyak hal baru yang kita temui diawal masuk semester baru, termasuk salah satu mata kuliah yang sangat cetar membahana dan kembali menjadi tranding topik dikalangan mahasiswa semester empat, yaitu writing and conversiation 4 yang saat ini dirubah menjadi academic writing.
Kelam dan sepinya malampun tidak akan dirasakan kembali, karena mulai saat ini sampai beberapa bulan kedepan, pena dan log book writing akan kembali selalu setia menemani waktu luang dan malam-malamku.  Banyak membaca dan menulis adalah tujuan utama dari pembelajaran writing kali ini.
Pertemuan pertama memang menetukan segalanya, termasuk mengetahui aturan main dan syllabus baru dalam writing kali ini.  Ada dua macam berita yang pada saat itu dapat membuat hati dan jantung menjadi tidak karuan, yaitu:  pertama, mengenai class review yang semakin bertambah, yaitu lima halaman.  Bukan hanya sebatas class review tetapi ditambah chapter review, opinion essay, critical review dan argument.  Itu semua membuat hati menjadi shock.  Kedua, berita ini adalah berita bahagia yang berkaitan dengan kelas kita tercinta, yaitu PBI-D/4 berada pada peringkat teratas pada mata kuliah phonology semester 3 yang lalu dari empat kelas yang tersedia, yaitu 86, 69.  Peringkat ini kita dapatkan semata-mata hanya karena kerja keras dan kekompakan kelas yang sangat kuat.

Berbicara mengenai academic writing, ini sangat berbeda dengan writing pada umumnya.  Salah satu perbedaannya adalah pada pembahasan tulisan.  Pada writing biasa, biasanya bersifat bebas.  Sedangkan dalam academic writing lebih melihat dan mngedepankan aspek akademiknya, bukan hanya sekedar menulis.  Perbedaan berikutnya yaitu:  Jika pada writing biasa, penulisan pada kalimatnya cenderung menggunakan kalimat aktif.  Contoh:
Ø  I conducted this research in a year
Tetapi akan berbeda halnya jika di dalam academic writing, penulisan pada setiap kalimatnya cenderung menggunakan bentuk pasif.  Seperti halnya di atas, contoh tersebut berbentuk aktif dan akan dirubah ketika konteksnya dalam academic writing menjadi kalimat bentuk pasif.  Caranya dengan menghilangkan atau tidak memunculkan kata “I” yaitu yang mencirikan identitas diri sing penulis menjadi sesuatu yang impersonal, yaitu:
Ø  This research was conducted
Artinya bahwa sang penulis tidak memunculkan identitas dirinya sendiri melainkan menyatakan bentuk keumuman, dan penulis akan memunculkan identitasnya pada bagian argument.
            Setelah selesai pembahasan mengenai gambaran tentang academic writing beserta dengan kriteria-kriteria tugas yang akan diberikan setiap pertemuan, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai tiga aspek yang harus dipenuhi, yaitu yang digambarkan dengan segitiga yaitu ada TEXT – CONTEXT – READER. Maksudnya adalah seperti yang sudah kita ketahui bahwa sebuah tulisan itu harus terdiri dari text dan konteks untuk mencapai sebuah kepemahaman bagi para pembacanya dan bagaimana kita sang penulis bisa memuaskan pembaca tersebut dengan tulisan kita.
            Selain itu ada juga penjelasan yang ada di dalam slide, yang isinya mengenai garis besar writing empat dan beberapa pendapat para ahli dibidang writing.  Salah satunya adalah Hyland, pendapatnya adalah sebagai berikut:
Ø  Learning how to write in second language is one of the most challenging aspect of second language learning ( Hyland: 2003 ).
Ø  Even for those who speak english as a first language, the ability to write effectively is something that requires exensive and specialised instruction ( Hyland: 2003 & 2004 ).
Maksudnya adalah Hyland berpendapat pada pernyataan pertama yaitu bahwa belajar nulis dalam bahasa kedua itu lebih menjadi sebuah tantangan dari pada mengguanakan bahasa utama kita yang sudah terkuasai sebelumnya.  Sedangkan maksud dari pernyataan kedua adalah bahwa meskipun seseorang yang menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa utamanya, maka kemampuan menulis efektifnya masih membutuhkan jam terbang atau pengalaman yang lebih banyak dan instruksi khusus.  Seperti kata Mr. Elbi bagaimana kita bisa menulis dengan bahasa inggris kalau bahasa indonesia kita saja masih belum menguasai.
Tantangan kita saat ini dalam mata kuliah writing adalah meneliti bagaiamana teori-teori penulisan dan pengajaran yang telah berevolusi dan mempelajari berbagai macam hal yang terkait dengan writing ini.
Sehubungan dengan writing tidak akan jauh lepas dari peran seorang guru ( Hyland: 2002).  Seorang guru yang efektif adalah salah satu yang dapat menginformasikan tentang metode, material dean prosedur untuk digunakan dalam kelas, yang didasarkan pada pemahaman yang jelas mengenai sikap saat ini dan praktek yang sesuai dengan profesinya.
Kemudian ada pengingat sederhana yang terdapat pada slide, yaitu:
1.        Menulis itu melibatkan penyesuaian pengetahuan dan ketrampilan mengenai teks – konteks – pembaca.
2.        Layaknya ketrampilan pada umumnya menulispun lebih baik dengan banyak praktek.
3.        Bahasa pertama adalah pondasi untuk bahasa yang kedua.

            Jadi kesimpulannya adalah saat ini pada kelas academic writing empat ini, kita dituntut untuk belajar lebih keras lagi mengenai semua aspek yang berkaitan dengan writing.  Karena writinglah yang nantinya akan membawa kita sejajar dengan negara-negara lainnya yang jauh lebih baik dari segi penulisannya.  Inipun tidak lepas dari peran seorang guru atau dosennya sendiri.  Jika dosen atau gurunya saja tidak bisa menulis, lalu bagaimana dengan anak didiknya?
            Maka hal yang paling utama untuk dilakukan saat ini adalah membenahi pemikiran dan cara pandang peserta didik sebagai calon generasi penerus bangsa untuk sadar akan ketertinggalan dalam aspek produksi karya ilmiah dan menyadarkan mereka bahwa memang menulis itu adalah modal utama untuk kemajuan bangsa dan negara.




RENDAHNYA LITERASI DI INDONESIA

Academic writing atau menulis akademik merupakan suatu hal yang sebenarnya sudah tidak asing lagi di telinga para mahasiswa.  Contohnya adalah skripsi, tesis dan desertasi, hal ini sesuai dengan tingkatan akademiknya.  Ketiganya itu termasuk kedalam kategori menulis akdemik, yang secara langsung mengajar berbagai macam hal di dalamnya kepada mahasiswa. Seperti halnya skripsi ada tujuannya untuk membantu mahasiswa untuk belajar akademik dan sedangkan tesis membantu mahasiswa untuk belajar penelitian dan desertasi juga dapat membuat mahasiswa bisa membangun atau menghasilkan teori dan rumus-rumus baru mengenai hal yang bersangkutan.
Seperti halnya dalam beberapa teks yang diberikan dalam kelas writing kali in yang kurang lebih akan membahas mengenai akademik writing dan perspektif para ahli.
Menurut artikel A. Chaedar Alwasilah yang dimuat dalam pikiran rakyat, 28 februari 2012 dengan judul “ (bukan) bangsa penulis” dalam buku “ pokoknya rekayasa literasi” menjelaskan bahwa mayoritas sarjana lulusan perguruan tinggi tidak bisa menulis, bahkan kemampuan dosennyapun dalam hal menulis mayoritas bisa dikatakan tidak bisa.  Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa sama seperti pepatah mengatakan kalau guru kencing berdiri, murid kencing berlari.  Maksudnya adalah bagaimana peserta didik akan pandai dalam menulis sesuatu jika dosennya saja tidak memiliki ketrampilan dalam menulis sesuatu.
Hal  yang paling mengejutkan adalah ketika mengetahui bahwa saat ini negara kita sudah jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga, bisa dilihat dari jumlah karya ilmiah yang diproduksi oleh perguruan tinggi di Indonesia secara total itu masih sangat rendah jika dibandingkan dengan malaysia, apalagi Amerika.  Persaingan dengan Malaysiapun kita (Indonesia) hanya 1/7 dari Malaysia.  Sedangakan jumlah penduduk negara Malaysia saat ini sekitar 25 juta, hampir 1/10 dari populasi indonesia.  Jika di lihat dari rata-rata jumlah terbitan bukunya saja di indonesia saat ini hanya sekitar 8 ribu judul pertahun.  Jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalannya dan mengimbangi Malaysia, maka akan dibutuhkan peningkatan penerbitan sekitar 10 kali lipat atau 80 ribu judul buku pertahun yang harus terbit di Indonesia.
Indonesia sudah jauh berada dibawah jika dibandingkan dengan negara lain dalam pendidikannya.  Amerika selalu membiasakan mahasiswanya untuk banyak menulis essay atau laporan, bukan disibukkan ketika skripsi, tesis atau desertasi saja.  Karena itu negara-negara yang seperti itu lebih maju pesat mutu pendidikannya dibandingkan Indonesia.
Hampir setiap tahun mereka memproduksi jurnal atau karya ilmiah.  Ini semua termasuk pembelajaran yang efektif dibandingkan empat tahun hanya bisa memproduksi satu karya ilmiah (skripsi, tesis atau desertasi). 
Perbedaanya sangat jelas terlihat antara Indonesia dengan Amerika Serikat, persoalan yang sangat akrab kita temui diperkuliahan adalah susahnya ketika membuat skripsi, tesis atau desertasi.  Karena apa?  Maka jawabannya adalah karena kita tidak dibiasakan untuk belajar menulis dan melakukan penelitian seperti di Amerika.  Mereka bahkan memaksa mahasiswanya untuk bisa suka dengan menulis, seperti:  Essay, laporan, ringkasan bab, review buku, dan sebagainya.  Yang nantinya akan dikritiki oleh para dosennya.  Sehingga mahasiswa di Amerika sudah benar-benar terlatih dan tidak perlu untuk mebuat skripsi, tesis atau desertasi untuk syarat kelulusan disetiap jenjang pendidikannya.
Sebenarnya bukan hanya mahasiswa yang haru selalu dipaksa untuk bisa menulis, tetapi hal seperti ini tidak akan lepas dari peran tenaga pendidiknya sendiri.  Karena semuanya akan berdampak baik jika tenaga pendidiknya profesional dan berkualitas.  Tetapi jika seorang tenaga pendidiknya tidk berkualitas maka akan dibawa kemana bangsa dan negara kita?  Yang notabene hanya butuh penyesuaian pengajaran saja.
Kemudian, pada artikel kedua yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah, 14 januari 2012 yang dimuat dalam Jakarta pos dengan judul “powerful writers versus the helpless reader” masih dalam buku “pokoknya rekayasa literasi”.  Menjelaskan bahwa ada dua macam istilah yang digunakan dalam artikel ini, yakni penulis kuat dan pembaca tak berdaya.
Pembaca tak berdaya adalah pembaca yang secara sepihak menilai dirinya sendiri tidak seimbang atau selevel yang tingkatan litersinya jauh diatas dia.  Hal ini sering terjadi dikalangan mahasiswa-mahasiswa yang mendapatkan dosen dan pengajaran yang kurang tepat.
Seperti halnya pada teks ini, dosen lulusan negeri itu biasanya mereka hanya bisa memproduksi dan mengadopsi pengalaman dan pengajaran selama ia belajar di luar negeri untuk diajarkan kembali kepada mahasiswanya seperti dengan banyaknya mengimpor buku.  Sebenarnya dan seharusnya para dosen ini lebih mendahulukan untuk mengambil referensi dari indonesia dulu atau setidaknya dosen tersebut harus menulis bukunya sendiri agar tidak timbul anggapan bahwa kualitas buku indonesia itu sangat rendah dibandingkan luar negeri.
Sedangkan menurut artikel yang kedita yang ditulis oleh C.W. Watson yang dimuat dalam Jakarta pos, 11 februari 2012, dengan judul “learning and teaching process more about readers and writers” dalam buku yang berjudul “pokoknya rekayasa literasi”.  Menjelaskan bawha menurut hasil penelitian mengenai baca tulis di pascasarjana UPI, sebagian mahasiswanya tidak bisa menganalisa prosa.
Menurut pernyataan tersebut secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesiamasih acak adul, tepatnya dari segi baca tulisya.  Didalam teks ini penulis mengatakan bahwa penulis kurang puas dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia terutama kurikulum yang terus berevolusi.

Jadi kesimpulan dari ketiga teks tersebut adalah jika indonesia ingin menyetarakan dan mensejajarkann mutu pendidikan dengan luar negeri, caranya adalah meningkatkan sumberdaya manusianya yaitu meningkatkan minat baca tulis para pelaku pendidikannya sendiri.
Sistem pendidikan, cara pandang dan cara berfikirnya harus dirubah.  Bukan hanya orientasi dalam hal membaca saja tetapi harus seimbang yatiu orientasi dalam mebaca dan menulis.  Karena saat ini tingkat kesadaran litersi di kalangan mahasiswa dan dosen sangat rendah.
Ketika seorang dosen malah banyak mengimpor buku dari luar negeri itu sebenarnya tidak salah, tetapi cara pengajaran dosennya yang kadang salah, terlalu memaksakan anak didiknya untuk mencapai level yang mereka inginkan tanpa adanya step by step.  Seolah-olah menganggap bahwa mahasiswanya akan menjadi doktor dan bisa setara pemikirannya dengan dosen tersebut.  Padahal itu salah besar dan bisa saja hal-hal yang seperti itu disebut dengan pelecehan intelektual.
Cara pandang yang seperti inilah yang harus jadi jadikan sorotan utama untuk secepatnya dibenahi dan dari ketiga teks tersbut dapat dibuktikan betapa tak berdayanya kualitas literasi di negeri ini.  Pembelajaran yang kurang efektif dengan menerapkan sistem belajar luar negeri.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kemajuan dan kesuksesan pendidikan di Indonesia tergantung tingkat minat baca tulis para pelaku pendidikannya sehingga menurut mereka harus mengikuti standarnya, yaitu harus bisa menulis ! dengan catatan jangan ada unsur penyalahgunaan sistem pengajaran karena pada dasarnya kita bangsa indonesia adalah bukan bangsa penulis.
Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment