Sunday, February 16, 2014
Created By:
Eka Ramdhani Niengsih
Class review 1
Belajar
Menulis Akademik
Alhamdulillahirobbil’alamin kita
senantiasa selalu berada dalam lindungan Allah SWT. setiap hembusan nafas kita
itu sangat berarti, oleh karena itu hendaknya kita melakukan sesuatu yang
berguna bagi orang lain terlebih lagi bagi diri kita sendiri. Sebaik-baiknya
manusia adalah yang berguna bagi orang lain. Lalu, tanpa terasa setelah ada
liburan semester selama satu bulan lebih, akhirnya minggu ini perkuliahan sudah
mulai aktif lagi. Ditahun yang masih baru juga diawal bulan ini tidak ada
salahnya kita memupuk semangat menjadi lebih baru dan lebih kuat lagi untuk
belajar ataupun melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain.
Tahun
ajaran kali ini saya berada di semester 4, hampir mendekati setengah perjalanan
perkuliahan seluruhnya. Untuk semester 4 dan kedepannya pastilah akan sulit
juga lebih menantang. Diperlukan keseriusan belajar untuk menghadapinya. Berhenti
membuang waktu yang dilewatkan dengan melakukan kegiatan kurang bermanfaat. Hal
yang paling penting adalah memerangi kemalasan, terlebih lagi malas terhadap
belajar mengetahui sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, juga malas membaca
buku. Memang ada kesulitan tersendiri untuk menghilangkan rasa malas itu, semua
orang pun pasti merasakannya. Menghilangkan kemalasan itu tidak bisa dengan
cepat, harus perlahan dan secara bertahap. Sedikit demi sedikit melakukan
sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita.
Hari
ini tepat tanggal 7 Februari 2014, adalah pertemuan pertama mata kuliah Writing
and Composition 4. Saya merasa senang ketika mengetahui bahwa dosen yang
mengampu mata kuliah ini adalah Pak Lala. Alhamdulillah bisa belajar kembali
bersama beliau. Saya rasa ini adalah saat-saat yang menyenangkan, karena ketika
belajar Pak Lala pasti berbagi ilmu dan juga pengalamannya yang menarik pada
mahasiswa. Saya pikir semua mahasiswa pun akan merasa lebih termotivasi untuk
menjadi lebih baik lagi setelah mendengar pengalaman beliau.
Pak
Lala selalu berusaha membantu mengefektifkan waktu para mahasiswa. Secara
langsung Pak Lala selalu menyuruh pada mahasiswa untuk belajar melalui banyak
membaca. Kita mungkin saja pernah berpikir mengapa Pak Lala selalu menyuruh belajar
dan banyak membaca. Akan tetapi kita tidak boleh hanya memandang segala
sesuatunya dari satu pandangan
negatifnya saja. Kita harus melihat nilai positifnya juga, dalam agama Islam
ini disebut “Husnudzon”. Toh, tidak ada salahnya juga kita banyak belajar
karena itu hasilnya akan baik untuk diri kita juga. Kelak kita pasti akan
merindukan masa-masa seperti itu, dimana kita mengalami masa perkuliahan dengan
banyaknya tugas yang didapat, terjaga sepanjang malam demi mengerjakan tugas
itu hingga akhirnya telat bangun pada pagi harinya. Inilah momen-momen indah
sebagai seorang akademisi.
Pukul
07.30 WIB Mata Kuliah Writing and Composition 4 dimulai. Pak Lala menjelaskan
tentang kontrak belajar dan peraturan di Mata Kuliah nya kali ini. Really
excited, ketika beliau menjelaskan tugas-tugas yang harus dikerjakan.
Sebelumnya saya sudah menduga bahwa pastilah ada kenaikan standar, dan hal
tersebut pun akhirnya terjadi. Ada tugas mingguan yaitu membuat Class Review
minimal lima halaman ditambah Chapter Review minimal sepuluh halaman. Terakhir,
setiap kelas harus membuat blog kelas yang nantinya berisi postingan seetiap
tugas para mahasiswa tiap minggunya. Saya hanya berharap agar saya bisa
menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan baik semampu saya.
Writing
and Composition 4 sangatlah berbeda dengan writing and Composition sebelumnya.
Kali ini tidak ada lagi menulis membuat cerita-cerita fiksi, dongeng pengantar
tidur ataupun descriptive text. Akan tetapi, pada writing 4 ini sedikit demi
sedikit mengarahkan para mahasiswa untuk membuat tulisan akademik. Pada
dasarnya, Tulisan Akademik adalah tulisan yang dibuat sebagai tugas untuk
mengasah nalar berpikir seseorang. Tulisan Akademik mungkin saja mempunyai
banyak nama berbeda, seperti: Essay, Paper, Paper Penelitian, Argumentatif
Essay, Informatif Essay dan analysis Essay. Tugas-tugas ini semuanya mempunyai
tujuan sama dan berprinsip. Yaitu mendeskripsikan suatu gagasan, kebijakan atau
temuan kepada pihak lain untuk menunjukan pemahaman seseorang terhadap suatu
permasalahan yang dibahas oleh penulis.
Apa
tujuan pembuatan Tulisan Akademik? Mengapa mahasiswa maupun siswa harus membuat
suatu tulisan dengan instrumen khusus. Ada anggapan bahwa Tulisan Akademik itu
merupakan sesuatu yang menyiksa. Padahal biasanya siswa menyiksa diri mereka
sendiri dengan menunggu sampai menit terakhir untuk menulis suatu Paper tanpa
mengetahui apa yang sedang mereka lakukan. Tulisan Akademik bukanlah hal yang
menyiksa, tapi ini adalah tugas yang memberi kita kesempatan mengeksplor suatu
hal yang menarik bagi kita. Disitu kita memiliki kebebasan untuk memilih topik,
halaman kosong yang akan diisi guna mengekspresikan ide-ide kita serta berusaha
agar pembaca merasa tertarik untuk membaca tulisan kita.
Setelah
pembahasan menulis Akademik, tidak ada ruginya kita untuk kembali pada masalah
kecil, apa itu menulis? Bapak Hyland (2003) menyebutkan bahwa: Learning how to
write in a second language is one of the most challenging aspects of a second
language learning. Menulis akan semakin terasah jika kita mempunyai jam terbang
yang cukup banyak. Katakanlah, kita banyak mencoba menulis hal-hal kecil
seperti catatan kegiatan keseharian.
Ada
yang berpendapat bahwa menulis adalah hal paling utama untuk menguasai suatu
bahasa. Berbanding terbalik dengan pernyataan itu, ada pula yang mengatakan
bahwa membacalah yang jadi modal utama untuk menguasai suatu bahasa. Sedangkan
saya pribadi meyakini bahwa membaca dan menulis itu skill yang saling
melengkapi dan menunjang.
Appetizer
Nasib
Membaca dan Menulis di Indonesia
Dalam
wacana “(Bukan) Bangsa Penulis” karya Pak Chaedar Alwasilah dalam bukunya “Pokoknya
Rekayasa Literasi”, terdapat beberapa fakta menarik yang tertulis. Diantaranya:
dewasa ini permasalah membuat tugas akhir bagi mahasiswa tingkat akhir jenjang
S1 S2 S3 menjadi polemik berat bagi Direktur Jendral Pendidikan Tinggi. Mereka
mengirim surat bernomor 152/E/T/2012 pada pihak perguruan tinggi mengenai Karya
Ilmiah. Bagaimanapun juga Dirjen Pendidikan adalah yang bertanggungjawab untuk
mempublikasikan Karya Ilmiah. Sedangkan kualitas Karya Ilmiah di Indonesia masih
cukup rendah. Apakah mungkin Dirjen Pendidikan akan merasa bangga akan hal ini?
Karya
Ilmiah berkualitas rendah sepenuhnya bukanlah salah sang mahasiswa juga. Pihak
dosen pengajar pun bisa menjadi penyebabnya. Terutama dosen-dosen Perguruan
Tinggi di Indonesia yang tidak bisa menulis. Bagaimana mungkin mereka bisa
mengarahkan dan memberikan motivasi pada mahasiswa didiknya, sedangkan mereka
sendiri tidak bisa menulis. Pengalaman mereka masih rendah. Jika melihat sistem
perkuliahan diluar negeri, kita ambil saja contoh Amerika dan Malaysia jelaslah
sangat berbeda. Dengan Malaysia pun yang notabene adalah sama-sama negara
serumpun dan bertetangga, Indonesia ditinggal jauh kualitas dan kuantitas Karya
Ilmiahnya. Hal yang menakjubkan adalah Malaysia yang bisa jauh beberapa langkah
lebih maju daripada Indonesia. jika diingat, Indonesia dulu lebih maju
dibanding dengan Malaysia. Diwaktu dulu, banyak orang-orang Malaysia yang
bersekolah di Indonesia namun sekarang justru sebaliknya.
Sistem
di Amerika menerapkan peraturan membuat karya ilmiah seperti laporan
penelitian, ringkasan buku, dan lainnya dalam kegiatan keseharian perkuliahan.
Tugas tersebut menambah pemikiran kritis para siswa, karena secara berkala
mereka diasah otaknya. Guru pengajarnya pun dengan baik memberikan
komentar-komentar jelek dan pedas jika memang karya para siswanya belum
menghasilkan karya yang bagus. Sangat berbanding terbalik dengan sistem yang
digunakan di Indonesia. Contohnya, pelaksanaan Ujian Nasional, pembuatan tugas
akhir seperti Skripsi, Tesis dan Disertasi yang kesemuanya justru dibebankan
pada siswa yang bersangkutan diakhir perjalanan pendidikan mereka. Sungguh
kurang menguntungkan, setelah melewati beberapa tahap belajar, kelulusan para
siswa hanya ditentukan oleh satu ujian yang ada diakhir masa belajar. Disamping
tidak mengasah kemampuan kritis para siswa, juga kurang bisa mengefektifkan
waktu siswa maupun pendidiknya. Jika saja sistem pendidikan Amerika bisa
diterapkan dinegara kita, pasti akan menghasilkan generasi-generasi melek
baca-tulis. Kita semua pasti berharap jika suatu saat nanti negara Indonesia
jadi negara maju diberbagai bidang.
Hal
menarik lain yang tercantum pada wacana tersebut adalah bagi yang tidak bisa
menulis jangan pernah bermimpi untuk menjadi seorang dosen. Jika mempunyai
keinginan menjadi seorang dosen harus sering belajar menulis karya-karya ilmiah. Setidaknya mereka harus
mempunyai karya yang membanggakan untuk dirinya maupun siswanya. Sehingga
membuat bangga dan siswanya termotivasi.
Selanjutnya,
dalam wacana “Powerful Writers versus Helpless Readers” dapat ditemukan
beberapa fakta menarik. Diantaranya: hasil survei membuktikan jika banyak yang
menyalahkan diri mereka sendiri untuk masalah rendahnya tingkat membaca mereka.
Tidak mempunyai latarbelakang yang baik untuk bisa membaca tepat, tidak bisa
berkonsentrasi membaca dan merasa tidak cukup nalar pemikirannya untuk
mencermati isi suatu buku. Alasan yang terlontar bisa saja keluar dari kalangan
umum lainnya. Hal ini menjadikan kita seorang pembaca yang tak berdaya; belum
mampu nya menghayati wacana yang kita baca. Untuk menjadi seorang pembaca
kritis, kita dituntut harus bisa mengembangkan kesadaran dan pemikiran, legowo
menerima informasi baru yang masuk. Lalu pada akhirnya kita bisa mengeluarkan
argumen yang kritis dan kuat. Sebagai negara dengan mayoritas pemeluk agama
islam, kita harus mengingat dan menerapkan “Baliga Qaulan” yaitu berbicara pada
penonton dengan sebuah kata yang efektif untuk mencapai batin mereka. Sehingga
bisa sejalan dengan ajaran agama.
Permasalahan
muncul kembali saat melihat fakta bahwa pemegang gelar PhD mengajar menggunakan
buku sewaktu ia belajar diluar negeri sana. Mereka mengaku ini adalah sebuah
tindakan didaktik. Akan tetapi, bagaimana bisa mereka menyetarakan sistem
pendidikan doktoral yang ia terima pada mahasiswa S1. Tingkatan yang cukup
jauh. Disisi keilmuan, mereka mungkin saja belum mumpuni. Bisa jadi hal ini
adalah sebuah pelecehan intelektual. Seharusnya jika dosen pemegang PhD ingin menggunakan
buku dari luar negeri itu boleh saja asalkan hanya menjadi buku referensi
tambahan bukan malah menjadi sumber pegangan utama.
Kemudian,
dalam wacana “Learning and Teaching Process: More about Readers and Writers”
tercantum beberapa poin seperti: hasil penelitian yang dilakukan di Universitas
Pendidikan Indonesia cukup mencengangkan karena beberapa mahasiswa tidak mampu
menentukan tema dalam potongan prosa yang diberikan. Entah siapa yang harus
disalahkan. Apakah guru nya ataukah siswanya sendiri? Ada dugaan bahwa hal ini
terjadi karena kurang mampu nya guru dalam mengajar. Alasan lainnya yaitu
karena kurikulum yang digunakan seakan membatasi ruang gerak membaca dan
menulis para siswa. Lalu, tidak heran jika kualitas baca-tulis Indonesia cukup
rendah.
CW.
Watson, seorang pendidik asal Inggris pun merasa tercengang dengan sistem
kurikuum yang ada di Indonesia yang hanya terpaku membaca buku teks saja, tanpa
memperdulikan aspek lainnya. Berbanding jauh dengan sistem yang ada di Inggris,
mereka mengajarkan bahasa asing sampai dapat berbicara, mendengarkan, membaca
dan menulis dengan lancar. Mereka sepenuhnya mempelajari semua aspek skill
dalam berbahasa. Lain dengan Indonesia yang jika bertindak hanya
setengah-setengah. Jalan terbaik dalam mempelajari bahasa asing adalah
memberikan tekanan, semangat belajar. Sebagai permulaan, tidak perlu menggunaka
bahasa yang terlalu formal sesuai tata bahasa. Hanya perlu dilatih percakapan-percakapan
harian secara rutin didampingi bahasa sendiri.
Dari
ketiga wacana tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa masih rendahnya budaya
membaca dan menulis di Indonesia, yang dikarenakan belum terbiasanya melakukan
baca-tulis sejak usia mereka masih dini. Untuk menghasilkan generasi melek
baca-tulis harus mempunyai generasi dosen atau guru yang jago baca-tulis
terlebih dahulu. Bangsa Indonesia bukalah bangsa penulis, penerapan sistem
baca-tulis Tulisan Akademik belum benar-benar dipakai sejak tingkat pendidikan
Menengah dalam keseharian belajarnya.
Tidak
masalah jika dosen atau pengajar lainnya menggunakan buku import. Asalkan
mereka bisa memilih dan membatasi mana yang layak diajarkan pada siswa di
Indonesia mengingat negara kita menganut budaya ketimuran. Penggunaannya harus
menggunakan bahasa sendiri yang mudah dimengerti para siswa. Lalu, di Indonesia
perlu adanya perubahan sistem kurikulum bukan lagi membaca berorientasi akan
tetapi harus menjadi membaca dan menulis berorientasi.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)