Saturday, February 22, 2014

A Tremendous Breakthrough for Academic Writing


A Tremendous Breakthrough for Academic Writing
Sebuah gebrakan yang dahsyat dalam mata kuliah “Writing and Composition 4”. Hal ini menunjukkan perubahan diri dari seorang mahasiswa bahasa menjadi mahasiswa menulis, dan juga dapat membuat informasi pilihan dalam hidup yang bisa mengubah dunia. Oleh karena itu, agar kompetensi yang diharapkan dapat tercapai, mahasiswa harus membuka diri dan siap menerima pemikiran baru serta mampu menerapkannya.
Hyland mengatakan, "menulis adalah praktek didasarkan pada harapan : peluang pembaca menafsirkan maksud penulis meningkat jika penulis mengambil kesulitan untuk mengantisipasi apa yang pembaca mungkin mengharapkan didasarkan pada teks-teks sebelumnya ia telah membaca dari jenis yang sama".

Hoey ( 2001) seperti dikutip dalam Hyland ( 2004), mengibaratkan para pembaca dan penulis untuk penari mengikuti langkah-langkah masing-masing, setiap rasa perakitan dari teks dengan mengantisipasi apa yang  kemungkinan lain akan dilakukan dengan membuat koneksi ke teks sebelumnya. Dengan kata lain, bagi saya penulis-pembaca membuat sambungan yang disebut dengan seni.
Menulis diperlukan bagi semua siswa di pendidikan tinggi. Ini adalah sebuah proses yang dimulai dari pemahaman tugas-tugas dari dosen. Hal ini kemudian melanjutkan untuk melakukan penelitian dan membaca. Tahap selanjutnya adalah perencanaan dan menulis berbagai draf, tahapan ini diikuti dengan bukti membaca dan mengedit. Semua ini harus mengarah pada teks final. Menulis akademik adalah praktek sosial. Dengan praktek sosial berarti bahwa apa yang orang lakukan bersama selalu menulis dengan pembaca dalam pikiran. Kita selalu menulis dengan tujuan : untuk menjelaskan, untuk membujuk dll. Ini juga berarti bahwa apa yang benar dan salah, tepat atau tidak tepat didefinisikan oleh pengguna dalam komunitas sosial.
Seiring berjalannya waktu, mata kuliah ini seperti biasanya berjalan dengan lancar. Sistem pengajaran Mr.Lala pun masih bertahan seperti dulu. Ketika itu, satu demi satu beliau memberikan pertanyaan kepada kita semua yang mencakup materi dalam mata kuliah ini. Gebrakan yang dahsyat itu, Mr.Lala ingin mencoba orientasi baru pada mata kuliah “Writing and Composition 4” ini, terdapat 3 orientasi baru yang diterapkan oleh beliau, yaitu:
Bagan di atas menjelaskan tentang academic writing. Menulis akademik adalah menulis karya ilmiah atau laporan untuk kepentingan akademik dengan mengikuti aturan-aturan penulisan yang baku. Menulis akademik (academic writing) bukan pekerjaan yang sulit, tetapi juga tidak mudah. Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun seseorang dapat melakukannya. Ketakutan akan gagal bukanlah penyebab yang harus dipertahankan. Itulah kiat yang ditawarkan oleh David Nunan (1991: 86-90).
Dalam hal ini,  mengkondisikan tidak hanya membuat tulisan berdasarkan perspektif kita semata. Tetapi mengharapkan untuk mampu menguraikannya melalui tulisan yang terkait dengan bidang study yang sedang dipelajari. Penulisan akademik memang memerlukan kualifikasi tersendiri. Oleh karena adanya kualifikasi khusus tersebut, diperlukan beberapa langkah persiapan sebelum penulisan dimulai, diantaranya mengidentifikasi dan menseleksi sumber informasi, menelusuri hasil temuan penelitian dan teori yang sudah ada, membaca sumber terkait secara kritis dan menganalisa hasil penulisan serta struktur penulisan dari esai yang akan ditulis, apakah sudah memenuhi komponen yang diinginkan atau belum.
Disamping itu, kita harus mampu menulis kritis dan membaca kritis secara deskriptif. Serta memberikan fakta-fakta, pembaca tidak hanya sekedar menyerap masalah yang ada, tetapi ia bersama-sama penulis berpikir tentang masalah yang dibahas. Membaca kritis berarti harus membaca secara analisis dan dengan penilaian. Dalam membaca kritis, pembaca harus terbuka terhadap gagasan orang lain. Pembaca harus mengikuti pikiran penulis secara tepat, akurat dan kritis. Akurat artinya dalam hubungan relevansi, membedakan yang relevan dan yang tidak relevan atau tidak benar. Kritis berarti menerima pikiran penulis dengan dasar yang baik, logis, benar atau menurut realitas. Karena dalam membaca kritis, membaca akan menganailis, membandingkan dan menilai. Serta adanya kebenaran dan didukung dengan bukti. Sedangkan menulis kritis mengetahui apa yang sedang dibaca, perlu juga diketahui alasan yang mendorong penulis menuliskannya dalam sebuah tulisan. Selain itu perlu juga mengatahui sudut pandang penulis melalui alasan yang dibuat atau upaya penulis untuk meyakinkan pembacanya berpikir agar pembaca percaya. Alasan tersebut dapat ditemukan dengan mudah atau sulit karena dapat terletak di awal, tengah, akhir, ataupun menyebar di berbagai tempat atau paragraf. Terdapat bagian akhir yang tidak kalah pentingnya yaitu pendapat kita terhadap tulisan yang dibaca. Setelah memahami alasan penulisan dan bukti-bukti yang diajukan penulis, saatnya melihat pandangan kita. Apakah penulis berhasil meyakinkan kita dengan mengacu pada bukti-bukti. Pada awal tulisan, kita  sepaham dengan gagasan penulis tetapi hingga akhir tulisan yang dibaca, kita menyimpulkan bahwa penulis tidak dapat memenuhi apa yang dijanjikannya. Sebagai pembaca kritis, tidak perlu menyesal telah membaca  suatu tulisan karena tidak paham, sebab dalam membaca tulisan ada tulisan yang isinya kurang bagus dan juga cara penyajiannya juga membingungkan pembacanya.
Setelah menjadi penulis kritis dan pembaca kritis, kita siap untuk memproduksi suatu karya. Karena kita telah mempunyai segudang ilmu yang telah dapat dari informasi sebagai pembaca serta pengalaman yang telah kita telusuri. Sehingga menghasilkan pengetahuan yang baru sesuai dengan pengalaman sendiri. Dengan begitu, menulis adalah cara untuk mengetahui sesuatu, cara untuk menyajikan sesuatu, dan cara untuk memproduksi sesuatu. Ini adalah termasuk level yang sangat tinggi, dimana jika kita akan mendapatkannya dengan membutuhkan waktu yang cukup lama dan juga proses untuk mencari pengetahuan baru maupun informasi yang baru.
 
Keberadaan pengarang atau penulis dan karya sastra tentunya tidak pernah lepas dari pembaca.  Tanpa pembaca, fungi sastra tidak memiliki perannya dalam karya. Hal itu karna antara ketiganya memiliki hubungan yang tak dapat dipisahkan, khususnya hubungan antara pengarang dan pembaca dengan menjadikan karya sastra sebagai sarananya penghubungnya.
Pembaca sastra merupakan penerima karya sastra dengan berbagai penafsiran sesuai dengan pandangan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini terdapat hubungan interaksi komunikasi secara tidak langsung antara pengarang dan pembaca. Penulis menambahkan, Jika dikaji lebih mendalam terdapat ikatan-ikatan yang bersifat mutlak antara pengarang dan pembaca, baik dari segi psikis, spiritual dan sosiologis. Serta hubungan emosional dalam rangka mengungkap hal-hal tersebunyi didalamnya sehingga karya sastra tersebut dapat diterima dan dapat pula menunjukkan perannya di tengah-tengah masyarakat (sosial). Bentuk penerimaan tergantung pada tingkatan pembaca. Ada pembaca sastra awam, ada pembaca sastra yang sastrawan, ada pembaca sastra kritikus, ada juga dari kalangan akademisi. Setiap pembaca mempunyai cara tersendiri dalam menerima karya sastra.
Untuk menjadi Act of Writing membutuhkan fokus yang tinggi serta tenaga yang kuat. Karena kunci utamanya adalah membaca. Sedangkan, para mahasiswa saat ini jarang untuk membaca buku-buku. Seharusnya menjadi mahasiwa bisa memproduksikan teks dan teks diproduksikan oleh kita sebagai mahasiswa. You produced text and text produced you. Jika kita ingin menjadi Act of Writing, bacalah apa yang diinginkan, tuliskan apa yang didapat dan bagikan apa yang telah didapatkan. Proses tersebut akan terwujud jika adanya keinginan dalam diri kita sendiri.
Jadi, kita sebagai mahasiswa harus memiliki kualitas dan juga literasi yang tinggi. Jika kita telah memilikinya maka kita akan memiliki cita rasa dalam sastra. Dengan begitu, kita mempunyai keinginan dalam diri sendiri untuk mempelajari academic writing hingga menjiwa dalam tubuhnya. Hal itu menunjukkan bahwa kita sebagai mahasiswa siap menjadi generasi muda yang mampu memproduksi beberapa karya sastra. Dalam orientasi baru yang diterapkan oleh Mr.Lala membuat gebrakan yang dahsyat untuk kita semua, hal ini adalah salah satu proses kita untuk meraih tujuan tersebut dan setiap minggunya, kita akan memproduksi tulisan-tulisan dengan kualitas yang kita miliki. Semoga dengan cara inilah kita semua akan menjadi Act of Writing.
Masih adakah jiwa literasi untuk anak bangsa?
Budaya baca tulis belum membudaya, belum benar-benar mendarah daging di Indonesia. Kini, budaya literasi di Indonesia menjadi persoalan yang sangat menari diperbincangkan. Namun di tengah persoalan budaya, buku tidak pernah lagi menjadi proritas utama. Padahal, buku adalah sebagai jendela ilmu pengetahuan. Dari buku kita mampu menyelam ke ribuan kilometer ke dalaman laut dan mengurangi tujuh samudera dunia. Ada pepatah mengungkapkan bahwa buku adalah gudangnya ilmu dan membaca adalah kuncinya. Apakah ungkapan ini masih berlaku ketika dunia semakin canggih dengan perkembangan teknologi yang pesat? Inilah yang menjadi persoalan bagi bangsa Indonesia. Untuk itu, kita mengupas tuntas apa yang terjadi di negeri ini seperti dalam buku “Rekayasa Literasi” oleh Prof.Chaedar Alwasilah, yaitu :
1.      Untuk pengajaran bangsa asing terdapat metode dan pendekatan atau (approach) dalam penggunaan periodisasi ini telah dikelompokkan oleh para ahli bahasa, yaitu :
·         Pendekatan Struktural
Pada pendekatan struktural ini fokus pembelajarannya menggunakan bahasa tulis dan penguasaan tata bahasa (Grammar Translation Methods). Tujuannya, agar melatih siswa mengidentifikasi jenis kata, unit-unit sintaksis (kata, frase, klausa). Namun, pendekatan ini tidak menjamin siswa mampu menganalisis persoalan sosial, seperti bahasa iklan yang terkadang menyesatkan.
·         Pendekatan Audiolingual
Fokus pada dialog-dialog pendek yang membuat siswa akan beranalogi pada diaolg tersebut saat berkomunikasi secara spontan dan kurang memeberi ruang variasi ujaran untuk berbagai fungsi. Tetapi, dalam pendekatan ini penguasaan bahasa tulis terabaikan.
·         Pendekatan Kognitif
Fokusnya terletak pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa siswa sesuai dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya.
·         Pendekatan Communicative Competence
Siswa hanya menfokuskan pada berbahasa dan berkomunikasi secara komunikatif sehingga bisa berkomunikasi dengan spontan dan alami. Tujuannya, menjadikan siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi terbatas sampai dengan komunikasi spontan, alami dan bernalar. Disini, kita tidak hanya mengajari siswa untuk mengisi formulir secara benar, melainkan juga menyadarkan siswa terhadap konteks ekonomi sosial dari karu kredit sebagai mesin ekonomi kapitalis. Pendekatan komunikatif juga dianggap kurang eksplisit dalam upaya menjelaskan untuk dan fungsi, sehingga lahir tata bahasa functional atau sistematic functional grammar (SFG).
·         Pendekatan Literasi
Fokusnya menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai dengan tuntutan konteks komunikasi. Yang sangat menonjol dalam pendekatan ini adalah pengenalan berbagai genre wacana lisan maupun tulisan untuk dikuasai oleh siswa. Terdapat empat tahapan pembelajaran sesuai dengan kurikulum 2014, yaitu :
                                 I.     Membangun pengetahuan
                              II.     Menyusun model-model teks
                           III.     Menyusun teks bersama-sama
                           IV.     Menciptakan teks sendiri

Definisi Literasi
Menurut Edition Oxford Edvanced Learners Dictionary, 2005:898 litersi adalah kemampuan membaca dan menulis. Menurut Sehadi,2010 istilah literasi jarang dipakai yang sering dipakai adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Zaman dulu, literasi diartikan sebagai pendidikan, namun untuk sekarang pendidikan dasar tidak cukup mengandalkan baca dan tulis. Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan sosial dan politik. Namun, pada hakikatnya literasi tidak hanya membaca dan menulis bahkan kini ad lengkapan literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA dan sebagainya. Adapun model-model literasi menurut Freebody dan (Luke), yaitu :
Ø  Memahami kode dan teks
Ø  Terlibat dalam memakai teks
Ø  Menggunakan teks secara fungsioanl
Ø  Melakukan analisis dan menstransformasi teks secara kritis.
Keempat peran tersebut dapat diringkas dalam lima verba : memahami, melatih, menggunakan, menganalisis dan menstransformasi teks. Itulah hakikat beritersi secara kritis.

2.      Literasi tetap berurusan dengan pengguna bahasa, dan ini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait, yaitu :


·      Dimensi Geografis
Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi lokal, nasional, regional, atau internasional bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial. Diasanya dimensi ini lebih sering ditantang untuk memiliki literasi internasional daripada bupati.
·      Dimensi Bidang
Literasi tampak dibidang pendidikan, komunikasi, administrasi militer dan sebagainya. Contoh dalam bidang pendidikan, jika bidang pendidikan berkualitas tinggi maka literasipun akan berkualitas tinggi pula.
·      Dimensi Keterampilan
Literasi seseorang akan tampak dalam kegiatan membaca, menulis, menghitung dan berbicara. Kualitas tulisan bergantung pada “gizi” bacaaan yang bisa disantapnya. “Gizi” itu akan tampak ketika ia berbicara. Untuk menjadi sarjana yang baik, tidak cukup mengandalkan litersi, diapun mesti memiliki numerisasi (keterampilan menghitung). Keterampilan ini disebut 3R yaitu : reading, writing, and arithmatic.
·      Dimensi Fungsi
Sesorang yang berliterasi akan mampu memecahkan masalah atau persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan hidupnya, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri dan tidak menutup kemungkinan untuk mereproduksi ilmu pengetahuan (kepakaran).
·      Dimensi Media
Untuk menjadi literat pada zaman sekarang, orang tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks, melainkan juga harus mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks cetak, visual, dan digital. Penguasaan IT juga sangat penting sehingga ini kehebatan universitas diukur melalui webometric atau (dunia maya).
·      Dimensi Jumlah
Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media dan sebagainya. Kemampuan ini tumbuh karena proses pendidikan yang berkualitas tinggi.



·      Dimensi Bahasa
Multiliterat adalah orang yang mampu menguasai berbagai bahasa, contohnya apabila kita adalah orang sunda dan mahasiswa jurusan bahasa inggris, maka kita sebagai multilingual dalam bahasa sunda, indonesia dan inggris.
3.      Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan zaman sekarang ini yang menunjukkan perubahan paradigma literasi terdapat sepuluh gagasan kunci literasi yaitu :
Ø Ketertiban lembaga-lembaga sosial
Hidup bermasyarakat ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga sosial, seperti RT, RW, Kelurahan, DPR, MPR dan Presiden sebagai perantara untuk menjamin ketertiban sosial sesuai dengan pekerjaannya masing-masing.
Ø Tingkat kefasihan relatif
Setiap interaksi memerlukan kefasihan bahasa dan berliterasi yang berbeda minimal untuk memainkan peran fungsional dalam berinteraksi.
Ø Pengembangan potensi diri dan pengetahuan
Literasi mengembangkan potensi dirinya dengan bagaimana mereka mampu memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan. Untuk mengembangkan potensi diri dan pengetahuan dengan menulis akademik, karena inilah bagian dari literasi yang mesti dikuasa oleh para calon sarjana.
Ø Standar dunia
Masyarakat dunia kini menggunakan hasil-hhasil evaluasi melalui PIRLS, PISA, TIMSS, tujuannya untuk mengukur literasi membaca, matematik dan ilmu pengetahuan alam. Serta untuk mencapai kualitas pendidikan bangsa.
Ø Warga masyarakat demokratis
Pendidikan seharusnya mengasilkan manusia literat, yakni manusia yang memiliki literasi yang memadai sebagai warga negara yang demokratis. Proses pendidikan itu sendiri harus demokratis, agar para mahasiswa menjadi warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Ø Keragaman Lokal
Literasi dapat menyadarkan keragaman lokal budaya, dengan demikian secara tidak langsung akan membentuk manusia yang berwawasan global, semakin sensitif dan antisipatif terhadap keragaman lokal.



Ø Hubungan global
Sebagai dampak teknologi komunikasi masa kini, semua orang adalah warga dunia dan untuk bersaing di tingkat dunia dan  harus memiliki literasi tingkat dunia juga dengn cara penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
Ø Kewarganegraan yang efektif
Literasi membekali manusia mampu menjadi warga negara yang efektif, yakni warga negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri serta berkontribusi bagi keluarga, lingkungan dan negaranya. Serta mengetahui hak dan kewajibannya (citizenship literacy).
Ø Bahasa inggris dengan ragam dunia
Bahasa inggris merupakan bagian dari literasi global, jadi tidak heran bahasa inggris dipengaruhi oleh kekentalan bahasa dan budaya lokal.
Ø Kemampuan berfikir kritis
Literasi bukan sekedar mampu membaca dan menulis melainkan juga menggunakan bahasa itu sendiri dengan fasih, efektif dan kritis.
Ø Masyarakat semotik
Semiotik adalah ilmu tentang tanda, termasuk persoalan ikon, tipologi tanda kode, struktur, dan komunikasi. Budaya adalah sistem tanda, dan untuk memaknai tanda manusia harus menguasai literasi semiotik.
4.        Setelah mengkaji tujuh ranah literasi dan sepuluh frase kunci literasi, pendidikan bahasa berbasis literasi seharusnya dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :
§  Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
§  Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwawancara secara tertulis atau lisan.
§  Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
§  Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
§  Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
§  Literasi adalah hasil kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi.
§  Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.



Rapor Merah Literasi Anak Bangsa
Mengapa rapor merah literasi anak negeri terjadi di Indonesia? Masih adakah jiwa literasi? Sedangkan anak negeri mendapatkan rapor merah pada literasi. Untuk itu, Indonesia ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS (Progress in  International Reading Literacy Study), PISA ( Program for International Student Assesment), dan TIMSS (the Third International Matemathics and science Study). PIRLS 2006 mengutip temuan-temuan terpenting yang relevan dengan perbincangan literasi membaca, yakni prestasi membaca siswa kelas IV Indonesia serta posisinya dibandingkan dengan siswa dari luar negeri. Dalam penelitian itu tujuan membaca meliput literacy purposes dan informational purpose, sedangkan proses membaca meliputi interpreting, integrating dan evaluating. Berikut ini adalah temuannya :
·         Indonesia menempati urutan kelima dari bawah, yakni sedikit lebih tinggi dari pada Qatar (356), Quait (333), dan Afrika utara (304). Skor prestasi membaca di Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa), 417 untuk perempuan dan 398 untuk laki-laki.
·         Negara yang skor prestasi membacanya di atas rerata 500 ditandai oleh pendapatan kapita dan indeks pembangunan manusia yang lebih tinggi daripada negara yang berprestasi membacanya dibawah 500. Sedangkan, mayoritas negara dengan HDInya di atas 0,9 mencapai prestasi membaca di atas 500. Dalam studi PIRLS 2006, Indonesia memiliki HDI 0,711 dan GNI/kapita 810 US $.
·         Ditemukan tiga kategori negara berdasarkan perbandingan skor membaca literacy puposes (LP) dan informational purposes (IP). Indonesia termasuk negara yang memilki indikator tertinggi dalam reptrieving dan straightforword inferencing process daripada interpreting, integrating and evaluating process.
·         Di Indonesia hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membacanya masuk ke dalam kategori sangat tinggi, 19% masuk ke dalam kategori menengah, dan 55% masuk ke dalam kategori rendah. Artinya, 45% siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400.
·         Tercatat 44% orang tua Indonesia (bandingkan dengan Skotlandia 85%) terlibat dalam Early Home Literacy Activities, yaitu membaca buku, bercerita, menyanyi, bermain huruf, bermain kata dan membaca nyaring.
·         Sekitar 13% siswa berada dalam kategori High HER, 77% kategori medium, dan 105 kategori low HER. Indonesia masuk ke dalam kategori posisi paling bawah, yaitu hanya sekitar 1% dalam kategori high, 62% dalam kategori medium dan 37% dalam kategori low.
·         Negara yang berpendididkan orang tua siswanya paling rendah (lebih dari 25% orang tua siswa tidak lulus SD) adalah indonesia sekitar 46%.

Maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa Indonesia memilki literasi yang rendah dan jauh tertinggal dengan negara-negara lainnya. Untuk mengejar ketertinggalan itu, maka perlu adanya peningkatan SDMnya. Disamping itu, dalam hal produksi buku Indonesia masih rendah hhanya 6000 buku pertahun. Padahal jumlah dosen di Indonesia banyak sekitar 231.786. harusnya dari jumlah ini dapat menghasilkan 77.000 buku pertahun. Dalam hal ini, artinya pendidikan nasional kita belum berhasil menciptakan warga negara literat yang siap bersaing dengan sejahwatnya dari negara lain. Dalam laporan PIRLS juga tidak ditemukan skor prestasi menulis, sehingga kita tidak mengetahui bukti korelasi antara skor prestasi membaca dan menulis. Diprediksikan bahwa prestasi menulis sangat bergantung pada kemampuan membaca. Tanpa kegiatan membaca (banyak), orang sulit menjadi penulis. Namun, banyak membaca tidak menjamin orang rajin menulis. Jauh lebih banyak ilmuwan daripada menulis. Inilah potret buram literasi di negeri ini adalah hilir persoalan dan untuk memahaminya kita harus mengerti hulunya.
Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru dengan langkah-langkah profesionalnya yaitu :
1)      Komitmen profesional
2)      Komitmen etis
3)      Strategi analitis dan reflektif
4)      Etika diri
5)      Pengetahuan bidang studi
6)      Keterampilan litersi dan numerasi
Dengan kata lain, membangun literasi bangsa harus di awali dengan membangun guru yang profesional dan guru profesional hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang profesional juga.
Dengan demikian, rekayasa literasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi berikut ini, yaitu :
1)        Linguistik atau fokus teks yang memcakup sistem bahasa untuk membangun makna, seperti jenis dan struktur teks, morfologi, sintaksis, semantic, ortofografi dan sebagainya serta persamaan dan perbedaan bahasa lisan dan tulisan, ragam bahasa yang mencerminkan kelompok, daerah, lembaga, etnis, agama, pekerjaan, status sosial dan lainnya.
2)        Kognitif atau fokus minda bahwa membaca dan menulis itu memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang aktif, selektif, konstruktif saat membaca dan menulis, memanfaatkan pengetahuan yang ada, menggunakan proses mental dan strategi untuk menghasilkan makna. Maknanya, membangun literasi itu adalah membangun semua keterampilan tersebut.
3)        Perkembangan atau fokus pertumbuhan, maksudnya untuk menjadi literat membutuhkan proses dengan menguasai sejumlah pengetahuan yang mecakup pembelajaran yang aktif dan konstruktif dalam perkembangan literasinya, pemakai berbagai strategi dan proses pengumpulan data, mengajukan hipotesis dan lainnya. Serta pemanfaatan pengetahuan yang diperoleh lewat pembaca untuk mendukung kegiatan (perkembangan keterampilan) menulis. Untuk itu, perlu disadarkan bahwa berlitersi itu sebuah proses “menjadi” secara berkelanjutan melaui pendidikan sepanjang hayat.
4)        Pengetahuan sosiokultural (fokus pada kelompok) bahwa membaca dan menulis itu memerlukan pengetahuan yang mencakup pada literasi yang beragam sesuai dengan kelompok, daerah, lembaga, etnis, agama, pekerjaan, status sosial, serta adanya aturan dan norma dalam melakukan transaksi dengan bahasa tulis, fitur-fitur linguistik dari berbagai teks untuk berbagai tujuan dalam silang kelompok dan lembaga, untuk memproduksi, menggunakan, mempertahankan dan mengontrol pengetahuan di dalam silang kelompok sosial dan lembaga, bentuk-bentuk dan fungsi liteasi tertentu yang bernilai tinggi dan juga kemampuan untuk melakukan kritik teks dari berbagai kelompok sosial.
Jadi, literasi tidak sederhana ekedar menguasai alfabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dengan simbol tulisannya, tetapi simbol itu difungsikan secara bernalar dalam konteks sosial. Dan kualitas literasi berkembang seirinng dengan kematangan diri. Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi tingkat liteasi sesorang. Bila pendidikan seseorang relatif tinggi tetapi tingkat literasinya relatif rendah, bisa jadi karena pendidikan literasinya kurang maksimal atau karena sudut pandang yang berbeda. Artinya bahwa seorang literat itu tidah hanya sekedar membaca-menulis, tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Bagaimana literasi diajarkan bergantung pada paradigma literasi tersebut? Pengajaran literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu membaca-menulis, terdidik, cerdas dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Untuk mempelajari literasi, setidaknya di awali tiga paradigma yang harus dimiliki, yaitu :
·           Decoding, penguasaan kode bahasa. Siswa membangu lireasi dengan di aari terlebih dahulu tentang literasi, yakni bagaimana memakai kode bahasa.
·           Keterampilan, siswa membangun literasi dengan di ajari terlebih dahulu dalam pengetahuan tentang literasi, yakni cara memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti merfem dan kosakata.
·           Bahasa secara utuh, siswa menuasai teks otentik yang kontekstual sehingga mendapatkan makna baru bukan kosa kata baru.
Jadi, kita tidak boleh mengulangi kesalahan yakni banyaknya sarjana ahli sastra dan lingustik tidak bisa menulis, atau ilmuwan bergelar profesor dan doktor bahkan tidak bisa menulis buku teks sebagai tanda kepakarannya. Bila rapor literasi anak bangsa ini merah seperti yang di ungkapkan bagian awal bab ini, apa yang salah dalam sistem pendidikan dan pengajaran literasi di negeri ini? Bisa jadi, karena metode dan teknik pengajaran literasi selama ini kurang mencerdaskan. Namun, jangan sontak mengalahkan guru bahasa karena pendidikan literasi memiliki sejumlah dimensi, antara lain dimensi sosial dan politik. Teknik mengajar yang tampak di andalkan oleh guru di kelas adalah “hilir” sebagai akibat dari “hulu”, yaitu paradigma. Dengan demikian, perlu perubahan paradigma pengajaran literasi di jajaran pengambil kebijakan. Perubahan paradigma adalah hijrah intelektual, hijrah bernalar karena tantangan zaman.
Seperti tabel berikut ini yang menggambarkan perubahan peradigma pengajaran literasi.
Dulu
Kini
Bahasa adalah sistem struktur yang mandiri.
Bahas adalah fenomena sosial.
Fokus pengajaran pada kalimat-kalimat yang terisolasi.
Fokus pada serpihan-serpihan kalimat yang saling terhubung.
Berorientasi ke hasil.
Berorientasi ke proses.
Fokus pada teks sebagai display kosakata dan struktur tata bahasa.
Fokus pada teks sebagai realisasi tindakan komunikasi.
Mengajarkan norma-norma perspektif dalam berbahasa.
Perhatian pada variasi register dan gaya ujaran.
Fokus pada penguasaan keterampilan secara terpisah.
Fokus pada ekspresi diri.
Menekankan makna denotatif dalam konteksnya.
Menekankan nilai pada komunikasi.



Melalui wacana 6.1 “Learning Literature from Elementary Throught High School” Prof.Chaedar ingin memberitahukan kepada kita sebagai mahasiswa mengenai pendidikan literasi yang ada di USA.
Dalam wacana tersebut terlihat jelas bahwa sistem pendidikan di Amerika membiasakan siswanya dari mulai TK sampai tingkat SMA untuk belajar menulis, ini terlihat pada paragraf 5 yakni : Anne J. Arbali mulai untuk menulis jurnal tentang kegiatan sehari-harinya dan membaca essay yang sederhana.
Kemudian Anne J. Arbali mencoba untuk menuliskan kembali apa yang telah dia baca. Hali ini mulai dia lakukan sejak SD. Selain dukungan dari sistem pendidikan yang bertata, peran orang tua dan keluarga juga mendorong mereka untuk meningkatkan budaya literasi sejak dini dengan cara emngirimkan mereka ke perpustakaan umum setiap hari sekolah dari pukul 6-9 p.m.
Bukan hany sejak SD, SMP, SMA tetapi hal ini berlanjut samapai bangku kuliah dimana dia mengambil jurusan seni, yang menuntutnya untuk banyak membaca buku dengan tujuan untuk memeperkaya pengetahuan kritis dan menghasilkan perspektif yang berbeda dari setiap sumbernya.

CONCLUSION
Kini terungkap sudah apa yang terjadi di negeri Indonesia ini. Dapat dikatakan juga budaya baca tulis belum benar-benar membudaya dan mendarah daging di Indonesia. Karena begitu, banyak fakta yang mengejutkan dan terungkap juga oleh para peneliti international dari PIRLS bahwa Indonesia hanya tercatat 2% untuk siswa yang berprestasi membacanya dalam kategori yang sangat tinggi dan juga dalam kategori high HER hanya sekitar 1%.
Dalam hal ini, masih adakah jiwa literasi untuk anak bangsa? Untuk menjawab iya tetapi pada kenyataannya Indonesia masih sangat rendah dan jauh berbanding dengan luar negeri yang menerapkan jiwa literasi sejak dini. Untuk itu, hal ini masih menjadi pertanyaan yang besar untuk negeri kita ini. Semua yang terjadi dalam negeri kita ini hanyalah rekayasa dalam literasi.
Selain kita mengetahui lebih dalam tentang negeri kita yang kurangnya literasi, maka kita sebagai generasi muda yang berkarya harus berusaha memproduksi tulisan-tulisan apa yang telah didapatkan selama kuliah ini. Serta adanya gerakan perubahan demi mengharumkan nama bangsa dan juga agar kita sebagai mahasiswa menjiwai literasi hingga mendarah daging.

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment