Sunday, February 16, 2014

START TO WRITE (AGAIN)


Class Review 1
Cirebon, 10 February 2014
START TO WRITE (AGAIN)      
Alhamdulillah dalam pertemuan pertama mata kuliah “writing for academic purposes” pada hari jum’at tanggal 7 februari 2014 yang di guide oleh Mr Lala bumela berlangsung dengan lancar dan membuat pikiran saya panas kembali setelah satu bulan lamanya rehat dari hiruk pikuknya perkuliahan. Dalam pertemuan pertama ini hanya membahas learning contract; introduction to the course; a dialognostic test.

Ini adalah ketiga kalinya kami belajar dengan beliau, yang mana di semester 2 yaitu Writing and composition 2 dan Phonology di smester 3, namun di semester ini kita akan mengalami banyak sekali tantangan, tentang class review 5 halaman, appetizer essay, chapter review, tidak hanya di tulis dalam log book kami, namun juga di posting kedalam blog. Ini merupakan tantangan yang cukup menantang, dimana ide-ide kami akan diminta sekritis mungkin juga kita akan lebih fokus pada isu-isu internasional. Jadi mulai dari sekarang kita di tuntut atau dipaksa untuk banyak membaca agar referensi kita lebih luas.
Yang menarik adalah kata-kata suggested dari Maria Popova”perfection is like chasing the horizon” ya memang kesempurnaan itu seperti mengejar cakrawala. Mustahil kita bisa mengejar cakrawala, namun apa salahnya kita berusaha menjadi lebih baik meskipun kesempurnaan itu jauh bagi manusia hanya milik tuhannya, jadikan pacuan pada diri kita agar selalu berusaha.
“Things to ponder” yang harus kita bayangkan “ writing 4” means sleepless, sore eyes, back pain strained fingers, book scattered all over the room, a lenghty talk with colleagues, and of course, a handful bar of chocolate and cup of coffea. But above all, weiting makes you better citizen. Enjoy! Begitu berat mungkin ketika kita membaca isi motivation di atas, hanya menulis saja sangat berat dan beresiko, namun hasil akhir yang di dapat akan sangat mengejutkan, ya menulis sangat bermanfaat bagi kita sebagai mahasiswa, seharusnya masyarakat kita pun kental akan budaya literasi.
Sangat miris memang budaya literasi di Indonesia sangat rendah terutama peserta didik dan masyarakat            umum sangat malas untuk membaca, hal ini pun terjadi pada kalangan kita mahasiswa. Dengan adanya writing 4 sangat membantu meningkatkan potensi menulis dan membaca, membangun budaya literasi. Meskipun pada awalnya kami sangat malas dan jarang membaca, namun perlu adanya paksaan agar kami melek bahas menjadi jauh lebih baik dan terbisa menulis.
Mengingat kembali pengertian literasi, saya akan menjelaskan 3 definisi yang berbeda dari literasi. Yang pertama menurut kamus besar Bahasa Indonesia edisi ketiga terbitan balai pustaka, yang dimaksud dengan literer adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berfikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar.
Kedua menurut paradigma pemikiran modern, Literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala penomena sosial dengan huruf dan tulisan.
Disisi lain, Ketiga menurut Besnier (dikutip dari duranti, 2001) dalam key concepts in language and culture, literasi adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Inskripsi visual disini termasuk didalamnya adalah bahasa tulisan yang di mediasi dengan alfhabet atau aksara.
Refleksi diatas hanya mengingatkan kita kembali agar kita jauah memahami apa itu literasi. Saya yakin bagi yang sudah pernah mengikuti mata kuliah Mr Lala Bumela akan mengetahui seberapa penting literasi , dan akan atau sudah merasakan manfaat dari melek aksara, karena kita selalu di tuntut membaca dan menulis.
Kembali kepada slide show yang telah ditampilkan,belajar bagaimana menulis dalam bahasa kedua adalah suatu aspek yang paling menantang dari pembelajaran bahasa kedua (Hyland 2003) bahkan bagi mereka yang berbahasa inggris sebagai bahasa pertama. Kemampuan menulis secara efektif adalah sesuatu yang membutuhkan exensive dan instruksi khusus (Hyland 2003; Hyland 2004)
Tantangan kita di writing 4 adalah 1) meneliti bagaimana teori-teori penulisan dan pengajaran menulis telah berevolusi. 2) sifat penulisan yang baik. 3) sifat teks dan genre dan bagaimana mereka menggunakannya dalam komunitas wacana tertentu. 4) Hubungan antara menulis di pertama dan kedua bahasa. 5) Bagaimana kurikulum dapat dikembangkan untuk kursus menulis. 6) Pengembangan bahan ajar untuk kursus menulis. 7) Penggunaan komputer dalam menulis instruksi. 8) pendekatan untuk umpan balik dan penilaian.
Seorang guru yang efektif adalah salah satu yang dapat membuat pilihan informasi tentang metode, material dan prosedur untuk digunakan dalam kelas didasarkan pada pemahaman yang jelas tentang sikap saat ini dan praktek dalamnya profesi. Writing involves composing skills and knowledge about texts contexts, and readers. Seperti kerajinan apapun writing akan lebih baik dengan praktek bahasa pertama (L1) adalah dasar untuk bahasa kedua (L2).
Kesimpulannya adalah writing for academic purpose adalah tantangan berat bagi kita di semester 4 ini, kita harus dapat berusaha lebih baik dari semester sebelumnya, karena tantangan lebih besar adalah dalam hal literasi, kita harus memperbanyak membaca dan menulis, berfikir kritis dan mengetahui isu-isu internasional.
Ada delapan tantangan yang harus kita lewati dengan baik, untuk menjadi seorang guru adalah tantangan yang sangat berat, kita harus memiliki banyak ilmu agar kita tidak salah memberikan proses belajar kepada anak didik kita, dengan metode, material, dan prosedur untuk di terapkan dalam mengajar.
Penguasaan  literasi yang tinggi tentunya tidak boleh mengabaikan aspek sosiokultural karena literasi tersebut merupakan bagian dari kultur atau budaya manusia. Hubungan literasi dengan komunikasi memiliki korelasi yang sangat kuat, bahkan Kern (2000) menyatakan “literacy involves communication” (literasi melibatkan komunikasi) karena setiap hari, setiap waktu kita berkomunikasi dengan orang lain.










Appetizer
Cirebon, 10 February 2014
SEJARAH DAN FAKTOR PENDUKUNG LITERASI
Dalam sejarah peradaban umat manusia, kemajuan suatu bangsa tidak hanya bisa dibangun dengan bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Terutama dalam dunia pendidikan budaya literasi peserta didik di Indonesia sangat rendah dan semakin di tinggalkan.
Dalam dunia pendidikan, budaya literasi merupakan salah satu aspek penting yang harus diterapkan di lembaga-lembaga sekolah guna memupuk minat dan bakat yang terpendam dalam diri mereka. Apalagi saat ini Indonesia masih menghadapi sindrom buta huruf yang kerapkali menjadi penghambat kemajuan pendidikan nasional sehingga dibutuhkannya strategi alternatif yang bisa dilakukan untuk menopang peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Begitu besar peran pendidik dalam membentuk karakter anak didiknya. Seperti yang dikatakan mahfudz siddiq ketua komisi DPR RI “guru-guru di sekolah berperan sangat penting dalam menanamkan literasi terhadap peserta didiknya” dapat di tarik benang merah yaitu faktor terbesar dalam literasi adalah pendidiknya, bagaimana bisa peserta didik akan tinggi budaya literasi sementara gurunya saja tidak?.
Dari ketiga teks yang saya review, saya menemukan banyak sekali opini-opini yang akan saya kemukakan, pertama dalam teks yang pertama berjudul “(bukan) bangsa penulis” di bahas tentang pro kontra karya ilmiah di lingkungan mahasiswa, menurut jendral pendidikan tinggi kemampuan menulis artikel jurnal adalah literasi tingkat tinggi yakni kemampuan memproduksi ilmu pengetahuan. Didalamnya juga di bahas perbedaan perkuliahan di Indonesia dengan di luar negri.
Dalam Perguruan tinggi indonesia mahasiswa S1, S2 dan S3 di wajibkan untuk menulis skripsi, thesis dan disertasi. Sedangkan di perguruan tinggi luar negri contohnya Amerika serikat, memaksa mahasiswa menulis essay seperti laporan observasi,ringkasan bab, review buku, dan sebagainya. Maka dari itu Bapak Chaidar mengatakan bahwa tradisi penelitian dan pelaporan ilmu alamiah tidak boleh dipaksakan pada ilmu humainora, demikian juga sebaliknya, pemaksaan demikian adalah arogansi akademik dan pelecehan terhadap estimologi keilmuan.
Artikel opini dikoran jauh lebih besar dampaknya karena bisa dibaca jutaan pembaca, begitu menarik di akhir teks di jelaskan para siswa sastra total di Indonesia hanya 2,22%, agar kita bisa menyamai malayasia, dosen yang bergelar S2 atau S3 “setiap tahun” harus menerbitkan artikel jurnal atau buku teks, dan yang tidak menulis sebaiknya jangan bermimpi jadi dosen.
Dalam teks yang kedua dijelaskan tentang fatalistik terhadap teks yang diciptakan oleh seorang penulis yang kuat dan pembaca adalah mahluk tak berdaya. Setelah dilakukan survei yang membuktikan bahwa 95% siswa Bapak Chaidar menyalahkan diri mereka sendiri “mereka beralasan tidak mengerti isi buku tersebut karena terlalu tinggi. Mereka menyalahkan diri seolah-olah tidak dapat berkonsentrasi dalam membaca buku, oleh karena itu siswa harus di ajarkan untuk mengembangkan kesadaran kritis bahasa.
Pembaca kritis percaya bahwa kedua penulis dan pembaca sama-sama bertanggung jawab untuk pembuatan makna. Para dosen harus menulis buku agar tidak import dari luar negri, secara langsung ini menjudge buku-buku di Indonesia atau produksi Indonesia kualitasnya lebih rendah daripada luar negri.
Dalam teks ketiga, setelah dilakukan penelitian bahwa reading dan writing mahasiswa itu sangat rendah, sebagian besar dari mereka malu berbahasa, dikatakan dalam teks ketiga ini seolah-olah menyalahkan kurikulum di indonesia, mungkin lebih tepatnya ketidak puasan terhadap sistem kurikulum di indonesia, kemudian guru yang kurang kompeten dan dosen hanya menerapkan pengalamannya saja ketika belajar di masa lampau (tidak mengembangkan metode baru) sehingga ilmu tidak berkembang.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam ketiga teks tersebut berkaitan, menurut saya di luar negri lebih berorientasi pada proses belajar bagaimana proses dari pengumpulan data hingga akhir, mahasiswa di haruskan involve seutuhnya dalam perkuliahan. Sedangkan di indonesia  itu lebih berorientasi kepada hasil, disini terlihat sangat timpang jika sesuatu hanya dilihat dari hasil tanpa mengetahui prosesnya bagaimana, tanpa melalui tahap-tahap proses dimana kita akan mengerti sepenuhnya dari apa yang kita buat itu sangat penting. Jika hanya melihat hasil kita tidak akan mengetahui proses dari karya tersebut, bagaimana nekara akan berkembang? Pola pikir manusia pasti akan instant dalam menghasilkan sesuatu.
Misal saja dalam kajian perkuliahan, jika seorang dosen hanya mengandalkan hasil akhir, tanpa mengetahui proses dari karya seorang mahasiswa tersebut, bisa saja karya tersebut dibuat secara instant contohnya copy-paste dan sebagainya. Maka dari itu harus dilihat prosesnya secara terperinci, tahap demi tahap, agar timbul banyak karya yang baru, yang hebat dan berwawasan luas.
Selanjutnya setelah dilihat dari beberapa kajian dan kasus dilapangan, seharusnya sistem pendidikan kita dirubah, karena hingga saat ini sistem pendidikan di indonesia masih sangat rendah, perlu adanya peningkatan kreativitas siswa dan perubahan maindset terhadap peserta didik. Alangkah lebih baiknya pengajar memiliki ilmu yang mumpuni,terakreditasi dengan baik dan mempunyai metode, material dan prosedur yang sesuai, kemudian seorang guru juga harus menanamkan sikaf kreatif dan berbudaya literasi tinggi, menghasilkan karya-karya untuk peserta didiknya dan membangun minat membaca dan menulis pada siswanya.
Sebagai seorang guru sebenarnya tidak ada salahnya jika menerapkan pengajaran berdasakan pengalamannya ketika menuntut ilmu pada peserta didiknya, namun pengalaman tersebut harus berkualitas, berwawasan tinggi dan harus mempunya tolak ukur apakah peserta didik dapat mengikuti dengan baik, namun sebaiknya metode yang digunakan lebih di modifikasi lagi agar ilmu terus berkembang tidak statis.
Memang kita “(bukan) bangsa penulis” indonesia memiliki semboyan, “nenek moyangku seorang pelaut” ya maka dari itu kita merupakan bangsa penulis, toh nenek moyang kita saja seorang pelaut, buktinya dahulu tidak banyak di temukan tulisan-tulisan hanya sebatas prasasti, kitab yang jumlahnya sangat sedikit, seandainya saja budaya literasi sudah di tanamkan sejak dahulu kala mungkin kita tidak hanya mengenal colombus sebagai penemu Amerika, atau Abel tasman sebagai penemu selandia baru, tapi mungkin kita akan mengetahui nama-nama nenek moyang kita dan mungkin akan terkenal namanya. Peninggalan sejarah yang berbau literasi sangat terkenal dan membuat penasaran ilmuan-ilmuan untuk menelitinya. Namun meskipun begitu, kita bukan bangsa penulis pernyataan tersebut janganlah menjadi fatalitisme yang membuat bangsa kita malas berliterasi, kita harus rubah pernyataan tersebut menjadi “meskipun kita bukan bangsa penulis tapi kita bisa menjadi bangsa penulis” yang menghasilkan banyak karya, budaya literasi sangat tinggi dan mendarah daging, juga bagi para pembaca juga harus menulis.
Pembaca harus bisa menghasilkan karya, tidak hanya sekedar membaca saja, sehingga di negri ini akan berlimpah ruah karya-karya anak bangsa yang kreatif dan berbudaya literasi tinggi dengan cara ditanamkan haus baca terhadap peserta didik dan gemar menulis, disini peran pendidik sangat lah di butuhkan. Juga pada orientasi yang harus dirubah, bukan hanya membaca berorientasi, tapi membaca dan menulis berorientasi, sehingga dengan demikian akan terciptanya budaya literasi yang luar biasa tinggi dikalangan masyarakat.
Kesimpulannya yang dapat saya ambil dari semua pernyataan di atas adalah sistem pendidikan indonesia yang harus dirubah karena masih banyak memiliki kekurangan, kemudian orientasi yang bukan lagi membaca berorientasi, tapi membaca dan menulis berorientasi perlu adanya perubahan mindset kita, bukan “kita (bukan) bangsa penulis”  tapi “meskipun kita bukan bangsa penulis tapi kita bisa menjadi bangsa penulis”. Pembaca buku juga harus menulis, lebih baik lagi jika bisa membuat buku menghasilkan banyak karya, dan orientasi kita jangan tergantung kepada hasil, namun harus melalui proses dari tahapan-tahapan karena perlu disadari, penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Kita tidak mungkin menjadi bangsa yang besar, apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di hampir setiap lembaga pendidikan. Ironi tingkat literasi kita yang semakin menurun, menunjukan ketidakmampuan bangsa ini dalam mengelola sistem pendidikan yang mencerahkan dan memberdayakan bagi segenap anak bangsa yang potensial dan cerdas. Sudah saatnya, budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-menulis.

Comments
0 Comments

0 Comments:

Post a Comment