Sunday, February 16, 2014
Created By:
Aam Amaliah
Writing
empat. Hari Jum’at kemarin (7 februari
2014) kami, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris semester empat di kelas D telah
memulainya. Kami bertemu kembali dengan
Mr. Lala Bumela M. Pd, yaitu dosen mata kuliah writing di semester dua. Pertemuan pertama mata kuliah writing
kemarin, merupakan awal dari perjalanan
baru kami di semester empat ini. Awal
dari banyak tantangan yang mungkin akan kami hadapi nanti. Sebelum masuk ke kelas writing, telah
terbersit dalam pikiran bahwa kami akan mendapatkan tantangan – tantangan baru
yang pastinya akan lebih sulit dibandingkan saat kami melalui mata kuliah
writing di semester sebelumnya. Entah,
seperti apa bentuk tantangan itu yang terpenting adalah bagaimana cara kami
menghadapinya. Positive thinking, kerja
keras, semangat, dan soliaritas. Kami
akan menggunakan aspek-aspek tersebut untuk membawa kami meraih sukses dalam
menyelesaikan mata kuliah di semester ini terutama mata kuliah writing.
![]() |
Benar saja, apa yang sebelumnya kami
bayangkan memang nyata. Setelah kami melewati
pertemuan pertama kemarin semuanya terbukti, bahwa tantangan yang akan kami
hadapi memang akan lebih sulit. Hal itu
dibuktikan dengan pernyataan Mr Lala kurang lebih seperti ini “ Jika di
semester dua kemarin kalian hanya bergelut dengan teks-teks sederhana seperti
teks narrative, kali ini kalian akan dihadapkan dengan sesuatu yang lebih dari
itu. Bukan lagi membuat sebuah karangan,
seperti kisah Little Red Riding Hood yang kalian tulis dulu, kali ini kalian
akan dihadapkan dengan academic writing.
Selain itu, kalian juga akan
memperoleh banyak tugas dari saya.
Tugas-tugas yang berbeda dengan tugas di semester dua kemarin.”
Sebelum membahas syllabus lebih
dalam, Mr. Lala terlebih dahulu membahas tentang “Academic Writing” yang ada di
halaman kedua syllabus. Dalam syllabus
disebutkan bahwa sebuah tugas academic writing, memberikan anda kesempatan
untuk mengeksplore sesuatu yang membuat anda tertarik yang berasal dari
pembelajaran yang anda lakukan. Academic
writing ini bersifat impersonal, berdasar pada referensi, dan bahasa yang
digunakan juga harus formal.
Dalam buku karya Bailey “Academic
Writing A Handbook for International Students” dijelaskan bahwa academic
writing dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama dan kedua merupakan bagian
yang fokusnya adalah pada kunci keterampilan menulis. Bagian ketiga dan keempat merupakan bagian
yang menawarkan revisi dan referensi.
Secara lebih jelas dapat dilihat dibawah ini :
F Bagian 1 : Writing Process
Membimbing siswa dari tahap awal yaitu memahami judul esai , melalui praktek membuat
catatan dan parafrase , menuju pengorganisasian esai kemudian di akhir adalah
proses membuktikan – hasil bacaannya.
F Bagian 2 : Elements of writing
Yaitu bagian yang berkaitan dengan keterampilan yang
dibutuhkan untuk sebagian besar jenis tugas , seperti membuat
perbandingan, memberikan contoh dan menjelaskan grafik .
dibutuhkan untuk sebagian besar jenis tugas , seperti membuat
perbandingan, memberikan contoh dan menjelaskan grafik .
F Bagian 3 : Accuracy in writing
Memberikan siswa kesempatan
praktek perbaikan di bagian yang sering membuat siswa bingung , seperti
penggunaan artikel , passives atau preposisi .
F Bagian 4 : Writing Models
Memberikan
contoh kepada siswa jenis-jenis menulis
yang umumnya di butuhkan oleh siswa,
termasuk surat-surat dan laporan hasil penelitian serta esai .
Tujuan
academic writing adalah bukan untuk memamerkan segala
sesuatu yang anda ketahui tentang topik yang anda pilih, melainkan untuk
menunjukkan bahwa anda lebihh memahami dan dapat berpikir kritis tentang topik
yang anda pilih (hal ini akan memberikan nilai positif bagi anda). Selain itu, academic writing ini akan membantu
mengembangkan keterampilan dalam meneliti informasi, pengorganisasian,
berdebat, menanggapi argumen orang lain, menganalisis, dan mengekspresikan diri
dengan jelas secara tertulis (tidak hanya dalam Bahasa Indonesia tapi juga
dalam Bahasa Inggris).
Setelah membicarakan tentang
academic writing yang harus kami tempuh mulai dari sekarang, pembahasan
bergerak menuju isi syllabus. Mr. Lala menjelaskan
mengenai tujuan akhir dari writing empat ini, kemudian apa saja aturan-aturan
yang harus kami patuhi selama mata kuliah writing. Selanjutnya Mr. Lala juga menjelaskan tentang
tugas-tugas yang harus kami selesaikan nantinya. Tugas-tugas itu diantaranya :
1.
Class
Review
Merupakan
catatan mingguan mengenai apa yang telah dipelajari di setiap pertemuan
sebelumnya. Catatan ini tergantung pada
kami, bagaimana cara kami menyajikannya.
Penulisan class review ini minimal lima halaman.
2.
Critical
Review
Merupakan
ringkasan dan evaluasi dari ide dan informasi dalam sebuah artikel. Critical review ini mengekspresikan pemikiran
penulis yang menandakan apa yang dia ketahui.
Dalam menulis critical review ini kami harus mencapai 2500 kata yang
ditulis menggunakan Bahasa Indonesia.
3.
Argumentative
Essay
Merupakan essay
yang pembuatannya menggunakan penalaran dan bukti, bukan emosi untuk mengambil
sikap atau menanggapi isu kontroversial atau yang sedang diperdebatkan. Essay ini membahas dua sisi dari sebuah topik
dan membuktikan mengapa satu sisi yang lain adalah yang terbaik.
Struktur dari
essay ini adalah :
1)
Introduction
Dibagi lagi menjadi beberapa bagian diantaranya :
a)
Hook
b)
Background
statement
c)
Thesis
statement
2)
Body
Paragraph
Dibagi lagi menjadi beberapa bagian yakni:
a.
Topic
sentences
b.
Example/reason
c.
Counter
argument
d.
Refutation
3)
Conclusion
Bagian ini
merupakan bagian akhir dari argumentative essay, yang didalamnya mengandung dua
hal diantaranya:
a.
Summary
b.
Comment
Untuk memenuhi tugas argumentative essay ini kami harus menulis
minimal 3000 kata, dalam Bahasa Inggris.
4.
Chapter
Review
Penulisan chapter
review ini tidak boleh kurang dari sepuluh halaman, dan harus ditulis dalam
Bahasa Indonesia (tidak boleh berbahasa Inggris).
5.
Blogging
Tugas blogging
ini merupakan tanggung jawab kelas, maksudnya setiap kelas hanya perlu membuat
satu blog dan adminnya adalah semua anggota kelas. Blog tersebut, nantinya berisi tugas-tugas
yang telah kami kerjakan. Kami harus
memposting tugas-tugas kami, mulai dari class review, critical review, hingga
chapter review yang telah diperiksa oleh Mr. Lala. Mengapa demikian? Berdasarkan pernyataan Mr. Lala, kami harus
memposting tugas-tugas kami agar tugas-tugas itu akan tetap terjaga karena jika
hanya ditulis dibuku atau dikertas, data tersebut bisa jadi hilang. Untuk tugas yang satu ini (blogging) kerja tim
yang solid sangatlah diperlukan.
Tugas-tugas
diatas nantinya akan dikumpulkan sesuai dengan jadwal yang telah tercantum
dalam syllabus dengan prosentasi nilai yang berbeda, ada yang 20 %, sampai 10%.
Berdasarkan apa
yang telah ditulis diatas, menggambarkan bahwa kami harus kerja lebih ekstra
lagi untuk melalui mata kuliah writing di semester ini. Kami harus menulis class review, chapter
review, critical review, dan tugas lainnya kemudian mengetik kembali
tugas-tugas tersebut untuk menggunggahnya di blog. Kemudian mulai dari sekarang kami juga harus
lebih bijak lagi dalam menulis, lebih jeli lagi dalam menilai dan menganalisis
suatu topik masalah. Dan ada lagi
satu hal yang lebih penting dari itu,
yakni kami harus lebih, dan lebih lagi menguasai keterampilan menulis karena
nantinya kami juga harus menulis dalam Bahasa Inggris. Jika kami belum mampu untuk membuat tulisan
dalam bentuk Bahasa Indonesia maka, dalam bahasa asing pun belum tentu
bisa. Karena pada kenyataannya, menulis dalam
bahasa sendiri-pun masih terasa sulit. Seperti apa yang dikatakan Hyland (2004;
2003) “Bahkan bagi mereka yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama,
mereka-pun membutuhkan instruksi khusus agar dapat menulis efektif.” Lalu apa jadinya kami jika tidak
berlatih? Maka dari itu, kami harus
terus mencoba berlatih dan terus berlatih.
© Hope we can still be the best class ©
Kemampuan Menulis dan Analisis
sebagai
Modal Kemandirian
Dewasa ini, diberbagai media sosial
juga dalam dunia pendidikan seringkali menyinggung tentang kemampuan
menulis. Beberapa artikel, wacana di
koran, internet, sampai ada juga rumah terapi menulis di wilayah Jakarta.
Menulis
merupakan produk, sebuah contoh dari kegiatan yang dapat dipeajari secara
mandiri dengan memeperhatikan aturan yang ada.
Kemampuan menulis saat ini sangat penting dimiliki oleh setiap orang,
terutama mahasiswa dan dosen. Akan
tetapi beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan menulis mahasiswa dan
dosen di Indonesia masih sangat kurang.
Kurangnya kemampuan menulis dosen
dan mahasiswa Di Indonesia ini, contohnya adalah dalam menulis karya ilmiah. Hal ini bukanlah isapan jempol belaka, tapi
merupakan sebuah fakta nyata yang dialami dosen dan mahasiswa Di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya syarat
kelulusan mahasiswa perguruan tinggi termasuk program sarjana untuk
mempublikasikan jurnal ilmiah mereka yang diterapkan bagi mahasiswa yang lulus
setelah Agustus 2012. Kemudian diperkuat
dengan ungkapan kepala ITB Press Prof Ir Armansyah Nasution, M. S. C. E. Ph. D
tahun 2009 di Bandung, yakni “ dari 1200 dosen yang ada di Institut Teknologi Bandung
(ITB) hanya sekitar 400 atau 30% yang mempunyai kemampuan menulis. Dalam wacana karya A Chaedar Alwasilah
berjudul “ (Bukan ) Bangsa Penulis” juga mengungkapkan tentang hal
tersebut. Di dalam wacana tersebut ada
beberapa poin penting yang akan dijelaskan di paragraph-paragraf setelah ini.
Mengenai Publikasi Ilmiah dikalangan
perguruan tinggi. Dirjen pendidikan
tinggi adalah orang yang paling bertanggung jawab mengawal publikasi ilmiah di
kalangan perguruan tinggi, maka wajar jika Dirjen Pendidikan Tinggi
mengeluarkan peraturan nomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 kepada
para rektor, ketua, direktur perguruan tinggi dan swasta di seluruh Indonesia
tentang karya ilmiah karena menurutnya sekarang ini jumlah karya ilmiah di
perguruan tinggi Indonesia hanya sepertujuh dari Malaysia. Padahal penduduk Malaysia sekarang adalah
sekitar 25 juta orang, hampir sepersepuluh
populasi Indonesia. Berdasarkan hal tersebut tidak salah jika di dalam wacananya Pak
Chaedar menuliskan bahwa seharusnya Indonesia bisa menerbitkan buku 10 kali
lipat yakni 80 ribu judul pertahun.
Namun upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan menulis
mahasiswa dan dosen melalui aturan bahwa mahasiswa atau kelulusan S-1 dan S-2
untuk menulis artikel jurnal rasanya belum tepat. Seperti yang diungkapkan Chaedar “Mewajibkan mahasiswa menulis jurnal untuk
kelulusan hanya akan menyebabkan
penumpukan mahasiswa di akhir program yang pasti menuntut biaya hidup,
SPP, dan biaya – biaya lainnya.” Selain
itu jika dipaksakan terus seperti itu bisa jadi jurnal yang terbit akan
menumpuk. Ya, sama logisnya dengan
tulisan Dr. Chaedar dalam wacana (Bukan) Bangsa Penulis di paragraph ke sepuluh
“Diperkirakan setiap tahun ada 800 ribu mahasiswa yang diwisuda jadi
sarjana…………………... dipastikan bakal terjadi fenomena jurnal asal terbit
jurnal-jurnalan.” Ditambah lagi jika
peraturan tersebut masih tetap ada maka sangat rentan terjadi plagiarisme.
Benar apa yang dikatakan Dr. Chaedar
bahwa “ Untuk memproduksi mahasiswa atau dosen yang produktif menulis, perlu
pembenahan pembelajaran baca-tulis yang benar di tingkat SMA” karena kemampuan menulis bukanlah kemampuan
yang bisa muncul tiba-tiba. Kemampuan
ini memerlukan latihan lama, proses untuk benar-benar bisa menjadi penulis yang
baik.
Mungkin memang lebih baik jika yang
menulis jurnal adalah para dosen, layaknya apa yang dinyatakan Chaedar dalam
wacananya “ yang realistis adalah mewajibkan
para dosen setiap tahun menulis artikel jurnal atau buku teks.” Karena dengan demikian dosen juga akan
mendapatkan banyak hal baru yang bisa dijadikan sebagai bahan ajar di masa yang
akan datang. Dengan begitu, koleksi
daftar buku yang bisa dijadikan bahan ajar mahasiswa akan bertambah sehingga
dosen tidak perlu mengimport banyak buku dari luar negeri sebagai bahan
ajar mereka karena jika menggunakan buku
produksi Indonesia sendiri saja belum tentu mahasiswa itu paham apa yang
dibahas dalam buku. Selain itu, jika
mahasiswa dan dosen besedia untuk mulai giat menulis dari sekarang maka di masa
yang akan datang kemampuan menulis mereka akan lebih berkualitas, dan kemauan
untuk menulis-pun akan mengakar pada generasi-generasi yang mereka ajar. Sehingga tidak akan terjadi lagi hal yang
dikemukakan Chaedar dalam wacananya yang berjudul “ Powerfull Writers versus
Helpless Readers” yang menyebutkan bahwa “pemegang tittle Ph. D yang baru
kembali dari luar negeri sering menggunakan buku teks favorit mereka yang
terlalu canggih untuk mahasiswa…… di luar zona mereka kedekatan kognitif dan
kenyamanan” yang malah akan memunculkan
pemikiran bahwa mereka melakukan pelecehan terhadap mahasiswanya karena tidak
melihat kemampuan mahasiswanya sendiri.
Hal tersebut juga akan menimbulkan pemikiran bahwa “tidak penting”
belajar Bahasa Indonesia, yang lebih penting itu belajar bahasa asing karena
toh kaum-kaum intelektual yang menjadi pengajar pun lebih condong menggunakan
buku teks luar negeri.
Dari wacana wcana yang tlah disebutkan dapat ditarik kesimpulan bahwa mahasiswa sebaiknya dilatih untuk
menjadi pembaca dan penulis yang baik. Bukan
hanya pembaca yang baik atau penulis yang baik karena menjadi pembaca yang baik
dan kritis tanpa bisa menulis pun masih belum sempurna karena dengan demikian
maka ia tidak memiliki suatu produk yang mampu membantu orang lain untuk memeperoleh suatu
informasi. Sebaliknya, jika hanya
berorientasi untuk menulis pun hasilnya tidak akan baik karena jika seseorang
lebih berorientasi untuk menulis tanpa mau menjadi pembaca yang baik dan
kritis, maka ia tak akan mampu menghasilkan suatu tulisan yang berkualitas
karena seorang penulis pun harus bisa menjadi pembaca yang baik, pembaca karya
tulisnya sendiri seelum dipublikasikan pada khalayak umum.
Mungkin memang bangsa ini perlu
berbenah mulai dari hal terkecil sampai hal besar mengenai sistem pendidikan
bahasa yang telah diterapkan di negeri ini.
Mengutip apa yang diungkapkan C. W Watson dalam wacana “Learning and
Teaching Process : More about Readers and Writers” bahwa “Siswa
menghadapi kesulitan dalam membaca academic text, baik yang tertulis dalam
Bahasa Indonesia ataupun terjemahan dari bahasa asing.” Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa di
Indonesia masih belum memiliki daya analisis yang baik. Jika perbaikan pola pembelajaran bahasa ini
dikaji ulang dan diperbaiki maka bisa dipastikan tidak ada lagi peristiwa
memilukan seperti apa yang dituliskan C. W Watson dalam artikel yang sama bahwa
“Analisis tes yang diambil oleh mahasiswa Indonesia …………… membuktikan bahwa
siswa tidak mampu mengidentifikasi tema utama potongan prosa Indonesia dalam
sebuah test.” Hasil tes tersebut
mewakilkan sebuah kenyataan bahwa kemampuan “Berbahasa” siswa masih sangat
kurang, dan masih diperlukan adanya pelatihan untuk
meningkatkannya, pembelajaran pmbelajaran bahasa di sekolah-sekolah perlu ditingkatkan
lagi.
Kemudian satu hal yang mungkin
kurang disadari oleh guru-guru yaitu penggunaan syllabus. Memang penggunaan syllabus tersebut
tidak salah namun, jika guru kurang memeperhatikan perkembangan pola pikir
siswa, dan hanya terfokus pada syllabus maka hal tersebut akan merugikan
pemikiran kritis dan kompetensi bahasa juga
menghambat pemikiran kritis siswa. pelaksanaan ujian nasional yang hanya menyajikan
soal-soal pilihan ganda sama saja dengan tidak memfasilitasi siswa untuk
mengembangkan kemampuan menulis, juga kemampuannya untuk berpikir kritis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dr Chaedar
bahwa “anak-anak Indonesia tidak dianjurkan untuk menulis ini tercermin dalam
pelaksanaan ujian nasional yang hanya mengharuskan mereka mecentang kotak yag
tepat.”
Dari semua pemaparan diatas dapat
disimpulkan bahwa pengajaran bahasa di Indonesia perlu diperbaikai lagi
terutaama dalam hal menulis. Pelaksanaan
ujian nasional perlu ditinjauulang karena itu belum tentu bisa mengukur
kemampuan siswa secara utuh, akan lebih baik jika soal ujian berupa soal essay
yang memerlukan jawaban lebih panjang, dengan begitu kemampuan siswa dapat
terukur dengan baik melalui penjelasan yang mereka berikan dalam jawaban
tersebut. Kemampuan analisis dan
penalaran yang dimiliki siswa-pun dapat
dinilai melalui cara ini. Dalam hal
keterampilan menulis, sebaiknya dirjen pendidikan lebih menitik beratkan
pengajaran menulis ini mulai dari dini, memang mereka sudah cukup mengusahakan
hal ini contohnya pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang
ditujukan untuk seluruh mahasiswa negeri dan swasta di Indonesia. Agar
mahasiswa mampu mencapai level kreatif, namun pada kenyataannya hasil dari
penyeleksian program tersebut menunjukkan bahwa memang mahasiswa Indonesia
masih belum cukup baik dalam hal menulis karya ilmiah. Di tahun 2013 masih banyak proposal mahasiswa
yang belum memenuhi syarat, contohnya di UNAIR ada sebanyak 285 judul proposal
PKM yang didanai Dikti dari total 917 judul yang dikirimkan oleh Mahasiswa
Unair. “Dengan kata lain, ada 31% dari seluruh PKM yang berhasil didanai,”
kata Dr. rer. Nat. Ganden Supriyanto. M,Sc., Tim Pendamping Kemahasiswaan
Universitas Airlangga (TPKUA) sebelum Pembekalan Pelaksanaan Monev PKM Dikti di
Aula Kahuripan Kampus C Unair, Rabu (20/2). Dengan demikian sebaiknya kemampuan menulis
ditanamkan sejak awal, seperti Amerika yang mengasah kemampuan menulis siswa
sejak SMA. Sehingga saat di perguruan tinggi kemampuan menulis mereka sudah
matang dan kemudian mereka akan mampu menciptakan generasi yang berliterasi
melalui kemampuan mereka yang sudah matang.
Dengan menjadikan kemampuan menulis dan analisis yang telah matang
sebagai modal untuk bangsa ini menjadi bangsa yang maju, dan memiliki warga negara
yang berliterasi.


Subscribe to:
Post Comments (Atom)