Sunday, May 4, 2014
Created By:
Niyati Wulandari
9th
Class Review
Papua: Masa Lalu Yang
Tak Berlalu
(By: Niyati Wulandari)
Beristirahat dan tidak bertemu dengan Academic
Writing selama dua kali pertemuan. Dikarenakan
Mr. Lala pergi ke Malaysia oleh karena itu Academic Writing terhambat, tetapi
kami harus mencari-cari informasi mengenai Papua, mendiskusikan teks yang
berjudul “Don’t Use Your Data As a
Pillow” mendiskusikannya harus perkalimat dan diberi pendapat. Jumat, 25
April 2014, ruang 46, pukul 08.30 WIB, kami kembali lagi bertemu Academic
Writing setelah dua kali pertemuan tidak bertemu. Perjalanan di Academic
Writing kali ini akan panjang dan makin menanjak bahkan curam, itulah sebabnya
kami harus mempersiapkan mental dan bekal yang cukup bahkan lebih untuk
mengikuti perjalanan di Academic Writing. Bekalnya yaitu informasi mengenai
Papua, buku-buku yang sudah ada dibaca dan lain-lain.
Dari pertemuan yang kemarin-kemaarin banyak membahas
tentang Papua. Kalau membahas tentang Papua maka tidak lepas dari sejarah, maka
dari itu sejarah tidak lepas dari literasi. Literasi ditandai dengan praktik
membaca dan menulis, dan juga bagaimana kita menggunakan bahasa dalam kehidupan
sehari-hari. Akibatnya bahasa dan pembelajarannya terikat dengan nilai-nilai
budaya (Kramsch, 1993). Sedangkan sejarah ditransmisikan sebagai makna yang sistematis
yang dapat dipahami, dikembangkan dan pmengkomunikasikan pengetahuan dengan
keyakinan kita tentang dunia (Lantolf, 1999).
Pada power point kali ini yang berjudul Time to Write again: Exploring Argumentative
Essay dari judulnya sudah jelas mau kemanakah perjalanan ini akan berlanjut
yaitu menuju argumentative essay. Sebelum ke argumentative essay terlebih
dahulu akan dijelaskan perbedaan argumentative essay dengan teks espository dan
exposition. Pertama yaitu teks
expository merupakan teks yang hanya menjelaskan atau informing saja, kedua
yaitu teks exposition merupakan teks yang menjelaskan atau informing dengan
menggunakan point of view atau sudut pandang kita sebagai penulis dan yang
terakhir yaitu argumentative essay merupakan genre penulisan yang mengharuskan
menyelidiki topic, mengumpulkan data, menghasilkan data, mengevaluasi bukti dan
membangun topic secara ringkas atau bisa disebut dengan teks yang harus
berdasarkan penelitian dan terperinci. Di dalam argumentative essay sebagai
penulis harus memberikan informasi, tidak hanya itu saja penulis harus membujuk
pembaca mengenai sudut pandangnya.
Apa yang harus dilakukan sebelum membuat
argumentative essay? Langkah-langkahnya yaitu:
- Menentukan topic
Di dalam penulisan argumentative essay, hal pertama
yaitu menentukan topic terlebih dahulu mana yang harus dipilih dan di dalam
menentukan topic harus disertai dengan definisi
- Batasi topic
Setelah menentukan topic, hal yang harus dilakukan
yaitu membatasi topic, karena jika tidak dibatasi maka topic yang sudah ada
akan melebar kemana-mana oleh karena itu kita harus membatasi topic yang ada
agar lebih focus dan terperinci.
- Analisis topic
Setelah dua tahap dilakukan yang ketiga yaitu
menganalisis topic, disini yang dibahas harus dianalisis secara keseluruhan.
Biasanya dalam argumentative essay terdapat dua sudut pandang yaitu for dan againist dan dapat dinyatakan sebagai Yes or Not question.
- Alasan
Alas an adalah bagian terpenting dalam argumentative
essay, apakah alas an tersebut kuat, dapat dipercaya, relevan dan penting? Oleh
karena itu alas an tersebut harus kita tanyakan pada pada diri sendiri.
Apakah ini
benar?
Apakah
berhubungan dengan topic yang saya bahas?
Apakah itu
penting?
Atau memiliki
konsekuensi nyata?
- Sudut pandang
Kebanyakan sebuah pernyataan mengandung sudut
pandang yang sejalan dan berlawanan.
Struktur
Argumentative Essay
Introduction
Body
First point and supporting info
Second point and supporting info
Third point and supporting info
Conclusion
|
Suara
Korban
Penelitian yang dilakukan oleh tim ICTJ (International Center for Traditional
Justice) dan ELSHAM (Lembaga Study
Hak Asasi Manusia), tim peneliti mengolah 108 kesaksian yang diambil dari
wilayah Biak (76 orang), Manokwari (12 orang), Paniai (10 orang) dan Sorong (10
orang) dari periode 1960 (sebelum
Pepera) hingga pasca reformasi 1998. Tim peneliti tinggal di
wilayah-wilayah tersebut selama tiga bulan, untuk mengidentifikasi dan
mewawancarai para saksi. Perbedaan jumlah korban yang diwawancarai disetiap
wilayah tidaklah dimaksudkan untuk menunjukan sebaran atau besaran pelanggaran
yang terjadi suatu wilayah atau periode tertentu. Hal itu lebih karena adanya
beberapa factor penghambat yaitu kemampuan pewawancara, tingkat keamanan dan
resiko yang dirasakan para korban dan hambatan geografis yang harus dilalui
pewawancara untuk menemui korban.
Kesaksian-kesaksian tersebut merinci
749 dugaan pelanggaran terhadap 312 orang laki-laki dan 56 orang perempuan,
sejumlah 101 korban merupakan korban dalam kelompok (dialami lebih dari satu
orang).
No
|
Jenis
kekerasan
|
Jumlah
|
1.
|
Penangkapan
sewenang-wenang dan penahanan.
|
234
|
2.
|
Operasi
militer terhadap warga sipil, termasuk operasi yang menyebabkan terjadinya
pemindahan paksa.
|
181
|
3.
|
Penyiksaan
dan penganiayaan.
|
97
|
4.
|
Pembunuhan,
termasuk kematian karena karena penyiksaan dan pembatasan akses.
|
86
|
5.
|
Ancaman.
|
53
|
6.
|
Perampasan
atau perusakan harta benda, kebun atau ternak.
|
22
|
7.
|
Penyerangan.
|
28
|
8.
|
Wajib
lapor.
|
26
|
9.
|
Penyerbuan
atau penggeledahan rumah-rumah.
|
4
|
10.
|
Pelanggaran
terhadap hak mendapat pekerjaan.
|
4
|
11.
|
Pembatasan
akses pangan dan obat-obatan.
|
4
|
12.
|
Pengasingan
paksa.
|
3
|
13.
|
Larangan
pertemu keluarga.
|
2
|
14.
|
Persidangan
tanpa pengacara.
|
2
|
15.
|
Pembatasan
berpergian.
|
2
|
16.
|
Pembatasan
pendidikan.
|
1
|
|
Total
|
749
|
ICTJ-ELSHAM:
2012
Dari hasil penelitian tersebut
ditemukan bahwa korban dan saksi masih mengalami trauma yang tidak
terselesaikan dan dibayangi oleh ingatan tentang peristiwa-peristiwa kekerasan,
sehingga menyebabkan tingginya rasa tidak percaya terhadap pemerintah dan
perwakilannya. Jelas terlihat dari sisi korban bahwa rekonsilisasi yang
dibutuhkan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Papua akan sangat sulit
diwujudkan tanpa adanya pengakuan dan upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
serius yang sering terjadi di Papua.
Chain of History
Berikut
adalah kutipan-kutipan dari ICTJ-ELSHAM:
2012 yang disusun berdasarkan pembagian periode:
- Periode I: 1960 sampai 1969 sebelum Pepera.
Periode ini ditandai dengan
kekerasan saat bentrokan antara tentara Indonesia dengan pasuka OPM, yang
diikuti dengan serangan militer langsung terhadap warga sipil serta penahanan
sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap mereka yang dianggap menentang
integrasi Indonesia. Adanya kekerasan yang dilakukan aparat militer seperti
penembakan, pemerkosaan, pemindahan paksa, serta perusakan dan pencurian harta
benda.
Di Manokwari, OPM yang baru
dibentuk menyerang pos tentara Indonesia di Arfai pada 28 Juli 1965. Serangan itu menewaskan 18 aparat Indonesia dan 4
gerilyawan OPM. Insiden ini kemudian diikuti oleh serangkaian serangan lainnya
di wilayah Sorong. Tentara Indonesia melancarkan operasi militer dengan nama
sandi Operasi Sadar yang dilakukan di
beberapa daerah antara lain di Kebar, Saukorem, Prafi, dan Ransiki. Tentara
memaksa penduduk untuk melapor setiap hari, membakar desa, dan melakukan
serangan udara, yang salah satunya merusak atap gereja di Kebar, penangkapan
masal di Manokwari terhadap mereka yang dicurigai memprotes Pepera atau
memiliki hubungan dengan OPM.
Pada tahun 1968, 108 korban yang dipenjara selama satu bulan dan dipaksa
bekerja diperkebunan karet bersama para tahanan peristiwa 1965. Pada tanggal 05 Agustus 1969 seorang korban ditahan
dibawa ke markas KOPAL (Komando Pasukan Angkatan Laut) di Manokwari selama tiga
minggu dan mendapatkan tindak kekerasan. Sedangkan di Sorong pada tahun 1965 terjadi operasi militer tentara
gabungan dari Kodam Pattimura, Cendrawasih, Hasanudin, dan Udayana melakukan
operasi gabungan ke beberapa kampong untuk menangkap masyarakat yang
mengibarkan bendera Bintang Kejora karena dianggap sebagai anggota OPM.
- Periode II: 1969 sampai 1998 antara Pepera dan sebelum Reformasi.
Pada periode setelah Pepera,
operasi militer lebih difokuskan untuk menghancurkan sisa-sisa anggota OPM yang
masih bergerilya di hutan-hutan. Pada tahun 1972 tentara di Batalyon 751 yang berada di Puay (Jayapura) tentara
tersebut menembak mati 10 penduduk setempat dan 10 warga lainnya dari Talaga
Maya (Sentani, Jayapura). Sedangkan Operasi
Tumpas dilakukan 1971-1989
terhadap OPM di Biak Barat dan Biak Utara terjadi penembakan dan pembunuhan,
perkosaan dan penculikan, penyiksaan dan penganiayaan, tepatnya yang dilakukan
oleh kesatuan dari Kodam Udayana. Pada 1980an,
operasi militer terhadap OPM di Paniai banyak terjadi pelanggaran HAM seperti
banyak warga sipil yang ditahan, dikejar dan disiksa, gereja dan rumah-rumah
dibom dari udara dan dibakar, perempuan diperkosa dan anak-anak dipaksa bekerja
sebagai pembawa barang.
- Periode III: 1998 Masa Reformasi dan Sesudahnya.
Dengan jatuhnaya Soeharto pada tahun
1998, tekanan untuk melakukan
perubahan di Papua makin meningkat. Namun gerakan sipil yang dilakukan oleh
mahasiswa dan kelompok politik untuk merdeka justru dihadapi dengan kekerasan.
Pada 2-6 Juli 1998, pasukan keamanan
menggunakan kekerasan untuk membubarkan demonstrasi di menara air di belakang
puskesmas Biak, menembaki demonstran, menggiring mereka ke pelabuhan Biak,
kemudian mengintrogasi. Beberapa korban meninggal atau hilang, peristiwa ini
dikenal sebagai peristiwa Biak Berdarah.
Pada tahun 1998,
berakhirnya rezim Soeharto membawa perubahan politik besar bagi Indonesia. Pada
tahun-tahun pertama setelah kejatuhan Soeharto, orang Papua dibebaskan untuk
mengekspresikan aspirasi dan perasaan mereka yang telah lama terpendam,
termasuk melakukan protes dan bahkan menuntut kemerdekaan. Beberapa
perkembangan penting, diantaranya adalah:
a.
Pada 26
Februari 1999, Tim 100 yang dipimpin oleh pimpinan adat, Tom Beanal bertemu
dengan Presiden Habibie. Secara mengejutkan, tim itu dengan jelas menyatakan
keinginan untuk merdeka.
b.
Dikeluarkannya UU No.
45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya
Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota
Sorong, dimana dengan undang-undang tersebut, Provinsi Papua akan dimekarkan
menjadi beberapa provinsi.
c.
Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuat terobosan dengan memperbolehkan penggunaan
nama Papua dan pengibaran bendera Bintang Kejora yang sebelumnya dilarang.
d.
Tahun 2000,
TAP MPR No IV Tahun 2000 menekankan perlunya undang-undang otonomi khusus untuk
merespon tuntutan dan aspirasi Papua. Ketetapan tersebut disambut baik oleh
Papua dan dianggap sebagai langkah menuju pemulihan kepercayaan dan
penyelesaian masalah di provinsi ini. Pada tahun yang sama, DPRD Irian Jaya
secara resmi menetapkan nama provinsi ini menjadi Papua.
e.
Upaya ini
mencapai puncaknya lewat UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua, yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada
tanggal 21 November 2001.
f.
Dilaksanakannya Crash
Program di Papua dimana dialokasikan dana sebesar Rp 28 Milyar untuk
tiap-tiap kabupaten di Provinsi Papua selama 4 bulan (dari Agustus - Desember
2001).
g.
Presiden Megawati mengeluarkan
Instruksi Presiden pada tahun 2003 yang memekarkan Papua. Hasilnya membagi
Tanah Papua menjadi provinsi Papua dan Papua Barat.
Dalam
rangka menangani keluhan dan meredam dukungan bagi kemerdekaan, UU Otsus
difokuskan pada pemberian kekuasaan politik dan ekonomi yang lebih besar kepada
Papua. Di atas kertas, langkah ini bahkan lebih jauh dari proses desentralisasi
yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia sebagai pengakuan terhadap beberapa
keluhan masyarakat Papua atas eksploitasi sumber daya alam dan ancaman terhadap
identitas mereka, dan pada saat yang sama tetap menjunjung tinggi integritas teritorial.
Exploitasi Sumber Daya Alam
Selain banyak terjadi pelanggaran HAM di Papua,
ternyata banyak terjadi eksploitasi sumber daya alam, berikut adalah sebagian
kasus yang dilaporkan dalam terbitan DTE (Down To Earth November 2011).
ü 1989
Marubeni
dari Jepang dijadwalkan untuk memulai mengimpor kayu serpih dari daerah hutan
bakau dari Teluk Bintuni sebagai bagian dari proyek bersama PT. Bintuni Utama Murni yang mencakup
kegiatan pabrik kayu serpih di pulau Amutu Besar.
Perusahaan Finlandia, Rauma-Repola Oy telah menjajaki kerjasama patungan dengan PT. Faruma Utama Timber Co, untuk
mengembangkan proyek kertas dan bubur kayu di Papua.
Ekspansi besar-besaran terjadi di tambang Freeport dengan meningkatkan produksi
emas sebanyak tiga kali lipat dari 5 ton menjadi 15 ton dalam tiga tahun ke
depan dan produksi konsentrat tembaga dari 25.000 ton menjadi 40.000 ton
perhari.
Perusahaan patungan penebangan hutan Korea
Selatan-Indonesia, You Liem Sari
(anak perusahaan You One Construction) dan PT.
Kebun Sari telah menghancurkan penghidupan 90 keluarga di Muris dekat
Jayapura.
ü 1990
Investigasi oleh perusahaan Jepang, Kyodo menemukan bukti pembalakan liar
di teluk Bintuni oleh Bintuni Utama Murni Wood Industries yang didukung oleh
Marubeni.
Perusahaan minyak Amerika Serikat Conoco akan melakukan pengeboran sumur
minyak yang konon terbesar di Papua di daerah Kepala Burung sesuai dengan
perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak ocal Pertamina.
Freeport melakukan
negosiasi untuk memperluas kawasan kontrak menjadi 20 kali lebih besar dari
luas awalnya.
Pemerintah memberikan lampu hijau kepada 19 pabrik
bubur kayu baru, empat diantaranya berada di Papua.
ü 2009
Komitmen
perubahan iklim BP untuk proyek Tangguh dicermati lebih dekat
seiring dengan akan beroperasinya proyek gas itu.
Freeport
mengakui bahwa perusahaan itu masih
membayar militer Indonesia. Adanya penembakan-penembakan yang mengakibatkan
korban tewas di dekat pertambangan memicu organisasi masyarakat sipil setempat
untuk menyerukan dialog damai guna menyelesaikan konflik di Papua. Warga
Amungme selaku pemilik tanah mengajukan gugatan baru terhadap Freeport dan menuntut ganti rugi
sebesar US$30 miliar untuk perusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM.
ü
2010
Perusahaan
Cina, Far East, ingin menanamkan modal
dalam pertambangan batu bara di 5 daerah di distrik Manokwari, Timika and
support tourism development in Paniai.
Maka tidak heran dari dulu sampai
sekarang di Papua masih sering terjadi konflik, karena disana terdapat sumber
daya alam yang berlimpah ruah dan banyak Negara-negara lain menginginkan tanah
Papua atau mempunyai kepentingan yang terselubung.
Catatan
satu decade program tansmigrasi dari arsip DTE.
ü 1991
Target lima tahun yang baru untuk Papua adalah
29.905 keluarga. Rencana untuk memindahkan 4.000 keluarga diumumkan untuk tahun
1990-1991 untuk Indonesia bagian timur.
ü 1992
Di
Merauke, 163 keluarga meninggalkan lokasi transmigrasi karena kurangnya
persiapan dan kondisi kekeringan.Angka resmi transmigrasi ke Merauke sejak
tahun 1964 adalah sebesar 12.064 keluarga plus 1.712 keluarga ocal yang menetap
di lokasi transmigrasi.
ü 1994
Suharto
berencana untuk membagi Papua menjadi tiga provinsi untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur pendukung. Juga direncanakan akan dibangun lokasi
transmigrasi di sepanjang daerah perbatasan dengan Papua Nugini.
ü
1996
Kebijakan
transmigrasi baru untuk Papua diumumkan: masyarakat adat Papua tak lagi tinggal
bersama pendatang dari luar Papua di lokasi transmigrasi yang sengaja dibuka,
tetapi desa asli mereka akan ‘direstrukturisasikan’.
ü
1997
RUU
Transmigrasi yang baru tidak mencakup aspek pertahanan dan keamanan dari transmigrasi.
Menteri Transmigrasi Siswono menekankan bahwa Papua memiliki “terlalu sedikit
penduduk” dan berkilah bahwa lebih banyak pendatang diperlukan untuk
mempercepat laju pembangunan.
ü
1998
Terdapat
tanda-tanda bahwa krisis keuangan (‘krismon’) mungkin akan memaksa pemerintah
untuk mengurangi program transmigrasi.
ü
1999
Setelah
peluncuran buku George Monbiot, Poisoned Arrows, Kedutaan Besar Indonesia
membela program transmigrasi di Papua dan mulai memberdayakan warga Papaua.
ü
2000
Pemerintah
provinsi mendesak pemerintah pusat untuk menghentikan pengiriman keluarga
transmigran ke Papua dan mulai memberdayakan warga Papua.
Korban tewas
Korban tewas yang diambil dari
artikel ICTJ - ELSHAM 2012, yaitu:
- 07 Desember 2000. Penyerangan yang terjadi di pos polisi di Abepura menewaskan 2 aparat dan seorang satpam. (3 orang tewas).
- Polisi melakukan operasi “Sweeping” ke asrama mahasiswa, 100 mahasiswa ditahan tiga diantaranya meninggal. (3 orang tewas).
- 28 Juli 1965. OPM menyerang pos tentara Indonesia di Arfai menewaskan 18 aparat Indonesia dan 4 gerilyawan OPM. (22 orang tewas).
- 1967 Yunia (seseorang dalam keadaan hamil) ditembak mati oleh TNI karena diduga anggota OPM. (1 orang tewas).
- 07 Juni 1967. Terjadi pembunuhan terhadap Ary Mnumon yang dilakukan oleh tentara. (1 orang tewas).
- Naifu (Papua) operasi tentara yang mengakibatkan 3 orang tewas.
- 1972 tentara Batalyon 751 di Puay (Jayapura) menembak mati 10 penduduk setempat dan 10 warga Talaga Maya (Sentani, Jayapura). (20 orang tewas).
- 1993 di kampong Napdori seorang ditembak mati oleh TNI dari Kodam 17 TRIKORA, Batalyon 753-752. (1 orang tewas).
- 1977 di desa Madi, Tuguwai, kecamatan Komopa, Zipur 9 melakukan operasi dan 1 orang ditembak atau dibunuh oleh TNI. (1 orang tewas).
Dari penjelasan yang telah dijabarkan
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya pemerintah dalam beberapa tahun
belakangan ini lebih terfokus pada pembangunan ekonomi dan pelayanana social,
namun hal tersebut tidak efektif dalam menuntaskan dugaan kekerasan dan
pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 50 tahun ini. Kemrahan dan ketidaksukaan
orang Papua tentang apa yang terjadi dimasa lalu terus meningkat akibat kurangnya
perhatian dari pemerintah.
ICTJ dan ELSHAM menemukan 749 dugaan
pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, selain itu DTE melaporkan banyak terjadi
eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan asing maupun local,
yang merugikan masyarakat Papua.
Ada banyak sekali kejadian pertumpahan
darah pada tahun 1960 (sebelum Pepera) sampai masa reformasi dan sesudahnya,
memang benar masalah di Papua adalah masa lalu yang tak berlalu. (masalah yang
terus berlanjut).
Diharapkan
baik tokoh-tokoh politik Indonesia maupun tokoh-tokoh politik Papua terus-menerus
berusaha untuk saling berdialog dan saling menghargai. Yang penting
aspirasi-aspirasi semua warga propinsi Papua diwakili dan semua orang merasa
puas terhadap prosesnya yang dipergunakan untuk mengatasi masalah-masalah Papua
dan agar Papua tetap menjadi bagian dari NKRI.
Outline Argumentative
Essay

Papua: The
Struggle that Continuous to Country and Subsistence
Introduction
Papua and West Papua is Indonesia’s
most eastern region bordering with Papua New Guinea. Ethically and historically
different from other parts of Indonesia. The region has valuable resources such
as mineral (gold and copper), wood, and oil.
West Papua has a mother province is
Manokwari, the coordinate between 4º 30' LS
- 1º 30' LU and 128º
50' - 135º 20' BT, in
north this province in a bind by Pacific Ocean, in west abut on province North
Maluku and Maluku, in east a bind by gulf of Cendrawasih, in south abut on
Seram sea, and in south east abut on Papua province.
Body
First point
and supporting info
West
Papua has many culture and ethnic.
Papua has many culture and ethnic. This
province is Indonesia’s most eastern has some few 280 ethnic has structure and
leadership. Every ethnic headed by a shaman, sometimes region power consist of
several village. Not only has that West Papua had traditional dance,
traditional food and language.
Second point
and supporting info
Natural
resources in West Papua.
Papua
has valuable resources such as mineral (gold and copper), wood and oil. For
example Papua’s forest tropic it is very strategic in the case global climate
and also as producer wood and other forest product, which need to manage as
eternal. In Papua have biological variety and many kind of endemic make this
province as the target development area conversation. Because of it many
countries want to Papua lost from hold Indonesia.
Conclusion
Indonesia has a potential to be developed
country. Because Indonesia has many islands as agriculture sector, forest,
culture, language and etc. one of it is West Papua, as we know West Papua has
many forest and valuable resources. Indonesia should process it well and hold
West Papua in order to permanent is a part of NKRI.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)