Saturday, February 22, 2014
Created By:
Hilmi Salam
2nd
Class Review
It’s Time to Realize
Who am I?
Karakteristik dari setiap mahasiswa
sudah tentu berbeda, terutama pada kelas writing 4 pada semester ini. Kemampuan
menyimak sangat penting sebagai modal penting ke dalam tulisan, jika kemampuan
menyimak begitu rendah, maka kualitas tulisan yang dihasilkan pun tidak begitu
baik. Pada pertemuan ketiga ini membahas materi kedua tentang “Siapakah
sebenarnya diri kita?” sebagai pembahasan umum di kelas. Dengan ekspektasi dari
dosen agar mahasiswa mengetahui kadar kemampuan dan sikap di dalam kelas. Mr.
Bumela menampilkan slide dengan menulis beberapa kategori setiap mahasiswa
sebagai pertanyaan atau bisa diibaratkan sebagai cerminan diri.
Pertanyaan sederhana dengan
menyediakan beberapa jawaban yang termasuk kategori kebiasaan mahasiswa dalam
mengikuti proses kegiatan belajar mengajar. “Who are you in my class?” Siapakah
dirimu di kelas/mata kuliah saya? Begitu pertanyaan yang menuntut mahasiswa
mengetahui siapa sebenarnya diri mereka, yang menjadi bahasan itu bukan tentang
siapa dan seperti apa status pribadi mahasiswa, namun kategori sikap
pembelajaran di dalam kelas.
ü Mahasiswa
yang hanya mengikuti pembelajaran tanpa tujuan yang jelas?
o
Karena banyak diantara mahasiswa hanya
dating mengikuti proses pembelajaran dengan berdiam didi menghabiskan waktu jam
pelajaran hingga berakhir. Mahasiswa dengan kategori ini akan sulit menyerap
informasi dengan baik karena pikiran mereka tidak sepenuhnya terfokus.
ü Mahasiswa
yang mengerjakan setiap tugas tidak dengan sepenuh hati
o
Setiap mengerjakan suatu hal alangkah
baiknya didasari dengan niat dan dilakukan sepenuh hati untuk hasil yang
maksimal.
ü Mahasiswa
yang mengerjakan tugas hanya untuk mendapatkan nilai tertinggi?
o
Paradigma setiap mahasiswa sering kali
salah, mereka mempunyai tujuan hanya mengejar nilai, padahal sebenarnya tujuan
dari pembelajaran adalah untuk mengerti dan memahami setiap materi bukan
berorientasi pada nilai yang tinggi.
ü Mahasiswa
yang menulis tanpa segenap jiwa
ü Mahasiswa
yang hanya mencoba menyelesaikan kewajiban yang tertera pada kontrak belajar?
o
Ini berarti mereka hanya menggunakan
kewajiban tanpa berfikir bahwa menuntut ilmu adalah sebagai kebutuhan.
Berlanjut
pada pandangan Mr. Bumela sebagai dosen atau pelatih dalam lapangan writing,
beliau menyimpulkan dengan perspektif beliau pandangan terhadap mahasiswanya.
Beliau dengan positif beranggapan bahwa mahasiswanya adalah penulis yang mampu
menulis dan memahami dengan efektif, mentransformasikan dengan usaha menjadi
pembaca yang kritis dan mampu merubah keadaan dunia sebagai ekspektasinya.
Seperti
yang diungkapkan oleh Ken Hyland yang tertulis pada bukunya yang berbunyi bahwa
menulis itu berdasar pada harapan, harapan seperti apakah yang dimaksudkan?
Dalam bukunya yang berjudul second language writing memaparkan tentang mengajar
writing mempunyai beberapa focus pembahasan yang diantaranya yaitu:
1. Language
structure
2. Text
function
3. Themes
or topics
4. Creative
expression
5. Composing
6. Content
7. Genre
and context
Mengacu
pada pertemuan minggu lalu bahwa sifat dari akademik writing itu ada empat
yaitu:
Ø Impersonal
o
Pada akademik writing alangkah lebih
baik tidak meonjolkan point of view sebagai penulis dengan menggunakan subjek
“I” pada penulisannya, namun menggunakan kalimat lain yang lebih akademis.
Ø Reference
o
Academic writing mempunyai bobot yang
lebih tinggi dari karya tulis biasa maka dari itu kekuatan data sangat penting
dengan menyuguhkan beberapa referensi.
Ø Formal
o
Menggunakan kosa kata yang baku sehingga
identitas academic writing dapat nampak jelas tidak menggunakan kata-kata
slang.
Ø Rigid
o
Pembahasan yang terfokus pada objek
penelitian sehingga tulisan terkesan kaku tidak lugas.
Pernyataan
berlanjut dari Lehtonen yang diantaranya memaparkan tentang relasi antara teks
yang diproduksi oleh penulis dan meaning sebagai tujuan yang harus didapat dari
proses membaca. Nucleus yang disusun pada meaning dari seorang pembaca, semua
itu berada pada meaning. Dengan demikian jelas bahwa antara teks dan reader itu
tidak bisa dipisahkan karena saling membutuhkan satu sama lain, tapi pada
kenyataannya dari kedua aspek tersebut mempunyai hasil yang berbeda, writer
memproduksi teks di mana nucleus dan meaning berada, kemudian reader sebagai
konsumen yang membutuhkan meaning.
Secara keseluruhan kegiatan baca
tulis sangat penting karena merupakan perantara menuju sukses dalam menuntu
ilmu, sehingga ekspektasi sebagai mahasiswa dalam kategori “A” dapat diperoleh,
bukan berfikir tentang nilai yang diraih namun mendapatkan nilai baik dalam
segala aspek.
1st
Chapter Review
Topeng
Literasi
Sebelum melangkah lebih jauh menuju
inti dari dilemma “Rekayasa Literasi” maka pengertian dan definisinya bisa
disimpulkan bahwa dari pendapat dan analisa dari Edition Oxford Advanced
Learners Dictionary, 2005:898 diketahui literasi adalah kemampuan membaca dan
menulis. Menengok pengertian yang diungkap oleh
Setiadi (2010( sebenarnya kata literasi itu justru jarang digunakan,
yang umum digunakan yaitu pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Seperti
pada sejarahnya dahulu literasi diartikan sebagai pendidikan, namun seiring
waktu pendidikan dasar saja tidak cukup mengandalkan baca dan tulis, karena
pada dasarnya literasi merupakan proses realisasi dari persoalan social dan
politik yang tercakup pada aspek cultural.
Hakikat literasi tidak terpisahkan dari
beberapa aspek yang membangun sebuah pondasi yang disebut dengan model
literasi. Diantara dari beberapa aspek tersebut ialah, memahami, melatih,
menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks. Tentu saja semua itu
mempunyai relasi yang sangat kuat dalam berliterasi. Dengan memahami tentu saja
untuk mengerti tujuan penulis, kemudian dengan melatih dan menggunakan ilmu
yang telah didapat, dianalisis dengan mengumpulkan informasi yang cukup pada
akhirnya ditransformasikan pada kehidupan sehari-hari.
Masih “berenang” pada level
pengertian tentang literasi tersebut sebelum mengetahui mengapa literasi
identik direkayasa atau menggunakan topeng untuk peningkatan kualitas mutu
dalam pengajaran membaca dan menulis. Literasi mempunyai tujuh dimensi yang tercakup
dalam dimensi geografis, di setiap bidangnya (pendidikan, komunikasi,
administrasi, militer), dimensi keterampilan, dimensi fungsi, dimensi media
orang literat dan dimensi bahasa orang yang literat. Setelah dikategorikan
seperti yang tersebut sudah diketahui banyak aspek yang harus dikuasai untuk
mencapai peringkat literat.
Beberapa data yang dikategorikan
pada perkembangan ilmu pengetahuan bisa dilihat dari pengembangan, potensi diri
dan pengetahuan karena pada dasarnya dari bahasa ibu dapat mengembangkan
potensi diri untuk berekspresi.
v Standard
Dunia
o
Literasi yang befungsi sebagai nilai
ukur kualitas pendidikan bangsa.
v Warga
Masyarakat Demokratis
o
Literasi mempunyai peran dalam
menjunjung tinggi nilai demokratis
v Keragaman
lokal
o
Ketika manusia menyadari adanya
keragaman budaya yang berkembang di sekitarnya
v Hubungan
Global
o
Adapun literasi dalam lingkup
internasional yang mengharuskan setiap orang memilikinya
v Kewarganegaraan
yang efektif
o
Warga Negara dituntu harus berperan
aktif pada setiap bidang
v Bahasa
Inggris ragam dunia
o
Setiap orang seluruh dunia mempunyai
latar belakang bahasa yang berbeda sehingga kerap kali dalam berbahasa Inggris
bahasa lokal yang kenal masih mengkontaminasi bahasa Inggrisnya.
v Kemampuan
berfikir kritis
o
Adapun keterampilan di luar konteks
kegiatan literasi adalah hal yang tidak jauh dengan keterampilan bukan hanya
ditunjukkan direalisasikan dengan hasil yang dibuat oleh tangan, namun juga
bisa dilaksanakan dengan cara berfikir kritis bagaimana menyikapi dan
menganalisis sebuah data
Ada
poin yang terdengar asing mengenai pembahasan sintaksis, semantic dan pragmatic
yang diungkap oleh para ahli dikemasi dengan nama semiotic atau yang mengkaji
tentang budaya. Beberapa komponen tersebut merupakan sel-sel yang dapat
dianalisis dari kegiatan literasi. Jika masyarakat Indonesia mampu
mengaplikasikan semua komponen yang telah disebutkan di atas, sudah pasti kita
tidak memerlukan lagi “topeng” yang membelenggu kita seolah dari kita adalah
orang literat namun pada kenyataannya adalah bukan, usaha ini merupakan satu
cara untuk peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Memang tidak ada yang
salah dengan semua ini mengingat tujuan “Rekayasa Literasi” untuk membudayakan
masyarakat Indonesia bergaul baik dengan kehidupan literasi sehingga harapan
menjadi masyarakat yang madani dan cerdas dapat tercapai tanpa belenggu dari
topeng literasi.
Terdapat
data konkret dalam produksi buku di Indonesia, dengan fakta ini apakah ini
sebuah ketertinggalan dan kualitas SDM yang rendah? Pada data yang ditemukan,
Indonesia masih pada titik yang rendah hanya mampu memproduksi 6000 buku
pertahun, padahal jumlah tenaga pengajar, dosen yang ada di Indonesia sangat
banyak dan bisa dikatakan sangat produktif dalam penciptaan beberapa buku
sebagai referensi. Tercata ada 231.786 dosen, dengan jumlah sekian “suburnya”
sudah seharusnya dari jumlah ini dapat memproduksi lebih banyak lagi hingga
77.000 buku pertahun. Entah apa yang terjadi dengan dunia pendidikan di
Indonesia dalam ruang linkup lingkungan akademi, apakah masalah
profesionalisme? Mungkin saja benar karena untuk menjadi seorang tenaga
pengajar professional itu tidak cukup dengan materi dan keinginan, namun
dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi agar hasil akhir dapat maksimal
mengacu pada tujuan utama menjadi seorang tenaga pengajar yang professional.
Ada beberapa indikator sebagai tolak
ukur seperti apa dan apa saja yang harus diperhatikan untuk menjadi seorang pengajar
yang professional diantaranya:
a. Komitmen
professional
b. Komitmen
etis
c. Strategi
analitis dan reflektif
d. Efikasi
diri
e. Pengetahuan
bidang studi
f. Keterampilan
literasi & numerasi
Pada
hal pertama tentu saja berbicara tentang komitmen itu sudah harus menjadi
tanggung jawab sebagai orang yang berprofesi kemudian dengan etis harus
mengetahui aturan-aturan yang pantas dan tidak melenceng. Ketika strategi
analitis mempunyai peran penting untuk kepastian informasi yang diberikan
kemudian direfleksikan pada kehidupan sehari-hari. Efikasi diri dan pengetahuan
yang luas sebagai referensi dari setiap bidang studi juga tidak boleh
terlewatkan mengenai keterampilan literasi dan numerasi sebagai bahan baku
penting pembuatan bibit unggul seorang tenaga pengajar yang professional.
Seperti
yang tertera pada judul chapter review ini, rekayasa literasi yang diibaratkan
sebuah topeng itu sebenarnya merekayasa sistem pengajaran membaca dan menulis
dapat diilustrasikan seperti penjelasan di bawah ini:
Penjelasan tersebut menggambarkan
empat dimensi yang mempunyai kekuatan relasi dalam literasi (membaca dan
menulis) skill, perkembangan, social kemudian teks sebagai objek penggerak
tidak bsia dipisahkan. Jika mengacu pada indikator literasi yang mempunyai
peran penting dalam perkembangan mutu manusia yang secara fungsional mampu
membaca, menulis, cerdas dan menunjukan apreasiasi terhadap sastra. Adapun
strategi untuk memahami dan mempelajari literasi dengan tiga paradigm yang
diantaranya adalah wajib dimiliki:
1. Decoding
2. Keterampilan
3. Bahasa
secara utuh
Yang
dimaksud dengan decoding adalah penguasaan kode bahasa, karena dalam berbahasa
harus mengetahui kode-kode dari setiap bahasa tersebut yang identik. Kemudian
dikaitkan dengan keterampilan dalam bahasa yang pada misinya siswa harus bisa
menguasai sistem morfonik bahasa. Bahasa secara utuh yakni pemahaman secara
menyeluruh bukan hanya penambahan kosa kata baru namun tahu makna yang
dikandung dari kata tersebut. Dari beberapa poin tersebut bisa dikatakan
strategi untuk sukses berbahasa.
Bercermin
kepada dilemma yang melanda kebanyakan para sarjana yang bertitel ahli sastra
namun title hanyalah title jika pada dasarnya kemampuan dalam literasi (membaca
dan menulis) saja belum terkuasai atau bisa disebut tidak bisa menulis, sungguh
ironis dan sudah saatnya untuk berbenah diri. Ketika professor tidak mampu
mempertanggung jawabkan hasil karya tulisnya pada kepakaran yang mereka geluti.
Jika mencari kesalahan dalam hal ini tentunya akan menjadi problema yang akan
sangat panjang untuk dibahas, semua kemungkinan bisa saja menjadi penyebabnya,
dari mulai sistem pendidikan, metode dan teknik pengajaran selama ini kurang
mencerdaskan sebagai alasan logisnya. Adapun yang telah terjadi pada dunia
pendidikan di Negara ini tidak harus mencari kambing hitamnya, guru tidak patut
disalahkan atas kesalahan dari sistem pendidikan di negeri ini, hal yang
terpenting adalah menanamkan budaya literasi dalam kehidupan sehari-hari agar
menjadi orang yang literat melekat pada setiap individu atau masyarakat Indonesia
yang sempat di-judge sebagai Bukan Bangsa Penulis.
Terlihat
perubahan dinamis dalam paradigm pengajaran literasi, seperti table di bawah
ini mengungkap perbedaan masa lalu dan kini.
Dulu
|
Kini
|
Bahasa
adalah sistem struktur yang mandiri.
|
Bahas
adalah fenomena sosial.
|
Fokus
pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
|
Fokus pada
serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung.
|
Berorientasi
ke hasil.
|
Berorientasi
ke proses.
|
Fokus pada
teks sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa.
|
Fokus pada
teks sebagai realisasi tindakan komunikasi.
|
Mengajarkan
norma-norma perspektif dalam berbahasa.
|
Perhatian
pada variasi register dan gaya ujaran.
|
Fokus pada
penguasaan keterampilan secara terpisah.
|
Fokus pada
ekspresi diri.
|
Menekankan
makna denotatif dalam konteksnya.
|
Menekankan
nilai pada komunikasi.
|
Terjadi
perubahan paradigm dengan bertujuan berkembangnya literasi. Namun pada intinya
literasi butuh pengaplikasian secara real tanpa dibalut topeng agar mutu dari
setiap pengajaran dapat dengan jelas terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Faktanya Indonesia dengan tubuh Perguruan Tinggi bertopeng literasi membuat dilemma
akademisi melenceng dari ekspektasi menjadi orang yang literat.
Author: Hilmi Salam


Subscribe to:
Post Comments (Atom)