Tuesday, April 1, 2014
Created By:
Nur Auliya Rahmawati
Class Review 7
The Three Most Important
Pada pertemuan Ketujuh ini, saya akan membahas tentang keterkaitan
ahli sejarah (historian), ahli bahasa (linguistik)
dan ahli sastra (poet) dengan basicnya adalah Literasi.
Sebelum kita membahas yang diatas, saya akan membahas terlebih dahulu tentang
Sejarah. Menurut White (shuterland : 2008, 48) mengatakan bahwa sejarah
adalah sebuah narasi yang dikuasai oleh konvensi-konvensi estetika sastra
daripada kedalam bidang ilmu pengetahuannya. Bahwa sejarah adalah suatu makna
yang lebih benar dari sebuah kejadian tersebut. Begitu pun sebaliknya tentang
linguistik dan poet.
Kita mengetahui bahwa sastra memiliki keterkaitan erat dengan aspek
kesejarahan, lingkungan sosial dan psikologinya. Sastra bisa memiliki hubungan
timbal balik dengan bidang sejarah. Sastra bisa dikatagorikan sebagai sastra
yang bernuansa sejarah. Karena sebabnya yaitu faktor cerita yang kental dengan
peristiwa-peristiwa sejarah didalamnya. Kemudian linguistiknya terkandung
didalam bahasa tersebut. Selanjutnya apa keterkaitannya dalam ketiga hal
tersebut. Keterkaitannya adalah sama-sama menemukan suatu hal yang ditutupi
atau belum terungkap didalam sejarah tersebut. Perlu diingat bahwa ideology
merupakan pemegang kendali daripada Literasi itu sendiri. Ideologi juga tidak lepas dari kepentingan sosial, ekonomi dan politik, serta aspek-aspek lain
yang berpengaruh dalam kehidupan sosial.
Linguistik juga berperan dalam mengungkap sejarah melalui linguistik
kritis. Linguistik kritis (Critical Linguistics) merupakan kajian
ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi antara kekuatan yang
tersembunyi (Hidden Power) dan proses ideologis yang muncul dalam
teks lisan ataupun tulisan (Crystal, 1991 : 90). Menurut Fowler :
mengatakan bahwa “Layaknya seperti historian, critical linguist bertujuan untuk memahami values yang
berhubungan dengan social, ekonomi, susunan politik dan secara diakronik
mengubah nilai-nilai dan mengubah susunannya”.
Selain itu, ideologi juga
merupakan perantara antar instrument dan proses historical (Fowler, 1996:12). Fowler juga mengatakan
tentang Ideologi,
bahwa ideologi itu terdapat
dimana-mana di setiap teks tunggal (lisan, tertulis, audio,
visual atau kombinasi dari semua itu).
Historian + Linguistik + Poet =>
Literasi
Selain Historian dan Linguists, menurut Milan Kundera, ahli
sastrawan (Poet) juga turut berperan dalam mengkaji sejarah. Ketiga aspek disini
memiliki tujuan yang sama dalam mengkaji sejarah. Hanya saja cara
pengkajiannya, masing-masing memiliki cara yang berbeda. Disinilah tugas kita
untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi serta menemukan
hal baru dalam hal tersebut. Selain itu, kita tidak boleh menerima
mentah-mentah asumsi-asumsi yang telah lama beredar dan nyata di depan gerbang.
Tugas kita yaitu menelaahnya dan membuktikan kebenarannya. Seperti yang Firestone
(Hobbs, 1998) yang melihat literasi sebagai “ kemampuan mengakses,
menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuknya
”. Artinya, seseorang baru bisa dianggap literat jika ia kritis terhadap isi
media serta dapat memproduksi informasi baru.
Peran seorang penyair itu kurang lebihnya sama dengan Historian dan
Linguist yang sama-sama menemukan (discover) daripada menciptakan. “The task of the poet is not different from
the work of history, which also discovers rather than invents”. Milan
Kundera merupakan seorang penulis yang mengembangkan Literasinya
lewat karya sastranya. Kebanyakan pemikirannya dalam seni dan politik
merupakan objek dari literary experimentation dalam novel-novelnya itu. Milan
Kundera juga berbicara bahwa alat yang digunakannya adalah Literasi
atau membaca. Dengan literasi, kita dapat menelaah sesuatu yang
tersembunyi dalam berbagai aspek, salah satunya adalah sejarah. Oleh karena
itu, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis.
Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur dan proses sosial.
Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan.
Para sejarawan bisa melihat nilai-nilai yang berkembang disuatu
masyarakat pada zaman tertentu dari karya-karya sastra yang lahir pada zaman
itu. Kajian ini mulai mendapat tempat dalam dunia ilmu pengetahuan. New
historicism adalah satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra
yang muncul dalam dua dekade terakhir pada abad ke-20. Dengan menekankan kaitan
antara teks dan sejarah. Kita harus bisa mendobrak kecenderungan kajian tekstual
formalis dalam tradisi new criticism yang bersifat ahistoris. Sastra
menurut perspektif yang ditawarkan new criticism, tidak bisa dilepaskan dari
praktek-praktek sosial, ekonomi dan politik. Karena kita akan mencari kebenaran
dari semua itu. Dengan demikian, pemisah antara luar-dalam, ekstrinsik-intrinsik
tidak bisa dipertahankan lagi. karena semua teks, baik sastra maupun non
sastra, merupakan produk dari zaman yang sama dengan berbagai pertarungan kuasa
dan Ideologi. Dalam hal ini, new historicism merevisi asumsi new
criticism dengan menunjukkan bahwa semua yang dianggap universal, sebetulnya
bersifat lokal yang terbentuk oleh sejarah dan sosial.
Berdasarkan uraian diatas mengenai kaitan antara sastra, bahasa dan
sejarah. Maka dapat saya simpulkan bahwa ketiganya memiliki
hubungan timbal balik Historical Background menjadi pendekatan dalam
menganalisis karya sastra berdasarkan aspek sejarah. Sedangkan new criticism
menggunakan karya sastra sebagai salah satu sumber data untuk menemukan fakta
sejarah. Hubungan tersebut walaupun memakai teori dan cara kerja yang berbeda,
namun tetap memakai bahan dasar yang sama yaitu bidang sastra dan sejarah.
Semua itu dilihat dari latar belakang memaknai kehidupan disekitarnya, dan
kemudian diekspresikan melalui karya sastra. Karena itu, setiap karya sastra
yang dihasilkan oleh siapa pun sangatlah penting. Kita lihat saja dari apakah
karya sastra itu populer. Sebab bagaimana pun setiap sastrawan, ahli bahasa dan
ahli sejarah memiliki cara pandang dan cara bertutur yang unik (berbeda-beda).
Dari sebab itu, kita sebagai calon ketiga aspek tersebut harus mempunyai
gagasan yang kuat untuk mengungkap wacana tersebut. Mari kita belajar dan terus
berlatih sedini mungkin. Agar kelak kita bisa berwawasan atau mempunyai ide-ide
yang cemerlang (luas).
Referensi :
Jejak – Halliday – dalam – Linguistik – kritis – dan Analisis –
wacana – kritis – Anang – santoso (book fi.org)


Subscribe to:
Post Comments (Atom)